19 Mei 2008

Kowilhan/Kowilgab/Kodahan: Mau Kemana?

All hands,
Seorang kawan belum lama ini pernah bertanya sama saya, tentang sejauh mana pembahasan konsep Kodahan? Saya cuma bisa jawab, saya kurang tahu. Terus saya balik bertanya, istilah yang dipakai itu Kodahan atau Kowilhan? Saya bertanya begitu karena ada kawan lainnya yang bilang istilahnya adalah Kowilgab.
Okelah, masalah nama tak usah terlalu diperdebatkan. Yang penting bagaimana substansinya. Yang pasti entah itu Kowilhan, Kodahan atau Kowilgab, organisasi itu merupakan regional combatant command. Regional combatant commander itu terminologi yang dipakai oleh Amerika Serikat untuk menyebut operational theater alias mandala operasi mereka.
Kalau kita berdiskusi mengenai suatu organisasi, orang bijak mengajarkan bahwa pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah apa tujuan (objective) dari organisasi itu. Dalam konteks Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, apa tujuan politiknya (political objective) dan apa tujuan militernya (military objective).
Secara teoritis, tujuan politik pembentukan Kowilgab/Kodahan/Kowilhan akan terkait dengan arsitektur pertahanan Nusantara untuk menghadapi spektrum tantangan yang kian kompleks. Sedangkan tujuan militernya adalah menyiapkan pengorganisasian satuan tempur matra Angkatan di beberapa mandala yang berbeda.
Dua tujuan tadi adalah tinjauan secara teoritis. Bagaimana praktisnya, kita harus melihat dokumen yang diterbitkan oleh Departemen Pertahan dan Mabes TNI. Pertanyaannya, sudah adakah dokumen-dokumen itu? Saya khawatir dokumen itu kalaupun ada, kerangka dasar pemikirannya masih menggunakan bingkai Perang Dingin yang sudah tidak relevan dengan masa kini.
Berikutnya, entah itu Kowilgab/Kodahan/Kowilhan pasti sentuh soal soal authority, chain of command, command and control, area of responsibility, geographical consideration, strategic context, interoperability ketiga matra TNI dan potensi pertahanan lainnya, battlespace situation dan sensing-mobility-fire power-C4ISR.
Komando dalam konteks Kowilgab/Kodahan/Kowilhan pasti terkait dengan konstruksi manajemen dan strategi pertahanan. Sebab secara garis besar, eksistensi organisasi itu terkait dengan kebijakan pertahanan yang diatur oleh pemerintah (dhi Menteri Pertahanan). Menteri Pertahanan, sesuai dengan Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, mempunyai kewenangan untuk mengatur arsitektur pertahanan.
Saat ini Indonesia telah mempunyai strategi pertahanan, lepas dari setuju atau tidak setuju dengan isu dokumennya. Dengan adanya strategi pertahanan, maka strategi pertahanan yang dirumuskan oleh Mabes TNI lebih merupakan strategi TNI yang tidak dapat mengikat pihak lain di luar TNI. Sebab strategi pertahanan adalah kewenangan Departemen Pertahanan.
Dikaitkan dengan Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, di mana nantinya letak organisasi itu dalam konteks strategi pertahanan? Strategi pertahanan yang dimaksud adalah yang mengikat dan melibatkan segenap komponen pertahanan, bukan TNI saja. Dalam konstruksi manajemen dan strategi pertahanan yang sudah baku di negara-negara lain, eksistensi organisasi serupa Kowilgab/Kodahan/Kowilhan diatur oleh Menteri Pertahanan, bukan oleh Panglima Angkatan Bersenjata atau Ketua Kepala Staf Gabungan. Kalau nantinya organisasi mandala operasi ada di bawah Mabes TNI, hal itu sebenarnya tidak tepat karena bukan kewenangan Panglima TNI untuk mengatur semua urusan pertahanan.
Karena Pangkowilgab/kodahan/kodahan adalah tangan kanan Menteri Pertahanan dalam bidang operasional, di mana Pangkowilhan tidak dapat mengerahkan dan menggunakan kekuatannya tanpa arahan dari Menteri Pertahanan. Deployment dan employment kekuatan militer harus berdasarkan kebijakan politik pemerintah, bukan otoritas Panglima militer sendiri.
Saat ini manajemen pertahanan kita belum tertata sebagaimana mestinya, di mana terkesan bahwa kebijakan operasional (TNI) seolah-olah terlepas atau terpisah dari kebijakan politik pemerintah. Hal ini dicerminkan oleh hubungan antara Menteri Pertahanan-Panglima TNI. Menteri Pertahanan sebagai pembantu Presiden di bidang pertahanan memiliki tugas membuat kebijakan pertahanan (termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan) dan kekuatan yang dibangun selanjutnya akan digunakan oleh Panglima TNI.
Namun penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh Panglima TNI tidak dipertanggungjawabkan kepada Menteri Pertahanan, melainkan langsung kepada Presiden. Di sinilah anomalinya, sehingga sangat beralasan untuk menyimpulkan bahwa kebijakan operasional (TNI) seolah-olah terlepas atau terpisah dari kebijakan politik pemerintah.
Pola demikian kalau ditinjau dari perspektif manajemen sudah pasti keliru, karena secara politik Menteri Pertahanan adalah pembantu tunggal Presiden di bidang pertahanan dan semestinya Panglima TNI bertanggungjawab kepada Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan adalah pejabat yang diangkat secara politik (political appointee), berbeda dengan jabatan Panglima TNI yang merupakan jabatan karir (walaupun ada salah kaprah harus fit and proper test di DPR).
Kalau nantinya Mabes TNI secara sepihak membentuk Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dan menempatkannya di bawah komandonya, susah untuk tidak mengatakan bahwa Mabes TNI telah mengambil alih kewenangan dan fungsi Departemen Pertahanan. Garis Komando Kowilgab/Kodahan/Kowilhan tidak dapat begitu saja dipisahkan dari kebijakan politik pemerintah, karena masalah pertahanan bukan wewenang prerogatif Mabes TNI. Meskipun TNI adalah komponen utama pertahanan, tetapi juga harus disadari bahwa TNI hanya satu dari dari sekian unsur dalam masalah pertahanan.
Perlu kita sadari pula bahwa kewenangan Mabes TNI dalam isu Kowilgab/Kodahan/ Kowilhan hanyalah sebatas mengusulkan pembentukan Kowilhan kepada Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan yang akan memutuskan apakah akan membentuk Kowilhan atau tidak, berdasarkan berbagai pertimbangan. Apabila mengikuti tataran kewenangan dalam pertahanan, maka Kowilhan harus berada di bawah Menteri Pertahanan selaku otoritas politik di bidang pertahanan.
Berikutnya soal pertimbangan yang melatarbelakangi pembagian area of responsibility. Apa yang menjadi driving factor dalam pembagian area of responsibility? Apakah berdasarkan realita geografis di lapangan, pertimbangan lingkungan strategis ataukah berdasarkan “aspirasi politis”?
Secara geografis, Indonesia terbagi atas empat kompartemen strategis yang didasarkan pada pembagian ALKI Utara-Selatan. Dari empat kompartemen strategis tersebut, ada kompartemen strategis yang merupakan perpaduan antara wilayah daratan dan perairan, ada pula kompartemen strategis yang didominasi oleh wilayah perairan. Dari semua kompartemen strategis, setidaknya ada satu kesamaan yaitu berbatasan langsung dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Ditinjau dari perkembangan lingkungan strategis, ada kompartemen strategis yang berhadapan langsung dengan kekuatan-kekuatan regional, ada pula kompartemen strategis yang berinteraksi langsung dengan kekuatan adidaya. Soal isu keamanan yang dihadapi, ada kompartemen strategis yang menghadapi mulai dari isu kejahatan di laut, perbatasan hingga isu militer konvensional, namun terdapat juga kompartemen strategis yang (hanya) menghadapi isu perbatasan dan isu militer konvensional.
Dengan mengacu pada pertimbangan konfigurasi geografis dan perkembangan lingkungan strategis, strategi pertahanan yang akan diterapkan pada masing-masing Kowilhan akan berbeda. Perbedaan strategi itu pada tingkat operasional akan memunculkan peran suatu matra TNI yang lebih besar dibandingkan matra lainnya pada masing-masing Kowilhan yang berbeda.
Pertanyaannya, seberapa besar kondisi obyektif itu mendapat porsi dalam pembagian area of responsibility? Ataukah pertimbangan kondisi obyektif akan diskenariokan sedemikian rupa sehingga yang mengedepan adalah “pertimbangan subyektif”? Apabila berpikir dalam kerangka kepentingan nasional, pertimbangan obyektif harus lebih mewarnai dalam pembagian area of responsibility.
Kemudian soal hubungan Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dengan Mabes TNI. Kalau nantinya Mabes TNI akan membawahi Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, berarti organisasi itu merupakan Kotama Ops Mabes TNI. Kalau hal itu terjadi, sepertinya tak terhindarkan terjadinya duplikasi dengan unsur-unsur Kotama Ops yang sudah eksis saat ini seperti Kodam, Komando Armada Kawasan dan Koopsau. Duplikasi terjadi pada area of responsibility dan chain of command yang berdampak pada penyiapan dukungan logistik.
Padahal Kodam, Komando Armada Kawasan dan Koopsau statusnya juga Kotama Ops. Dari sini tercermin bahwa ada duplikasi antar Kotama Ops dengan dibentuknya Kowilgab/Kodahan/Kowilhan, di mana satu Kotama Ops membawahi Kotama Ops lainnya. Duplikasi akan terhindari apabila Kowilgab/Kodahan/Kowilhan berfungsi sebagai Kotama Ops Departemen Pertahanan dan bukan sebagai Kotama Ops Mabes TNI.
Apabila Kowilgab/Kodahan/Kowilhan dipaksakan eksistensinya di bawah Mabes TNI, ada beberapa kemungkinan arsitektur pengorganisasian Kotama Ops TNI, yaitu (i) duplikasi seperti telah disebutkan sebelumnya, atau (ii) Kotama Ops yang ada saat ini harus direorganisasi atau dilikuidasi.
Masalah berikutnya dalam pengorganisasian yang hendaknya mendapat perhatian adalah menyangkut konsep operasi (strategi). Konsep operasi seperti apa yang nantinya akan digelar oleh Kowilgab/Kodahan/Kowilhan. Dan seberapa besar akan mengakomodasikan porsi pada kampanye peperangan laut. Besar kecilnya porsi kampanye peperangan laut sedikit banyak akan menentukan pula porsi AL di dalamnya, selain tentunya masalah pembagian area of responsibility.

Tidak ada komentar: