All hands,
Setelah Laksamana Mike Mullen menjadi Chairman, U.S. Joint Chief of Staff, konsep Thousand Ship Navy alias Global Maritime Partnership sepertinya tenggelam begitu saja. Pengganti Mullen yaitu Laksamana Garry Roughead terkesan tidak mengangkat lagi isu tersebut dalam agenda kerjanya. Namun benarkah kesan demikian?
Ternyata tidak. Meskipun tidak segencar Mullen, konsep Global Maritime Partnership tetap dikampanyekan oleh Roughead. Sejak beberapa bulan menjelang akhir 2008, U.S. Navy kembali mengangkat isu tersebut. Terlebih lagi momennya tepat, yaitu meningkatnya ancaman keamanan maritim di perairan Somalia.
Konsep Global Maritime Partnership pada dasarnya bagus, karena arasnya adalah kerjasama Angkatan Laut dunia dalam menghadapi ancaman bersama terhadap keamanan maritim. Penting untuk dipahami bahwa bingkai kerjasama itu adalah globalisasi. Globalisasi, sepertinya dinyatakan oleh Geoffrey Till, menuntut semua negara untuk bekerjasama guna menjamin keamanan maritim.
Masalahnya, terdapat beberapa negara yang curiga dengan Global Maritime Partnership. Salah satunya adalah Cina, yang merasa konsep itu dapat ditumpangi oleh Amerika Serikat sebagai penggagas untuk “mengepung”-nya. Seperti diketahui, U.S. Navy mempunyai beragam bentuk kerjasama dengan negara-negara di Asia Pasifik yang sebenarnya berada dalam bingkai Global Maritime Partnership.
Misalnya CARAT dan SEACAT, dua kegiatan latihan tahunan yang mana AL kita selalu berpartisipasi. Begitu pula dengan WPNS, yang merupakan wadah pertemuan tahunan para Kepala Staf Angkatan Laut di wilayah Pasifik Barat. Jadi suka atau tidak suka, kenyataannya Indonesia selama ini sudah terlibat dalam Global Maritime Partnership yang digagas oleh Amerika Serikat.
Daripada bersikap oposan terhadap Global Maritime Partnership, sebaiknya Indonesia meneruskan partisipasinya ke dalam bentuk-bentuk lain yang lebih maju. Dengan catatan prinsipnya adalah mutual trust and benefit. Bentuknya antara lain information sharing dan kerjasama logistik.
Information sharing antara Indonesia dengan Amerika Serikat merupakan salah satu isu krusial dalam keamanan maritim dan selama ini belum berjalan dengan baik karena berbagai faktor. Apabila terwujud, kemampuan AL Indonesia untuk meningkatkan keamanan maritim di perairan yurisdiksi akan bertambah pula. Information sharing akan meningkatkan maritime domain awareness Indonesia, sekaligus dapat menjadi dalih untuk menolak secara halus keterlibatan kekuatan laut asing mengamankan perairan yurisdiksi Indonesia dengan alasan pelaksanaan konsep Global Maritime Partnership. Sekarang kembali kepada Indonesia, bagaimana bisa meyakinkan Amerika Serikat untuk merealisasikan kerjasama di bidang information sharing.
Setelah Laksamana Mike Mullen menjadi Chairman, U.S. Joint Chief of Staff, konsep Thousand Ship Navy alias Global Maritime Partnership sepertinya tenggelam begitu saja. Pengganti Mullen yaitu Laksamana Garry Roughead terkesan tidak mengangkat lagi isu tersebut dalam agenda kerjanya. Namun benarkah kesan demikian?
Ternyata tidak. Meskipun tidak segencar Mullen, konsep Global Maritime Partnership tetap dikampanyekan oleh Roughead. Sejak beberapa bulan menjelang akhir 2008, U.S. Navy kembali mengangkat isu tersebut. Terlebih lagi momennya tepat, yaitu meningkatnya ancaman keamanan maritim di perairan Somalia.
Konsep Global Maritime Partnership pada dasarnya bagus, karena arasnya adalah kerjasama Angkatan Laut dunia dalam menghadapi ancaman bersama terhadap keamanan maritim. Penting untuk dipahami bahwa bingkai kerjasama itu adalah globalisasi. Globalisasi, sepertinya dinyatakan oleh Geoffrey Till, menuntut semua negara untuk bekerjasama guna menjamin keamanan maritim.
Masalahnya, terdapat beberapa negara yang curiga dengan Global Maritime Partnership. Salah satunya adalah Cina, yang merasa konsep itu dapat ditumpangi oleh Amerika Serikat sebagai penggagas untuk “mengepung”-nya. Seperti diketahui, U.S. Navy mempunyai beragam bentuk kerjasama dengan negara-negara di Asia Pasifik yang sebenarnya berada dalam bingkai Global Maritime Partnership.
Misalnya CARAT dan SEACAT, dua kegiatan latihan tahunan yang mana AL kita selalu berpartisipasi. Begitu pula dengan WPNS, yang merupakan wadah pertemuan tahunan para Kepala Staf Angkatan Laut di wilayah Pasifik Barat. Jadi suka atau tidak suka, kenyataannya Indonesia selama ini sudah terlibat dalam Global Maritime Partnership yang digagas oleh Amerika Serikat.
Daripada bersikap oposan terhadap Global Maritime Partnership, sebaiknya Indonesia meneruskan partisipasinya ke dalam bentuk-bentuk lain yang lebih maju. Dengan catatan prinsipnya adalah mutual trust and benefit. Bentuknya antara lain information sharing dan kerjasama logistik.
Information sharing antara Indonesia dengan Amerika Serikat merupakan salah satu isu krusial dalam keamanan maritim dan selama ini belum berjalan dengan baik karena berbagai faktor. Apabila terwujud, kemampuan AL Indonesia untuk meningkatkan keamanan maritim di perairan yurisdiksi akan bertambah pula. Information sharing akan meningkatkan maritime domain awareness Indonesia, sekaligus dapat menjadi dalih untuk menolak secara halus keterlibatan kekuatan laut asing mengamankan perairan yurisdiksi Indonesia dengan alasan pelaksanaan konsep Global Maritime Partnership. Sekarang kembali kepada Indonesia, bagaimana bisa meyakinkan Amerika Serikat untuk merealisasikan kerjasama di bidang information sharing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar