09 Januari 2009

Menunggu Political Will Terhadap Angkatan Laut

All hands,
Pada akhir 1970, Indonesia melaksanakan modernisasi Angkatan Bersenjatanya setelah pasca 1967 mengalami kemunduran yang luar biasa karena pergolakan politik internal. Modernisasi itu didukung oleh adanya windfall pendapatan ekspor minyak sebagai akibat dari Perang Arab-Israel 1973 yang berujung pada embargo minyak negara-negara Arab terhadap Amerika Serikat. Embargo itu membuat harga minyak melonjak drastis dan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak turut merasakan “nikmatnya” situasi demikian.
Dalam program modernisasi itu, AL antara lain mendapat jatah untuk membeli kapal selam, selain kapal kombatan atas air. Dan jumlah kapal selam U-209 yang ingin dibeli oleh Indonesia adalah empat unit sekaligus. Namun hal itu ditolak oleh Amerika Serikat sebagai “atasan” Jerman Barat yang membuat kapal selam U-209.
Atas “kebaikan hati” Amerika Serikat, Indonesia hanya boleh mengakuisisi dua kapal selam. Sebagai kompromi, pengadaan dua kapal selam berikutnya dapat dilakukan pada pertengahan 1980-an, sekitar 1986-1987. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa tambahan dua kapal selam U-209 tidak pernah terwujud. Setidaknya ada dua alasan soal itu, yaitu pergantian pimpinan militer pada era 1980-an akhir dan juga tidak adanya “restu” dari Amerika Serikat.
Lesson learned dari kasus U-209 adalah perlunya “restu” dari Washington jikalau Indonesia ingin membeli kapal selam. Apabila ditarik dalam kondisi kekinian, sangat jelas Washington tidak “merestui” AL negeri ini mempunyai kapal selam baru dengan teknologi yang lebih maju dari U-209. Saya meyakini itulah salah satu alasan mengapa pengadaan tersebut begitu rumit. Untuk menghambat pengadaan kapal selam itu, digunakanlah invisible hands yang ada di jajaran pengambilan keputusan di Indonesia.
“Restu” nampaknya akan diberikan bila yang dibeli adalah kelas U-209. Jadi substansinya adalah tidak akan ada kemajuan Indonesia dalam penguasaan kemampuan peperangan kapal selam. Dan Korea Selatan sebagai sekutu Washington dari jauh-jauh hari telah siap menjual U-209 Changbogo kepada AL negeri ini. Dan most possibly U-209 Changbogo yang dijual adalah bekas pakai Angkatan Laut Korea Selatan, sebab negeri itu tengah beralih memakai kapal selam U-214.
Sudah jelas bahwa Indonesia tidak berminat mengoperasikan U-209 lagi, meskipun versi yang lebih canggih. Sebab kemampuan U-209 sudah jadi rahasia umum, sebab kapal selam itu merupakan kapal selam yang laris di pasaran internasional. Laris karena teknologinya lumayan dan harganya pas untuk kantong-kantong para bendahara negara-negara berkembang.
Opsi pembelian U-214 sebenarnya terbuka, tetapi harga per unitnya yang sekitar US$ 600 juta (perlengkapan standar dan tanpa senjata) dinilai terlalu mahal bagi Bendahara Negara yang bermarkas di Lapangan Banteng. Sementara masih ada jenis kapal selam lain dengan kemampuan yang tak kalah dari U-214 (kecuali AIP), tetapi harganya masih lebih murah. Dibandingkan dengan U-209 ---apalagi U-209 versi fotocopy, kapal selam yang dimaksud jelas lebih unggul dari berbagai aspek. Dan untuk biaya pengadaan kapal selam itu Indonesia tak perlu pusing, sebab negara produsen telah menyediakan kredit khusus untuk membeli kapal selamnya.
Sekarang tinggal political will saja dari pemerintah, khususnya Departemen Pertahanan. Kadang aneh memang, urusan Sukhoi bagi matra lain dipermudah, namun urusan kapal selam dari negeri yang sama dengan Sukhoi bagi matra laut terkesan dipersulit dengan beragam alasan yang dibuat-buat. Mungkin AL negeri ini perlu menempatkan perwiranya sebagai pengambil keputusan pengadaan alutsista di Departemen Pertahanan.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Apakah para perwira kami yg disana begitu pintar ternyata penakut? sehingga ambil keputusan strategis harus minta restu usa, saya tidak tahu apa yg di ucapkan oleh orang usa sehingga perwira dephan jd seperti itu, semoga mereka segera sadar saja, kami yg dibawah hanya bisa berdoa dan melihat saja

Anonim mengatakan...

@Anonim
faktanya emang seperti itu !, sebaiknya jangan menganggap mereka sebagai "perwira kami" (perwira NKRI ), tapi "perwira mereka" (red. USA) ;)

aneh banget negeri ini !

Anonim mengatakan...

Bedanya pengadaan Sukhoi dan Kilo sebenernya, IMHO, masalah nasib saja. Pengadaan (penambahan) Sukhoi untuk AU ditolong oleh breakthrough Megawati yang secara mengejutkan membelinya secara kontraversial di 2004. Andaikata Megawati tidak pernah senekat itu tentu sampai hari ini Sukhoipun hanya sebatas wacana. Dengan adanya 4 pesawat yang sudah ada, berkembang pula presepsi dan harapan serta tekanan dan sorotan publik untuk menggenapinya menjadi 1 skadron (yang tidak utuh). Tapi nasib kilo memang lain, karena tidak ada sorotan publik seperti Sukhoi. Hanya kalangan military enthusiast dan militer saja yang tahu masalah kualitas Kilo dibanding yang lain. Dan kalangan ini tidak banyak. Dan mungkin bisa saya katakan pengadaan Kilo dan tambahan skadron Sukhoi akan sangat rumit dan berat.

Anonim mengatakan...

Saya juga sependapat dengan Superbad,selain itu pengadaan Sukhoi jg sudah didendangkan sejak sebelum tahun 1998,lantas karena krisis ekonomi jadi batal.Saya pikir kalo masalah Kilo or U214 yg AIP(maunya nih) secara teknis dan anggaran siap,bisa jadi our next RI-1 bisa2 pake cara Megawati lagi dalam pengadaan Sukhoi tahun 2004
(Taufik)

upil_kodok mengatakan...

miris ya om?? yah begitulah negeri ini...

mo yg dibawah bilang A,B,C,D... selama yg diatas bilang Z yah yg dibawah cuman bisa manut aja (sambil misuh2 dalam hati)...