All hands,
Sadar atau tidak, Indonesia dalam konsep pertahanan masih berpikir tentang attrition warfare. Attrition warfare itu didasarkan pada sebuah asumsi yang hopeless, sehingga berani mengambil risk untuk attrition warfare. Pemikiran itulah yang mendasari Sishankamrata di masa lalu dan Sishanta di masa kini. Tidak ada perbedaan signifikan antara Sishanta maupun Sishankamrata, meskipun sebagian pihak berargumen bahwa Sishanta adalah total defense, sedangkan Sishankamrata adalah people defense.
Sebab pola pikirnya yang mendasari keduanya pada dasarnya sama, yaitu attrition warfare. Adapun perubahan dari Sishamkamrata menjadi Sishanta sudah pasti terkait perubahan politik 1998 yang antara lain memisahkan antara TNI dengan Polisi.
Bukti pertama dari konsep attrition warfare adalah asumsi bahwa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, AL dan AU-nya sudah dianggap tidak ada alias dinegasikan sama sekali. Sehingga satu-satunya cara berperang adalah melalui attrition warfare di darat, mengandalkan perang berlarut alias protracted war. Pernahkah para pendukung attrition warfare di negeri ini menengok sejenak ke luar?
Cina yang di masa lalu juga mengandalkan pada attrition warfare lewat perang berlarut kini sudah mengubah strateginya dengan mengandalkan pada penghancuran kekuatan lawan yang masuk wilayah negeri itu (ingat, yang dimaksud wilayah bukan hanya daratan) dalam waktu sesingkat-singkatnya. Mengapa Cina mengubah strateginya? Sebab para perencana pertahanan di Negeri Mao itu lebih maju pola pikirnya daripada sebagian perencana pertahanan di Nusantara.
Para perencana pertahanan Cina sudah berhitung bahwa cost yang dibutuhkan untuk menggelar perang berlarut sangat mahal. Harap diingat cost di sini bukan saja soal anggaran, tetapi juga manusia, politik dan lain sebagainya. Meskipun secara ekonomi Beijing memiliki cadangan devisa hampir US$ 2 milyar dan populasinya di atas 1 milyar, tetapi tetap saja negara itu berpikir bahwa cost yang dibutuhkan untuk menggelar attrition warfare jauh lebih mahal. Sehingga pilihan yang realistis adalah menghancurkan kekuatan lawan dalam waktu yang singkat menggunakan teknologi pertahanan.
Sishanta di Indonesia juga berani menerima risk, yaitu sudah berpikiran bahwa musuh akan menduduki Indonesia. Pemikiran demikian dari kacamata strategi sangat berbahaya, yaitu menerima begitu saja risk tanpa berupaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risk tersebut. Artinya Sishanta disusun di atas dasar hopeless.
Para pendukung Sishanta sangat jelas juga tidak memperhatikan kondisi geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan. Dari sekitar 17.000 pulau, yang berpenghuni hanya sekitar 2.000 pulau. Lalu siapa yang akan mempertahankan 15.000 pulau lainnya? Dari sini saja sudah tercermin kesalahan besar dalam berpikir ketika merencanakan pertahanan.
Sishanta juga mengandalkan pada rakyat untuk membantu pertahanan, bahkan turut berperang dengan mengubah status menjadi kombatan. Masalahnya di laut tidak bisa menggelar gerilya ala darat. Lalu siapa yang akan mempertahankan laut kita? Dari sini terlihat bahwa sejak awal Sishanta tidak dirancang untuk mempertahankan wilayah kedaulatan di laut, padahal tanpa laut tidak ada negara Republik Indonesia.
Dari kacamata strategi kontemporer, kemungkinan negara lain menginvasi Indonesia seperti dalam strategi Sishanta maupun Sishankamrata kurang realistis. Kalaupun ada negara yang tidak suka dengan kebijakan Indonesia, unjuk kekuatan militer mereka lebih terbatas pada pengeboman sasaran-sasaran strategis dan penembakan rudal dari kapal atas air dan kapal selam mereka di sekitar perairan yurisdiksi Indonesia.
Alasan untuk menginvasi Indonesia pun kurang kuat, sebab Indonesia saat ini bukanlah seperti Irak zaman Saddam Hussein. Toh tanpa perlu menduduki Indonesia dengan kekuatan militer, negara-negara lain bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah lewat pintu diplomatik, ekonomi dan sosial budaya.
Lalu bagaimana kaitannya dengan AL? Selama Sishanta masih berasumsi menegasikan peran kekuatan laut (dan udara), sulit untuk optimis para pemimpin negeri ini akan membangun kekuatan laut Indonesia sesuai dengan yang diharapkan. Mereka akan beralasan pada keterbatasan anggaran, padahal cost yang dibutuhkan untuk membangun AL masih jauh lebih murah daripada menggelar attrition warfare.
Untuk membangun AL, negeri ini tidak perlu menumpahkan darah putra-putri bangsa seperti halnya bila ada pihak yang bersikeras untuk menggelar attrition warfare. Untuk membangun AL, negeri ini tak perlu membuat monumen-monumen baru yang berisi nama putra-putri bangsa yang gugur karena attrition warfare. Untuk membangun AL, negeri ini tak perlu takut rakyatnya akan melarat dan kelaparan, sebab hasil laut Indonesia sebenarnya bisa untuk memakmurkan penduduk negeri. Dan dengan membangun AL, negeri ini memenuhi kodratnya sebagai negeri kepulauan.
Membangun AL bisa ditentukan kapan ending-nya, dalam arti kekuatan standar yang dibutuhkan tercapai. Dengan ending yang jelas, berarti cost-nya bisa dihitung. Sementara menggelar attrition warfare kapan ending-nya sulit untuk diprediksi, sehingga cost-nya pun nyaris tak terhingga. Sedangkan di sisi lain, dunia pertahanan akan selalu berhitung soal cost and benefit, suka atau tidak suka. Meskipun kita berbicara tentang kedaulatan, tetapi cost-nya tetap tidak bisa tak terhingga.
Sadar atau tidak, Indonesia dalam konsep pertahanan masih berpikir tentang attrition warfare. Attrition warfare itu didasarkan pada sebuah asumsi yang hopeless, sehingga berani mengambil risk untuk attrition warfare. Pemikiran itulah yang mendasari Sishankamrata di masa lalu dan Sishanta di masa kini. Tidak ada perbedaan signifikan antara Sishanta maupun Sishankamrata, meskipun sebagian pihak berargumen bahwa Sishanta adalah total defense, sedangkan Sishankamrata adalah people defense.
Sebab pola pikirnya yang mendasari keduanya pada dasarnya sama, yaitu attrition warfare. Adapun perubahan dari Sishamkamrata menjadi Sishanta sudah pasti terkait perubahan politik 1998 yang antara lain memisahkan antara TNI dengan Polisi.
Bukti pertama dari konsep attrition warfare adalah asumsi bahwa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, AL dan AU-nya sudah dianggap tidak ada alias dinegasikan sama sekali. Sehingga satu-satunya cara berperang adalah melalui attrition warfare di darat, mengandalkan perang berlarut alias protracted war. Pernahkah para pendukung attrition warfare di negeri ini menengok sejenak ke luar?
Cina yang di masa lalu juga mengandalkan pada attrition warfare lewat perang berlarut kini sudah mengubah strateginya dengan mengandalkan pada penghancuran kekuatan lawan yang masuk wilayah negeri itu (ingat, yang dimaksud wilayah bukan hanya daratan) dalam waktu sesingkat-singkatnya. Mengapa Cina mengubah strateginya? Sebab para perencana pertahanan di Negeri Mao itu lebih maju pola pikirnya daripada sebagian perencana pertahanan di Nusantara.
Para perencana pertahanan Cina sudah berhitung bahwa cost yang dibutuhkan untuk menggelar perang berlarut sangat mahal. Harap diingat cost di sini bukan saja soal anggaran, tetapi juga manusia, politik dan lain sebagainya. Meskipun secara ekonomi Beijing memiliki cadangan devisa hampir US$ 2 milyar dan populasinya di atas 1 milyar, tetapi tetap saja negara itu berpikir bahwa cost yang dibutuhkan untuk menggelar attrition warfare jauh lebih mahal. Sehingga pilihan yang realistis adalah menghancurkan kekuatan lawan dalam waktu yang singkat menggunakan teknologi pertahanan.
Sishanta di Indonesia juga berani menerima risk, yaitu sudah berpikiran bahwa musuh akan menduduki Indonesia. Pemikiran demikian dari kacamata strategi sangat berbahaya, yaitu menerima begitu saja risk tanpa berupaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risk tersebut. Artinya Sishanta disusun di atas dasar hopeless.
Para pendukung Sishanta sangat jelas juga tidak memperhatikan kondisi geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan. Dari sekitar 17.000 pulau, yang berpenghuni hanya sekitar 2.000 pulau. Lalu siapa yang akan mempertahankan 15.000 pulau lainnya? Dari sini saja sudah tercermin kesalahan besar dalam berpikir ketika merencanakan pertahanan.
Sishanta juga mengandalkan pada rakyat untuk membantu pertahanan, bahkan turut berperang dengan mengubah status menjadi kombatan. Masalahnya di laut tidak bisa menggelar gerilya ala darat. Lalu siapa yang akan mempertahankan laut kita? Dari sini terlihat bahwa sejak awal Sishanta tidak dirancang untuk mempertahankan wilayah kedaulatan di laut, padahal tanpa laut tidak ada negara Republik Indonesia.
Dari kacamata strategi kontemporer, kemungkinan negara lain menginvasi Indonesia seperti dalam strategi Sishanta maupun Sishankamrata kurang realistis. Kalaupun ada negara yang tidak suka dengan kebijakan Indonesia, unjuk kekuatan militer mereka lebih terbatas pada pengeboman sasaran-sasaran strategis dan penembakan rudal dari kapal atas air dan kapal selam mereka di sekitar perairan yurisdiksi Indonesia.
Alasan untuk menginvasi Indonesia pun kurang kuat, sebab Indonesia saat ini bukanlah seperti Irak zaman Saddam Hussein. Toh tanpa perlu menduduki Indonesia dengan kekuatan militer, negara-negara lain bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah lewat pintu diplomatik, ekonomi dan sosial budaya.
Lalu bagaimana kaitannya dengan AL? Selama Sishanta masih berasumsi menegasikan peran kekuatan laut (dan udara), sulit untuk optimis para pemimpin negeri ini akan membangun kekuatan laut Indonesia sesuai dengan yang diharapkan. Mereka akan beralasan pada keterbatasan anggaran, padahal cost yang dibutuhkan untuk membangun AL masih jauh lebih murah daripada menggelar attrition warfare.
Untuk membangun AL, negeri ini tidak perlu menumpahkan darah putra-putri bangsa seperti halnya bila ada pihak yang bersikeras untuk menggelar attrition warfare. Untuk membangun AL, negeri ini tak perlu membuat monumen-monumen baru yang berisi nama putra-putri bangsa yang gugur karena attrition warfare. Untuk membangun AL, negeri ini tak perlu takut rakyatnya akan melarat dan kelaparan, sebab hasil laut Indonesia sebenarnya bisa untuk memakmurkan penduduk negeri. Dan dengan membangun AL, negeri ini memenuhi kodratnya sebagai negeri kepulauan.
Membangun AL bisa ditentukan kapan ending-nya, dalam arti kekuatan standar yang dibutuhkan tercapai. Dengan ending yang jelas, berarti cost-nya bisa dihitung. Sementara menggelar attrition warfare kapan ending-nya sulit untuk diprediksi, sehingga cost-nya pun nyaris tak terhingga. Sedangkan di sisi lain, dunia pertahanan akan selalu berhitung soal cost and benefit, suka atau tidak suka. Meskipun kita berbicara tentang kedaulatan, tetapi cost-nya tetap tidak bisa tak terhingga.
5 komentar:
I like this writing very much.
You strike a big point here, bro.
Yes, our defence strategy ARE a hopeless strategy.
some times back in Kaskus Military Forum, bro BKusmono ever put a hypothetical scenario.. what if Java is blocaded by enemy from sea.
Blocaded by Warships only without any intention of troops landing occupation. Blocaded and Blocaded until every logistics supports line from other islands cut off. Until Java's own logistics resources dried up.
The most that enemy will do is only firing their Naval guns from sea and conducting air raids from air. That's it.
What will we do? What CAN we do with our 'sishankamrata'?
That thread discussion ended with no clue at all.. What we can do is only hope that enemy will not only blocade, that our Kopaska and Mine Warfare are good enough to repulse them from coming near our shore.
And that's it. What if they dont? We can only pray.
Best Regards
Aneh tapi nyata .. tapi itulah Indonesia .. Hehehe
Gue paling seneng ama paradigma baru Capres Sultan Hamengkubowono X yang ingin mengubah pola pikir kita dari "daratan" ke "maritim".
Kok Sipil bisa berpikir lebih progessive dibandingkan militer ya?
bahasan yg menarik dan penekanan ke AL, hal yg wajar krn kita negara maritim, dgn dana yg sedikit dapatkah AL buat bengkel riset untuk membuat senjata atau alat yg dapat menghambat lawan menyerang ALRI, selama mindset pertahanan belum di ubah AL dan AU harus bisa berinovasi sendiri ( berani mencadangkan duit untuk riset ) dan memproduksi untuk kepentingan intern ( saya salut dan respek dengan tulisan anda yg berbobot dan mengalir enak dibaca ) ttd Seeker
Bro....
Kalo perumpamaan sepak bola mungkin Sishanta diilhami oleh keberhasilan Italia menjadi juara dunia dengan teknik catenaccio atau sistem pertahanan gerendel.
Tapi kalo US, karena sering nonton NBA jadinya yang dipake "Best Defence is Good Offence" atau hancurkan musuh sebelum keluar dari sarangnya.
Just simple question? Bisakah kita berubah dari "Sistem Catenaccio" ke "Sistem Total Football" ?
Regards
Mac Gyver
Hi Allhand
Excellent perspective on attrition warfare and its synergy with TNI. As I've vaguely mentioned in my previous comments ("Penetapan Kawasan Pelibatan"), TNI seems to value this concept as part of its defence strategy posture. To embrace this idea (discreetly or not) - without an in-depth look at its own strength - is dangerous. Which is why, I agree with you, that a credible & sound threat perception is vital in formulating the best doctrine/operational parameters for TNI.
However, the so-called notion that Indonesia is susceptible to a full-scale invasion by an aggressive foreign force, IMHO, is a fallacy. A misguided faith. A future aggressor wouldn't want to pursue a continous, full-scale conventional engagement - not when a limited one could achieve the desired strategic objective.
Haven't been here for quite some time, notice you have been quite active lately :-) . Keep up the good work!
M.
Posting Komentar