All hands,
Dalam catatan sejarah kontemporer, intervensi suatu negara ke negara lain lebih banyak dilakukan lewat laut. Bentuk intervensi itu tidak harus selalu identik dengan invasi, tetapi seringkali melalui kehadiran kapal perang suatu negara di dekat perairan teritorial negara lainnya, baik memasuki perairan suatu negara dengan dalih lintas damai. Nyaris tak ada kasus politik yang melibatkan negara pantai atau bahkan negara yang terkunci oleh daratan tanpa pelibatan kekuatan Angkatan Laut suatu negara untuk menekan negara yang sedang menghadapi krisis politik. Lihat saja Afghanistan yang diintervensi dari laut, meskipun negeri kering kerontang itu tak mempunyai laut.
Untuk menghadapi atau merespon intervensi dari laut, suatu negara harus memiliki kekuatan Angkatan Laut yang mumpuni pula. Hanya dengan cara demikian maka pihak yang hobi menggelar intervensi akan berpikir keras untuk melancarkan aksinya. Terlebih jikalau negara yang rawan mengalami intervensi memiliki armada kapal selam, dapat dipastikan negara pelaku intervensi akan melakukan kalkulasi lebih cermat. Lihat saja aksi Australia ketika akan mengintervensi Timor Timur pada 1999.
Oleh karena itu, sebagian besara Angkatan Laut yang mengoperasikan kapal selam menghitung dengan cermat berapa kebutuhan minimal kapal selamnya. Perhitungan itu antara lain agar jangan sampai pada periode tertentu terjadi kekosongan kapal selam, dalam arti tak ada kapal selam yang siap operasional. Terkait dengan Indonesia, pendekatan dengan hanya mengandalkan dua kapal selam dalam armada Angkatan Laut perlu ditinjau kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar