All hands,
Beberapa waktu lalu, seorang rekan yang sehari-harinya tidak bergelut di domain AL mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya. Pertanyaannya sederhana, yaitu “jadi nggak sih Indonesia beli kapal selam?”. Pertanyaan itu bagi saya seolah mewakili pertanyaan kalangan lainnya di luar domain kita menyangkut “keseriusan” pengadaan kapal selam.
Wajar bila mereka mempertanyakan, karena sejak 2005 telah muncul wacana pengadaan kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Wacana itu semakin menguat ketika pada September 2006 Presiden Indonesia dan Presiden Rusia menandatangani kesepakatan kerjasama di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya kredit negara sebesar US$ 1 milyar bagi pengadaan sejumlah alutsista dari Rusia untuk Indonesia. Termasuk pula di dalamnya beberapa kapal selam kelas Kilo.
Namun realisasi kesepakatan itu tidak gampang. Selain adanya persoalan teknis keuangan menyangkut pencairan kredit antara Departemen Keuangan kedua negara, tekanan politik dari Washington juga cukup kuat. Terjadinya pergantian pimpinan AL pada November 2007 secara tidak langsung turut membuat rencana pengadaan kelas Kilo meredup. Dan muncul wacana pengadaan kapal selam kelas Chang Bogo asal Korea Selatan, yang merupakan lisensi dari kelas U-209.
Munculnya Chang Bogo sebenarnya tidak mengejutkan, karena pernah muncul di era 2003-2004. Tentu ada kalkulasi politik mengapa Chang Bogo dimunculkan kembali, karena pasar senjata dunia tidak bisa dilepaskan dari pertarungan kepentingan negara-negara besar. Sementara Indonesia posisinya terjepit, meskipun sangat bangga dengan politik bebas aktifnya.
Sehingga menjadi pertanyaan, politik bebas aktif itu diabdikan untuk siapa? Untuk kepentingan dan prestise segelintir diplomat di Pejambon atau untuk kepentingan nasional, termasuk di dalamnya kepentingan pertahanan?
So…masalah tarik ulur pengadaan kapal selam lebih disebabkan oleh faktor politik daripada urusan pendanaan. Kalau soal dana, anggaran…itu gampang. Anggaran bisa diciptakan kok!!! Tapi kalau sudah menyentuh urusan politik, repot!!! Maklum, kita bukan bangsa berdikari lagi.
Sudah tak berdikari, masih pula bangga dengan bebas aktif. Bebas dan aktif itu harus ditunjang oleh berdikari. Kalau tidak, yang bebas dan aktif itu para diplomat Pejambon…pesiar keliling dunia habiskan APBN…tapi hasilnya buat kepentingan nasional nggak jelas!!!
Meskipun saya bukan termasuk kelompok bebas dan aktif pesiar keliling dunia habiskan APBN, tapi setidaknya saya sangat paham bahwa dalam pengadaan alutsista, ada banyak faktor yang mempengaruhi. Liotta dan Lloyd bilang bahwa masalah bangkuat terkait dengan (i) teknologi, (ii) sekutu, (iii) negara sahabat, (iv) lembaga internasional dan (v) aktor-aktor non negara.
Pertanyaannya, punyakah kita teknologi alutsista? Teknologi yang dimaksud adalah teknologi tinggi, bukan teknologi buat SS-1, SS-2 atau mortir. Kalau nggak punya, kita harus minta tolong siapa? Adakah sekutu kita? Negara mana yang dikategorikan sekutu oleh Indonesia? Atau Indonesia sekutu negara mana? Mana pula negara kawan Indonesia? Apakah negara yang membajak lagu-lagu tradisional Indonesia itu negara kawan? Apakah negara yang melindungi koruptor Indonesia itu negara kawan?
Kalau kita tak punya sekutu maupun kawan, lalu bagaimana? Terus politik bebas aktif itu sebenarnya diabdikan untuk siapa selama ini? Apa gunanya politik itu kalau tak bisa bantu pembangunan kekuatan kita, termasuk AL? Apakah kita akan terus begini demi prestise segelintir kalangan yang kerjanya cuma pesiar keliling dunia habiskan APBN? Ingat, eksistensi kita di laut parameternya adalah naval presence.
Beberapa waktu lalu, seorang rekan yang sehari-harinya tidak bergelut di domain AL mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya. Pertanyaannya sederhana, yaitu “jadi nggak sih Indonesia beli kapal selam?”. Pertanyaan itu bagi saya seolah mewakili pertanyaan kalangan lainnya di luar domain kita menyangkut “keseriusan” pengadaan kapal selam.
Wajar bila mereka mempertanyakan, karena sejak 2005 telah muncul wacana pengadaan kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Wacana itu semakin menguat ketika pada September 2006 Presiden Indonesia dan Presiden Rusia menandatangani kesepakatan kerjasama di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya kredit negara sebesar US$ 1 milyar bagi pengadaan sejumlah alutsista dari Rusia untuk Indonesia. Termasuk pula di dalamnya beberapa kapal selam kelas Kilo.
Namun realisasi kesepakatan itu tidak gampang. Selain adanya persoalan teknis keuangan menyangkut pencairan kredit antara Departemen Keuangan kedua negara, tekanan politik dari Washington juga cukup kuat. Terjadinya pergantian pimpinan AL pada November 2007 secara tidak langsung turut membuat rencana pengadaan kelas Kilo meredup. Dan muncul wacana pengadaan kapal selam kelas Chang Bogo asal Korea Selatan, yang merupakan lisensi dari kelas U-209.
Munculnya Chang Bogo sebenarnya tidak mengejutkan, karena pernah muncul di era 2003-2004. Tentu ada kalkulasi politik mengapa Chang Bogo dimunculkan kembali, karena pasar senjata dunia tidak bisa dilepaskan dari pertarungan kepentingan negara-negara besar. Sementara Indonesia posisinya terjepit, meskipun sangat bangga dengan politik bebas aktifnya.
Sehingga menjadi pertanyaan, politik bebas aktif itu diabdikan untuk siapa? Untuk kepentingan dan prestise segelintir diplomat di Pejambon atau untuk kepentingan nasional, termasuk di dalamnya kepentingan pertahanan?
So…masalah tarik ulur pengadaan kapal selam lebih disebabkan oleh faktor politik daripada urusan pendanaan. Kalau soal dana, anggaran…itu gampang. Anggaran bisa diciptakan kok!!! Tapi kalau sudah menyentuh urusan politik, repot!!! Maklum, kita bukan bangsa berdikari lagi.
Sudah tak berdikari, masih pula bangga dengan bebas aktif. Bebas dan aktif itu harus ditunjang oleh berdikari. Kalau tidak, yang bebas dan aktif itu para diplomat Pejambon…pesiar keliling dunia habiskan APBN…tapi hasilnya buat kepentingan nasional nggak jelas!!!
Meskipun saya bukan termasuk kelompok bebas dan aktif pesiar keliling dunia habiskan APBN, tapi setidaknya saya sangat paham bahwa dalam pengadaan alutsista, ada banyak faktor yang mempengaruhi. Liotta dan Lloyd bilang bahwa masalah bangkuat terkait dengan (i) teknologi, (ii) sekutu, (iii) negara sahabat, (iv) lembaga internasional dan (v) aktor-aktor non negara.
Pertanyaannya, punyakah kita teknologi alutsista? Teknologi yang dimaksud adalah teknologi tinggi, bukan teknologi buat SS-1, SS-2 atau mortir. Kalau nggak punya, kita harus minta tolong siapa? Adakah sekutu kita? Negara mana yang dikategorikan sekutu oleh Indonesia? Atau Indonesia sekutu negara mana? Mana pula negara kawan Indonesia? Apakah negara yang membajak lagu-lagu tradisional Indonesia itu negara kawan? Apakah negara yang melindungi koruptor Indonesia itu negara kawan?
Kalau kita tak punya sekutu maupun kawan, lalu bagaimana? Terus politik bebas aktif itu sebenarnya diabdikan untuk siapa selama ini? Apa gunanya politik itu kalau tak bisa bantu pembangunan kekuatan kita, termasuk AL? Apakah kita akan terus begini demi prestise segelintir kalangan yang kerjanya cuma pesiar keliling dunia habiskan APBN? Ingat, eksistensi kita di laut parameternya adalah naval presence.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar