All hands,
Masalah yang menggelayuti dunia pertahanan Indonesia yang berujung pada sejumlah kecelakaan seperti kasus pesawat angkut Fokker F-27 dan L-100-30 Hercules pada dasarnya merupakan akibat dari pengabaian prinsip ekonomis. Kalau kita mau berhitung dengan jujur, berapa kerugian akibat kecelakaan-kecelakaan seperti itu. Kerugian bukan semata total lost pada sistem senjata, tetapi juga nyawa manusia. Dari korban jiwa itu, khusus untuk personel TNI berapa biaya yang telah dikeluarkan dari pos anggaran pertahanan untuk mendidik mereka dari mulai pendidikan pembentukan sampai pada saat-saat terakhir hidup mereka. Baik itu penerbang, teknisi maupun spesialisasi lainnya.
Kembali ke prinsip ekonomis, nampak jelas bahwa kebijakan pertahanan yang ditempuh adalah lebih memilih memelihara sistem senjata yang telah berumur daripada menggantinya dengan sistem senjata keluaran terakhir. Pertanyaannya adalah apakah benar biaya untuk memelihara sistem senjata yang telah berumur lebih ekonomis daripada membeli sistem senjata baru? Penulis yakin hal ini belum pernah dihitung oleh Departemen Pertahanan, apalagi oleh DPR yang memiliki hak anggaran.
Setiap sistem senjata mempunyai life cycle cost. Menurut pengalaman negara-negara Barat selama ini, usia ekonomis sistem senjata buatan mereka adalah 25 tahun.
Maksudnya, sampai usia tersebut sebuah sistem senjata pengoperasian dan pemeliharaannya tidak akan menggerogoti anggaran pemakai, Secara ekonomis sampai dengan umur itu suatu sistem senjata masih menguntungkan untuk digunakan. Mengapa demikian? Karena sistem senjata tersebut memang dirancang untuk masa pemakaian 25 tahun.
Di Indonesia masalah life cycle cost banyak tidak dipahami oleh para pengambil keputusan di bidang pertahanan. Tidak heran bila lahir program MLU, retrofit dan lain sebagainya. Program itu di negara-negara Barat memang ada, tapi ditempuh ketika usia operasional suatu alutsista mencapai sekitar 12 tahun dari 25 tahun ekspektasinya. Karena pemahaman yang tidak tepat, program serupa di Indonesia mayoritas dilaksanakan ketika suatu sistem senjata sudah mencapai 25 tahun operasional, bahkan lebih.
Soal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada matra Angkatan sebagai operator sistem senjata. Sebab kebijakan demikian ditempuh karena dari tataran yang lebih atas lebih suka memilih memelihara sistem senjata yang life cycle cost-nya sudah lewat daripada menggantinya dengan sistem senjata keluaran terakhir. Padahal kalau dihitung dengan cermat, biaya pengadaan sistem senjata termutakhir tidak akan jauh berbeda dengan biaya pemeliharaan sistem senjata lama yang telah melewati masa 25 tahun.
Program MLU, reftofit dan sejenisnya memang bisa memperpanjang usia pakai menjadi 10-15 tahun ke depan. Namun tidak ada jaminan bahwa pemerintah dalam 10-15 tahun ke depan akan bermurah hati dan dengan penuh kesadaran membelikan sistem senjata baru. Selama ini komitmen nyata pemerintah dalam bidang pertahanan patut untuk dipertanyakan. Masalah utamanya bukan pada anggaran, tetapi pada the will pemerintah. No guts no glory.
Masalah yang menggelayuti dunia pertahanan Indonesia yang berujung pada sejumlah kecelakaan seperti kasus pesawat angkut Fokker F-27 dan L-100-30 Hercules pada dasarnya merupakan akibat dari pengabaian prinsip ekonomis. Kalau kita mau berhitung dengan jujur, berapa kerugian akibat kecelakaan-kecelakaan seperti itu. Kerugian bukan semata total lost pada sistem senjata, tetapi juga nyawa manusia. Dari korban jiwa itu, khusus untuk personel TNI berapa biaya yang telah dikeluarkan dari pos anggaran pertahanan untuk mendidik mereka dari mulai pendidikan pembentukan sampai pada saat-saat terakhir hidup mereka. Baik itu penerbang, teknisi maupun spesialisasi lainnya.
Kembali ke prinsip ekonomis, nampak jelas bahwa kebijakan pertahanan yang ditempuh adalah lebih memilih memelihara sistem senjata yang telah berumur daripada menggantinya dengan sistem senjata keluaran terakhir. Pertanyaannya adalah apakah benar biaya untuk memelihara sistem senjata yang telah berumur lebih ekonomis daripada membeli sistem senjata baru? Penulis yakin hal ini belum pernah dihitung oleh Departemen Pertahanan, apalagi oleh DPR yang memiliki hak anggaran.
Setiap sistem senjata mempunyai life cycle cost. Menurut pengalaman negara-negara Barat selama ini, usia ekonomis sistem senjata buatan mereka adalah 25 tahun.
Maksudnya, sampai usia tersebut sebuah sistem senjata pengoperasian dan pemeliharaannya tidak akan menggerogoti anggaran pemakai, Secara ekonomis sampai dengan umur itu suatu sistem senjata masih menguntungkan untuk digunakan. Mengapa demikian? Karena sistem senjata tersebut memang dirancang untuk masa pemakaian 25 tahun.
Di Indonesia masalah life cycle cost banyak tidak dipahami oleh para pengambil keputusan di bidang pertahanan. Tidak heran bila lahir program MLU, retrofit dan lain sebagainya. Program itu di negara-negara Barat memang ada, tapi ditempuh ketika usia operasional suatu alutsista mencapai sekitar 12 tahun dari 25 tahun ekspektasinya. Karena pemahaman yang tidak tepat, program serupa di Indonesia mayoritas dilaksanakan ketika suatu sistem senjata sudah mencapai 25 tahun operasional, bahkan lebih.
Soal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada matra Angkatan sebagai operator sistem senjata. Sebab kebijakan demikian ditempuh karena dari tataran yang lebih atas lebih suka memilih memelihara sistem senjata yang life cycle cost-nya sudah lewat daripada menggantinya dengan sistem senjata keluaran terakhir. Padahal kalau dihitung dengan cermat, biaya pengadaan sistem senjata termutakhir tidak akan jauh berbeda dengan biaya pemeliharaan sistem senjata lama yang telah melewati masa 25 tahun.
Program MLU, reftofit dan sejenisnya memang bisa memperpanjang usia pakai menjadi 10-15 tahun ke depan. Namun tidak ada jaminan bahwa pemerintah dalam 10-15 tahun ke depan akan bermurah hati dan dengan penuh kesadaran membelikan sistem senjata baru. Selama ini komitmen nyata pemerintah dalam bidang pertahanan patut untuk dipertanyakan. Masalah utamanya bukan pada anggaran, tetapi pada the will pemerintah. No guts no glory.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar