All hands,
Kita semua sama-sama mengetahui bahwa AL memiliki sejumlah kekhasan karakteristik yang tidak dimiliki oleh AU dan AD. Kekhasan-kekhasan itu terbentang dari yang sifatnya keseharian sampai dengan aspek strategis. Yang keseharian tentu kita tahu semua karena dialami dalam kehidupan sehari-hari, khususnya pada kedinasan baik di pendirat maupun kapal. Yang menarik adalah pada aspek strategis.
Salah satu tulisan dalam U.S Naval War College Review, Winter 2007, Vol.60 No.1 berjudul Strategic Culture and It's Relationship to Naval Strategy, ditulis oleh Robert W. Barnett. Bagi kita yang mengikuti perkembangan naval and maritime thought di Amerika Serikat, nama Robert W. Barnett bukan sesuatu yang asing.
Menurut Barnett, AL mempunyai lima budaya strategis yang sangat mempengaruhi strategi maritim dan atau strategi AL. Yaitu konteks (context), pendekatan sistem (system approach), ekspedisionari (expeditionary), kemampuan beradaptasi (adaptability) dan ketidakpastian dan resiko (uncertainty and risk). Kelima budaya itu mempengaruhi belief and attitudes organisasi AL dalam merancang strategi maritim dan atau strategi AL yang sesuai dengan kebutuhan.
Pertama, konteks mempunyai kaitan erat dengan pengaruh lingkungan strategis, karena lingkungan strategis akan mempengaruhi how naval forces can operate and how the do operate. Lingkungan strategis yang dimaksud tidak terbatas pada perkembangan politik, ekonomi dan sebagainya, namun juga mencakup situasi lingkungan laut di mana AL beroperasi. Dengan kata lain, konteks memiliki kaitan erat pula dengan situational awareness maupun battlespace awareness.
Seperti kita ketahui, laut sebagai medan terbuka merupakan suatu lingkungan nonlinear. Di sana tak ada batas alamiah atau buatan untuk mengorganisasikan pengintaian, pengamatan atau pertempuran seperti halnya di darat. Di laut tak ada pula medan lindung, medan tinjau, garis depan, garis belakang, lambung dan lain sebagainya. Dengan kondisi demikian, missions can be executed simultaneously or sequentially. Kondisi demikian menempatkan konsep lebih penting bagi para ahli strategi AL dibandingkan dengan doktrin. Menurut Barnett, hal itu membuat konsep dan doktrin cenderung berseberangan. Concept are undefined, not clearly bounded, changing and changeable; doctrine is defined, bounded, difficult to change, and relatively inflexible. Ini SALAH SATU PERBEDAAN antara AL dengan AD maupun AU dalam memperlakukan konsep dan doktrin. Rekan-rekan sebagian besar pasti sependapat dengan saya tentang itu.
Kedua, pendekatan sistem. Dalam peperangan laut, pendekatan yang mengedepan adalah pendekatan sistem. Mengutip Barnett, ”When the admiral arrives on the scene, he has no thought at all of where things are or who is supplying them. He is thinking in terms of air defense systems, antisubmarine systems, of mine warfare, amphibious, logistics, and strike system". Dengan kata lain, sejak pendidikan pertama, setiap perwira AL dididik dan dilatih untuk ”hidup” di lingkungan yang menggunakan pendekatan sistem. Tentu rekan-rekan yang lama berdinas di kapal sangat akrab dengan pendekatan sistem, tercermin dari adanya pembagian departemen di kapal perang. Karena terbiasa dengan pendekatan sistem, kita tentu tahu bahwa embrio awal dari network-centric warfare yang dikenal saat ini berasal dari U.S Navy. Dan perintisnya pun flag officer, yaitu (alm) VAdm. Arthur K. Cebrowski.
Seperti kita ketahui, laut sebagai medan terbuka merupakan suatu lingkungan nonlinear. Di sana tak ada batas alamiah atau buatan untuk mengorganisasikan pengintaian, pengamatan atau pertempuran seperti halnya di darat. Di laut tak ada pula medan lindung, medan tinjau, garis depan, garis belakang, lambung dan lain sebagainya. Dengan kondisi demikian, missions can be executed simultaneously or sequentially. Kondisi demikian menempatkan konsep lebih penting bagi para ahli strategi AL dibandingkan dengan doktrin. Menurut Barnett, hal itu membuat konsep dan doktrin cenderung berseberangan. Concept are undefined, not clearly bounded, changing and changeable; doctrine is defined, bounded, difficult to change, and relatively inflexible. Ini SALAH SATU PERBEDAAN antara AL dengan AD maupun AU dalam memperlakukan konsep dan doktrin. Rekan-rekan sebagian besar pasti sependapat dengan saya tentang itu.
Kedua, pendekatan sistem. Dalam peperangan laut, pendekatan yang mengedepan adalah pendekatan sistem. Mengutip Barnett, ”When the admiral arrives on the scene, he has no thought at all of where things are or who is supplying them. He is thinking in terms of air defense systems, antisubmarine systems, of mine warfare, amphibious, logistics, and strike system". Dengan kata lain, sejak pendidikan pertama, setiap perwira AL dididik dan dilatih untuk ”hidup” di lingkungan yang menggunakan pendekatan sistem. Tentu rekan-rekan yang lama berdinas di kapal sangat akrab dengan pendekatan sistem, tercermin dari adanya pembagian departemen di kapal perang. Karena terbiasa dengan pendekatan sistem, kita tentu tahu bahwa embrio awal dari network-centric warfare yang dikenal saat ini berasal dari U.S Navy. Dan perintisnya pun flag officer, yaitu (alm) VAdm. Arthur K. Cebrowski.
Ketiga, ekspedisionari. AL merupakan kekuatan yang senantiasa menyebar kemana saja (mobile) dan tidak statis di suatu tempat (garrison). Oleh karena itu, operasi ekspedisionari merupakan sesuatu yang melekat pada setiap AL. Menurut Geoffrey Till dalam buku Seapower: A Guide for the Twenty First Century, ciri-cirinya operasi ekspedisionari adalah, (i) operasi militer yang dilaksanakan oleh AL, (ii) untuk mencapai tujuan spesifik yang ditetapkan pemerintah (iii) dengan durasi singkat (iv) di luar negeri.
Saat ini operasi ekspedisionari yang merupakan bagian dari power projection sangat menonjol dilaksanakan oleh AL di dunia, disebabkan oleh dua hal, yaitu (i) ketidakstabilan keamanan internasional dan (ii) globalisasi. Dalam era globalisasi, ketidakstabilan terhadap suatu negara atau kawasan dapat berimplikasi terhadap negara atau kawasan lainnya, sebab di era ini terjadi interdependensi keamanan. Nggak usah lihat jauh, negeri kecil yang licik dan rakus di utara Pulau Batam saja sudah melaksanakan operasi ekspedisionari secara rutin ke Teluk Persia sejak 2003.
Karena menonjolnya operasi ekspedisionari, banyak AL yang melakukan transformasi, biasanya disebut sebagai transformasi AL (Naval Transformation). Ruang lingkup transformasi AL pada setiap negara berbeda, sesuai dengan kebutuhan masing. Namun kata kuncinya adalah transformasi dilakukan untuk merespon RMA dan perubahan lingkungan strategis. Khusus untuk ekspedisionari, transformasi AL bentuknya berupa perubahan dari kekuatan yang siap untuk bertempur di tengah laut menghadapi ancaman simetris dari aktor negara, menjadi kekuatan yang siap beroperasi di littoral menghadapi ancaman simetris dan asimetris.
Karena menonjolnya operasi ekspedisionari, banyak AL yang melakukan transformasi, biasanya disebut sebagai transformasi AL (Naval Transformation). Ruang lingkup transformasi AL pada setiap negara berbeda, sesuai dengan kebutuhan masing. Namun kata kuncinya adalah transformasi dilakukan untuk merespon RMA dan perubahan lingkungan strategis. Khusus untuk ekspedisionari, transformasi AL bentuknya berupa perubahan dari kekuatan yang siap untuk bertempur di tengah laut menghadapi ancaman simetris dari aktor negara, menjadi kekuatan yang siap beroperasi di littoral menghadapi ancaman simetris dan asimetris.
Jadi filosofinya bergeser dari what we can do at sea menjadi what we can do from the sea to shore/littoral. Filosopi inilah yang menjadi alasan mengapa U.S. Navy mengembangkan LCS/littoral combat ship, yang salah satunya adalah USS Freedom (LCS-1) yang tonasenya "cuma" 2.500 ton. Padahal kita sama-sama tahu kapal fregatnya saja (kelas Oliver Hazard Perry) yang merupakan "kapal terkecil" di armada mereka tonasenya 4.100 ton.
Keempat, kemampuan beradaptasi. Operasi yang dilaksanakan oleh AL berada dalam suatu strategi yang telah dirancang sebelumnya. Di antara aspek utama dalam strategi adalah antisipasi, yang mana suatu strategi dapat dikatakan efektif bila bersifat adaptif untuk mencegah atau menetralisasi upaya tindakan balik (counterefforts) lawan. Mengutip Barnett, ways (strategies) exhibit various degrees of adaptability. Means (forces), on other hand, exhibit various degree of flexibility. Kemampuan beradaptasi menuntut adanya kecepatan berpikir dan bertindak dari pelaksana strategi ketika menghadapi situasi yang berbeda dengan yang telah diskenariokan sebelumnya. Barnett menekankan pentingnya individual initiative and freedom of action dalam kemampuan beradaptasi.
Kelima, ketidakpastian dan resiko. Seperti kita ketahui, ketidakpastian selalu mewarnai operasi militer, bahkan peperangan itu sendiri. Kemajuan teknologi militer melalui penerapan RMA ternyata tidak mampu menghilangkan ketidakpastian dimaksud, yang oleh Carl von Clausewitz disebut sebagai fog and friction.
Kelima, ketidakpastian dan resiko. Seperti kita ketahui, ketidakpastian selalu mewarnai operasi militer, bahkan peperangan itu sendiri. Kemajuan teknologi militer melalui penerapan RMA ternyata tidak mampu menghilangkan ketidakpastian dimaksud, yang oleh Carl von Clausewitz disebut sebagai fog and friction.
Dikaitkan dengan strategi maritim dan atau strategi AL, strategi tidak boleh melewatkan tentang ketidakpastian dan resiko serta mendeskripsikan bagaimana strategi dirancang untuk menghadapi kedua hal tersebut. Ketidakpastian yang mempengaruhi strategi tidak terbatas pada lamanya pelibatan, kampanye atau konflik, tetapi juga tipe senjata yang akan digunakan oleh lawan, relevansi dan efektivitas latihan, moral pasukan, keandalan sistem senjata yang digunakan oleh pihak sendiri hingga efek dari kejutan operasional dan teknologi. Kondisi ketidakpastian dipastikan berefek pada resiko yang akan timbul, sehingga merupakan tantangan bagi penyusun strategi untuk mengatasinya. Para perancang strategi dituntut untuk expect the unexpected.
Menurut hemat saya, dalam menghadapi ketidakpastian, strategi sebaiknya dirancang menggunakan pendekatan skenario. Pendekatan skenario setidaknya mempunyai tiga perangkat, yaitu driving forces, predetermined elements dan critical uncertainties (pendekatan yang diperkenalkan oleh P.H Liotta dan Timothy E. Somes, lihat “The Art of Reperceiving Scenario and the Future”, Naval War College Review, Autumn 2003, Vol.LVI, No.4, hal.123). Dengan pendekatan ini, penyusun strategi dapat dibantu untuk memilih alternatif course of action, sehingga apa saja means yang dibutuhkan dapat dihitung.
Menurut hemat saya, dalam menghadapi ketidakpastian, strategi sebaiknya dirancang menggunakan pendekatan skenario. Pendekatan skenario setidaknya mempunyai tiga perangkat, yaitu driving forces, predetermined elements dan critical uncertainties (pendekatan yang diperkenalkan oleh P.H Liotta dan Timothy E. Somes, lihat “The Art of Reperceiving Scenario and the Future”, Naval War College Review, Autumn 2003, Vol.LVI, No.4, hal.123). Dengan pendekatan ini, penyusun strategi dapat dibantu untuk memilih alternatif course of action, sehingga apa saja means yang dibutuhkan dapat dihitung.
Ada baiknya bila dipahami bahwa scenario is a disciplined way of thinking, it not a formal methodology, nor are they predictions. Pendekatan skenario bukan tidak punya kelemahan, sebab bila course of action yang diskenariokan tidak terjadi, dapat mengganggu strategi secara keseluruhan. Oleh karena itu, Barnett berpendapat bahwa “if strategy fails, it should be designed to fail gracefully and then recover”.
Dari lima budaya strategis yang ditulis oleh Barnett, menjadi pertanyaan apakah semuanya bisa diterapkan di Indonesia, khusus AL? Menurut pendapat saya, dapat diterapkan dengan penyesuaian pada beberapa hal, khususnya masalah adaptability. Seperti kita sama-sama tahu, isu individual initiative and freedom of action tidak lepas dari budaya suatu bangsa atau peradaban. Di peradaban Barat, individual initiative and freedom of action merupakan sesuatu yang melekat. Berbeda dengan peradaban kita yang belum dapat sepenuhnya menerima hal itu. Apalagi dalam konteks militer. Kita paham semua mengenai itu, jadi tak perlu kita bahas lebih lanjut di sini.
Isu ekspedisionari juga merupakan isu yang menarik. Masalah di Indonesia adalah politik luar kita yang tidak jelas mau kemana. Akibatnya peran diplomasi AL sebagai bagian dari diplomasi pertahanan belum dianggap penting oleh Pejambon Boys yang sepertinya mendewakan soft power. Padahal kalau kita cermati perkembangan lingkungan strategis, ada beberapa momen di luar negeri yang dapat digunakan oleh Indonesia untuk melaksanakan operasi ekspedisionari. Misalnya bergabung dalam UNIFIL Maritim Task Force di Lebanon.
Kalau bicara soal kesiapan unsur, itu bisa diatur dan urusan belakangan. Yang penting politik luar negeri kita yang harus jelas mau kemana???!!! Selama itu tidak jelas, biarkan kita dapat 10 fregat baru pun, tetap saja kita nggak bisa laksanakan operasi ekspedisionari sebagai bagian dari diplomasi AL. Boro-boro operasi ekspedisionari, kita latihan dengan U.S. Navy soal VBSS aja disewoti sama "para pecinta perdamaian dunia" di Pejambon. Padahal latihan itu penting untuk meningkatkan profesionalisme kita. Ilmu yang kita dapat bisa digunakan untuk hadapi siapa saja, termasuk mungkin suatu saat untuk menyergap kapal perang asing yang macam-macam di perairan kita.
Kembali ke topik semula, lima budaya strategis AL yang diuraikan oleh Barnett pada dasarnya sudah melekat pada AL kita. Tantangannya tinggal mempertajam saja penerapan budaya itu. Hal itu secara tidak langsung akan membantu mendorong AL menjadi kekuatan yang diperhitungkan, minimal di kawasan Asia Tenggara. Masak kita kalah sama AL yang tahun 1960-an cuma punya PC???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar