All hands,
Barang siapa yang mempelajari sejarah militer Amerika Serikat dari masa lalu hingga saat ini, akan sampai pada salah satu kesimpulan bahwa Angkatan Bersenjata negeri itu bertumpu pada teknologi untuk memenangkan pertempuran dan perang. Menjadi suatu hal yang wajar bila program riset terus dilaksanakan di negeri tersebut untuk mengembangkan senjata yang lebih modern dan baru agar tidak dapat dikejar dan disaingi oleh negara-negara lainnya. Tak aneh pula bila harga sistem senjata buatan Washington dalam satu dekade meningkat ribuan persen dibandingkan dekade sebelumnya. Lihat saja pengembangan sistem senjata seperti kapal induk, kapal selam dan juga pesawat udara seperti F-35.
Karakter militer Amerika Serikat yang bertumpu pada teknologi mengandung konsekuensi pula. Dalam Perang Vietnam, kecanggihan dan kemodernan teknologi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat mampu memenangkan beragam pertempuran selama bertahun-tahun di sana. Akan tetapi kecanggihan dan kemodernan teknologi itu tidak membawa pada kemenangan militer bagi Washington. Bahkan Amerika Serikat kalah dalam perang itu sehingga harus menarik mundur kekuatannya berdasarkan Perjanjian Paris.
Eksploitasi teknologi oleh Amerika Serikat antara lain bertujuan untuk meminimalkan jumlah korban pihak sendiri. Sebab di negara-negara maju, jumlah korban militer bukan sekedar angka atau statistik, namun bernilai politis yang dapat menentukan hidup matinya karir politik pejabat publik yang dipilih lewat pemilihan umum maupun partai politiknya. Lihat saja petualangan militer Amerika Serikat di Irak sejak 2003 yang memakan korban di pihak sendiri yang melebihi 4.000 personel. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah korban serupa di Vietnam, tetapi tetap saja ada protes yang kuat dari masyarakat Amerika Serikat.
Contoh kasus di sini adalah perang darat, di mana militer Amerika Serikat mengeksploitasi teknologi untuk mencapai tujuan militer dan tujuan politiknya. Teknologi yang canggih dan modern itu ternyata seringkali tidak berdaya ketika lawan yang dihadapi adalah kekuatan asimetris. Vietcong, gerilyawan Somalia, Irak, Taliban dan kelompok Al Qaeda merupakan kekuatan bersenjata yang secara teknologi asimetris dihadapkan pada kekuatan militer Amerika Serikat.
Ceritanya berbeda ketika membuka lembaran sejarah perang laut yang dilakukan oleh Amerika Serikat, di mana Amerika Serikat sampai kini tidak memiliki lembaran sejarah hitam soal eksploitasi teknologi. Sejak Perang Dunia Kedua, kedigdayaan teknologi Angkatan Laut Amerika Serikat belum pernah terkalahkan. Hal ini antara lain karena karakter perang di darat dan di laut yang berbeda. Di laut tak dikenal medan tinjau, medan lindung dan lain sebagainya sebab semuanya terbuka, tak ada pula penduduk di sini. Di sini tergambar bahwa eksploitasi teknologi militer secara optimal dalam perang peluangnya untuk sukses lebih terbuka dalam perang di laut daripada di darat.