29 April 2008

We Are (Not) Soldier of Fortune

All hands,
Kalau kita baca di dokumen-dokumen terbitan Dephan dan Mabes TNI, pasti kalau menyinggung soal peacekeeping isinya membangga-banggakan diri. Yang muncul pasti kalimat sejenis "peran kita sudah diakui oleh dunia internasional". Pertanyaannya, apa iya begitu?
Dari tahun 1957 sampe sekarang, berapa kali sih kita jadi force commander? Kalau nggak salah, cuma pas di FRY (Former Republic of Yugoslavia) aja kita pernah jadi force commander, yang sekarang jadi RI-1 itu. Kenapa begitu yah? Jangan-jangan kembali ke SDM juga, selain masalah kelihaian lobi di New York.
Selama ikut peacekeeping, pasukan kita kebanyakan dideploy di daerah merah atau hijau atau abu-abu? Menurut pengetahuan saya, kebanyakan di daerah merah. Negara-negara lain, khususnya negara-negara maju kalo kirim PKO "malas" pasukannya dideploy di daerah merah. Kenapa? Mereka sayang nyawa personelnya!!!
Terus, ada pikiran yang agak nakal. Jangan-jangan Indonesia sering ditawarin ikut peacekeeping karena status kita sudah disamakan dengan Bangladesh dan India. Dua negeri serumpun itu di dunia peacekeeping dikenal sebagai soldier of fortune. Cari makannya dari misi itu!!!
Ngomong-ngomong, kapan yah AL dikirim untuk peacekeeping dalam bentuk maritime task force yah? Sekarang kan sudah ada contoh di Lebanon dengan UNIFIL MTF. Yang isi MTF dari EUROMARFOR.
Sampai 2009 kan Indonesia akan terima empat kapal korvet Sigma dari Belanda (regardless our own opinion on that ships). Dengan kapal baru, sangat cocok buat MTF. Bagaimanapun, naval diplomacy kan harus pakai kapal yang benar-benar siap dan tergolong muda. Sebelum bisa kirim MTF, tugas utama kita adalah ubah paradigma tentang peacekeeping. Peacekeeping abad ke-21 bukan cuma libatkan AD, tapi juga AL.
That's the paradigm. And I'm absolutely agree with that. How about u?

Tidak ada komentar: