All hands,
Sea denial merupakan salah satu unsur penting dalam strategi maritim. Hal itu tidak dapat dibantah oleh siapa pun yang paham mengenai strategi maritim dan bagaimana melaksanakannya. Unsur untuk melaksanakan sea denial bisa berupa kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara. Bisa pula rudal anti kapal permukaan yang berpangkalan di darat.
Dari semua sarana untuk melakukan sea denial, kapal selam merupakan senjata yang paling strategis karena sifatnya yang senyap dan beroperasi di bawah permukaan air. Sebagian Angkatan Laut di dunia mengandalkan kemampuan sea denial-nya pada unsur kapal selam, sebab sadar bahwa unsur atas air lebih rentan. Misalnya Rusia, khususnya Armada Pasifik Rusia yang sejak tahun 1990-an pasca ambruknya Uni Soviet sampai hari ini masih intensif menggelar kapal selam untuk membayang-bayangi pergerakan kapal atas air U.S. Navy, khususnya kapal induk, di kawasan Samudera Pasifik. Tingkat kehadiran di laut kapal selam Rusia sangat jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kapal atas airnya.
Indonesia menghadapi tantangan dalam mengamankan kepentingan nasionalnya, termasuk pada domain maritim. Kapal atas air tidak dapat hadir di semua perairannya, disebabkan keterbatasan jumlah dan kesiapan operasional sebagai dampak dari anggaran pertahanan yang kurang berpihak kepada AL. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu solusinya adalah meniru cara yang ditempuh oleh Rusia.
Yakni mempertinggi kehadiran kapal selam di perairan-perairan strategis. Cara ini dengan sendirinya akan meningkatkan kemampuan sea denial Indonesia, khususnya pada perairan choke points seperti Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Wetar. Masalahnya adalah tidak banyak pihak yang paham soal bagaimana mengeksploitasi kekuatan laut bagi kepentingan nasional. Tidak heran bila di negeri ini sepertinya banyak pihak yang tidak rela dan ikhlas melihat AL kita mempunyai kapal selam baru.
Langkah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang di sela-sela kegiatannya sebagai salah satu pembicara dalam The 8th Shangrila Dialogue 2009 mengumumkan rencana Indonesia membeli kapal selam dalam waktu dekat merupakan suatu hal yang cerdas. Sebab hal itu selain dimaksudkan untuk transparansi, juga ditujukan agar pihak-pihak lain di kawasan Asia Pasifik tidak gerah dengan langkah Indonesia. Karena kebijakan itu ditujukan untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan, bukan untuk mengancam kepentingan aktor lain di wilayah ini.
Hanya saja pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia justru disalahpahami di dalam negeri. Seolah-olah negeri ini ingin membeli kapal selam dari Amerika Serikat. Padahal hanya beberapa negara di dunia yang memproduksi kapal selam diesel elektronik dan jenis kapal selam inilah yang diperlukan oleh AL kita. Sementara Amerika Serikat hanya membuat kapal selam nuklir dan salah satu negara yang telah dengan terus terang akan membelinya adalah Australia.
Sea denial merupakan salah satu unsur penting dalam strategi maritim. Hal itu tidak dapat dibantah oleh siapa pun yang paham mengenai strategi maritim dan bagaimana melaksanakannya. Unsur untuk melaksanakan sea denial bisa berupa kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara. Bisa pula rudal anti kapal permukaan yang berpangkalan di darat.
Dari semua sarana untuk melakukan sea denial, kapal selam merupakan senjata yang paling strategis karena sifatnya yang senyap dan beroperasi di bawah permukaan air. Sebagian Angkatan Laut di dunia mengandalkan kemampuan sea denial-nya pada unsur kapal selam, sebab sadar bahwa unsur atas air lebih rentan. Misalnya Rusia, khususnya Armada Pasifik Rusia yang sejak tahun 1990-an pasca ambruknya Uni Soviet sampai hari ini masih intensif menggelar kapal selam untuk membayang-bayangi pergerakan kapal atas air U.S. Navy, khususnya kapal induk, di kawasan Samudera Pasifik. Tingkat kehadiran di laut kapal selam Rusia sangat jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kapal atas airnya.
Indonesia menghadapi tantangan dalam mengamankan kepentingan nasionalnya, termasuk pada domain maritim. Kapal atas air tidak dapat hadir di semua perairannya, disebabkan keterbatasan jumlah dan kesiapan operasional sebagai dampak dari anggaran pertahanan yang kurang berpihak kepada AL. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu solusinya adalah meniru cara yang ditempuh oleh Rusia.
Yakni mempertinggi kehadiran kapal selam di perairan-perairan strategis. Cara ini dengan sendirinya akan meningkatkan kemampuan sea denial Indonesia, khususnya pada perairan choke points seperti Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Wetar. Masalahnya adalah tidak banyak pihak yang paham soal bagaimana mengeksploitasi kekuatan laut bagi kepentingan nasional. Tidak heran bila di negeri ini sepertinya banyak pihak yang tidak rela dan ikhlas melihat AL kita mempunyai kapal selam baru.
Langkah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang di sela-sela kegiatannya sebagai salah satu pembicara dalam The 8th Shangrila Dialogue 2009 mengumumkan rencana Indonesia membeli kapal selam dalam waktu dekat merupakan suatu hal yang cerdas. Sebab hal itu selain dimaksudkan untuk transparansi, juga ditujukan agar pihak-pihak lain di kawasan Asia Pasifik tidak gerah dengan langkah Indonesia. Karena kebijakan itu ditujukan untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan, bukan untuk mengancam kepentingan aktor lain di wilayah ini.
Hanya saja pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia justru disalahpahami di dalam negeri. Seolah-olah negeri ini ingin membeli kapal selam dari Amerika Serikat. Padahal hanya beberapa negara di dunia yang memproduksi kapal selam diesel elektronik dan jenis kapal selam inilah yang diperlukan oleh AL kita. Sementara Amerika Serikat hanya membuat kapal selam nuklir dan salah satu negara yang telah dengan terus terang akan membelinya adalah Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar