All hands,
Operasi gabungan kalau kita cari persamaannya dalam istilah militer asing bisa berarti joint operations, bisa pula combined operations. Dikatakan joint operations bila operasi itu dilaksanakan inter-service dalam Angkatan Bersenjata suatu negara. Sedangkan combined operations kalau operasi itu merupakan operasi gabungan dari dua negara atau lebih. Dalam tulisan ini, saya akan lebih fokus soal operasi gabungan dalam arti joint operations.
Operasi gabungan di Indonesia, dalam hal ini TNI, baru bisa dilaksanakan apabila ada imminent threat(s). Apa yang digolongkan sebagai imminent threat(s)? Yaitu keselamatan negara terancam. Itulah prasyarat operasi gabungan TNI!!! Jadi kalau keselamatan negara tidak terancam, operasi gabungan tidak bisa digelar karena prasyaratnya tidak terpenuhi.
Mari kita bandingkan dengan operasi gabungan di negara-negara lain. Dalam prakteknya, nyaris semua operasi yang dilaksanakan oleh militer negeri lain saat ini sifatnya operasi gabungan. Entah itu operasi keamanan maritim, pertahanan udara, surveillance and recconaissance, apalagi perang.
Sebagai contoh, untuk operasi keamanan maritim di Australia, tidak cuma dilakukan oleh RAN tapi juga oleh RAAF. Yang perlu digarisbawahi di sini, komando dan kendali operasi itu berada di RAN. Jadi pesawat P-3 Orion RAAF berada di bawah kodal RAN.
Operasi gabungan RAN dan RAAF itu kan “ancaman”nya cuma kapal ikan sama imigran ilegal. Walaupun “ancaman”-nya cetek, mereka tetap merasa perlu operasi gabungan. Karena memang kecenderungan masa kini, matra Angkatan alias service tidak bisa memecahkan masalah operasional tanpa dukungan matra lainnya.
Bandingkan dengan di Indonesia, di mana pesawat B-737 Surveiller AU tidak mau berada di bawah kodal AL dalam operasi patroli maritim. Kenapa dia nggak mau? Itu urusan gengsi saja!!! Akibatnya operasi dia sia-sia, tidak bisa ditindaklanjuti oleh AL. Asal tahu saja, pesawat yang dibangga-banggakan oleh AU itu tidak bisa bedakan mana kapal kayu dan mana kapal bukan kayu. Ha..ha..ha.. Dia cuma bisa identifikasi ada kontak.
Kembali ke topik semula, operasi gabungan masa kini tak harus memprasyaratkan adanya ancaman terhadap keselamatan negara. Kalau sudah begini, apakah Indonesia yang ketinggalan atau mereka yang tidak cerdas? Saya kok lebih berpendapat bahwa Indonesia yang ketinggalan.
Sebagaimana halnya dalam lingkup yang lebih luas, kita lebih suka pendekatan sektoral daripada pendekatan gabungan. Kalau ditanya kenapa, mungkin salah satunya karena soal dukungan anggaran. Menyedihkan memang!!!
Lepas dari soal dukungan anggaran itu, kini belum terlambat kita mengembangkan paradigma baru operasi gabungan di TNI. Bagaimana langkah kita menuju agar budaya gabungan di TNI tercipta? Tunggu tulisan berikutnya....
Operasi gabungan kalau kita cari persamaannya dalam istilah militer asing bisa berarti joint operations, bisa pula combined operations. Dikatakan joint operations bila operasi itu dilaksanakan inter-service dalam Angkatan Bersenjata suatu negara. Sedangkan combined operations kalau operasi itu merupakan operasi gabungan dari dua negara atau lebih. Dalam tulisan ini, saya akan lebih fokus soal operasi gabungan dalam arti joint operations.
Operasi gabungan di Indonesia, dalam hal ini TNI, baru bisa dilaksanakan apabila ada imminent threat(s). Apa yang digolongkan sebagai imminent threat(s)? Yaitu keselamatan negara terancam. Itulah prasyarat operasi gabungan TNI!!! Jadi kalau keselamatan negara tidak terancam, operasi gabungan tidak bisa digelar karena prasyaratnya tidak terpenuhi.
Mari kita bandingkan dengan operasi gabungan di negara-negara lain. Dalam prakteknya, nyaris semua operasi yang dilaksanakan oleh militer negeri lain saat ini sifatnya operasi gabungan. Entah itu operasi keamanan maritim, pertahanan udara, surveillance and recconaissance, apalagi perang.
Sebagai contoh, untuk operasi keamanan maritim di Australia, tidak cuma dilakukan oleh RAN tapi juga oleh RAAF. Yang perlu digarisbawahi di sini, komando dan kendali operasi itu berada di RAN. Jadi pesawat P-3 Orion RAAF berada di bawah kodal RAN.
Operasi gabungan RAN dan RAAF itu kan “ancaman”nya cuma kapal ikan sama imigran ilegal. Walaupun “ancaman”-nya cetek, mereka tetap merasa perlu operasi gabungan. Karena memang kecenderungan masa kini, matra Angkatan alias service tidak bisa memecahkan masalah operasional tanpa dukungan matra lainnya.
Bandingkan dengan di Indonesia, di mana pesawat B-737 Surveiller AU tidak mau berada di bawah kodal AL dalam operasi patroli maritim. Kenapa dia nggak mau? Itu urusan gengsi saja!!! Akibatnya operasi dia sia-sia, tidak bisa ditindaklanjuti oleh AL. Asal tahu saja, pesawat yang dibangga-banggakan oleh AU itu tidak bisa bedakan mana kapal kayu dan mana kapal bukan kayu. Ha..ha..ha.. Dia cuma bisa identifikasi ada kontak.
Kembali ke topik semula, operasi gabungan masa kini tak harus memprasyaratkan adanya ancaman terhadap keselamatan negara. Kalau sudah begini, apakah Indonesia yang ketinggalan atau mereka yang tidak cerdas? Saya kok lebih berpendapat bahwa Indonesia yang ketinggalan.
Sebagaimana halnya dalam lingkup yang lebih luas, kita lebih suka pendekatan sektoral daripada pendekatan gabungan. Kalau ditanya kenapa, mungkin salah satunya karena soal dukungan anggaran. Menyedihkan memang!!!
Lepas dari soal dukungan anggaran itu, kini belum terlambat kita mengembangkan paradigma baru operasi gabungan di TNI. Bagaimana langkah kita menuju agar budaya gabungan di TNI tercipta? Tunggu tulisan berikutnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar