All hands,
Di dalam dunia pertahanan dan militer di Indonesia, konsep cost masih belum dipahami dengan benar. Cost diterjemahkan sebatas biaya yang dikeluarkan untuk suatu program, entah itu pengadaan alutsista, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya. Padahal dalam arti yang sebenarnya, cost tidak terbatas pada nilai denominasi uang semata.
Mari kita ambil contoh operasi di Irak yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Tahapan operasi di negeri yang banyak mewarisi peradaban dunia masa lalu itu secara garis besar terbagi atas dua tahap. Tahap pertama adalah major combat operations yang dimulai dari 20 Maret 2003 hingga 1 Mei 2003. Tahap kedua adalah stabilization operations sejak 2 Mei 2003 sampai hari ini.
Menurut kalkulasi oleh Pentagon maupun lembaga-lembaga sipil di Washington, cost yang harus dibayar oleh Amerika Serikat dalam perang itu selama era administrasi George W. Bush nilainya melebihi milyaran dollar. Itu baru dari satu sisi, yaitu yang bisa didenominasikan. Yang perlu diperhatikan yaitu cost yang dimaksud bukan saja berapa dana yang sudah dikeluarkan untuk mendukung terlaksananya operasi, tetapi juga kerugian personel dan material.
Kalau soal material tentu saja menyangkut material yang rusak, bahkan total lost akibat operasi, seperti kendaraan lapis baja, helikopter, HMVV, truk berbagai ukuran dan lain-lain. Kerugian personel setidaknya mencakup dua, yaitu yang tewas dan cacat. Yang meninggal tentu saja keluarga korban harus mendapat santunan, sementara yang cacat harus mendapatkan program rehabilitasi di Walter Reed Army Medical Center di pinggiran Washington DC. Termasuk pula dalam cost adalah kehilangan jiwa personel. Tentu saja cost untuk yang satu ini intangible, tidak dapat dinilai dengan denominasi apapun.
Cost bagi yang meninggal dihitung bukan saja tentang asuransi buat keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga biaya yang dulunya dikeluarkan untuk mendidik almarhum menjadi soldier, sailor, Marine dan airmen. Sedangkan bagi yang cacat, selain soal biaya mendidik mereka menjadi soldier, sailor, Marine dan airmen, pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas untuk merehabilitasi mereka, baik secara fisik apalagi mental.
Hal-hal yang sedemikian detail dihitung sebagai cost. Ini baru satu aspek, yaitu dari aspek militer saja. Belum lagi ketika menyentuh aspek lain, misalnya politik dan ekonomi. Berapa cost politik yang harus dibayar oleh Amerika Serikat akibat Perang Irak? Berapa cost ekonomi yang harus ditebus oleh Uwak Sam karena bertualang ke negeri Abu Nawas?
Dua aspek terakhir saat ini sedang dibayar oleh negeri itu. Bayarannya mahal sekali. Pada satu sisi Washington menjadi pihak yang tidak populer di dunia, apalagi di negeri-negeri Muslim. Di sisi lain, di waktu yang sama, krisis ekonomi juga terjadi di sana. Krisis itu tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepada masalah tidak berjalannya regulasi di pasar modal, tetapi juga tak bisa dilepaskan dari kebijakan administrasi Bush Jr yang menyalurkan sebagian anggaran nasional ke Irak (dan Afghanistan). Yang menikmati anggaran itu adalah para kontraktor Departemen Pertahanan yang sudah pasti mempunyai keterkaitan dengan para pengambil keputusan di era Bush berkuasa.
Pertanyaannya, pernahkah Indonesia menghitung cost ---dalam tiga aspek--- yang dikeluarkan selama operasi di Timor Timur 1975-1999? Berapa cost yang dikeluarkan? Cost yang dimaksud di sini bukan saja menyangkut ekonomi atau anggaran, tetapi juga menyentuh aspek politik dan militer.
Berapa pula cost ---dalam arti ketiga aspek--- yang dikeluarkan untuk operasi di Aceh 1976-2005? Pernahkah negeri ini menghitungnya? Seimbangkah cost yang dikeluarkan di kedua wilayah dengan benefit yang Indonesia dapatkan?
Meskipun hal ini terkait pula dengan isu kepentingan nasional, tetap saja cost-nya harus dihitung. Walaupun secara teoritis untuk mengamankan kepentingan nasional apapun harus dilakukan, tetapi secara praktek ada perhitungan cost-benefit yang harus pula dipertimbangkan.
Dalam kasus mutakhir, berapa cost ---sekali lagi dalam arti luas--- yang sudah dikeluarkan oleh Indonesia di Laut Sulawesi (Ambalat) dari Februari 2005 hingga sekarang? Dan berapa lagi cost yang mesti dikeluarkan pada waktu ke depan yang batas waktunya kita semua belum tahu? Dengan sekian X ---katakanlah begitu--- cost yang sudah dikeluarkan untuk Ambalat, seharusnya benefit-nya adalah X pangkat 2. Mampukah instrumen kekuatan nasional bangsa ini menghasilkan X pangkat 2 di sana?
Di dalam dunia pertahanan dan militer di Indonesia, konsep cost masih belum dipahami dengan benar. Cost diterjemahkan sebatas biaya yang dikeluarkan untuk suatu program, entah itu pengadaan alutsista, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya. Padahal dalam arti yang sebenarnya, cost tidak terbatas pada nilai denominasi uang semata.
Mari kita ambil contoh operasi di Irak yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Tahapan operasi di negeri yang banyak mewarisi peradaban dunia masa lalu itu secara garis besar terbagi atas dua tahap. Tahap pertama adalah major combat operations yang dimulai dari 20 Maret 2003 hingga 1 Mei 2003. Tahap kedua adalah stabilization operations sejak 2 Mei 2003 sampai hari ini.
Menurut kalkulasi oleh Pentagon maupun lembaga-lembaga sipil di Washington, cost yang harus dibayar oleh Amerika Serikat dalam perang itu selama era administrasi George W. Bush nilainya melebihi milyaran dollar. Itu baru dari satu sisi, yaitu yang bisa didenominasikan. Yang perlu diperhatikan yaitu cost yang dimaksud bukan saja berapa dana yang sudah dikeluarkan untuk mendukung terlaksananya operasi, tetapi juga kerugian personel dan material.
Kalau soal material tentu saja menyangkut material yang rusak, bahkan total lost akibat operasi, seperti kendaraan lapis baja, helikopter, HMVV, truk berbagai ukuran dan lain-lain. Kerugian personel setidaknya mencakup dua, yaitu yang tewas dan cacat. Yang meninggal tentu saja keluarga korban harus mendapat santunan, sementara yang cacat harus mendapatkan program rehabilitasi di Walter Reed Army Medical Center di pinggiran Washington DC. Termasuk pula dalam cost adalah kehilangan jiwa personel. Tentu saja cost untuk yang satu ini intangible, tidak dapat dinilai dengan denominasi apapun.
Cost bagi yang meninggal dihitung bukan saja tentang asuransi buat keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga biaya yang dulunya dikeluarkan untuk mendidik almarhum menjadi soldier, sailor, Marine dan airmen. Sedangkan bagi yang cacat, selain soal biaya mendidik mereka menjadi soldier, sailor, Marine dan airmen, pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas untuk merehabilitasi mereka, baik secara fisik apalagi mental.
Hal-hal yang sedemikian detail dihitung sebagai cost. Ini baru satu aspek, yaitu dari aspek militer saja. Belum lagi ketika menyentuh aspek lain, misalnya politik dan ekonomi. Berapa cost politik yang harus dibayar oleh Amerika Serikat akibat Perang Irak? Berapa cost ekonomi yang harus ditebus oleh Uwak Sam karena bertualang ke negeri Abu Nawas?
Dua aspek terakhir saat ini sedang dibayar oleh negeri itu. Bayarannya mahal sekali. Pada satu sisi Washington menjadi pihak yang tidak populer di dunia, apalagi di negeri-negeri Muslim. Di sisi lain, di waktu yang sama, krisis ekonomi juga terjadi di sana. Krisis itu tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepada masalah tidak berjalannya regulasi di pasar modal, tetapi juga tak bisa dilepaskan dari kebijakan administrasi Bush Jr yang menyalurkan sebagian anggaran nasional ke Irak (dan Afghanistan). Yang menikmati anggaran itu adalah para kontraktor Departemen Pertahanan yang sudah pasti mempunyai keterkaitan dengan para pengambil keputusan di era Bush berkuasa.
Pertanyaannya, pernahkah Indonesia menghitung cost ---dalam tiga aspek--- yang dikeluarkan selama operasi di Timor Timur 1975-1999? Berapa cost yang dikeluarkan? Cost yang dimaksud di sini bukan saja menyangkut ekonomi atau anggaran, tetapi juga menyentuh aspek politik dan militer.
Berapa pula cost ---dalam arti ketiga aspek--- yang dikeluarkan untuk operasi di Aceh 1976-2005? Pernahkah negeri ini menghitungnya? Seimbangkah cost yang dikeluarkan di kedua wilayah dengan benefit yang Indonesia dapatkan?
Meskipun hal ini terkait pula dengan isu kepentingan nasional, tetap saja cost-nya harus dihitung. Walaupun secara teoritis untuk mengamankan kepentingan nasional apapun harus dilakukan, tetapi secara praktek ada perhitungan cost-benefit yang harus pula dipertimbangkan.
Dalam kasus mutakhir, berapa cost ---sekali lagi dalam arti luas--- yang sudah dikeluarkan oleh Indonesia di Laut Sulawesi (Ambalat) dari Februari 2005 hingga sekarang? Dan berapa lagi cost yang mesti dikeluarkan pada waktu ke depan yang batas waktunya kita semua belum tahu? Dengan sekian X ---katakanlah begitu--- cost yang sudah dikeluarkan untuk Ambalat, seharusnya benefit-nya adalah X pangkat 2. Mampukah instrumen kekuatan nasional bangsa ini menghasilkan X pangkat 2 di sana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar