All hands,
Disadari atau tidak, saat ini menurut pandangan saya, ada dilema yang dihadapi oleh AL kita. Pada satu sisi, Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah isu krusial terkait kedaulatan seperti masalah klaim batas maritim dan freedom of navigation vs sovereignity. Isu kedua dalam waktu-waktu tertentu menghangat, seperti kasus di Laut Sulawesi Februari-Maret 2005 dan di Laut Jawa (USS Carl Vinson) Juli 2003. Namun di sisi lain, ada “tuntutan” dari masyarakat internasional agar AL memberikan perhatian khusus terhadap isu penataan stabilitas kawasan.
Untuk isu yang terakhir, harus diakui tidak banyak pihak di AL yang aware dengan isu tersebut. Masalah penataan stabilitas kawasan tidak dapat dipersempit pada isu pengamanan Selat Malaka. Sebab masalah Selat Malaka hanyalah satu bagian kecil dari isu penataan stabilitas kawasan secara keseluruhan.
Isu penataan stabilitas kawasan terkait dengan sikap nasional atau sikap politik pemerintah untuk turut menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara di mana Indonesia berada. AL sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional bertugas mengimplementasikan sikap politik tersebut dalam operasi sehari-hari.
Dikaitkan dengan posisi geopolitik Indonesia, stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara terletak di perairan yurisdiksi Indonesia. Terjaminnya keamanan maritim di perairan tersebut akan menjadi barometer keamanan kawasan. Di situlah relevansi sekaligus strategisnya peran AL kita dalam penataan stabilitas.
Penataan stabilitas apabila diturunkan ke dalam peran universal Angkatan Laut akan menyentuh peran militer, konstabulari dan diplomasi. Dalam masa damai seperti saat ini, peran konstabulari dan diplomasi akan lebih menonjol daripada peran militer. Dengan catatan bahwa peran konstabulari yang dimaksud berada dalam cakupan yang luas, bukan semata operasi perlindungan perikanan seperti yang salah dipahami oleh sebagian pihak selama ini.
Peran konstabulari dalam penataan stabilitas akan terkait dengan upaya-upaya to maintain good order at sea dan maritime peacekeeping operations. Maintain good order at sea bukan suatu hal yang bisa ditawar-tawar lagi, sebab itu sudah merupakan kewajiban Indonesia. Isu tersebut mempunyai kaitan dengan laut sebagai wadah untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Sebagai contoh, Indonesia harus menjamin keamanan SLOC internasional, choke points dan ALKI yang berada di wilayahnya. Terjaminnya keamanan ketiga hal tersebut akan menjamin pula stabilitas politik dan ekonomi kawasan. Sebab dalam era globalisasi saat ini, good order at sea mutlak. Tidak terjaminnya good order at sea akan merusak atau mengganggu globalisasi, yang mana globalisasi selain menekankan pada arus informasi, juga bertumpu pada kelancaran arus barang dan jasa. Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen arus barang dalam perekonomian dunia menggunakan domain maritim.
Di situlah peran AL dalam penataan stabilitas mutlak adanya. Sebab apabila AL kita tak bisa melaksanakan kewajiban itu, maka Angkatan Laut lain yang akan melaksanakannya. Pertanyaannya, maukah kita melihat kapal perang asing berseliweran di perairan yurisdiksi Indonesia mengamankan perairan negeri ini hanya karena AL kita tak mampu?
Memang betul bahwa selama ini setiap hari ada kapal perang asing yang lewat perairan Indonesia. Akan tetapi kehadiran mereka harus dipahami berada dalam kerangka hukum internasional, yang mana Indonesia sebagai negara kepulauan harus mengakomodasi rezim lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan.
Kembali ke topik semula, AL sepertinya dihadapkan pada dilema antara penataan stabilitas vs isu-isu terkait kedaulatan seperti batas maritim dan freedom of navigation vs sovereignity. Menghadapi dilema tersebut, jalan tengah yang terbaik, menurut hemat saya, adalah mencoba menyeimbangkan antara keduanya ketika diimplementasikan dalam operasi sehari-hari. Indonesia tidak dapat mengabaikan isu kedaulatan, tetapi tak dapat pula mengelak kewajibannya sebagai warga internasional untuk turut menata stabilitas kawasan.
Disadari atau tidak, saat ini menurut pandangan saya, ada dilema yang dihadapi oleh AL kita. Pada satu sisi, Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah isu krusial terkait kedaulatan seperti masalah klaim batas maritim dan freedom of navigation vs sovereignity. Isu kedua dalam waktu-waktu tertentu menghangat, seperti kasus di Laut Sulawesi Februari-Maret 2005 dan di Laut Jawa (USS Carl Vinson) Juli 2003. Namun di sisi lain, ada “tuntutan” dari masyarakat internasional agar AL memberikan perhatian khusus terhadap isu penataan stabilitas kawasan.
Untuk isu yang terakhir, harus diakui tidak banyak pihak di AL yang aware dengan isu tersebut. Masalah penataan stabilitas kawasan tidak dapat dipersempit pada isu pengamanan Selat Malaka. Sebab masalah Selat Malaka hanyalah satu bagian kecil dari isu penataan stabilitas kawasan secara keseluruhan.
Isu penataan stabilitas kawasan terkait dengan sikap nasional atau sikap politik pemerintah untuk turut menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara di mana Indonesia berada. AL sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional bertugas mengimplementasikan sikap politik tersebut dalam operasi sehari-hari.
Dikaitkan dengan posisi geopolitik Indonesia, stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara terletak di perairan yurisdiksi Indonesia. Terjaminnya keamanan maritim di perairan tersebut akan menjadi barometer keamanan kawasan. Di situlah relevansi sekaligus strategisnya peran AL kita dalam penataan stabilitas.
Penataan stabilitas apabila diturunkan ke dalam peran universal Angkatan Laut akan menyentuh peran militer, konstabulari dan diplomasi. Dalam masa damai seperti saat ini, peran konstabulari dan diplomasi akan lebih menonjol daripada peran militer. Dengan catatan bahwa peran konstabulari yang dimaksud berada dalam cakupan yang luas, bukan semata operasi perlindungan perikanan seperti yang salah dipahami oleh sebagian pihak selama ini.
Peran konstabulari dalam penataan stabilitas akan terkait dengan upaya-upaya to maintain good order at sea dan maritime peacekeeping operations. Maintain good order at sea bukan suatu hal yang bisa ditawar-tawar lagi, sebab itu sudah merupakan kewajiban Indonesia. Isu tersebut mempunyai kaitan dengan laut sebagai wadah untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Sebagai contoh, Indonesia harus menjamin keamanan SLOC internasional, choke points dan ALKI yang berada di wilayahnya. Terjaminnya keamanan ketiga hal tersebut akan menjamin pula stabilitas politik dan ekonomi kawasan. Sebab dalam era globalisasi saat ini, good order at sea mutlak. Tidak terjaminnya good order at sea akan merusak atau mengganggu globalisasi, yang mana globalisasi selain menekankan pada arus informasi, juga bertumpu pada kelancaran arus barang dan jasa. Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen arus barang dalam perekonomian dunia menggunakan domain maritim.
Di situlah peran AL dalam penataan stabilitas mutlak adanya. Sebab apabila AL kita tak bisa melaksanakan kewajiban itu, maka Angkatan Laut lain yang akan melaksanakannya. Pertanyaannya, maukah kita melihat kapal perang asing berseliweran di perairan yurisdiksi Indonesia mengamankan perairan negeri ini hanya karena AL kita tak mampu?
Memang betul bahwa selama ini setiap hari ada kapal perang asing yang lewat perairan Indonesia. Akan tetapi kehadiran mereka harus dipahami berada dalam kerangka hukum internasional, yang mana Indonesia sebagai negara kepulauan harus mengakomodasi rezim lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan.
Kembali ke topik semula, AL sepertinya dihadapkan pada dilema antara penataan stabilitas vs isu-isu terkait kedaulatan seperti batas maritim dan freedom of navigation vs sovereignity. Menghadapi dilema tersebut, jalan tengah yang terbaik, menurut hemat saya, adalah mencoba menyeimbangkan antara keduanya ketika diimplementasikan dalam operasi sehari-hari. Indonesia tidak dapat mengabaikan isu kedaulatan, tetapi tak dapat pula mengelak kewajibannya sebagai warga internasional untuk turut menata stabilitas kawasan.
Diskursus mengenai penataan stabilitas mempunyai relevansi kuat dengan pemikiran Geoffrey Till tentang balanced fleet. Dalam balanced fleet, ada Angkatan Laut yang berstatus modern navy dan ada pula yang post-modern navy. Sebagai AL negeri yang terletak pada posisi strategis dalam percaturan keamanan kawasan, suka atau tidak suka, AL kita dituntut untuk menjadi post-modern navy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar