All hands,
Dalam ilmu tentang perencanaan kekuatan, tidak dikenal adanya kebijakan pertahanan berbasis reaksi. Namun hal itu dipraktekkan di Indonesia, seperti terlihat dengan jelas pasca kecelakaan pesawat angkut AU. Setelah kecelakaan itu dan dikritik kiri kanan oleh berbagai pihak, pengambil kebijakan pertahanan memutuskan bahwa untuk TA 2010 alokasi anggaran pertahanan ditambah Rp.6 trilyun. Sehingga tidak berlebihan bila ada kesan kebijakan itu diambil berdasarkan reaksi atas kritikan terhadap dukungan anggaran pertahanan. Bahkan sebagian pihak berandai-andai jika kecelakaan pesawat angkut AU itu tidak terjadi, maka tambahan Rp. 6 trilyun tidak akan pernah ada.
Sekarang muncul pertanyaan, sampai kapan dunia pertahanan Indonesia dijalankan dengan manajemen demikian? Apakah perlu menunggu 5-10 kali kecelakaan lagi untuk memenuhi kebutuhan anggaran minimum? Tentu sebagai manusia yang berakal sehat dan berhati nurani kita tidak menginginkan hal demikian.
Kecelakaan ini hendaknya menjadi pelajaran bahwa pemotongan anggaran pertahanan selama dua tahun anggaran terakhir berdampak negatif terhadap kesiapan TNI. Sebab tanpa pemotongan anggaran pun TNI sudah cukup kesulitan memenuhi kebutuhannya. Apalagi saat anggaran dipotong yang mau tidak mau rentetannya sangat panjang. Misalnya menurunnya tingkat kehadiran di laut yang berakibat pada makin tidak terawasinya wilayah perairan yurisdiksi.
Selain itu, saat ini berkembang kesan yang belum tentu benar pada beberapa pihak di masyarakat bahwa kebijakan minimum essential force sebenarnya adalah mempertahankan alutsista lama melalui program MLM, retrofit dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kebijakan itu menurut pendapat pihak-pihak itu adalah menunda modernisasi kekuatan TNI dalam jangka waktu yang panjang. Sebab minimum essential force berlaku setidaknya hingga 2029.
Artinya hingga 2029 tidak ada perbedaan wajah alutsista dengan yang ada kini. Alutsista yang kini diawaki oleh seorang perwira pada 2029 mungkin akan diawaki oleh anak sang perwira itu. Itulah kesan yang berkembang di luar sana.
Meskipun sepanjang pemahaman saya kebijakan minimum essential force tidak seperti yang dikesankan oleh sebagian pihak, namun sulit untuk menepis kesan yang keliru itu bila kebijakan pertahanan hingga lima tahun ke depan masih tidak berbeda dengan saat ini. Antara lain menyangkut modernisasi sistem senjata. Walaupun modernisasi sistem senjata sudah ada dalam Renstra, tetapi yang lebih disukai dan ditunggu adalah realisasinya ke alam nyata.
Dalam ilmu tentang perencanaan kekuatan, tidak dikenal adanya kebijakan pertahanan berbasis reaksi. Namun hal itu dipraktekkan di Indonesia, seperti terlihat dengan jelas pasca kecelakaan pesawat angkut AU. Setelah kecelakaan itu dan dikritik kiri kanan oleh berbagai pihak, pengambil kebijakan pertahanan memutuskan bahwa untuk TA 2010 alokasi anggaran pertahanan ditambah Rp.6 trilyun. Sehingga tidak berlebihan bila ada kesan kebijakan itu diambil berdasarkan reaksi atas kritikan terhadap dukungan anggaran pertahanan. Bahkan sebagian pihak berandai-andai jika kecelakaan pesawat angkut AU itu tidak terjadi, maka tambahan Rp. 6 trilyun tidak akan pernah ada.
Sekarang muncul pertanyaan, sampai kapan dunia pertahanan Indonesia dijalankan dengan manajemen demikian? Apakah perlu menunggu 5-10 kali kecelakaan lagi untuk memenuhi kebutuhan anggaran minimum? Tentu sebagai manusia yang berakal sehat dan berhati nurani kita tidak menginginkan hal demikian.
Kecelakaan ini hendaknya menjadi pelajaran bahwa pemotongan anggaran pertahanan selama dua tahun anggaran terakhir berdampak negatif terhadap kesiapan TNI. Sebab tanpa pemotongan anggaran pun TNI sudah cukup kesulitan memenuhi kebutuhannya. Apalagi saat anggaran dipotong yang mau tidak mau rentetannya sangat panjang. Misalnya menurunnya tingkat kehadiran di laut yang berakibat pada makin tidak terawasinya wilayah perairan yurisdiksi.
Selain itu, saat ini berkembang kesan yang belum tentu benar pada beberapa pihak di masyarakat bahwa kebijakan minimum essential force sebenarnya adalah mempertahankan alutsista lama melalui program MLM, retrofit dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kebijakan itu menurut pendapat pihak-pihak itu adalah menunda modernisasi kekuatan TNI dalam jangka waktu yang panjang. Sebab minimum essential force berlaku setidaknya hingga 2029.
Artinya hingga 2029 tidak ada perbedaan wajah alutsista dengan yang ada kini. Alutsista yang kini diawaki oleh seorang perwira pada 2029 mungkin akan diawaki oleh anak sang perwira itu. Itulah kesan yang berkembang di luar sana.
Meskipun sepanjang pemahaman saya kebijakan minimum essential force tidak seperti yang dikesankan oleh sebagian pihak, namun sulit untuk menepis kesan yang keliru itu bila kebijakan pertahanan hingga lima tahun ke depan masih tidak berbeda dengan saat ini. Antara lain menyangkut modernisasi sistem senjata. Walaupun modernisasi sistem senjata sudah ada dalam Renstra, tetapi yang lebih disukai dan ditunggu adalah realisasinya ke alam nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar