All hands,
Penerapan capability-based planning (CBP) sudah merupakan kewajiban buat kita yang berada di domain pertahanan dan militer. Soalnya sudah jadi perintah petinggi republik ini lewat Perpres No.7 Tahun 2008 tentang Jakumhanneg. Buat kita yang satu domain, apa itu jakumhanneg sudah ngerti.
Tapi buat kalangan sipil mungkin itu istilah yang sangat membingungkan. Bagi mereka, militer itu suka bikin singkatan sendiri. Ha..ha..ha.. Sebenarnya kalau soal singkatan itu, itu ”salah” kalangan sipil sendiri, kenapa suka adopsi cara militer singkat sesuatu. Kalau militer singkat sesuatu, itu murni untuk kepentingan internal. Nggak dipakai untuk kalangan di luar militer.
Buat yang belum paham, jakumhanneg itu singkatan dari Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Yang keluarkan Presiden, karena memang kewenangan beliau. Bukan kewenangan Menteri Pertahanan, apalagi Panglima TNI.
Pertanyaannya, apa sih CBP? Pasti masih banyak rekan-rekan yang di domain AL pun belum apa itu CBP. Banyak sih definisi CBP, tergantung siapa yang definisikan. Tapi ada baiknya kita ambil salah satu definisi itu.
Menurut Handbook in Long Term Defense Planning, CBP is a method involves a functional analysis of operational requirements. Capabilities are identified based on the tasks required… Once the required capability inventory is defined, the most cost effective and efficient options to satisfy the requirements are sought.
Jadi CBP itu mencari suatu bentuk postur pertahanan dan atau militer yang dapat memberikan efek yang dibutuhkan oleh kebijakan nasional pada derajat yang dapat “dijangkau” oleh sumber daya yang tersedia. Contohnya, kalau tantangan terhadap kita di laut antara lain pelanggaran wilayah oleh kapal perang asing, maka kemampuan (capability) yang kita harus punya ke depan adalah bagaimana agar kapal perang asing nggak main-main lagi di situ.
Postur ke depan harus diarahkan ke situ. Dengan catatan, pencapaian postur itu berada dalam batas kemampuan fiskal kita alias anggaran pertahanan. Jadi memang harus ada kompromi antara postur atau tepatnya keinginan (desired) kita dengan ketersediaan fiskal.
CBP kaitannya dengan what do we need to be able to do in the future? BUKAN what equipment needs to be replaced?
Kalau itu kita tarik ke dalam konteks AL kita, mungkin kita harus berhitung apakah nanti 10 ke depan enam fregat kelas Van Speijk sudah harus di-disposed, terus perlukah penggantinya juga fregat dan jumlahnya juga enam? Menurut saya, kita masih tetap butuh fregat ke depan. Cuma apakah jumlahnya harus enam, itu yang harus kita kalkulasi. Alasannya untuk kepentingan peran militer dan diplomasi. Selain juga ada perairan kita yang lebih cocok untuk kapal itu.
Pertama kalkulasi dari aspek tempur, kedua dari aspek fiskal. Kalkulasi tempur gampang, itu tugas rutin AL. Tapi begitu masuk kalkulasi fiskal, kita harus duduk bersama dengan anak buahnya Jeng Sri Mulyani. Mereka penguasa fiskal dan bisa tentukan besar kecil postur AL ke depan. So...we should be able to convince them...They should in favor of Navy...
Penerapan capability-based planning (CBP) sudah merupakan kewajiban buat kita yang berada di domain pertahanan dan militer. Soalnya sudah jadi perintah petinggi republik ini lewat Perpres No.7 Tahun 2008 tentang Jakumhanneg. Buat kita yang satu domain, apa itu jakumhanneg sudah ngerti.
Tapi buat kalangan sipil mungkin itu istilah yang sangat membingungkan. Bagi mereka, militer itu suka bikin singkatan sendiri. Ha..ha..ha.. Sebenarnya kalau soal singkatan itu, itu ”salah” kalangan sipil sendiri, kenapa suka adopsi cara militer singkat sesuatu. Kalau militer singkat sesuatu, itu murni untuk kepentingan internal. Nggak dipakai untuk kalangan di luar militer.
Buat yang belum paham, jakumhanneg itu singkatan dari Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Yang keluarkan Presiden, karena memang kewenangan beliau. Bukan kewenangan Menteri Pertahanan, apalagi Panglima TNI.
Pertanyaannya, apa sih CBP? Pasti masih banyak rekan-rekan yang di domain AL pun belum apa itu CBP. Banyak sih definisi CBP, tergantung siapa yang definisikan. Tapi ada baiknya kita ambil salah satu definisi itu.
Menurut Handbook in Long Term Defense Planning, CBP is a method involves a functional analysis of operational requirements. Capabilities are identified based on the tasks required… Once the required capability inventory is defined, the most cost effective and efficient options to satisfy the requirements are sought.
Jadi CBP itu mencari suatu bentuk postur pertahanan dan atau militer yang dapat memberikan efek yang dibutuhkan oleh kebijakan nasional pada derajat yang dapat “dijangkau” oleh sumber daya yang tersedia. Contohnya, kalau tantangan terhadap kita di laut antara lain pelanggaran wilayah oleh kapal perang asing, maka kemampuan (capability) yang kita harus punya ke depan adalah bagaimana agar kapal perang asing nggak main-main lagi di situ.
Postur ke depan harus diarahkan ke situ. Dengan catatan, pencapaian postur itu berada dalam batas kemampuan fiskal kita alias anggaran pertahanan. Jadi memang harus ada kompromi antara postur atau tepatnya keinginan (desired) kita dengan ketersediaan fiskal.
CBP kaitannya dengan what do we need to be able to do in the future? BUKAN what equipment needs to be replaced?
Kalau itu kita tarik ke dalam konteks AL kita, mungkin kita harus berhitung apakah nanti 10 ke depan enam fregat kelas Van Speijk sudah harus di-disposed, terus perlukah penggantinya juga fregat dan jumlahnya juga enam? Menurut saya, kita masih tetap butuh fregat ke depan. Cuma apakah jumlahnya harus enam, itu yang harus kita kalkulasi. Alasannya untuk kepentingan peran militer dan diplomasi. Selain juga ada perairan kita yang lebih cocok untuk kapal itu.
Pertama kalkulasi dari aspek tempur, kedua dari aspek fiskal. Kalkulasi tempur gampang, itu tugas rutin AL. Tapi begitu masuk kalkulasi fiskal, kita harus duduk bersama dengan anak buahnya Jeng Sri Mulyani. Mereka penguasa fiskal dan bisa tentukan besar kecil postur AL ke depan. So...we should be able to convince them...They should in favor of Navy...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar