All hands,
Salah satu perdebatan ketika postur militer suatu negara dirumuskan adalah soal sifat kekuatan. Apakah posturnya ofensif atau defensif? Kalau untuk postur AD, mungkin nggak terlalu susah untuk mencari jawabannya karena bisa kita kaitkan dengan karakteristiknya. Namun bagaimana dengan postur AL? Ofensif atau defensif?
Pada dasarnya AL adalah kekuatan ofensif. Kenapa begitu? Jawabannya gampang kok, lihat aja core capabilities Angkatan Laut. Secara universal, core capabilities itu mencakup naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Semua school of thought strategi maritim akan bilang demikian, entah itu Mahan, Corbett, Coloumb bersaudara, Gorshkov, Till.
Kalau pertanyaan itu digiring ke alam Indonesia, bagaimana? Bagaimana sebaiknya postur yang harus dimiliki oleh AL kita? Pasti timbul perdebatan antara aliran ofensif vs defensif. Tiap aliran pasti punya alasan masing-masing.
Saya sendiri lebih condong pada aliran ofensif. Kenapa ofensif? Soal ofensif antara satu AL dengan AL lain sebenarnya relatif, tergantung pada kepentingan masing-masing negara. Ofensifnya AL Jepang nggak bisa disamakan dengan ofensifnya AL Korea Selatan, misalnya.
Kenapa beda? Yah karena kebijakan keamanan nasionalnya beda-beda. Jepang kebijakan keamanan nasionalnya mengamanatkan kemampuan AL untuk amankan jalur 1.00 mil laut ke selatan. Itu kaitannya dengan keamanan SLOC untuk pasokan minyak dia dari negeri Arab. Mengutip klasifikasi AL dunia versi Geoffrey Till, AL Jepang tergolong medium regional force projection navy.
Sedangkan Korea Selatan lebih fokus pada pengamanan wilayah di sekitar dia. Dia masih punya konflik warisan Perang Dingin di halamannya. Jadi AL-nya dalam 10 tahun ke depan pun belum akan mengadopsi cara AL Jepang. AL Korea Selatan itu masuk golongan adjacent force projection navies versi Till.
Lalu kepentingan Indonesia apa? Kepentingan kita yang tergolong survival atau minimal vital adalah integritas wilayah plus wibawa dan martabat bangsa. Kita berkepentingan amankan wilayah kita yang panjangnya hampir setara jarak Inggris ke Iran, kurang lebih jarak pantai barat Amerika Serikat ke pantai timurnya. Untuk bisa amankan kitu, kita butuh AL yang punya postur ofensif, tepatnya bisa power projection.
Power projection yang harus kita punya bukan untuk invasi negara lain. Apalagi jaman sekarang invasi bukan tindakan populer di mata dunia. Kemampuan power projection itu untuk bisa capai wilayah-wilayah perbatasan maritim kita. Dan sebagian dari wilayah perbatasan maritim itu berbatasan dengan laut terbuka. Artinya kapal-kapal patroli sampai sekelas FPB kurang cocok untuk dideploy ke situ. Kita butuh kapal minimal korvet, malah mungkin lebih baik fregat.
Kapal-kapal itu juga akan berfungsi sebagai wahana untuk lakukan peran militer dan diplomasi. Sedangkan untuk perairan Nusantara, yah memang kita lebih butuh paling nggak kapal sekelas FPB. Fungsinya lebih banyak untuk peran konstabulari.
Jadi menurut saya, kita tetap butuh postur ofensif dalam batasan tertentu. Dengan kita punya itu, selain untuk amankan wilayah perairan terluar, secara tidak langsung juga untuk menakut-nakuti pihak lain. Mungkin ada rekan-rekan yang lebih suka pakai istilah deterrence.
So... ada baiknya bila ke depan setidaknya kita punya AL yang golongannya adjacent force projection navies. Itu cuma langkah awal saja, karena akan lebih baik bila kita medium regional force projection navy. Dulu AL kita begitu, masa ke depan nggak bisa? Jangan sampai kita jadi bangsa yang cuma bisa banggakan pendahulu kita. Lagi-lagi nenek moyangku seorang pelaut...
Salah satu perdebatan ketika postur militer suatu negara dirumuskan adalah soal sifat kekuatan. Apakah posturnya ofensif atau defensif? Kalau untuk postur AD, mungkin nggak terlalu susah untuk mencari jawabannya karena bisa kita kaitkan dengan karakteristiknya. Namun bagaimana dengan postur AL? Ofensif atau defensif?
Pada dasarnya AL adalah kekuatan ofensif. Kenapa begitu? Jawabannya gampang kok, lihat aja core capabilities Angkatan Laut. Secara universal, core capabilities itu mencakup naval presence, sea control, sea denial dan power projection. Semua school of thought strategi maritim akan bilang demikian, entah itu Mahan, Corbett, Coloumb bersaudara, Gorshkov, Till.
Kalau pertanyaan itu digiring ke alam Indonesia, bagaimana? Bagaimana sebaiknya postur yang harus dimiliki oleh AL kita? Pasti timbul perdebatan antara aliran ofensif vs defensif. Tiap aliran pasti punya alasan masing-masing.
Saya sendiri lebih condong pada aliran ofensif. Kenapa ofensif? Soal ofensif antara satu AL dengan AL lain sebenarnya relatif, tergantung pada kepentingan masing-masing negara. Ofensifnya AL Jepang nggak bisa disamakan dengan ofensifnya AL Korea Selatan, misalnya.
Kenapa beda? Yah karena kebijakan keamanan nasionalnya beda-beda. Jepang kebijakan keamanan nasionalnya mengamanatkan kemampuan AL untuk amankan jalur 1.00 mil laut ke selatan. Itu kaitannya dengan keamanan SLOC untuk pasokan minyak dia dari negeri Arab. Mengutip klasifikasi AL dunia versi Geoffrey Till, AL Jepang tergolong medium regional force projection navy.
Sedangkan Korea Selatan lebih fokus pada pengamanan wilayah di sekitar dia. Dia masih punya konflik warisan Perang Dingin di halamannya. Jadi AL-nya dalam 10 tahun ke depan pun belum akan mengadopsi cara AL Jepang. AL Korea Selatan itu masuk golongan adjacent force projection navies versi Till.
Lalu kepentingan Indonesia apa? Kepentingan kita yang tergolong survival atau minimal vital adalah integritas wilayah plus wibawa dan martabat bangsa. Kita berkepentingan amankan wilayah kita yang panjangnya hampir setara jarak Inggris ke Iran, kurang lebih jarak pantai barat Amerika Serikat ke pantai timurnya. Untuk bisa amankan kitu, kita butuh AL yang punya postur ofensif, tepatnya bisa power projection.
Power projection yang harus kita punya bukan untuk invasi negara lain. Apalagi jaman sekarang invasi bukan tindakan populer di mata dunia. Kemampuan power projection itu untuk bisa capai wilayah-wilayah perbatasan maritim kita. Dan sebagian dari wilayah perbatasan maritim itu berbatasan dengan laut terbuka. Artinya kapal-kapal patroli sampai sekelas FPB kurang cocok untuk dideploy ke situ. Kita butuh kapal minimal korvet, malah mungkin lebih baik fregat.
Kapal-kapal itu juga akan berfungsi sebagai wahana untuk lakukan peran militer dan diplomasi. Sedangkan untuk perairan Nusantara, yah memang kita lebih butuh paling nggak kapal sekelas FPB. Fungsinya lebih banyak untuk peran konstabulari.
Jadi menurut saya, kita tetap butuh postur ofensif dalam batasan tertentu. Dengan kita punya itu, selain untuk amankan wilayah perairan terluar, secara tidak langsung juga untuk menakut-nakuti pihak lain. Mungkin ada rekan-rekan yang lebih suka pakai istilah deterrence.
So... ada baiknya bila ke depan setidaknya kita punya AL yang golongannya adjacent force projection navies. Itu cuma langkah awal saja, karena akan lebih baik bila kita medium regional force projection navy. Dulu AL kita begitu, masa ke depan nggak bisa? Jangan sampai kita jadi bangsa yang cuma bisa banggakan pendahulu kita. Lagi-lagi nenek moyangku seorang pelaut...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar