All hands,
Indonesia masih mempunyai masalah dengan kemampuan maritime surveillance. Masalah fundamentalnya bukan pada keterbatasan sarana, tetapi pada integrasi kemampuan di antara aktor-aktor terkait alias interoperability. Seperti diketahui, selain AL ada pula AU yang mempunyai aset dan sekaligus melaksanakan patroli maritim.
Namun tidak ada interoperability di antara keduanya, sebab AU merasa bahwa patroli maritim adalah domainnya dan tidak mau berada di bawah kodal AL. Padahal di manapun di dunia, yang disebut patroli maritim senantiasa berada di bawah kodal AL. Apa akibat dari ego sektoral tersebut?
Patroli maritim AU hanya menghabiskan cost, tetapi aksi lanjut alias penindakan hasil pantauannya nyaris ada. Sebab seringkali di sektor patroli maritim AU tidak ada unsur kapal perang AL. Mulai dari perencanaan operasi, tidak ada koordinasi AU dengan AL, dalam hal ini Armada. Dari situ bukan hal berlebihan bila menyebut patroli maritim AU cuma menghabiskan cost, tetapi benefit-nya nyaris tidak ada.
Selain masalah perencanaan operasi, juga panjangnya jalur birokrasi pelaporan hasil pantauan patroli maritim AU. Berbeda dengan pesawat patroli maritim AL yang mempunyai jalur komunikasi langsung ke unsur kapal perang terdekat, pesawat patroli maritim AU tidak mempunyai jalur komunikasi tersebut. Tidak heran bila hasil pantauan patroli maritim AU sulit untuk diaksi lanjut oleh kapal perang AL, sebab ada ketertinggalan ruang dan waktu.
Bertolak dari situ, integrasi kemampuan maritime surveillance AL dan AU seharusnya dilaksanakan dari sekarang. Hal itu bisa terjadi apabila ada ketulusan dari AU untuk mengakui bahwa domain maritim, termasuk aspek patroli udaranya, merupakan domain AL. Ketulusan sangat penting, karena lebih kuat daripada sekedar surat perintah dari komando atas. Surat perintah bisa saja atau bahkan harus dilaksanakan, tetapi apakah dilaksanakan dengan tulus atau tidak itu yang menjadi pertanyaan. Tulus dan tidak akan menentukan hasil dari pelaksanaan perintah tersebut.
Indonesia masih mempunyai masalah dengan kemampuan maritime surveillance. Masalah fundamentalnya bukan pada keterbatasan sarana, tetapi pada integrasi kemampuan di antara aktor-aktor terkait alias interoperability. Seperti diketahui, selain AL ada pula AU yang mempunyai aset dan sekaligus melaksanakan patroli maritim.
Namun tidak ada interoperability di antara keduanya, sebab AU merasa bahwa patroli maritim adalah domainnya dan tidak mau berada di bawah kodal AL. Padahal di manapun di dunia, yang disebut patroli maritim senantiasa berada di bawah kodal AL. Apa akibat dari ego sektoral tersebut?
Patroli maritim AU hanya menghabiskan cost, tetapi aksi lanjut alias penindakan hasil pantauannya nyaris ada. Sebab seringkali di sektor patroli maritim AU tidak ada unsur kapal perang AL. Mulai dari perencanaan operasi, tidak ada koordinasi AU dengan AL, dalam hal ini Armada. Dari situ bukan hal berlebihan bila menyebut patroli maritim AU cuma menghabiskan cost, tetapi benefit-nya nyaris tidak ada.
Selain masalah perencanaan operasi, juga panjangnya jalur birokrasi pelaporan hasil pantauan patroli maritim AU. Berbeda dengan pesawat patroli maritim AL yang mempunyai jalur komunikasi langsung ke unsur kapal perang terdekat, pesawat patroli maritim AU tidak mempunyai jalur komunikasi tersebut. Tidak heran bila hasil pantauan patroli maritim AU sulit untuk diaksi lanjut oleh kapal perang AL, sebab ada ketertinggalan ruang dan waktu.
Bertolak dari situ, integrasi kemampuan maritime surveillance AL dan AU seharusnya dilaksanakan dari sekarang. Hal itu bisa terjadi apabila ada ketulusan dari AU untuk mengakui bahwa domain maritim, termasuk aspek patroli udaranya, merupakan domain AL. Ketulusan sangat penting, karena lebih kuat daripada sekedar surat perintah dari komando atas. Surat perintah bisa saja atau bahkan harus dilaksanakan, tetapi apakah dilaksanakan dengan tulus atau tidak itu yang menjadi pertanyaan. Tulus dan tidak akan menentukan hasil dari pelaksanaan perintah tersebut.
1 komentar:
Kemampuan dalam Network centric warfare akan sangat menentukan kemenangan dalam pertempuran modern.
Maritime Surveillance hanyalah salah satu bagian dari Military Surveillance. Aspek Surveillance hanyalah salah satu elemen C4ISTAR yang mesti terintegrasi dalam network centric warfare.
TNI-AL dan TNI-AU mesti segera duduk satu meja untuk merembuk dan mengimplementasikan konsep pengawasan laut nasional yang terintegrasi.
Adanya kemampuan pengawasan laut nasional yang terintegrasi secara secara langsung diantaranya juga meningkatkan kemampuan OTHT TNI-AL yang masih lemah.
Buat apa beli Yakhont dan Brahmos tanpa bisa memanfaatkan keunggulan rudal tsb (jarak jangkuan jauh selain kecepatan supersonic).
Bro Allhands dari TNI-AL telah melempar bola, tinggal respon dari rekan TNI-AU dan terutama petinggi TNI untuk menyambut bola tsb.
regards,
rafaleyyy
Posting Komentar