All hands,
Thailand telah menjadi sekutu penting Amerika Serikat di luar NATO sejak masa Perang Dingin. Negeri seribu pagoda itu menjadi tuan rumah bagi gelar kekuatan militer Uwak Sam ketika Perang Vietnam berkecamuk. Namun setelah perang itu berakhir, militer Amerika Serikat segera mengundurkan diri dan Thailand seolah-olah dilupakan oleh para pejabat di Washington. Dalam kondisi seperti itu, Bangkok dengan cerdas merapatkan hubungan dengan Beijing, terlebih ketika itu Bangkok tengah menjadi tuan rumah bagi pasukan perlawanan Kamboja yang berjuang memerangi Vietnam yang menginvasi Kamboja pada 1978 dan mendirikan pemerintahan boneka di Phnom Penh.
Pada perkembangan terbaru, pada Oktober 2010 Bangkok mengirimkan dua kapal perangnya untuk berpartisipasi dalam CTF-151 di bawah pimpinan Washington. Pengiriman dua kapal perang tersebut konon kabarnya tidak lepas dari tekanan kuat Washington. Bangkok tampaknya tidak berkutik, sehingga mengikuti jejak Singapura yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam CTF-151.
Meskipun begitu, ada hal yang kurang terekspos kepada publik internasional. Apa itu? Kemauan Bangkok menuruti instruksi Washington diikuti dengan manuver Thailand kepada Amerika Serikat agar memenuhi pula kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya dalam soal kerjasama militer, begitu pula agar Washington tidak ribut dengan peran politik militer Thailand di dalam percaturan Negeri Gajah Putih. Singkatnya, ada cost and benefit yang senantiasa dinikmati oleh Thailand dalam hubungannya dengan Amerika Serikat.
Cost and benefit itu yang tak ada dalam pola pikir dan pola tindak Jakarta selama ini menghadapi hegemoni Washington.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar