All hands,
Dalam 30 tahun terakhir, kita sama-sama mengetahui dan menyaksikan bahwa kemampuan kapal perang masa kini dan mendatang kian terspesialisasi. Dengan kata lain, fungsi asasi kapal perang makin mengerucut. Semakin sulit menemukan suatu jenis kapal perang, khususnya kapal atas air yang mempunyai segala kemampuan untuk ancaman tiga dimensi. Seperti diketahui, secara tradisional ancaman tiga dimensi yang dihadapi oleh kapal atas air terdiri dari ancaman permukaan, bawah air dan serangan udara.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sekutunya telah merancang jenis atau kelas kapal dengan penekanan pada satu kemampuan utama/satu fungsi asasi. Bukan berarti dua kemampuan lain diabaikan, namun ”diserahkan” pada kapal jenis atau kelas lainnya. Sebab dalam operasi, setiap kapal yang kemampuan dan fungsi asasinya berbeda-beda akan membentuk unsur gugus tugas dan setiap unsur itu akan mempunyai job description masing-masing. Artinya, dalam gugus tugas ada kapal anti kapal selam, kapal anti serangan udara dan kapal anti kapal permukaan.
Pengadaan kapal air warfare destroyer kelas Hobart oleh Royal Australian Navy dapat kita jadikan contoh. Proyek yang dikenal sebagai SEA 400 itu nantinya akan memberikan RAN pada 2014 ke atas, kemampuan anti serangan udara yang lebih modern dari saat ini dan sekaligus melepaskan ketergantungan armadanya dari payung udara RAAF. RAAF saat ini mempunyai keterbatasan untuk memberikan full air cover terhadap armada RAN, karena pesawat F-111 Aadvark andalannya akan segera pensiun dalam beberapa tahun ke depan.
Penggantinya yaitu F-18D Hornet dan JSF sepertinya tidak akan sepenuhnya didedikasikan untuk menjadi payung udara RAN, khususnya bila beroperasi jauh di luar wilayah Australia. Terlebih lagi beberapa negara di sekitar Australia hingga beberapa tahun ke depan akan dilengkapi dengan pesawat tempur modern Rusia, khususnya Su-27/30.
20 tahun sebelum Australia mengadakan AWD, Koninklijke Marine alias AL Belanda sudah punya air defense frigate kelas Van Tromp. Sekarang Van Tromp sudah pensiun dan ada yang dijual ke Belgia. Van Tromp masuk ke armada KM ketika mereka lepas Van Speijk ke Indonesia.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa secara teknis, keinginan untuk menempatkan semua kemampuan pada sebuah kelas kapal perang memerlukan platform yang besar. Inilah yang menjadi kendala bagi negara-negara berkembang yang anggaran pertahanannya terbatas. Bahkan pada AL negara-negara maju pun, meskipun platform kapal atas air mereka rata-rata tonasenya di atas 2.500 ton, justru kemampuan utama yang ditanam cuma satu. Entah itu anti permukaan, bawah air maupun serangan udara. Pilihannya tinggal pada kalkulasi kebutuhan operasional.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kita? Sebenarnya pada kapal-kapal tipe FPB, kita sudah lama melaksanakannya. Ada FPB yang spesialisasi KCT, ada yang KCR. Itu sudah bagus. Namun untuk kapal dengan jenis yang lebih besar dari FPB, kita sepertinya masih ”bingung”. Memang sudah ada pemahaman soal spesialisasi dan fungsi asasi untuk jenis kapal yang lebih besar, namun dalam praktek sepertinya kita susah menentukan spesialisasi.
Sebagai contoh, korvet Sigma itu spesialisasinya kapal apa sebenarnya? Anti permukaan? AKS? Atau anti serangan udara? Yang lebih mudah diidentifikasi mungkin kelas FTH, mengingat kaliber meriamnya 114 mm, dapat dipastikan kapal itu lebih ditekankan pada anti kapal permukaan plus BTK. Memang kapal itu juga dilengkapi radar hanud, sehingga kemampuannya untuk hanud relatif dapat diandalkan. Kalau kelas Van Speijk, dugaan saya fungsi asasi kapal itu AKS. Soalnya di kapal itu selalu onboard heli AKS Wasp dan heli itu sampai saat ini merupakan satu-satunya heli AKS yang pernah dipunyai oleh AL kita.
Kalau masalahnya adalah kesulitan menentukan spesialisasi pada tiap jenis dan kelas kapal, salah satu solusi yang mungkin adalah adanya tiap kemampuan pada setiap kelas kapal yang kita beli. Hal ini hanya berlaku untuk kelas korvet ke atas, bukan korvet ke bawah. Konsekuensi sederhananya, untuk satu jenis kapal minimum kita harus adakan enam buah. Karena untuk satu kemampuan dalam kelas yang sama, kita harus punya dua kapal. Dengan tiga kemampuan, minimal kita butuh enam kapal.
Ini perhitungan sederhana, daripada kita harus beli kapal dengan jenis berbeda untuk kelas berbeda. Lebih baik satu kelas dengan kemampuan berbeda. Soal kelas, tergantung kebutuhan operasional. Kalau mau dipakai di Laut Natuna, Laut Aru, Laut Sulawesi, Samudera India, mungkin lebih tepat kelas fregat. Sebab kalkulasi kebutuhan operasional seringkali harus kita kompromikan dengan ketersediaan anggaran pengadaan.
Kalau kita berdiskusi lebih dalam, tanpa mengenyampingkan kebutuhan kapal anti permukaan dan AKS, seperti kapal anti serangan udara belum mendapat perhatian besar dari kita. Dibandingkan dengan dua kemampuan lain, mungkin kemampuan anti serangan udara kita paling terbawah. Sulit buat kita untuk mengandalkan rudal hanud kapal yang jarak jangkaunya pendek. Sulit pula untuk mengandalkan payung udara AU, karena pesawat tempur mereka sedikit dan belum ada ”jiwa” yang sama soal itu.
Maksudnya, secara kultural operasi gabungan AL-AU belum mendarah daging di kedua angkatan. Memang selama ini kita sering menggelar latihan gabungan dengan AU, namun itu sepertinya belum cukup untuk menjadi ”sejiwa”. Kita memang butuh payung udara dari AU, sayangnya kita belum ”sejiwa” dalam arti sesungguhnya. Maklum, AU kan terkesan tidak mau sekadar jadi unsur pendukung. Sementara dalam operasi maritim, salah satu peran yang harus dimainkan oleh AU adalah sebagai unsur pendukung, antara lain melindungi konvoi AL. So...ada baiknya bila kita mulai memikirkan perlu tidaknya mempunyai air warfare frigate.
Dalam 30 tahun terakhir, kita sama-sama mengetahui dan menyaksikan bahwa kemampuan kapal perang masa kini dan mendatang kian terspesialisasi. Dengan kata lain, fungsi asasi kapal perang makin mengerucut. Semakin sulit menemukan suatu jenis kapal perang, khususnya kapal atas air yang mempunyai segala kemampuan untuk ancaman tiga dimensi. Seperti diketahui, secara tradisional ancaman tiga dimensi yang dihadapi oleh kapal atas air terdiri dari ancaman permukaan, bawah air dan serangan udara.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sekutunya telah merancang jenis atau kelas kapal dengan penekanan pada satu kemampuan utama/satu fungsi asasi. Bukan berarti dua kemampuan lain diabaikan, namun ”diserahkan” pada kapal jenis atau kelas lainnya. Sebab dalam operasi, setiap kapal yang kemampuan dan fungsi asasinya berbeda-beda akan membentuk unsur gugus tugas dan setiap unsur itu akan mempunyai job description masing-masing. Artinya, dalam gugus tugas ada kapal anti kapal selam, kapal anti serangan udara dan kapal anti kapal permukaan.
Pengadaan kapal air warfare destroyer kelas Hobart oleh Royal Australian Navy dapat kita jadikan contoh. Proyek yang dikenal sebagai SEA 400 itu nantinya akan memberikan RAN pada 2014 ke atas, kemampuan anti serangan udara yang lebih modern dari saat ini dan sekaligus melepaskan ketergantungan armadanya dari payung udara RAAF. RAAF saat ini mempunyai keterbatasan untuk memberikan full air cover terhadap armada RAN, karena pesawat F-111 Aadvark andalannya akan segera pensiun dalam beberapa tahun ke depan.
Penggantinya yaitu F-18D Hornet dan JSF sepertinya tidak akan sepenuhnya didedikasikan untuk menjadi payung udara RAN, khususnya bila beroperasi jauh di luar wilayah Australia. Terlebih lagi beberapa negara di sekitar Australia hingga beberapa tahun ke depan akan dilengkapi dengan pesawat tempur modern Rusia, khususnya Su-27/30.
20 tahun sebelum Australia mengadakan AWD, Koninklijke Marine alias AL Belanda sudah punya air defense frigate kelas Van Tromp. Sekarang Van Tromp sudah pensiun dan ada yang dijual ke Belgia. Van Tromp masuk ke armada KM ketika mereka lepas Van Speijk ke Indonesia.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa secara teknis, keinginan untuk menempatkan semua kemampuan pada sebuah kelas kapal perang memerlukan platform yang besar. Inilah yang menjadi kendala bagi negara-negara berkembang yang anggaran pertahanannya terbatas. Bahkan pada AL negara-negara maju pun, meskipun platform kapal atas air mereka rata-rata tonasenya di atas 2.500 ton, justru kemampuan utama yang ditanam cuma satu. Entah itu anti permukaan, bawah air maupun serangan udara. Pilihannya tinggal pada kalkulasi kebutuhan operasional.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kita? Sebenarnya pada kapal-kapal tipe FPB, kita sudah lama melaksanakannya. Ada FPB yang spesialisasi KCT, ada yang KCR. Itu sudah bagus. Namun untuk kapal dengan jenis yang lebih besar dari FPB, kita sepertinya masih ”bingung”. Memang sudah ada pemahaman soal spesialisasi dan fungsi asasi untuk jenis kapal yang lebih besar, namun dalam praktek sepertinya kita susah menentukan spesialisasi.
Sebagai contoh, korvet Sigma itu spesialisasinya kapal apa sebenarnya? Anti permukaan? AKS? Atau anti serangan udara? Yang lebih mudah diidentifikasi mungkin kelas FTH, mengingat kaliber meriamnya 114 mm, dapat dipastikan kapal itu lebih ditekankan pada anti kapal permukaan plus BTK. Memang kapal itu juga dilengkapi radar hanud, sehingga kemampuannya untuk hanud relatif dapat diandalkan. Kalau kelas Van Speijk, dugaan saya fungsi asasi kapal itu AKS. Soalnya di kapal itu selalu onboard heli AKS Wasp dan heli itu sampai saat ini merupakan satu-satunya heli AKS yang pernah dipunyai oleh AL kita.
Kalau masalahnya adalah kesulitan menentukan spesialisasi pada tiap jenis dan kelas kapal, salah satu solusi yang mungkin adalah adanya tiap kemampuan pada setiap kelas kapal yang kita beli. Hal ini hanya berlaku untuk kelas korvet ke atas, bukan korvet ke bawah. Konsekuensi sederhananya, untuk satu jenis kapal minimum kita harus adakan enam buah. Karena untuk satu kemampuan dalam kelas yang sama, kita harus punya dua kapal. Dengan tiga kemampuan, minimal kita butuh enam kapal.
Ini perhitungan sederhana, daripada kita harus beli kapal dengan jenis berbeda untuk kelas berbeda. Lebih baik satu kelas dengan kemampuan berbeda. Soal kelas, tergantung kebutuhan operasional. Kalau mau dipakai di Laut Natuna, Laut Aru, Laut Sulawesi, Samudera India, mungkin lebih tepat kelas fregat. Sebab kalkulasi kebutuhan operasional seringkali harus kita kompromikan dengan ketersediaan anggaran pengadaan.
Kalau kita berdiskusi lebih dalam, tanpa mengenyampingkan kebutuhan kapal anti permukaan dan AKS, seperti kapal anti serangan udara belum mendapat perhatian besar dari kita. Dibandingkan dengan dua kemampuan lain, mungkin kemampuan anti serangan udara kita paling terbawah. Sulit buat kita untuk mengandalkan rudal hanud kapal yang jarak jangkaunya pendek. Sulit pula untuk mengandalkan payung udara AU, karena pesawat tempur mereka sedikit dan belum ada ”jiwa” yang sama soal itu.
Maksudnya, secara kultural operasi gabungan AL-AU belum mendarah daging di kedua angkatan. Memang selama ini kita sering menggelar latihan gabungan dengan AU, namun itu sepertinya belum cukup untuk menjadi ”sejiwa”. Kita memang butuh payung udara dari AU, sayangnya kita belum ”sejiwa” dalam arti sesungguhnya. Maklum, AU kan terkesan tidak mau sekadar jadi unsur pendukung. Sementara dalam operasi maritim, salah satu peran yang harus dimainkan oleh AU adalah sebagai unsur pendukung, antara lain melindungi konvoi AL. So...ada baiknya bila kita mulai memikirkan perlu tidaknya mempunyai air warfare frigate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar