31 Desember 2009

Lebensraum Harus Dijaga

All hands,
Teori Karl Haushofer bahwa suatu bangsa ibarat makhluk hidup yang butuh ruang untuk hidup dan berkembang sangat sulit untuk dibantah kebenarannya. Hanya saja implementasinya berbeda antara di awal abad ke-20 dengan abad ke-21. Kalau di abad ke-20 kebutuhan lebensraum dicapai lewat invasi ke negara lain, di abad ke-21 kebutuhan yang sama dipenuhi dengan menggunakan instrumen politik dan ekonomi, sementara instrumen militer adalah pilihan terakhir.
Sebagai contoh, warga negara yang berada di wilayah kedaulatan negara lain tetap dilindungi oleh negara induknya. Seperti lewat asistensi dari perwakilan diplomatik di negara akreditasi, bahkan kalau perlu menyebarkan kekuatan militer untuk melindungi para warga negara itu apabila keselamatan jiwa dan harta mereka terancam. Contoh berikutnya, pada bidang ekonomi setiap negara berupaya meluaskan penetrasinya ke pasar negara lain lewat perdagangan bebas dan pada sisi lain berupaya melindungi pasar dalam negerinya lewat kebijakan proteksionis. Itulah contoh betapa teori lebensraum hingga kini masih sangat valid.
Lebensraum suatu negara melampaui batas kedaulatannya sendiri. Ini yang penting untuk dipahami. Untuk melindungi secara militer lebensraum tersebut, dibutuhkan eksistensi kekuatan militer yang dapat diproyeksikan kapan saja. Ketika menyentuh isu ini, pilihan yang terbaik dan termurah secara politik adalah Angkatan Laut karena karakteristik Angkatan Laut yang dapat disebarkan kemana saja di wilayah internasional tanpa harus takut menimbulkan keributan antar negara.
Di laut, jalur SLOC adalah lebensraum bagi banyak negara. Sehingga wajar saja bila Jepang mempunyai doktrin untuk mengamankan 1.000 mil laut SLOC-nya. Sementara Cina sampai harus menyebarkan kapal perangnya ke perairan Somalia untuk menghadapi ancaman pembajakan, yang tidak lepas dari konteks pengamanan lebensraum.
Pertanyaannya, seberapa banyak pihak di Indonesia yang paham dengan lebensraum ini? Sangat keliru mengatakan teori lebensraum bertentangan dengan Wawasan Nusantara, sebab kita harus melihat peraturan yang lebih atas lagi. Bukankah konstitusi negeri ini salah satunya mengamanatkan perlindungan terhadap tanah air dan para warga negeri ini?
Kalau banyak pihak paham akan teori lebensraum dalam kekinian, termasuk pengambil kebijakan politik, niscaya tidak ada alasan untuk menunda-nunda pembangunan kekuatan Angkatan Laut.

30 Desember 2009

Industri Maritim Indonesia Dikendalikan Singapura

All hands,
Selama sudah menjadi rahasia umum bahwa industri dan jasa maritim Indonesia berada di bawah kendali Singapura. Lihat saja sebagian kapal yang berlayar menghubungkan antar pulau di Indonesia menggunakan bendera negeri The Red Dot itu, khususnya kapal yang memuat barang-barang terkait dengan berbagai macam industri. Yang lebih memprihatinkan lagi, ada sinyalemen kuat bahwa industri perkapalan pun Indonesia sepertinya di bawah kendali negeri penampung para koruptor dan uang haram asal Indonesia.
Sebagai contoh silakan tengok industri perkapalan yang bertebaran di beberapa tempat di Kepulauan Riau. Khususnya di Pulau Batam dan beberapa pulau sekitarnya, termasuk Pulau Karimun. Di sana ada investasi bidang perkapalan dan mayoritas pelakunya berasal dari negeri yang sangat takut sama KKO/Marinir Indonesia hingga kini.
Pertanyaannya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Tidak sulit untuk menjawabnya, yaitu bisa jadi karena ada pembiaran dari pembuat kebijakan di bidang investasi, bisa pula karena memang para pembuat kebijakan di negeri ini tidak paham akan strategisnya dunia maritim bagi Indonesia. Asal tahu saja, konon ada agen-agen negeri pelindung para koruptor asal Indonesia di beberapa tempat strategis yang siap memotong bila ada kebijakan maritim yang menguntungkan Indonesia dan sebaliknya merugikan negeri itu.
Selain itu, sulit untuk dihindari bahwa sebagian industri perkapalan di dalam negeri masih harus berurusan lewat Singapura ketika berbicara tentang pembangunan kapal. Misalnya soal propeler, sistem pendorong, radar dan lain sebagainya. Sebab pabrikan subsistem tersebut terkadang tidak mau galangan Indonesia berhubungan langsung dengan kantor pusat mereka di Eropa atau Amerika, tetapi harus lewat perwakilan regional mereka yang berada di negeri pencuri pasir Indonesia tersebut.
Pertanyaan besarnya adalah kapan bangsa Indonesia sadar akan hal ini dan kemudian bertindak untuk memutus pengendalian oleh negeri The Red Dot itu?

29 Desember 2009

Berhitung Aspek Logistik Senjata Angkatan Laut

All hands,
Sistem senjata kapal perang terdiri dari beragam sub sistem, seperti meriam, rudal, sonar, deep charge, torpedo, fire control system, combat management system alias sewaco dan lain sebagainya. Setiap kelas kapal perang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda terhadap berbagai sub sistem itu. Misalnya, ada kapal perang kelas tertentu yang harus mengusung sekian torpedo dalam sekali berlayar/patroli, sehingga harus didukung sekian pula torpedo di depo arsenal. Ada pula kapal perang kelas tentu yang harus membawa sekian rudal dalam sekali berlayar/patroli, sehingga cadangan rudalnya pun di depo harus sekian pula jumlahnya.
Itu baru pada jenis senjata saja, belum lagi sub sistem pendukungnya seperti fire control system dan lainnya. Artinya menjadi pekerjaan besar bagi komunitas logistik untuk merencanakan secara matang berapa besar kebutuhan berbagai sub sistem senjata itu dalam jangka menengah maupun panjang. Dari hasil kalkulasi itu maka akan keluar besaran jumlah sub sistem yang dibutuhkan dan kemudian berkonsekuensi pada anggaran.
Dari gambaran sederhana ini jelas bahwa mengelola logistik senjata Angkatan Laut saja tidak mudah. Sebab setiap sub sistem senjata saja memiliki ratusan atau ribuan item suku cadang yang harus didukung. Konsekuensinya, biaya pengadaan, pemeliharaan dan operasional senjata Angkatan Laut tidak murah.
Karena dalam pembangunan kekuatan menganut adagium bahwa sumber daya terbatas, menjadi tantangan bagi kita untuk bisa menghitung berapa kebutuhan nyata untuk berbagai sub sistem senjata pada kapal perang. Keluaran dari itu adalah nilai rupiah. Dengan berhitung seperti itu, menjadi jelas berapa kebutuhan Angkatan Laut yang harus diajukan kepada pemerintah.

28 Desember 2009

Aturan Pelibatan Tanpa Konsultasi Politik

All hands,
Ketika terjadi tembak menembak antara kapal perang Korea Selatan versus Korea Utara pada 10 November 2009 di Laut Kuning, salah satu pelajaran yang dapat dipetik oleh Indonesia adalah menyangkut soal aturan pelibatan alias rules of engagement (ROE). ROE yang sekarang dianut oleh Angkatan Laut Republik Korea adalah langsung merespon hostile intent dan hostile act lawan tanpa harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pengambil kebijakan politik di Seoul. Tidak heran apabila kerugian operasional lebih banyak diderita oleh Angkatan Laut Republik Demokratik Korea daripada lawannya, sebab Angkatan Laut Republik Korea telah dilengkapi dengan aturan pelibatan yang “sesungguhnya”.
Indonesia harus mengambil pelajaran dari sana, khususnya menyangkut aturan pelibatan di wilayah tertentu seperti di Laut Sulawesi perairan Kalimantan Timur. Walaupun secara politik hubungan Indonesia-Malaysia tidak dalam kondisi gencatan senjata (artinya perang masih berlangsung) seperti halnya Korea Selatan-Korea Utara, namun tidak ada alasan untuk mempertahankan aturan pelibatan yang sebenarnya tidak tepat dikategorikan sebagai aturan pelibatan. Sebab aturan pelibatan di mana pun, khususnya pada kapal perang, memberikan kebebasan sepenuhnya kepada komandan kapal atau komandan gugus tugas untuk mengambil tindakan yang perlu pada saat yang genting atau membutuhkan respon cepat sesuai kondisi aktual di lapangan.
Aturan pelibatan yang masih mencantumkan komandan kapal perang atau komandan gugus tugas untuk berkonsultasi politik dengan pemimpin nasional jelas tidak memenuhi kebutuhan nyata di laut, sebab ada ruang dan waktu yang harus terbuang demi sebuah konsultasi. Apalagi dapat dipastikan bahwa konsultasi politik itu berjenjang secara hirarkis, sehingga bisa diterka berapa lama waktu yang habis hanya untuk kegiatan itu.
Harus kembali diingat bahwa kapal perang adalah extended territory suatu negara, sehingga komandan kapal perang sesungguhnya adalah wakil dari pemimpin nasional. Dengan demikian, kepadanya diberikan sejumlah kewenangan untuk bertindak apabila kapal perangnya terancam oleh hostile intent dan hostile act dari pihak lain. Ancaman terhadap kapal perang sama artinya dengan ancaman terhadap kedaulatan negara pemilik kapal perang tersebut.

27 Desember 2009

Berpikir Tentang Network-Centric Warfare

All hands,
Australia pada November 2009 telah menerbitkan dokumen berjudul NCW Roadmap 2009. Dokumen itu merupakan revisi dari NCW Roadmap 2007. Salah satu alasan penerbitan revisi itu adalah penyesuaian terhadap Buku Putih Pertahanan 2009 Defending Australia in the Asia Pacific Century: Force 2030. Berdasarkan NCW Roadmap 2009, beberapa target mengalami revisi, semisal networked maritime task group yang harusnya memasuki tahap initial operating capability pada 2011 menjadi 2014. Begitu pula dengan networked fleet dari 2014 menjadi 2016, sementara full operational capability-nya ditargetkan pada 2019.
Apa yang bisa dijadikan pelajaran bagi Indonesia dari semua hal tersebut? Arus utama dalam operasi militer di dunia masa kini adalah NCW. Meskipun Indonesia masih tertinggal, namun belum terlambat untuk mulai berpikir soal NCW sejak sekarang. Soal realisasinya baru bisa dimulai pada 2030 atau 2040, itu bukan masalah. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali, sebab apabila Indonesia tidak melakukan sama sekali berarti akan semakin ketinggalan pada 15-20 tahun ke depan.
Dinamika keamanan ke depan tetap tidak dapat mengabaikan peran aktor negara. Dengan demikian, peluang adanya benturan kepentingan nasional antara Indonesia dengan Australia di masa depan masih terbuka lebar. Artinya, kekuatan militer Indonesia nanti akan berhadap dengan kekuatan militer yang menerapkan NCW. Lalu bagaimana menghadapi kekuatan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, silakan mendalami apa yang dimaksud dengan NCW. Dari pendalaman itu, dapat direka apa saja yang harus disiapkan oleh Indonesia ke depan.

26 Desember 2009

Peran Angkatan Laut Mendukung Kebijakan Luar Negeri

All hands,
Angkatan Laut dengan sistem senjatanya yaitu kapal perang mempunyai karakteristik unik yang tidak dipunyai oleh kekuatan militer lainnya dalam rangka mendukung kebijakan luar negeri. Bentuk dukungan tersebut berupa penyebaran kapal perang ke wilayah perairan yang dinilai strategis dan terkait dengan kebijakan luar negeri, baik melalui operasi rutin maupun kontinjensi. Sebagai contoh adalah masalah perompakan dan pembajakan di Laut di perairan Somalia dan sekitarnya, banyak negara yang kebijakan luar negerinya menghendaki ada stabilitas perdamaian di perairan tersebut. Sebagai penerjemahan dari kehendak itu, maka disebarkan gugus tugas Angkatan Laut ke perairan Somalia untuk memerangi para perompak dan pembajak.
Contoh berikutnya adalah saat Perang Lebanon/Hizbullah-Israel Juli-Agustus 2006, beberapa Angkatan Laut menyebarkan kapal perangnya ke Lebanon untuk mengevakuasi warga negara mereka dan warga negara lainnya. Sebab kebijakan luar negeri negara-negara itu mengharamkan adanya warga mereka yang menjadi korban perang antara Hizbullah dan Israel.
Untuk contoh yang lebih ekstrim adalah penyebaran kapal perang untuk menangkal suatu negara lain atau mendukung suatu pihak dalam suatu konflik. Hal ini antara lain pernah dipraktekkan oleh Indonesia dengan menyebarkan gugus tugas Angkatan Lautnya ke Teluk Benggala merespon Perang India-Pakistan 1965. Kalau Indonesia dalam sejarah Angkatan Lautnya baru satu kali melaksanakan hal tersebut, Amerika Serikat sudah melakukannya secara rutin dalam berbagai kontinjensi di dunia.
Beberapa contoh itu menunjukkan bahwa Angkatan Laut mempunyai peran untuk mendukung kebijakan luar negeri dan dikenal sebagai peran diplomasi. Ditarik dalam konteks Indonesia, pertanyaannya adalah mengapa kemampuan Angkatan Laut dalam mendukung kebijakan luar negeri selama ini tidak dioptimalkan, bahkan ekstrimnya tidak dilirik sama sekali. Apakah karena kebijakan Indonesia yang cinta damai dan mengutamakan soft power?

25 Desember 2009

Mengukur Kemampuan Angkatan Laut Indonesia

All hands,
Sebagai hasil dari pembinaan yang dilakukan selama ini, kualitas Angkatan Laut negeri ini harus senantiasa diukur. Wadah pengukuran tersebut bukan semata Latihan Armada Jaya, tetapi juga dalam kesempatan-kesempatan berinteraksi dan beroperasi bersama Angkatan Laut negara-negara lain. Itulah salah satu alasan penting mengapa partisipasi Angkatan Laut Indonesia dalam UNIFIL MTF harus dilanjutkan.
Dalam UNIFIL MTF, unsur kapal perang Indonesia adalah satu-satunya yang berasal dari negara non EU dan NATO. Artinya, ada kesempatan yang terbuka bagi Angkatan Laut Indonesia untuk mengukur kemampuannya beroperasi bersama-sama dengan Angkatan Laut EU dan NATO yang dikenal mempunyai standar kompetensi yang tinggi, selain tentunya teknologi yang diadopsi dalam kapal perang mereka.
Dengan beroperasi bersama unsur-unsur EU dan NATO, banyak pengalaman operasional yang bisa diadopsi demi kemajuan Angkatan Laut negeri ini. Misalnya bagaimana kemampuan unsur kapal perang kita dalam bidang komunikasi, komando dan kendali, intelijen maritim dan lain sebagainya dalam suatu operasi multinasional. Bagaimana pula dengan dukungan logistik ketika unsur kapal perang Indonesia beroperasi jauh dari tanah air. Begitu pula dengan aspek sumber daya manusia, yang mana kelemahan mendasar kita adalah masalah bahasa.
Dengan berpartisipasi dalam UNIFIL MTF, artinya bisa dihitung secara detail kemampuan apa saja yang sudah setara dengan Angkatan Laut EU dan NATO, kemampuan apa pula yang masih harus ditingkatkan. Parameter kemampuan itu bisa diambil dari kegiatan-kegiatan operasional yang dilaksanakan dalam UNIFIL MTF. Disadari atau tidak, partisipasi dalam UNIFIL MTF adalah sarana untuk menuju world class navy.
World class navy parameternya memang banyak, salah satunya adalah kesiapan dan tingkat kemodernan sistem senjata. Soal kemodernan sistem senjata merupakan utang pemerintah yang harus dibayarkan kepada Angkatan Laut negeri ini. Namun jangan dilupakan pula parameter lainnya, yaitu kemampuan untuk interoperability dengan Angkatan Laut negara-negara lain, khususnya Angkatan Laut negara-negara maju.
Kesempatan bagi Indonesia untuk mengukur kemampuan Angkatan Lautnya bersama Angkatan Laut negara-negara maju tidak selalu terbuka lebar. Oleh karena itu, sangat disayangkan bila kesempatan yang tersedia di UNIFIL MTF tidak dimanfaatkan secara optimal. Maksudnya, partisipasi Indonesia dalam UNIFIL MTF harus diteruskan.

24 Desember 2009

Kelanjutan Partisipasi Indonesia Dalam UNIFIL Maritime Task Force

All hands,
Setelah KRI DPN-365 menyelesaikan misi selama enam bulan dalam UNIFIL MTF, hingga kini terjadi kekosongan pada posisi yang disiapkan oleh Indonesia di Lebanon. Sebab kapal pengganti KRI DPN-365 yaitu KRI FKO-368 belum disebarkan ke Lebanon. Soal penyebab belum disebarkannya unsur KRI itu sebenarnya bukan masalah teknis, tetapi menyangkut komitmen politik pemerintah Indonesia.
Komitmen politik pemerintah dalam partisipasi operasi perdamaian PBB patut untuk dipertanyakan. Kalau untuk menyebarkan kekuatan darat, pemerintah tidak mempunyai pertimbangan yang banyak dan rumit. Sebaliknya ketika unsur yang harus disebarkan adalah kekuatan laut berupa unsur kapal perang, beragam pertimbangan yang rumit muncul. Ujung dari semua kerumitan itu adalah dimunculkannya masalah ketersediaan anggaran dan reimbursement dari PBB.
Di situlah terjadi ironi. Kalau memang pemerintah memang berambisi meningkatkan partisipasi Indonesia dalam operasi perdamaian PBB, seharusnya tidak bersikap diskriminatif terhadap unsur yang akan disebarkan. Soal anggaran adalah konsekuensi dari komitmen politik tersebut. Kalau tidak mau disibukkan dengan anggaran untuk menyebarkan unsur kapal perang Angkatan Laut negeri ini ke Lebanon, sebaiknya tidak perlu berambisi meningkatkan partisipasi Indonesia.
Memang dalam perkembangan terakhir ada kecenderungan kuat bahwa KRI FKO-368 akan disebarkan ke Lebanon tahun 2010. Namun disayangkan adanya kekosongan posisi Indonesia dalam UNIFIL MTF terhitung sejak KRI DPN-365 mengakhiri misinya sampai dengan KRI FKO-368 memulai misinya. Untuk mengirimkan KRI FKO-368 bergabung dalam MTF, ada persiapan teknis yang harus dilakukan. Baik di dalam Angkatan Laut sendiri maupun antara Indonesia dengan PBB.

23 Desember 2009

Teliti Memilih Sistem Senjata

All hands,
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa dalam memilih suatu sistem senjata yang akan digunakan dalam kapal perang Angkatan Laut, ketelitian tinggi sangat diperlukan. Ketelitian tersebut bukan sebatas bagaimana integrasi sistem senjata itu ke dalam sistem kapal perang secara keseluruhan, tetapi juga mencakup populasi sistem senjata itu di pasar internasional, teknologi yang dikandung, kemampuan dukungan logistik dari pabrikan dan lain sebagainya.
Hal itu penting agar jangan sampai suatu sistem senjata yang belum lama digunakan oleh Angkatan Laut ternyata tidak dapat digunakan secara optimal karena adanya persoalan-persoalan teknis yang terkait dengan beberapa hal yang telah disebutkan sebelumnya. Sebagai contoh, saat ini kekuatan laut Indonesia ingin memasang sistem senjata x pada kapal perang tertentu. Soal keampuhan sistem senjata x tidak perlu diragukan lagi, sebab sudah combat proven. Cuma masalahnya dalam beberapa tahun mendatang sistem senjata ini akan makin berkurang populasinya di dunia dikarenakan oleh produksinya yang akan dihentikan oleh pabrikan. Pabrikan telah mulai membuat sistem senjata lanjutan dengan teknologi yang lebih canggih.
Berangkat dari situasi ini, sebaiknya kita berhitung soal cost. Apakah benar membeli dan memasang sistem senjata x akan lebih murah ke depan dibandingkan dengan membeli sistem senjata generasi penerusnya? Cost yang tercakup di sini bukan semata soal harga jual, pemasangan dan jaminan logistik terintegrasi dari produsen, tetapi meliputi pula biaya yang harus dikeluarkan apabila sistem senjata x akan digantikan oleh generasi pelanjutnya beberapa tahun mendatang karena alasan kekurangan dukungan logistik. Harus kita pahami bahwa dalam dunia ekonomi, nilai nyata uang saat ini akan berbeda dengan beberapa tahun mendatang, meskipun besaran uangnya sama.
Sudah seharusnya dihitung dengan benar perbandingan antara biaya investasi memasang sistem senjata jenis x dibandingkan dengan menggunakan sistem senjata generasi penerusnya. Ini soal cost effectiveness dan isu cost effectiveness sangat terkait dengan keterbatasan sumber daya.

22 Desember 2009

Membangun Force Multiplier Angkatan Laut

All hands,
Sistem senjata utama Angkatan Laut adalah kapal perang. Agar kapal perang dapat lebih mematikan, sistem senjata itu membutuhkan force multiplier. Hal ini telah diterapkan oleh banyak Angkatan Laut di dunia. Tentu saja menjadi pertanyaan, apa yang sebaiknya menjadi force multiplier Angkatan Laut?
Jawabannya tak lain dan tidak bukan adalah kekuatan udara Angkatan Laut. Meskipun saat ini era operasi gabungan, namun dalam konteks Indonesia masih sulit menempatkan kekuatan udara di luar organisasi Angkatan Laut untuk menjadi subordinasi Angkatan Laut dalam operasi maritim. Sehingga pilihan yang paling logis adalah mentransformasikan Penerbangan Angkatan Laut menjadi force multiplier.
Bagaimana caranya melaksanakan transformasi tersebut? Salah satunya adalah memodernisasi kekuatan udara Angkatan Laut dengan pesawat udara yang memang dirancang untuk beroperasi dari geladak kapal perang dan atau untuk kepentingan operasi maritim. Sebagai contoh, heli yang melengkapi Angkatan Laut bukan saja dituntut harus mempunyai kemampuan AKS, tetapi sistem pendaratnya menggunakan roda dan bukan skid seperti yang selama ini dipraktekkan.
Selain itu, kekuatan udara Angkatan Laut harus difungsikan bukan sebatas kepanjangan mata dan telinga kapal perang, tetapi juga kepanjangan tangan. Artinya kekuatan udara itu harus mempunyai senjata pamungkas, baik torpedo maupun rudal anti kapal permukaan.
Dengan daya gerak serta cakupan operasi yang lebih luas daripada kapal perang, kekuatan udara Angkatan Laut memang tepat untuk dijadikan force multiplier. Guna mewujudkan hal tersebut, salah satu pembenahan yang harus dilakukan adalah pada sumber daya manusianya. Kalau melihat tingginya tingkat kecelakaan pesawat udara Angkatan Laut selama beberapa waktu terakhir, hal itu menandakan bahwa profesionalisme mereka masih perlu dibenahi. Sebab sebagian dari faktor penyebab kasus-kasus itu adalah human error, meskipun tidak ada penyebab tunggal dalam kecelakaan pesawat udara.
Mengapa berakhir pada human error? Apabila dirunut lebih jauh, akan terkait dengan pembinaan profesionalisme para penerbang. Artinya ada suatu hal yang keliru dalam sistem yang eksis sekarang ini. Bisa jadi sistemnya benar, namun pelaksanaannya belum mengacu sepenuhnya pada sistem tersebut.

21 Desember 2009

Berpikir Dan Bertindak Antisipatif

All hands,
Dinamika lingkungan strategis harus senantiasa diantipasi oleh Angkatan Laut. Sebab apa yang terjadi di luar Angkatan Laut tidak jarang berimplikasi terhadap kekuatan laut Indonesia. Kadangkala implikasi itu tidak seperti yang diharapkan, dalam arti lebih banyak merugikan daripada menguntungkan bagi Angkatan Laut. Belajar dari pengalaman di masa lalu, berpikir dan bertindak antisipatif sudah seharusnya selalu mewarnai Angkatan Laut negeri ini.
Pola pikir dan tindak antisipatif bukan semata terhadap dinamika politik dan militer di kawasan Asia Pasifik. Semisal pergeseran pangkalan Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam atau pembangunan pangkalan Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim di sekitar Laut Sulawesi. Atau pula kebijakan pertahanan Australia yang semakin mengedepankan operasi ekspedisionari Angkatan Laut.
Tetapi mencakup pula beberapa isu strategis di dalam negeri yang dapat berpengaruh secara langsung terhadap eksistensi Angkatan Laut. Seperti masalah komponen cadangan yang mana Departemen Pertahanan ingin mempercepat terbentuknya undang-undang soal hal tersebut. Sudah sepantasnya bila Angkatan Laut negeri ini mengantisipasi perkembangan demikian.
Misalnya, tidak ada salahnya bila Angkatan Laut sedini mungkin menyusun konsep cadangan Angkatan Laut. Selanjutnya konsep itu dikonsultasikan dengan pihak-pihak terkait, baik Mabes TNI maupun Departemen Pertahanan. Konsep itu dapat disusun meskipun undang-undangnya belum ada. Kalaupun undang-undangnya sudah ada, apabila ada bagian-bagian dari konsep yang tidak sesuai dengan undang-undang, tentu tinggal disesuaikan saja.
Pola pikir dan pola tindak seperti ini adalah bagian dari to test the water. Apa tujuan dari to test the water? Yaitu jangan sampai pembinaan komponen cadangan Angkatan Laut nantinya justru tidak dilaksanakan oleh Angkatan Laut, tetapi oleh pihak lainnya.
Jangan sampai lagi Angkatan Laut merasa kecolongan seperti ketika suatu rancangan undang-undang dibahas di parlemen beberapa tahun lalu. Terkait dengan komponen cadangan, tidak ada alasan bahwa Angkatan Laut tidak boleh membina komponen cadangannya. Harap dipahami bahwa di negeri ini akal sehat dan konsep yang benar dan umum bisa tidak diakomodasi dalam suatu undang-undang karena kepentingan-kepentingan sektoral yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan nasional.

20 Desember 2009

Mutlaknya Seapower Bagi Indonesia

All hands,
John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang dikenal flamboyan terhadap lawan jenis namun berani, tegas, teguh dan tidak pernah ragu serta bimbang menghadapi Uni Soviet, termasuk dalam Krisis Rudal Kuba, pernah mengabdi pada U.S. Navy sebagai perwira, walaupun tidak pernah mencapai pangkat Laksamana. Karena itu, tidak heran kakak dari Jaksa Agung dan Senator Robert Kennedy sangat paham akan nilai penting seapower bagi kepentingan nasional negaranya. Kennedy pernah berucap:
Control of the seas means security. Control of the seas means peace. Control of the seas mean victory. The United States must control the sea if it is to protect our security”.
Mari kita tarik ucapan Kennedy dalam konteks Indonesia. Artinya kalimat The United States diganti dengan Indonesia, sementara kalimat lainnya tetap sama. Pertanyaannya, bagian mana dari ucapan tersebut yang tidak relevan dengan Indonesia? Jawabannya adalah tidak ada, semuanya relevan dengan kondisi Indonesia.
Stabilitas keamanan Indonesia ditentukan oleh pengendalian laut. Tanpa pengendalian laut, keutuhan Indonesia sebagai negara bangsa dipertaruhkan. Tanpa pengendalian laut, perdamaian di Indonesia tidak akan terjamin. Perdamaian di Indonesia identik dengan perdamaian di kawasan Asia Tenggara, sebab luas perairan Indonesia adalah dua pertiga kawasan ini.
Pengendalian laut juga berarti kemenangan bagi Indonesia, sebab mustahil Indonesia dapat mempertahankan keutuhan wilayah negaranya tanpa memperoleh kemenangan di laut. Ruang dan waktu sekarang berbeda dengan ruang dan waktu pada 1945, sehingga apabila ada perang maka Indonesia tak punya pilihan kecuali menang di laut juga.
Selanjutnya, tidak ada yang bisa membantah bahwa keamanan nasional Indonesia tidak dapat dicapai tanpa pengendalian laut. Pertanyaannya, siapa yang bisa mengendalikan laut di Indonesia? Tentu jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah Angkatan Laut.
Tidak ada pihak lain yang di Indonesia yang bisa melaksanakan pengendalian laut kecuali Angkatan Laut.
Dari situ tergambar bahwa seapower sifatnya mutlaknya bagi Indonesia. Namun masalahnya adalah masih banyak pihak di negeri ini yang tidak paham dengan seapower, sebagian lagi tidak berpihak kepada Angkatan Laut. Bahkan ada pihak yang sangat yakin bahwa Indonesia akan disegani di kawasan dan dunia apabila mengedepankan soft power. Suatu keyakinan yang sesat dan menyesatkan, sebab sejarah membuktikan bahwa kejayaan Indonesia di abad ke-20 antara lain justru karena seapower.
Sayang, sejarah kejayaan seapower di abad ke-20 dicoba untuk dihapus dari catatan dari lembaran sejarah negeri ini. Sebaliknya kegagalan soft power Indonesia di awal abad ke-21 berusaha ditutup-tutupi dengan tinta emas. Kalau Indonesia memang tidak perlu dengan seapower, seharusnya negeri ini mengajukan diri kepada PBB untuk mengubah statusnya dari negara kepulauan menjadi negara kontinental saja. Dengan menjadi kekuatan kontinental, seapower bukan hal yang mutlak, meskipun tidak sedikit kekuatan kontinental yang kini menjadi seapower.

19 Desember 2009

Ancaman Dari Selatan

All hands,
Meskipun Indonesia sampai saat ini terikat Perjanjian Lombok dengan Australia, akan tetapi situasi demikian hendaknya tidak membuat negeri ini terlena. Mengacu pada kebijakan pertahanan Australia dan juga preseden sejarah, Indonesia secara nyata menghadapi potensi ancaman dari selatan. Bukankah kebijakan pertahanan Australia menempatkan Indonesia sebagai perimeter terdepannya. Lihat saja soal pengungsi dari Asia Barat dan Asia Selatan yang berlayar menuju negeri itu dan bagaimana kerasnya pemerintahan di Canberra menekan Jakarta terkait isu tersebut.
Sehingga apabila ada instabilitas di wilayah Indonesia, khususnya pada kawasan-kawasan perairan yang dikategorikan sebagai jalur pendekat, tidak diragukan bahwa negeri itu akan melaksanakan proyeksi kekuatan untuk mengamankan kepentingan strategisnya. Itulah alasan mengapa kini negeri yang didirikan oleh para narapidana itu sekarang mengembangkan kapal perusak AWD kelas Hobart dan LHD kelas Canberra.
Tak aneh pula bila dalam Seapower Conference 2010 temanya adalah soal proyeksi kekuatan, yakni Combined and Joint Operations From The Sea. Dalam kegiatan itu, salah satu pembicaranya adalah eks Jenderal Peter Cosgrove yang akan berbicara soal pengalaman dia memimpin proyeksi kekuatan Australia ke Timor Timur.
Pertanyaannya, apakah kebijakan pertahanan Indonesia melihat potensi ancaman dari selatan? Kalau memang melihat, apakah ada langkah-langkah untuk memperkuat pertahanan di Indonesia bagian selatan, khususnya mulai dari Selat Lombok sampai ke Selat Torres? Apakah kebijakan minimum essential force menengok ke sana?
Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan ini tidak sulit bagi kita yang menggeluti persoalan terkait pembangunan kekuatan dari hari ke hari.

18 Desember 2009

Mengambil Manfaat Dari Seapower Conference 2010

All hands,
Indonesia dipastikan akan berpartisipasi dari Seapower Conference 2010 di Sidney, Australia. Partisipasi Indonesia tentu saja diharapkan akan memberi manfaat, khususnya dalam meningkatkan pemahaman terhadap perkembangan terkini dalam konsep operasi amfibi. Sebab doktrin operasi amfibi yang kini dianut oleh Indonesia, dalam hal ini Korps Marinir, masih merupakan doktrin lama yang sebagian sudah tidak dipraktekkan lagi oleh negara-negara lain. Misalnya, negara-negara maju seperti Amerika Serikat sudah tak anut lagi garis awal dan garis luncur dalam operasi amfibi.
Sebenarnya Indonesia bisa saja menyesuaikan doktrin operasi amfibi sesuai dengan perkembangan terkini. Akan tetapi masalahnya doktrin itu harus ditunjang oleh sistem senjata yang memadai. Seperti LCAC dan heli untuk kepentingan GKK Lintas Heli. Begitu pula ketersediaan kapal angkut heli yang jumlahnya memadai.
Dalam konferensi nanti, direncanakan narasumber untuk membahas tentang operasi amfibi bukan saja berasal dari kawasan Asia Pasifik, tetapi mencakup pula beberapa negara Eropa. Pandangan dari Eropa seperti Inggris dan Rusia perlu dicermati, sebagai perbandingan terhadap perspektif negara-negara kawasan Asia Pasifik yang mayoritas dalam operasi amfibi berkiblat kepada Amerika Serikat.
Dari sana Indonesia sudah sepantasnya untuk secara bertahap meninjau kembali doktrin operasi amfibi yang dianut seiring dengan modernisasi sistem senjata. Selain itu, Indonesia dapat “mengintip” konsep operasi amfibi yang dikembangkan oleh negara-negara lain, termasuk Australia untuk menyiapkan antitesisnya.

17 Desember 2009

Fokus Operasi Amfibi Australia

All hands,
Pada 27-29 Januari 2010, Royal Australian Navy melalui Seapower Centre akan mengadakan Seapower Conference 2010. Dalam konferensi bertema Combined and Joint Operations From The Sea, topik yang akan dibahas adalah operasi amfibi. Tentu bagi kita bangsa Indonesia yang berbatasan langsung dengan Australia, menjadi pertanyaan mengapa temanya dipilih soal tersebut?
Jawabannya tidak akan sulit untuk ditemukan bila kita memahami kebijakan pertahanan Australia. Negeri yang dilahirkan oleh para narapidana itu menjadi kawasan di sebelah utara sebagai wilayah kepentingannya melalui istilah direct approach. Sebab mustahil ancaman dan tantangan terhadap negeri di mana kaum Aborigin tersingkir di tanah leluhur mereka sendiri muncul dari wilayah selatan yang berupa kawasan kutub yang penghuninya lebih banyak binatang daripada manusia. Untuk mengendalikan direct approach, kebijakan pertahanan Canberra mirip dengan induknya di Washington, yakni berperang sejauh mungkin di luar wilayahnya.
Oleh karena itu, sangat jelas ada korelasi antara pengadaan kapal perusak berkemampuan peperangan udara kelas Hobart, kapal LHD kelas Canberra dan rencana pembangunan 12 kapal selam baru. Semua kekuatan itu akan diproyeksikan ke wilayah direct approach Australia yang berada di kawasan utara. Proyeksi kekuatan bukan sekedar untuk kepentingan operasi HADR dan merespon langsung serangan terhadap Australia, tetapi meliputi pula pengendalian perairan di sebelah utara dan juga menciptakan stabilitas apabila ada pergolakan politik dan komunal di wilayah utara Australia.
Karena Australia tidak mempunyai pasukan Marinir, maka yang akan difungsikan sebagai pasukan pendarat adalah Angkatan Darat. Seperti dinyatakan dalam Buku Putih Pertahanan Australia, kekuatan darat negeri itu akan diproyeksikan pada wilayah pantai dari perairan direct approach untuk menjamin keamanan navigasi kapal perang Angkatan Lautnya.
Dengan kata lain, Indonesia jangan naif memandang pembangunan kemampuan operasi amfibi Australia semata-mata untuk HADR seperti yang ditunjukkan di Aceh pada 2004 dan Padang pada 2009. Indonesia jangan pernah melupakan kasus Timor-Timur 1999, di mana Australia melaksanakan proyeksi kekuatan atas nama stabilitas kawasan. Kasus serupa bisa pula terjadi di Papua dan atau Maluku atau wilayah lainnya di sekitar ALKI II dan III. Indonesia jangan pula terlalu naif bahwa negeri turunan para narapidana itu akan memegang teguh Perjanjian Lombok, sebab AMS pun mereka injak-injak pada 1999 atas nama stabilitas kawasan.
Kembali kepada tema dalam Seapower Conference 2010, tema itu dirancang bukan tanpa preseden dan maksud tertentu. Tema itu berada dalam bingkai kepentingan nasional Australia. Pertanyaannya, apakah bingkai kepentingan nasional Australia sejalan dengan bingkai kepentingan nasional Indonesia?

16 Desember 2009

Berhitung Ekonomis Dalam Program Mid-Life Update

All hands,
Modernisasi kekuatan laut Indonesia berjalan dengan lambat karena kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap Angkatan Laut. Oleh karena penambahan kapal perang baru berjalan lambat, maka program Mid-Life Update (MLU) adalah cara lain agar aset kapal perang yang ada dalam susunan tempur tidak makin berkurang di tengah makin tingginya tantangan tugas. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan program ini, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa jenis kapal kombatan yang telah menjalani MLU lebih dari satu kali.
Artinya, usia pakai kapal kombatan tersebut paling lama 15 tahun lagi. Kondisi itu kemudian harus dihitung dengan biaya untuk melaksanakan MLU secara paripurna. Misalnya penggantian sewaco alias CMS dan penggantian rudal. Singkatnya, menjadi pertanyaan apakah biaya yang digunakan untuk program MLU itu sebanding dengan usia masa pakai kapal yang tersisa?
Apabila dari sisi biaya besarnya anggaran yang diinvestasikan untuk MLU suatu jenis kapal perang lebih mahal daripada sisa usia pakainya, apakah tidak lebih baik menginvestasikan dana untuk membeli kapal perang baru sebagai pengganti kapal perang yang telah lebih dari satu kali menjalani MLU. Soal anggaran pengadaan sebenarnya tidak sulit selama ada kemauan politik dari pemerintah. Pemerintah kurang pada tempatnya bila hanya menuntut Angkatan Laut melaksanakan tugas pokoknya, tetapi tidak mendukung bagaimana agar pelaksanaan tugas pokok tersebut lebih lancar dan lebih maju dibandingkan era sebelumnya.

15 Desember 2009

Arah Pertahanan The Red Dot Ke Depan

All hands,
Singapura sebagai negeri penampung para koruptor dan uang haram dari Indonesia kini merupakan kekuatan militer terkuat di kawasan Asia Tenggara. Namun demikian, terdapat kecenderungan bahwa keunggulan militer negeri yang disebut oleh Presiden B.J. Habibie sebagai The Red Dot ke depan sedikit demi sedikit mulai ditandingi oleh beberapa negara di sekitarnya. Termasuk oleh Indonesia yang kini tengah berfokus mengembangkan rudal jelajah jarak jauh.
Dalam arsenal Angkatan Laut Indonesia, sekarang terdapat beberapa rudal jelajah yang dapat ditembakkan jarak jauh dengan sasaran yaitu The Red Dot. Selain itu, Indonesia tengah mengembangkan roket jarak jauh yang karena sifatnya yang dual use dapat diubah menjadi rudal jelajah. Artinya Negeri The Red Dot boleh saja punya bermacam kapal perang dan pesawat tempur yang canggih, tetapi tidak dapat mengabaikan begitu saja ancaman rudal jarak jauh yang dipunyai oleh negara-negara di sekitarnya.
Kondisi yang akan dihadapi oleh The Red Dot sama dengan yang dihadapi oleh mentornya di Timur Tengah, yaitu Israel. Negeri pengacau stabilitas di kawasan Timur Tengah itu terus mengembangkan sistem pertahanan rudal, mulai dari tingkatan terendah hingga tingkatan tertinggi. Selain mengandalkan pada teknologi lokal, Negeri Zionis juga mengandalkan pada teknologi pertahanan rudal dari Amerika Serikat selaku induk semangnya.
Artinya, Negeri The Red Dot cepat atau lambat pasti akan mengembangkan teknologi anti rudal. Selain berpangkalan di darat, dapat dipastikan akan ada sejumlah kapal perang milik The Red Dot yang akan dipasangi teknologi Aegis atau sejenisnya bagi kepentingan pertahanan rudal. Soal mendapatkan lisensi teknologi Aegis dari Amerika Serikat tidak akan sulit bagi The Red Dot, meskipun negeri itu tidak demokratis dan kurang menghargai hak asasi manusia sebagai dua hal yang selalu dikampanyekan oleh Washington ke seluruh dunia.

14 Desember 2009

Sistem Senjata Yang Digunakan Negara Produsen

All hands,
Ketika kita membeli sistem senjata berdasarkan pendekatan off the shelf, satu di antara aspek penting yang harus diperhatikan adalah soal siapa saja konsumen sistem senjata tersebut. Apakah negara di mana produsen sistem senjata itu berada sudah menggunakan sistem senjata yang akan kita beli tersebut atau belum? Ataukah ada negara lain yang sudah terlebih dahulu menggunakan sistem senjata tersebut sebelumnya?
Isu ini penting untuk dicermati dan dipahami di Indonesia, khususnya dalam konteks sistem senjata Angkatan Laut. Sebab sejak 1980-an sampai sekarang terdapat beberapa pengadaan berdasarkan off the shelf justru cenderung merugikan Indonesia dalam pengoperasian kapal perang yang dibeli. Misalnya dua korvet buatan Negeri Kincir Angin yang tidak digunakan sendiri oleh negara pembuatnya.
Kasus yang berbeda terjadi pada kapal selam kelas U-209. Angkatan Laut Jerman (Barat) memang tidak menggunakan kapal selam itu, namun Indonesia bukanlah konsumen satu-satunya dan pertama di dunia. Dengan demikian apabila ada kesulitan teknis dalam pengoperasian kapal selam itu, posisi Indonesia sebagai konsumen masih ada daya tawar.
Ke depan, sebaiknya Indonesia dalam membeli kapal perang hendaknya menjadikan penggunaan oleh Angkatan Laut negara pabrikan sebagai salah satu pertimbangan utama. Bukan sekedar harga yang murah, tidak pula iming-iming sebagai launRata Penuhch customer. Atau iming-iming lainnya.
Mengapa pengadaan kapal perang yang sudah digunakan oleh negara pabrikan menjadi penting? Alasannya ada beberapa, seperti sudah teruji, keandalan dukungan logistik dan adanya mitra yang bisa dijadikan kawan untuk bertukar informasi dan pengalaman tentang pengoperasian kapal sejenis. Yang tidak boleh dilupakan pula, Indonesia tidak lagi menjadi kelinci percobaan bagi produk kapal perang asing.

13 Desember 2009

Pameran Pertahanan Sebagai Indikator

All hands,
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mulai giat melaksanakan pameran pertahanan tingkat kawasan. Kegiatan tersebut dapat dijadikan indikator seberapa besar ketertarikan pihak asing, khususnya industri pertahanan, terhadap peluang pasar yang terbuka di Indonesia terhadap produk-produk mereka. Apakah Indonesia dinilai sebagai pasar yang menjanjikan atau sebaliknya, dapat dilihat dari kegiatan seperti itu.
Kalau memperhatikan dengan seksama beberapa kegiatan pameran pertahanan yang diselenggarakan beberapa tahun belakangan, akan terlihat dengan jelas bahwa Indonesia bukan menjadi pasar yang menarik buat mereka. Bisa jadi hal itu karena mereka melihat bahwa pemerintah Indonesia tidak eager dalam memodernisasi kekuatan pertahanannya.
Selama ini, peserta terbanyak dalam beberapa pameran pertahanan berasal dari industri dalam negeri. Industri asing cuma berasal dari Korea Selatan, Belanda, Rusia, Polandia dan India. Kehadiran industri lima negara itu mencerminkan bahwa mereka melihat peluang pasar yang besar bagi mereka di Indonesia, sehingga mereka memutuskan hadir. Namun industri dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lain sebagainya tidak hadir. Tentu mudah ditebak alasan mengapa mereka tidak hadir.
Dengan kata lain, pasar bagi industri pertahanan asing di Indonesia belum terlalu menjanjikan. Industri pertahanan yang memutuskan hadir dalam beberapa pameran pertahanan adalah pihak-pihak yang tengah dan atau akan segera menjalin kontrak dengan Departemen Pertahanan Indonesia.

12 Desember 2009

Industri Maritim Dan Angkatan Laut

All hands,
Industri maritim sudah pasti mempunyai keterkaitan erat dengan Angkatan Laut. Satu di antara industri maritim itu adalah industri perkapalan. Kalau ditarik ke dalam ruang dan waktu yang bernama Indonesia saat ini, peran industri perkapalan dalam mendukung Angkatan Laut Negeri Nusantara sangat strategis. Namun beberapa masalah masih menyelimuti industri perkapalan nasional dan masalah-masalah tersebut kita paham sekali.
Satu hal yang hendaknya dipahami dalam hubungan antara industri perkapalan dan Angkatan Laut adalah konsistensi dan keberlanjutan pesanan. Industri perkapalan memerlukan pesanan yang konsisten dan berlanjut dari Angkatan Laut untuk menjaga production line mereka, khususnya pada production line divisi kapal perang. Hal inilah yang sering dikeluhkan oleh para pelaku industri perkapalan terhadap Angkatan Laut.
Sebenarnya, masalah konsistensi dan keberlanjutan pesanan dapat terwujud apabila pemerintah konsisten melaksanakan Renstra Pertahanan, khususnya Renstra Angkatan Laut yang telah disetujui. Dalam renstra tersebut terlihat dengan jelas kapal perang apa saja yang akan dibangun dalam tiap periode renstra. Kalau pemerintah bisa konsisten, maka productionline industri perkapalan akan terus hidup.
Di sisi lain, Angkatan Laut sebagai konsumen seringkali mengeluhkan jadwal produksi industri perkapalan nasional yang seringkali meleset. Akibatnya penyerahan kapal perang meleset dari jadwal yang telah disepakati bersama. Selain itu, dukungan layanan purna jual juga seringkali digugat sebab tidak sesuai harapan.
Untuk meningkatkan hubungan antara industri maritim dan Angkatan Laut, dibutuhkan perbaikan pada masing-masing pihak terkait. Tanpa itu keraguan terhadap kemampuan industri maritim nasional untuk mendukung Angkatan Laut tetap dipertanyakan.

11 Desember 2009

Mengoptimalkan Kerjasama Pertahanan

All hands,
Indonesia mempunyai beberapa kerjasama pertahanan dengan negara-negara di dunia. Namun sangat disayangkan kerjasama pertahanan itu belum dioptimalkan dalam mendukung kepentingan nasional. Sebab selama ini yang dieksploitasi dalam kerjasama pertahanan lebih pada isu pendidikan, pelatihan, latihan bersama dan patroli. Sementara modernisasi kekuatan pertahanan yang saat ini bersifat mendesak dan mutlak cenderung kurang dieksploitasi dalam kerjasama pertahanan, padahal peluang untuk itu tersedia dan terbuka lebar.
Perjanjian kerjasama teknik militer antara Jakarta-Moskow belum dieksploitasi secara maksimal karena “ketakutan” yang berlebihan terhadap Washington. Contohnya jelas, yakni pelaksanaan perjanjian itu lebih difokuskan pada matra udara, sementara persenjataan matra laut terus dihambat realisasinya. Begitu pula dengan Perjanjian Lombok, Indonesia dengan jelas mengikuti gendang yang dibunyikan oleh Australia sehingga lupa bahwa dalam bidang pertahanan salah satu kerjasama yang terbuka lebar adalah menyangkut teknologi sistem senjata. Nasib serupa menimpa juga kerjasama kerjasama pertahanan antara Jakarta-New Delhi, padahal New Delhi dapat menjadi salah satu alternatif bagi modernisasi militer Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa perjanjian kerjasama pertahanan yang terjalin antara Indonesia dengan beberapa negara lain tidak dieksploitasi secara maksimal? Apakah karena ketidaktahuan? Ataukah karena tekanan dari negara lain? Ataukah karena memang tidak ada niat untuk memodernisasi kekuatan militer Indonesia?

10 Desember 2009

Ikutilah Jejak India

All hands,
India kini merupakan negara berkembang yang tengah bertransformasi menuju negara maju. Salah satu kemajuan pesat yang dicapai oleh India adalah di bidang pertahanan. Di samping berhasil mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, negeri itu juga kini telah menjadi kekuatan regional yang diperhitungkan. Peran militer India di kawasan Asia Pasifik kian menonjol seiring dengan modernisasi kekuatan yang cukup berhasil.
Berbicara tentang modernisasi kekuatan, apalagi bagi negara berkembang sulit, untuk dilepaskan dari kebijakan luar negeri. Sebab sistem senjata bagi modernisasi kekuatan harus mengandalkan pada pasokan asing. Oleh sebab itu, kebijakan luar negeri harus mendukung kebijakan pertahanan.
India pada era Perang Dingin dikenal sebagai salah satu negara terkemuka dalam Gerakan Non Blok alias Non-Alignment Movement. Meskipun berstatus anggota NAM, namun dalam prakteknya India lebih dekat dengan Uni Soviet dalam pembangunan kekuatan militernya. Hingga kini bisa dilihat bahwa lebih dari 90 persen sistem senjata yang memperkuat militer India berasal pasokan Uni Soviet.
Saat Perang Dingin usai dan disusul dengan dinamika keamanan global dan kawasan yang berubah dengan cepat, India dengan cepat menyesuaikan diri. Salah bentuknya adalah berpaling dari Non-Alignment menjadi Poly-Alignment. Termasuk di dalamnya menyangkut pengadaan sistem senjata. Bila sebelumnya India banyak mengandalkan dari Uni Soviet/Rusia, sekarang negeri itu mulai melirik pengadaan sistem senjata dari negara-negara Barat, baik Eropa maupun Amerika Serikat.
Pengadaan sistem senjata India sejak masa Perang Dingin selalu mengandalkan pada program offset dan co-production. Tidak heran kalau kini India sudah menguasai semua teknologi terkait sistem senjata, baik platform, elektronika, optik, rudal, mesin dan lain sebagainya. Bahkan Negeri Nehru ini telah mengembangkan sejumlah senjata buatan nasional, baik kapal perang, pesawat udara, tank dan kendaraan lapis baja dan rudal.
Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang mirip dengan India. Negeri Nusantara ini merdeka dua tahun lebih awal daripada India, di tahun 1950-an bersama dengan India aktif menggalang solidaritas Asia Afrika, di awal 1960-an bersama-sama mendirikan NAM. Sayang di tahun 1965 hubungan kedua negeri kurang harmonis karena kebijakan Presiden Soekarno yang mendukung Pakistan dalam perang India-Pakistan. Bentuk dukungan Indonesia terhadap Pakistan bukan sebatas pernyataan diplomatik seperti yang kini digemari di Indonesia sebagai model, tetapi direalisasikan pula dengan penyebaran satu Gugus Tugas Angkatan Laut yang terdiri dari beberapa kapal selam ke perairan Pakistan Timur. Perdana Menteri Pandit Jawaharlal Nehru sangat kecewa dengan kebijakan pemimpin Indonesia tersebut dan membuat hubungan kedua negara sempat mengalami kemunduran.
Kini meskipun mempunyai perjalanan sejarah yang mirip, akan tetapi dalam bidang pertahanan Indonesia sangat jauh tertinggal dari India. Indonesia masih sangat jauh dari kemandirian di bidang pertahanan. Mengapa demikian? Bisa jadi antara lain karena masih menganut kebijakan luar negeri yang relevan untuk kebutuhan kemarin, tetapi tidak relevan bagi kebutuhan hari ini.

09 Desember 2009

Mutlaknya Transformasi Pertahanan

All hands,
Pemimpin negeri ini boleh-boleh saja mempunyai mimpi besar yang berjudul standby force untuk kepentingan operasi perdamaian. Akan tetapi hal itu harus berada dalam bingkai kepentingan nasional Indonesia. Artinya, standby force harus memberikan keuntungan politik, ekonomi dan militer bagi kekuatan pertahanan Indonesia. Tidak tepat bila standby force diadakan hanya untuk menaikkan citra Indonesia tanpa berkontribusi pada meningkatkan profesionalisme militer negeri ini.
Terkait dengan masalah itu, langkah pertama dan mutlak harus dilaksanakan oleh Indonesia adalah melaksanakan transformasi pertahanan. Isu transformasi pertahanan ini bersifat mutlak, sehingga harus terus digemakan. Tanpa transformasi pertahanan, kekuatan pertahanan Indonesia hari ini akan tetap sama dengan 10 tahun mendatang, bahkan 20 tahun mendatang.
Soal transformasi pertahanan sudah beberapa kali dibahas dalam tulisan-tulisan lain di sini. Oleh sebab itu, kali ini tidak akan diulas lebih dalam lagi mengenai apa itu transformasi pertahanan. Sekarang tinggal memilih, apakah kita mau berubah menuju kondisi yang lebih baik atau begini-begini saja.
India adalah salah satu negara yang sukses dengan transformasi pertahanan. Melalui kegiatan itu, militer India kini telah menjadi kekuatan kawasan yang diperhitungkan. Terlebih lagi industri pertahanan negeri itu mendukung transformasi itu, karena kuatnya keinginan politik dari pemerintah India soal swasembada sistem senjata.
India juga merupakan satu dari tiga negara terbesar dalam troop contributor countries (TCC) operasi perdamaian. Militer India mampu melaksanakan interoperability dengan militer negara-negara maju. Semua itu di antaranya karena India melaksanakan transformasi pertahanan untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju di bidang militer.
Indonesia sesuai dengan kapasitasnya sebenarnya dapat menjadi kekuatan regional dalam arti sebenarnya, bukan kekuatan regional dalam tanda kutip yang modalnya cuma soft power. Jalan yang harus ditempuh ke arah sana sama dengan jalan yang telah ditempuh oleh India, yaitu transformasi pertahanan. Transformasi pertahanan suka atau tidak suka akan mengubah semua hal yang selama ini sudah mapan, seperti doktrin, operasi dan organisasi.
Perubahan ketiga aspek itu berbuntut pula pada perubahan sistem senjata. Maksudnya, sistem senjata yang digunakan harus mengacu pada doktrin yang dianut. Strategi pun juga berubah seiring dengan transformasi pertahanan, sebab strategi akan dipengaruhi pula oleh aplikasi teknologi dalam sistem senjata.
Dengan kata lain, mimpi besar berjudul standby force harus didahului oleh transformasi pertahanan. Bila tidak, mimpi besar itu sebenarnya tidak memberikan keuntungan strategis apapun bagi kepentingan nasional Indonesia. Artinya, sebelum bermimpi bahwa Indonesia akan mendapat banyak dana reimbursement dari PBB, Indonesia harus mengeluarkan anggaran yang besar dan terukur terlebih dahulu untuk membenahi kekuatan militer lewat transformasi pertahanan.

08 Desember 2009

Menata Perdamaian Dunia Atau Kawasan?

All hands,
Mimpi besar berjudul standby force harus dipikirkan kembali dengan matang. Salah satu alasannya sederhana, yaitu apakah kekuatan itu akan digunakan untuk lingkup dunia internasional atau sebatas kawasan Asia Tenggara? Mengapa kawasan Asia Tenggara dijadikan perhatian khusus? Jawabannya tidak lain dan tak bukan karena Indonesia hidup di kawasan ini dan terikat dengan cetak biru APSC yang di antaranya mengatur tentang pemeliharaan perdamaian kawasan.
Dengan kata lain, apakah Indonesia ingin mengutamakan penggunaan Bab VI-Bab VII ataukah lebih fokus kepada Bab VIII Piagam? Bab VIII berisi pesan kepada kekuatan setiap kawasan untuk menata perdamaian di wilayahnya masing-masing. ASEAN sedang merintis ke arah tersebut, meskipun pada 2003-2004 konsep yang disodorkan oleh diplomat Indonesia yang konon katanya hebat ditolak mentah-mentah oleh Singapura dan Malaysia.
Terdapat indikasi bahwa mimpi besar berjudul standby force yang digadang-gadang oleh pihak tertentu lebih mengutamakan Bab VI. Soal Bab VII Indonesia dipastikan tidak akan berani, karena selain kebijakan luar negerinya yang sudah tidak relevan dengan kondisi jaman, juga tidak akan pernah mau mengirimkan kekuatan militernya keluar negeri untuk kemudian pulang dalam peti-peti jenazah. Padahal di sisi lain, nyaris semua operasi perdamaian PBB masa kini sudah masuk ke Bab VII. Cuma Indonesia saja yang masih bersikeras ingin bertahan di Bab VI.
Lalu bagaimana dengan Bab VIII? Kalau kita berpikir dalam konteks kepentingan nasional, kepentingan nasional Indonesia terbesar terletak di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, mestinya mimpi besar berjudul standby force diarahkan untuk memenuhi Bab VIII. Bukan Bab VI atau Bab VII yang jauh di luar sana dan tidak berpengaruh langsung terhadap stabilitas keamanan Indonesia.

07 Desember 2009

Mimpi Besar Berjudul Standby Force

All hands,
Dalam RPJM 2010-2014, isu partisipasi dalam operasi perdamaian dunia mendapat perhatian khusus. Indonesia berambisi mendapatkan jabatan strategis di UNDPKO, sehingga partisipasi dalam operasi tersebut rupanya sedang didorong total. Misalnya target agar kekuatan operasi perdamaian Indonesia yang sedang beroperasi mencapai 2.000 personel.
Ada pula target agar Indonesia masuk dalam 10 besar troop contributor countries (TCC). Berikutnya adalah keinginan mewujudkan standby force bagi operasi perdamaian PBB.
Terkait dengan hal tersebut, pertanyaan yang muncul adalah mimpi besar itu untuk kepentingan siapa? Apakah untuk kepentingan nasional Indonesia? Ataukah untuk kepentingan yang lebih sempit?
Partisipasi dalam operasi perdamaian PBB bukan sekedar mencapai tujuan normatif yaitu menciptakan perdamaian dunia. Bukan pula sekedar mencari uang dari PBB melalui proses reimbursement. Harus ada pencapaian yang terukur secara politik, ekonomi dan militer dari partisipasi dalam operasi tersebut.
Terukur secara politik artinya bukan sekedar mendapat puja-puji dari pihak lain yang terdengar klise seperti yang disenangi sebagian pihak di Indonesia selama ini. Terukur secara politik bisa dilihat misalnya Indonesia naik kelas menjadi kekuatan regional dalam arti sebenarnya, bukan kekuatan regional dalam tanda kutip yang hanya gemar soal soft power.
Terukur secara ekonomi bukan sebatas berapa uang dari PBB yang berhasil diserap oleh Indonesia, tetapi berapa banyak keuntungan ekonomis sebagai dampak dari digunakannya produk Indonesia dalam operasi perdamaian tersebut. Misalnya peralatan kesehatan, perlengkapan dapur lapangan, produk tekstil yang digunakan sebagai seragam dan lain sebagainya.
Terukur secara militer berarti meningkatnya kemampuan interoperability militer Indonesia dengan militer asing. Terukur secara militer bukan semata memenangkan lomba tembak, bukan pula mendapat medali PBB, tidak juga lebih menonjolnya semangat kejuangan untuk menutupi kekurangan peralatan karena tidak memenuhi standar PBB, tetapi meningkatnya profesionalisme secara umum dalam konteks operasi gabungan antar negara.
Pertanyaannya, mimpi besar berjudul standby force mau dibawa kemana?

06 Desember 2009

Melanjutkan Partisipasi Angkatan Laut Dalam Operasi Perdamaian Maritim

All hands,
KRI DPN-365 yang tergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force telah pulang ke pangkalan induknya pertengahan November 2009. Kini masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab apakah Angkatan Laut Indonesia akan melanjutkan partisipasinya dalam UNIFIL MTF. Untuk menjawab pertanyaan itu, yang paling pantas menjawab adalah pemerintah. Sebab meskipun secara teknis Angkatan Laut negeri ini telah menyiapkan kapal pengganti, namun semuanya kembali kepada dukungan anggaran yang disiapkan oleh pemerintah.
Dukungan anggaran tersebut bukan semata untuk kepentingan operasional sejak berangkat dari tanah air, tetapi juga melengkapi kapal tersebut beserta helikopter pendukungnya agar memenuhi standar yang ditetapkan oleh PBB. Artinya dibutuhkan sejumlah dana yang besarannya bisa dihitung untuk melengkapi kapal yang akan dikirim ke UNIFIL MTF. Besaran dananya bisa direka sebab Angkatan Laut sudah mempunyai pengalaman dalam melengkapi KRI DPN-365.
Salah satu kekurangan Angkatan Laut negeri ini adalah kemampuan interoperability dengan Angkatan Laut asing. Melalui partisipasi dalam UNIFIL MTF, kekurangan tersebut dapat dibenahi sebab banyak pengalaman interoperability yang didapat di sana. Namun akan lebih baik apabila yang mendapat pengalaman interoperability bukan semata awak KRI DPN-365, tetapi juga awak KRI lainnya. Di situlah pentingnya Indonesia meneruskan partisipasinya dalam UNIFIL MTF.
Pada akhirnya keputusan ditentukan oleh pemerintah. Kalau pemerintah negeri ini masih berpihak kepada Angkatan Laut untuk meningkatkan profesionalismenya, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan partisipasi Angkatan Laut dalam operasi perdamaian maritim PBB di Lebanon. Kecuali kalau operasi perdamaian masih dipandang dari aspek pasukan yang mengutamakan semangat juang saja.

05 Desember 2009

Modernisasi Angkatan Laut Lewat Operasi Perdamaian

All hands,
5 Desember sejak dahulu diperingati sebagai Hari Armada RI, meskipun sempat dijadikan sebagai Hari Lahir Angkatan Laut. Namun kini 5 Desember kembali ditetapkan sebagai Hari Armada RI mengacu pada sejarah pembentukan armada negeri ini. Saat membahas tentang Hari Armada RI, merupakan hal yang tidak terhindarkan untuk mengulas tentang eksistensi dan kondisi kapal perang sebagai tulang punggung utama keberadaan armada suatu negara.
Kini tantangan yang dihadapi oleh Armada RI di antaranya menyangkut soal modernisasi kekuatan. Rencana modernisasi kekuatan melalui pengadaan sejumlah sistem senjata baru, baik kapal atas air, kapal selam maupun pesawat udara dalam 5 tahun terakhir nyaris jalan di tempat.
Alasan yang dikemukakan oleh pemegang kekuatan politik sederhana dan normatif, yaitu keterbatasan anggaran. Akan tetapi di balik itu tersembunyi masalah utamanya, yakni ketidakberpihakan pemerintah negeri ini terhadap Angkatan Laut. Itulah masalah utama yang sudah kita ketahui bersama.
Kalau ada niat dan keberpihakan politik terhadap Angkatan Laut Indonesia, sebenarnya ada beberapa cara untuk memodernisasi kekuatan laut negeri ini tanpa menyedot anggaran nasional secara massif. Satu di antaranya adalah modernisasi kekuatan lewat operasi perdamaian PBB.
Caranya sederhana, yaitu Indonesia menyatakan siap untuk secara berkelanjutan mendukung operasi perdamaian PBB, khususnya pada bagian MTF. Untuk bisa berpartisipasi dalam MTF, kapal perang dan perangkat pendukungnya harus memenuhi standar PBB. Dari situlah terbuka peluang untuk modernisasi kekuatan laut, baik lewat melengkapi kapal perang yang sudah ada maupun pengadaan baru. Kalau ada pihak asing yang mempertanyakan urgensi modernisasi kapal perang Indonesia, jawaban yang paling mudah diterima dan masuk akal adalah untuk menjaga perairan Indonesia dan sekaligus terus berpartisipasi dalam operasi perdamaian.
Baik kegiatan melengkapi kapal perang yang sudah ada agar sesuai dengan standar PBB maupun pengadaan kapal perang baru memang membutuhkan biaya. Namun harus diingat bahwa biaya yang dikeluarkan setidaknya akan memperoleh pengembalian secara tidak langsung ketika kapal perang tersebut berpartisipasi dalam operasi perdamaian PBB. Seperti diketahui, ada reimburstment dari PBB bagi kontingen negara yang beroperasi di bawah bendera PBB apabila major item-nya memenuhi standar PBB.
Dengan kata lain, investasi bagi modernisasi kapal perang Angkatan Laut secara tidak langsung akan mendapatkan “pembayaran”. Memang dapat dipastikan bahwa nilai reimbustment-nya tidak seharga satu unit kapal perang baru, namun setidaknya ada sebagian dari investasi tersebut yang kembali ke kas negara.
Selama ini program modernisasi Angkatan Laut bagi para penentu anggaran dipandang sebagai investasi yang hilang begitu saja dari sisi rupiah. Dalam arti outcome dari investasi itu bukan berupa rupiah yang bisa dikuantifikasi. Dengan menempuh program modernisasi untuk kepentingan operasi perdamaian, setidaknya sebagian dari investasi tersebut kembali ke kas negara dalam bentuk rupiah atau mata uang lainnya.Sekarang tergantung pada para penentu kebijakan di negeri ini, apakah cara ini mau ditempuh atau tidak? Yang pasti ada negara lain di Eropa yang sudah menempuh cara serupa dan outcome yang mereka dapatkan cukup berimbang, baik dari sisi politik, militer maupun finansial.

04 Desember 2009

Operasi Perdamaian Sama Penting Dengan Modernisasi Sistem Senjata?

All hands,
Salah satu penekanan pemerintah dari RPJM 2010-2014 adalah peningkatan partisipasi militer negeri ini dalam operasi perdamaian dunia, khususnya yang berada di bawah bendera PBB. Dikaitkan dengan Undang-undang No.34 Tahun 2004, meman salah satu tugas pokok militer Indonesia adalah operasi perdamaian. Cuma menjadi pertanyaan, apakah sebegitu pentingkah operasi ini sehingga harus dimasukkan sebagai prioritas dalam RPJM 2010-2014.
Tidak sulit untuk menebak bahwa penempatan prioritas tersebut terkait urusan pencitraan Indonesia. Kini kebijakan luar negeri Indonesia memang menempatkan pencitraan sebagai yang utama, lepas dari siapa yang menjadi korban dari pencitraan tersebut. Yang utama adalah citra baik Indonesia di mata dunia internasional.
Sebagai contoh nyata adalah masuknya Indonesia sebagai anggota G-20 dianggap sebagai prestasi diplomatik Indonesia yang luar biasa. Prestasi tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat negeri ini nantinya, sebab kesepakatan dalam KTT G-20 di Pittsburgh November 2009 di antaranya adalah penghapusan subsidi BBM bagi negara-negara anggota. Hebat sekali bukan, rakyat Indonesia diminta menanggung beban “keberhasilan” diplomasi Indonesia yang katanya hebat di panggung internasional.
Kembali ke soal operasi perdamaian, perlu dikaji kembali menempatkan operasi itu sebagai salah satu satu prioritas pemerintah. Kenapa demikian? Meskipun operasi tersebut merupakan tugas pokok TNI, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan modal semangat juang saja. PBB mempunyai standar yang tinggi bagi negara anggota yang ingin menyumbangkan kekuatan militernya bagi operasi perdamaian. Semangat juang saja tidak akan pernah memenuhi standar tinggi tersebut.
Untuk bisa memenuhi standar yang tinggi tersebut, syarat utamanya adalah modernisasi kekuatan militer negeri ini. Modernisasi harus mencakup semua Angkatan, bukan matra tertentu saja yang selama ini lebih banyak berperan dalam operasi perdamaian. Mustahil bermimpi mau meningkatkan partisipasi dalam operasi perdamaian tetapi tidak ada keinginan politik memodernisasi militer negeri ini.
Sebagai contoh, pemerintah harus rela mengeluarkan uang untuk melengkapi korvet kelas Sigma milik Angkatan Laut Indonesia untuk memenuhi standar PBB/internasional. Kalau dulu KRI DPN-365 sudah memenuhi persyaratan tersebut, tiga kapal lainnya juga harus segera dilengkapi. Dengan demikian, Angkatan Laut diuntungkan karena kapal itu bisa dilengkapi lebih cepat daripada jadwal seharusnya.
Aspirasi politik pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dalam operasi perdamaian harus didahului oleh modernisasi kekuatan militer Indonesia. Tanpa itu, kekuatan yang dikirim kebanyakan hanya akan bermodalkan semangat saja. Dan peran Angkatan Laut dalam operasi perdamaian masih akan tetap di pinggiran, sebab mustahil Angkatan Laut dapat berpartisipasi dalam bentuk Satuan Tugas Maritim tanpa sistem senjata yang memenuhi standar.

03 Desember 2009

Pelajaran Dari Perang Afghanistan

All hands,
Sesungguhnya banyak pelajaran yang bisa ditarik oleh Indonesia, khususnya militer dari Perang Afghanistan yang kini terus digeluti oleh Amerika Serikat. Salah satunya adalah assessment terhadap situasi nyata di lapangan secara lugas oleh panglima operasi. Seperti diketahui, Panglima ISAF/U.S. Forces Afghanistan Jenderal Stanley McChrystal pada Agustus 2009 memberikan laporan situasi lapangan yang lugas soal resiko dan peluang yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan sekutunya dalam perang di negeri yang dalam sejarahnya sulit ditaklukkan oleh pihak asing.
Di Indonesia, kalau kita menengok ke masa lalu maka sulit untuk menemukan preseden seperti itu. Maksudnya, assessment terhadap operasi militer yang sedang digelar tidak pernah lugas mendeskripsikan situasi di lapangan yang sesungguhnya. Akibatnya muncul banyak kecurigaan dari pihak di luar militer terhadap operasi militer yang tengah digelar.
Kalau kita berbicara tentang operasi militer, salah satu yang harus langsung diingat adalah biaya alias cost. Baik cost berupa material maupun non material seperti jumlah korban di pihak sendiri maupun pihak lain yang terkait. Tidak murah untuk menggelar operasi militer yang berkepanjangan, meskipun hal itu harus ditempuh untuk mengamankan kepentingan nasional.
Karena sumber daya dalam pembangunan militer pada dasarnya terbatas, maka cost-nya harus bisa direka. Tidak bisa kita melaksanakan operasi militer tanpa cost yang jelas, begitu pula batasan waktu yang jelas. Semakin lama operasi militer digelar, semakin besar cost yang harus dikeluarkan. Termasuk pula political cost, baik protes dari pihak-pihak tertentu di dalam negeri maupun dari luar negeri.
Ketika assessment Jenderal McChrystal bocor ke publik Amerika Serikat, secara otomatis salah satu reaksi yang muncul adalah soal cost yang harus dikeluarkan untuk membiayai kelanjutan perang tersebut. Bukan saja soal berapa dollar, tetapi juga menyangkut berapa banyak lagi prajurit militer Uwak Sam yang pulang ke tanah airnya dalam peti mati berbalut bendera Stars and Stripes dan yang duduk di atas kursi roda tanpa daya.
Untuk mengamankan kepentingan nasional, cost berapapun akan dikeluarkan. Tetapi bukan berarti cost itu tidak bisa dihitung atau direka. Masalahnya di Indonesia, kita belum membangun sistem untuk menghitung cost tersebut dengan benar.

02 Desember 2009

Angkatan Laut Dan Angkutan Laut

All hands,
Keterkaitan antara Angkatan Laut dan angkutan laut tentu saja banyak. Seperti tugas Angkatan Laut untuk mengamankan SLOC, yang mana terciptanya keamanan SLOC berarti menciptakan angkutan laut yang aman dari segala ancaman dan lancar. Angkatan Laut dan angkutan laut mempunyai keterkaitan pula dalam masalah ketersediaan sarana dukung pelabuhan. Setiap pelabuhan yang mampu menampung bersandarnya kapal-kapal angkutan laut secara umum dapat diartikan dapat pula memfasilitasi bersandarnya kapal perang Angkatan Laut.
Dalam konteks Indonesia, salah satu tantangan yang sekarang mengedepan dalam hubungan antara Angkatan Laut dan angkutan laut adalah bagaimana memadukan keduanya sehingga membentuk kekuatan maritim nasional. Isu ini merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat di era reformasi sekarang, sebab kepentingan sektoral jauh lebih menguat saat ini dibandingkan di masa lalu.
Kalau di negara-negara lain seperti Inggris yang mana Angkatan Laut mempunyai satuan kapal cadangan yang berisikan kapal-kapal komersial, di Indonesia situasi itu masih jauh dari harapan. Sebab secara politik belum ada kemauan kuat untuk mewujudkan kekuatan maritim Indonesia. Lihat saja aturan perundang-undangan dan atau sejenisnya yang kurang mengakomodasi bagaimana memberdayakan armada niaga nasional untuk mendukung Angkatan Laut dalam rangka menciptakan kekuatan maritim nasional.
Misalnya, mungkinkah Angkatan Laut negeri ini memperoleh kapal niaga yang disewa oleh Departemen Pertahanan? Sepanjang pengetahuan saya, aturan mengenai sewa menyewa kapal niaga untuk kepentingan Angkatan Laut belum diatur di Indonesia. Selama ini yang ada dalam pemikiran Departemen Pertahanan adalah mobilisasi berdasarkan pengalaman masa lalu. Seperti diketahui, di masa lalu armada niaga nasional dimobilisasi untuk kepentingan kampanye militer.
Masalahnya, kini situasi sudah berubah. Penggunaan kapal niaga bagi kepentingan militer tidak dapat semata-mata berdasarkan pertimbangan hirarkis laksana di dunia militer, tetapi harus pula memperhatikan aspek komersial. Hal yang seperti ini yang harusnya dikaji lebih lanjut oleh Departemen Pertahanan. Adapun Angkatan Laut sebagai pengguna tentu saja tergantung dari bagaimana kinerja dan kebijakan departemen tersebut.

01 Desember 2009

Kebanggaan Dan Efisiensi

All hands,
Menggunakan sistem senjata buatan dalam negeri merupakan kebanggaan bagi setiap bangsa. Sebab secara normatif hal itu berarti mengurangi ketergantungan pada sistem senjata buatan asing. Namun demikian, kebanggaan dalam menggunakan sistem senjata buatan dalam negeri sudah sepantasnya diimbangi pula dengan perhitungan ekonomis yaitu efisiennya. Efisien antara lain menyangkut biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan sistem senjata tersebut dibandingkan sistem senjata serupa keluaran pabrikan asing.
Butuh perhitungan cermat soal itu, agar jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan sistem senjata buatan dalam negeri jauh lebih mahal daripada sistem senjata sejenis produk luar negeri. Biaya yang tercakup di sini antara lain adalah biaya pemeliharaan, di samping juga biaya operasional maupun penyiapan pengawak. Kalau biayanya sama dan atau malah lebih mahal daripada sistem senjata serupa buatan asing, tentu saja pantas untuk dipertanyakan kinerja sistem senjata buatan dalam negeri.
Berhitung mengenai biaya yang dikeluarkan penting untuk dilaksanakan, sebab sumber daya yang tersedia pada dasarnya terbatas. Terkait dengan sistem senjata buatan dalam negeri, perhitungan diperlukan bukan semata soal biaya yang harus dikeluarkan dalam operasional dan pemeliharaannya, tetapi juga sebagai umpan balik kepada pabrikan. Dengan adanya masukan itu diharapkan pabrikan akan melaksanakan perbaikan pada kekurangan yang terjadi, baik kekurangan teknis maupun non teknis.
Kehendak politik untuk lebih banyak menggunakan sistem senjata buatan dalam negeri patut untuk dihargai, akan tetapi keinginan itu harus diimbangi pula oleh kemampuan pabrikan lokal untuk menciptakan sistem senjata yang biaya operasional dan pemeliharaannya tidak lebih mahal daripada sistem senjata serupa pasokan asing. Terkadang faktor biaya ini seringkali diabaikan dalam penggunaan sistem senjata produksi lokal.

30 November 2009

Menengok Kembali Konsep Pangkalan Angkatan Laut Di Masa Lalu

All hands,
Kalau kita membuka kembali rencana pembangunan kekuatan Angkatan Laut negeri ini di masa lalu, para perwira Angkatan Laut di era itu telah merancang konsep penyebaran pangkalan Angkatan Laut. Salah satunya adalah eksistensi dua homebase Angkatan Laut, yaitu satu di wilayah barat dan satu di kawasan timur. Homebase di kawasan barat telah lama dibangun yaitu di Teluk Ratai, namun dengan alasan tertentu tidak digunakan oleh armada dan hanya dipakai oleh Marinir. Sedangkan homebase di wilayah timur dirancang terletak di Sorong.
Sangat disayangkan tidak ada kelanjutan antara rencana pembangunan pangkalan Angkatan Laut di masa lalu dengan masa kini. Di sisi lain, sejak lama dirasakan bahwa homebase di Surabaya sudah kurang layak lagi seiring perkembangan wilayah di sekitarnya. Begitu pula pangkalan yang terletak di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok.
Bukan rahasia lagi bahwa sekarang dibutuhkan homebase baru bagi armada Angkatan Laut. Terlebih lagi dalam tahun-tahun ke depan realisasi tiga eskader atau armada bernomor atau armada kawasan yang berada di bawah Armada RI tinggal soal waktu. Guna membangun pangkalan baru, dapat dipastikan memerlukan anggaran pembangunan yang tidak sedikit. Sementara kebutuhan anggaran bagi Angkatan Laut bukan semata soal membuat pangkalan baru, tetapi juga memodernisasi sistem senjata dan lain sebagainya.
Menghadapi situasi seperti itu, tidak ada salahnya bila konsep dua homebase yaitu satu di wilayah barat dan satu di kawasan timur yang telah dirumuskan oleh para perwira pendahulu ditengok kembali. Kalau soal ancaman bencana, sebenarnya dapat dikurangi dampaknya melalui pembangunan pangkalan yang memperhatikan mitigasi bencana. Sebagai perbandingan, Jepang yang juga merupakan negeri langganan gempa tidak menghadapi masalah berarti terkait dengan pangkalan Angkatan Lautnya. Dengan demikian, Indonesia pun bisa melaksanakan hal serupa.

29 November 2009

Penentuan Lokasi Pangkalan

All hands,
Selama ini masalah penentuan lokasi pangkalan militer diserahkan sepenuhnya kepada institusi militer. Departemen Pertahanan terkesan tidak mau turut terlibat, padahal masalah pangkalan terkait dengan strategi pertahanan. Penggelaran pangkalan harus disesuaikan dengan strategi pertahanan yang sekarang dianut.
Masalahnya adalah hingga kini belum jelas wilayah mana saja yang harus mendapat prioritas dalam penyelenggaraan pertahanan. Departemen Pertahanan nampaknya tidak memberikan arahan kepada militer negeri ini soal itu, sehingga wajar apabila militer negeri ini memberikan prioritas yang sama terhadap semua pangkalan di pelosok negeri.
Ke depan, sebaiknya Departemen Pertahanan turut terlibat dalam penentuan lokasi pangkalan bagi militer. Tidak semua aspirasi dari militer soal lokasi pangkalan baru harus disetujui. Sebab semua harus mengacu pada strategi pertahanan.
Kalau strategi pertahanan yang dianut sekarang dianggap bermasalah, artinya strategi tersebut harus diperbaiki dulu. Baru kemudian Departemen Pertahanan dapat terlibat aktif dalam penentuan pangkalan militer. Sebab pembangunan pangkalan militer selain terkait dengan strategi pertahanan, juga mempunyai relevansi dengan ketersediaan anggaran pertahanan.

28 November 2009

Masalah Daerah Latihan Tempur

All hands,
Untuk menjaga profesionalisme Angkatan Laut, pelaksanaan latihan secara berjenjang harus senantiasa dilaksanakan. Ketika jenjang latihan mencapai tahapan latihan puncak, dibutuhkan daerah latihan yang sangat luas. Dalam konteks Angkatan Laut, daerah latihan bukan saja mencakup wilayah laut, tetapi juga kawasan pantai dan daratan untuk menguji coba semua bentuk peperangan. Saat menyentuh isu kawasan pantai dan daratan, di sini mulai timbul masalah.
Hal itu terjadi karena Angkatan Laut harus bersentuhan dengan manusia, dalam hal ini sekelompok masyarakat yang terpengaruh oleh diadakannya latihan di wilayah sekitar mereka. Sekelompok masyarakat tersebut bukan semata kumpulan penduduk biasa, namun termasuk pula pemerintahan lokal. Terkadang persentuhan itu berlangsung dengan tidak mulus, bahkan memunculkan konflik seperti dalam kasus di wilayah Grati beberapa tahun silam.
Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya tidak diserahkan sepenuhnya kepada Angkatan Laut negeri ini. Departemen Pertahanan sebagai penentu kebijakan pertahanan harus terlibat dalam masalah penetapan daerah latihan tempur. Departemen ini harus melakukan assessment daerah mana saja yang layak dan pantas dijadikan daerah latihan tempur. Setelah assessment selesai, barulah menetapkannya dan menyelesaikan permasalahan administratif dengan pemerintahan lokal.
Dalam melaksanakan assessment, tentu saja Departemen Pertahanan harus mendengarkan masukan dari Angkatan Laut. Penting untuk diingat bahwa penetapan daerah latihan tempur terkait RUTR Pertahanan yang hingga kini aturan tersebut masih ditunggu bagaimana kelanjutannya. Adanya RUTR Pertahanan akan memudahkan Angkatan Laut dalam berbagai hal, termasuk mengusulkan wilayah yang sepantasnya menjadi daerah latihan tempur.

27 November 2009

Ketergantungan Senjata Pada Amerika Serikat Masih Tinggi

All hands,
Sebagai akibat diembargo oleh Amerika Serikat beberapa tahun lalu, Indonesia kini membatasi diri untuk menggunakan sistem senjata buatan negeri itu. Selain berpaling kepada Rusia dan Cina, Indonesia juga masih mengandalkan pada sistem senjata produksi Eropa Barat. Baik rudal, torpedo, radar dan sistem elektronika seperti sewaco. Terkait dengan sistem senjata keluaran pabrik-pabrik Eropa Barat, Indonesia harus melaksanakan kalkulasi dengan betul.
Alasannya tidak lain karena pada sebagian besar sistem senjata tersebut terdapat komponen-komponen buatan Uwak Sam. Artinya, pelepasan sistem senjata itu kepada Indonesia bukan saja melibatkan pemerintah di mana pabrik senjata berada, namun melibatkan pula Amerika Serikat. Indonesia harus ingat kembali kasus rencana pengadaan rudal Exocet MM-40 Block x yang sempat terhambat karena keberatan Washington.
Kondisi itu menggambarkan bahwa meskipun Angkatan Laut Indonesia mulai mengurangi ketergantungannya pada sistem senjata keluaran Uwak Sam, akan tetapi masih terdapat ketergantungan terhadap Amerika Serikat dalam bentuk komponen-komponen pada sistem senjata buatan Eropa Barat. Hal seperti ini harus diantisipasi sejak dini agar tidak merugikan di kemudian hari. Meskipun dimensi komponennya kecil, namun kehadiran komponen itu dalam sistem senjata adalah wajib. Ketiadaan komponen itu, misalnya akibat embargo akan melumpuhkan sistem senjata secara keseluruhan.

26 November 2009

Mengukur Kerjasama Militer Indonesia-Amerika Serikat

All hands,
Kerjasama militer Indonesia-Amerika Serikat selama ini mengalami pasang surut. Meskipun sejak 2005 embargo militer terhadap Indonesia sudah diangkat oleh Amerika Serikat, namun apabila diperhatikan lebih jauh akan terlihat bahwa Uwak Sam masih berhati-hati dalam menjalin kerjasama militer dengan Indonesia.
Sebagai contoh dalam bidang latihan. U.S. Pacom sebagai komando militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik sangat selektif dalam menentukan latihan militer dengan Indonesia. Sebagian besar latihan militer yang disetujui oleh U.S. Pacom adalah antar Angkatan Laut, kemudian diikuti oleh antar Angkatan Udara dan yang terendah adalah antar Angkatan Darat.
Latihan antar Angkatan Laut kedua negara cukup beragam dan intensif dalam setiap tahunnya. Selain CARAT/NEA, masih ada pula beberapa jenis latihan lainnya seperti Salvex, Reconex, Minex dan latihan tempur antar Marinir kedua negara. Dengan Angkatan Udara, terdapat pula sejumlah latihan yang dilaksanakan. Yang sangat minim justru antar Angkatan Darat, yang sejauh ini baru sebatas Garuda Shield/GPOI.
Pertanyaannya, mengapa terdapat perbedaan intensitas latihan antar matra? Itu terjadi karena kebijakan politik Amerika Serikat. Kebijakan politik bukan saja ditentukan oleh Gedung Putih, tetapi harus direstui pula oleh Capitol Hill. Bertolak dari fakta tersebut, sulit untuk dibantah adanya preferensi berbeda dari penentu kebijakan politik di Washington terhadap militer Indonesia.
Lepas dari semua itu, menjadi tantangan bagi Indonesia untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin dari latihan-latihan yang digelar. Terlebih lagi bagi Angkatan Laut negeri ini yang intensitas latihannya jauh lebih tinggi dibandingkan matra lainnya.
Satu hal penting yang harus diperhatikan adalah bidang kerjasama antara dengan Amerika Serikat. Dengan sikap Amerika Serikat yang setengah hati terhadap Indonesia menyangkut isu kerjasama militer secara luas, Indonesia sebaiknya tidak terlalu banyak berharap. Keeratan kerjasama dalam bidang latihan misalnya belum tentu berbanding lurus dengan kerjasama untuk pengadaan sistem senjata. Dengan kata lain, dengan status Indonesia yang cuma sekedar mitra Amerika Serikat, kerjasama militer kedua negara tidak akan luas.

25 November 2009

Mengukur Indonesia Dari Kacamata Asing

All hands,
Para petinggi Indonesia seringkali membanggakan bahwa Indonesia bernilai strategis di mata dunia internasional. Terlebih lagi ketika Indonesia berhasil masuk menjadi anggota G-20. Pertanyaannya, benarkah pandangan demikian dilihat dari kacamata asing?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, salah satu tolak ukurnya adalah penilaian pihak asing terhadap Indonesia dari sudut pandang keamanan global. Misalnya pandangan Panglima U.S. Pacom yang disampaikan dalam acara hearing di depan House's Armed Service Committee. Atau pandangan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat terhadap keamanan kawasan Asia Pasifik.
Dari semua pandangan itu, berapa kali Indonesia disebut secara khusus dalam pandang-pandangan mereka. Sepanjang yang pernah saya pelajari, seringkali penyebutan Indonesia disandingkan bersama negara-negara lain. Penyebutan Indonesia secara tunggal alias berdiri sendiri biasanya jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan Cina, India, Jepang atau bahkan Singapura.
Apa artinya semua itu? Jawabannya singkat, yaitu Indonesia belum bernilai strategis di mata dunia internasional, khususnya negara maju dalam urusan keamanan internasional. Mungkin muncul pertanyaan, mengapa demikian? Salah satu jawabannya tidak lain dan tidak bukan karena Indonesia tidak mengeksploitasi posisi geopolitiknya secara optimal.

24 November 2009

Kebijakan Off-The-Shelf Purchase Dan Offset

All hands,
Dalam pengadaan sistem senjata, setidaknya ada tiga kebijakan yang dianut oleh banyak negara. Yakni off-the-shelf, offset dan indigenous development. Sebagian negara berkembang kini mulai mencoba menyeimbangkan antara off-the-shelf dengan offset, bahkan ada pula yang sudah merambah menuju indigenous development. Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami kemunduran dalam kebijakan pengadaan sistem senjata dibandingkan di masa lalu.
Dahulu Indonesia sempat menganut pendekatan ganda yaitu off-the shelf dan offset. Pendekatan off-the-self bisa dilihat dari pembelian sejumlah kapal selam, korvet dan fregat dari Eropa selama era 1980-an. Adapun pendekatan offset contohnya adalah saat Indonesia membeli sejumlah kapal FPB-57, yang mana kapal tersebut dibuat berdasarkan lisensi dari Jerman.
Setelah era itu berganti seiring dengan bergantinya pemerintahan, kebijakan pengadaan sistem senjata nyaris off-the-shelf semua. Kalau pun ada offset, baru pada beberapa kapal LPD. Itu pun prosesnya tidak lancar yang disebabkan oleh ketidaksiapan industri perkapalan nasional.
Kalau pemerintah berkepentingan dengan kemajuan industri pertahanan dalam negeri, maka kebijakan off-the-shelf harus dibatasi dengan sejumlah catatan. Catatan yang dimaksud adalah kesiapan industri pertahanan nasional untuk melaksanakan offset, baik dari segi finansial, keahlian maupun infrastruktur. Selain itu, pemerintah harus bisa menjamin kelanjutan pesanan dari industri tersebut. Jangan lagi kasus seperti FPB-57 kembali terulang.
Untuk bisa menyeimbangkan antara off-the-shelf dan offset, Indonesia harus bisa menghitung dulu kemampuannya. Dalam soal kapal perang, masalah klasik yang dihadapi oleh banyak negara berkembang ketika menyentuh soal offset adalah pada sistem pendorong dan elektronika. Sebagai latar belakang, Cina yang dikenal suka mencontek produk negara lain melalui proses reverse engineering masih saja kesulitan dalam dua hal tersebut.
Kalau soal platform tidak terlalu sulit untuk menguasai teknologinya. Namun menyangkut sistem pendorong dan elektronika, negara-negara maju sangat enggan melaksanakan offset khususnya untuk yang berspesifikasi militer. Untuk klasifikasi sipil, bisa dengan mudah ditemui di pasaran, namun tentunya tidak akan cocok bahwa kepentingan militer.
Sekali lagi, kasus FPB-57 menunjukkan kebenaran akan hal tersebut. Teknologi kapal perang itu yang dikuasai oleh Indonesia adalah soal platform, tetapi tidak untuk sistem pendorong dan elektronika. Untuk dua sistem terakhir, nampaknya harus berupaya sendiri menguasainya melalui proses trial and error dalam R&D.
Kembali ke kebijakan off-the-shelf dan offset, Departemen Pertahanan harus merumuskannya secara jelas. Agar tidak hanya berkutat pada slogan transfer of technology yang bagi sebagian pihak dianggap sebagai tidak realistis. Tidak realistis karena teknologi berada dalam bingkai politik suatu negara.

23 November 2009

Angkatan Laut Dan Karakter Pemerintah

All hands,
Maju mundurnya suatu Angkatan Laut ditentukan oleh beragam faktor, baik internal maupun eksternal. Mengacu pada Geoffrey Till, salah satu penentu maju mundurnya Angkatan Laut adalah karakter pemerintah. Peran karakter ini sangat vital, sebab akan menjadi salah satu parameter suatu Angkatan Laut.
Ketika kita mengadakan tinjauan terhadap pencapaian yang telah dicapai oleh kekuatan laut Indonesia dalam jangka 5 tahun terakhir, khususnya menyangkut pengadaan sistem senjata baru dalam rangka pengadaan alutsista, akan ditemukan fakta bahwa kita nyaris tidak mengalami kemajuan. Bahkan ada pendapat yang lebih ekstrem, yakni kita mengalami kemunduran, dalam hal sistem senjata.
Pertanyaannya, mengapa terjadi kemunduran? Apakah hal itu terjadi sebatas masalah-masalah teknis alokasi anggaran di Departemen Keuangan sehingga pengadaan sistem senjata baru tidak terwujud? Apakah hal itu terjadi disebabkan ketidaksamaan persepsi antara Angkatan Laut dengan pihak-pihak lain yang terkait pengadaan sistem senjata? Ataukah ada faktor-faktor lainnya yang tidak kasat mata?
Menurut hemat saya, situasi ini terjadi karena karakter pemerintah. Karakter itu kurang berpihak pada penguatan dan peningkatan kemampuan Angkatan Laut. Karakter itu kurang memandang penting eksistensi dan manfaat Angkatan Laut dalam konteks kepentingan nasional. Karakter itu memandang Angkatan Laut sebagai kekuatan ofensif dalam arti negatif.
Seorang bangsawan Inggris pernah berucap bahwa membutuhkan waktu 300 tahun untuk membangun tradisi maritim. Tradisi maritim bangsa Indonesia sudah terkikis sejak era kolonial dan makin dikikis ketika negeri ini merdeka. Mungkin hanya sekitar 15-20 tahun negeri ini mempunyai pemerintahan dengan karakter maritim, yang hasilnya adalah kejayaan armada Angkatan Laut dan armada niaga Indonesia di wilayahnya sendiri dan kawasan Asia Tenggara. Ketika Indonesia mulai menginjak usia 21 tahun merdeka hingga kini, pembangunan karakter maritim kembali dipinggirkan jauh-jauh.
Sekarang menjadi pertanyaan kapan muncul generasi bangsa ini yang lahir dengan karakter maritim? Apakah 30 tahun lagi? 50 tahun lagi? Atau harus menunggu 300 tahun dari sekarang seperti disinyalir oleh Lord Torrington?
Kelahiran generasi bangsa dengan karakter maritim merupakan suatu awal kebangkitan kejayaan bangsa ini. Kejayaan Angkatan Laut negeri ini mustahil tercipta hanya berbekal semangat, moral dan kerja keras putra-putri bangsa yang mengawaki organisasi Angkatan Laut. Sebaliknya, kejayaan itu harus didukung oleh karakter pemerintah yang berwawasan maritim.

22 November 2009

Kebijakan Ekonomi Tidak Berpihak Pada Kepentingan Pertahanan

All hands,
Sangat sulit untuk membantah bahwa kebijakan ekonomi Indonesia saat ini tidak berpihak kepada kepentingan pertahanan. Kebijakan ekonomi negeri ini yang dimotori oleh birokrat dan akademisi yang pintas dan cerdas minus kesadaran terhadap kepentingan nasional lebih banyak bertolak belakang dengan kepentingan pertahanan. Untuk contoh ketidakberpihakan, bahkan bertolak belakang bukan saja pada isu seperti pengadaan sistem senjata, tetapi juga pada isu-isu lain yang terkait secara tidak langsung dengan pertahanan.
Misalnya adalah pemberian kebebasan kepada pihak asing untuk mengendalikan ekonomi Indonesia melalui penguasaan saham tanpa pembatasan signifikan terhadap lembaga keuangan dan perbankan nasional. Tidak heran bila kini banyak bank swasta yang tuannya berada di Kuala Lumpur dan Singapura. Bahkan mungkin suatu saat nanti bank sentral Indonesia pun akan mempunyai tuan di luar wilayah yurisdiksi Indonesia.
Kita sangat paham bahwa Amerika Serikat pun yang dicap sebagai negara liberal ternyata tidak memberikan peluang sedikit pun akan penguasaan asing terhadap aset-aset ekonomi vital mereka. Bahkan ketika Cina hendak menguasai salah satu perusahaan minyak Amerika Serikat yaitu Unocal beberapa tahun silam, Kongres Amerika Serikat langsung memveto. Kalau di Indonesia, Pertamina yang sudah dikerdilkan pun konon kabarnya sempat hendak dijual oleh pihak tertentu dan apabila hal itu terjadi, parlemen Indonesia dipastikan dengan mudahnya akan menyetujui kebijakan tersebut.
Pertanyaannya, mengapa semua ini terjadi? Apakah semata-mata desakan asing? Sepertinya tidak, hal ini bukan semata desakan asing seperti IMF, Bank Dunia dan para sekutunya. Hal ini terjadi karakter kepemimpinan nasional, khususnya pasca reformasi, tidak lagi memandang penting kepentingan nasional. Semua masalah dilihat secara sektoral, sehingga terjadilah peristiwa semacam penguasaan mayoritas oleh pemegang modal asing terhadap perbankan nasional tanpa menghiraukan keterkaitannya dengan kepentingan nasional bangsa ini.
Sekarang mari kita berpikir ke depan. Apa yang akan terjadi dengan ekonomi Indonesia apabila timbul konflik dengan Negeri Tukang Klaim atas masalah di Laut Sulawesi? Ekonomi nasional negeri ini dipastikan bergejolak karena sebagian perbankan nasional Indonesia dikuasai oleh para tuan di Kuala Lumpur.
Pertanyaannya, kalau ekonomi bergejolak apakah lantas pemimpin nasional akan mendahulukan bagaimana menstabilkan ekonomi ataukah tetap mendahulukan mengamankan kepentingan nasional di Laut Sulawesi? Dengan kata lain, apakah pemimpin nasional negeri ini akan mengutamakan kepentingan ekonomi di atas kepentingan pertahanan, dalam hal ini keutuhan wilayah Indonesia? Menghadapi skenario seperti itu dibutuhkan keteguhan sikap, bukan mencari peluang win-win solution.
Bagaimana pula bila terjadi konflik dengan Singapura? Apakah pengambil keputusan di negeri ini lebih mendahulukan menstabilitasi ekonomi yang bergejolak atas nama kesejahteraan daripada mendahulukan integritas wilayah negara? Ada saatnya frase yang mendahulukan kepentingan kesejahteraan harus ditaruh ke belakang dan pilihan itu hanya bisa diambil oleh pihak yang mengerti betul dengan martabat dan wibawa bangsa.

21 November 2009

Perlu Kesatuan Sikap Menyangkut Kerjasama Maritim ASEAN

All hands,
Indonesia sudah terikat kontrak dengan ASEAN untuk berpartisipasi dalam ASEAN Political Security Community. Salah satu bagian dalam kontrak tersebut adalah dalam isu kerjasama keamanan maritim. Disepakati bahwa dalam jangka 2009-2015, ASEAN akan membentuk ASEAN Maritime Forum sebagai wadah untuk membahas kerjasama maritim antar negara-negara anggota. Dengan terikat kontrak seperti ini, berarti Indonesia harus siap melaksanakan kerjasama itu.
Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali meraih keuntungan sebesar-besarnya dari kerjasama maritim ASEAN. Untuk mencapai ke situasi tersebut, perlu ada roadmap nasional. Roadmap itu bisa diwujudkan apabila ada kesatuan sikap antar semua pemangku kepentingan maritim di Indonesia.
Dapat dipastikan untuk mewujudkan kesatuan sikap tersebut akan menemui jalan berliku. Karena kesatuan sikap hanya dapat dicapai apabila semua pemangku kepentingan bekerja berdasarkan kepentingan nasional, bukan kepentingan sektoral. Kasus penanganan imigran gelap yang melintas perairan Australia menuju Indonesia menunjukkan bahwa kepentingan sektoral lebih mengemuka daripada kepentingan nasional. Tidak aneh bila ada selentingan kurang sedap terhadap instansi tertentu yang terlihat “sangat antusias” memenuhi keinginan Australia.
Pembentukan Forum Maritim ASEAN sudah di depan mata. Artinya sifat “sangat antusias” yang berbasiskan kepentingan sektoral harus segera dihapus dari Indonesia. Melestarikan sifat tersebut juga merupakan sebuah pilihan dengan konsekuensi merugikan kepentingan nasional.

20 November 2009

Pembangunan Angkatan Laut Di Kawasan Asia Tenggara Ke Depan

All hands,
Indonesia harus senantiasa memperhatikan dengan seksama dinamika pembangunan Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Sebab pembangunan tersebut akan berdampak langsung terhadap kepentingan nasional Indonesia. Sebaliknya, pembangunan itu tidak boleh dianggap remeh dan sebagai modernisasi belaka yang tidak akan digunakan untuk menghadapi Indonesia dengan alasan negara-negara Asia Tenggara sudah terikat dengan ASEAN. Penting untuk dipahami bahwa dalam realita ASEAN adalah forum buat para diplomat belaka, sementara bagi para perwira militer forum ASEAN lebih sebagai courtesy semata sebab merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun pun bahwa rasa saling curiga antar militer negara-negara ASEAN masih cukup tinggi.
Terdapat dua kekuatan laut di dalam ASEAN yang pembangunannya harus senantiasa diperhatikan oleh Indonesia. Yaitu Negeri Penampung Koruptor dan Uang Haram asal Indonesia dan Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim alias Negeri Pembunuh WNI, dua negara anggota FPDA dan sekaligus keduanya saling bermusuhan satu sama lain dalam isu-isu tertentu. Alasan untuk memperhatikan pembangunan Angkatan Laut kedua negara sebab keduanya mempunyai beberapa masalah vital dengan Indonesia.
Tidak perlu diuraikan panjang lebar soal pembangunan kekuatan laut kedua negara. Yang mesti diperhatikan adalah akan digunakan di mana dan untuk tujuan apa kekuatan laut yang dibangun itu. Negeri Penampung Koruptor dan Uang Haram asal Indonesia dipastikan akan melancarkan pre-emptive strike apabila kepentingan nasionalnya yang berkategori survival dipersepsikan terancam. Untuk pre-emptive strike, negeri itu selain mempunyai pesawat tempur F-15 dan F-16 yang berpangkalan di dalam negeri dan menumpang di negeri orang, memiliki pula kapal selam.
Sedangkan Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim alias Negeri Pembunuh WNI garis hidupnya sebagian berada di perairan yurisdiksi Indonesia, yakni di Laut Natuna. Yang ditakutkan oleh negeri itu adalah kemampuan Indonesia memotong garis hidup tersebut yang berakibat terputusnya wilayah semenanjung dengan kawasan Kalimantan bagian utara.
Berangkat dari latar belakang demikian, sampai kapan Indonesia terus menunda modernisasi kekuatan lautnya? Sampai rakyat sejahtera? Lalu apa saja definisi parameter bahwa rakyat dapat dikatakan sejahtera?
Dan kapan pastinya rakyat negeri ini dapat dikategorikan sejahtera? Kalau definisi rakyat sejahtera bersifat never ending goal, berarti Angkatan Laut negeri ini selamanya tidak pernah akan dibangun. Padahal konstitusi Indonesia mengamanatkan adanya kemampuan untuk mengamankan segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia, bukan sekedar memajukan kesejahteraan umum.

19 November 2009

Menyeimbangkan Tugas Nasional Dan Internasional

All hands,
Dalam lingkungan strategis yang sudah berubah, tuntutan terhadap Angkatan Laut di dunia juga banyak berubah. Dahulu fokus Angkatan Laut lebih banyak pada melindungi kedaulatan dan integritas wilayah negara. Pasca Perang Dingin, Angkatan Laut dituntut untuk meluaskan perhatiannya di luar isu melindungi kedaulatan dan integritas wilayah negara tersebut. Angkatan Laut sekarang banyak berfokus pada isu-isu yang terkait dengan stabilitas keamanan dunia dan kawasan.
Kini banyak Angkatan Laut yang beroperasi jauh dari wilayah negaranya. Wilayah perairan dunia yang menjadi fokus operasi Angkatan Laut multinasional adalah di Samudera India di sekitar Afrika, Laut Arab, Laut Merah, Teluk Aden, perairan sekitar Somalia dan Laut Mediterania. Operasi-operasi yang digelar di perairan tersebut ditujukan untuk menghadapi isu-isu keamanan maritim yang dipandang akan mengancam stabilitas keamanan.
Di wilayah Laut Mediterania, selain operasi yang digelar oleh NATO untuk menghadapi ancaman terorisme maritim, ada pula operasi maritim yang digelar oleh PBB untuk melaksanakan resolusi Dewan Keamanan. Singkatnya, operasi maritim multinasional untuk menjaga stabilitas keamanan global dan kawasan merupakan salah satu arus utama di dunia sekarang dan ke depan.
Indonesia sebagai warga kawasan dan dunia mengemban pula tanggung jawab untuk menjaga stabilitas keamanan. Terkait dengan Angkatan Laut, perlu dipikirkan agar Angkatan Laut negeri ini ke depan dapat menyeimbangkan antara tugas melindungi kedaulatan dan integritas wilayah dengan tugas-tugas internasional. Pengiriman gugus tugas Angkatan Laut ke Lebanon untuk terlibat dalam operasi perdamaian maritim PBB adalah sebuah langkah maju dan hendaknya tidak berhenti di situ saja.
Perlu dikaji lebih lanjut bagaimana peluang partisipasi Indonesia untuk operasi di perairan dunia lainnya. Soal payungnya apakah di bawah PBB, kekuatan multinasional atau berdiri sendiri, itu bisa didiskusikan lebih lanjut. Substansinya adalah Indonesia sudah sepantasnya meningkatkan partisipasi Angkatan Lautnya dalam operasi-operasi internasional.
Salah satu kekurangan yang harus diakui menyangkut Angkatan Laut Indonesia sekarang adalah minimnya pengalaman interoperability multinasional. Untuk meningkatkan diri dari posisi tersebut, satu-satunya pilihan yang tersedia adalah berpartisipasi lebih aktif dalam beragam operasi multinasional untuk menjaga stabilitas keamanan maritim dunia dan kawasan.
Hal itu harus didukung pula oleh pemerintah Indonesia sebagai pemegang saham terbesar atas Angkatan Laut. Bentuk dukungannya adalah modernisasi kekuatan laut, khususnya pengadaan kapal kombatan atas air dan kapal selam serta pesawat udara. Bukan sekedar janji-janji tanpa realisasi.

18 November 2009

Membangun Maritime Domain Awarenes Butuh Dukungan Politik

All hands,
Sebagai negara yang luas perairannya jauh lebih besar daripada daratan, merupakan suatu keharusan bagi Indonesia untuk membangun maritime domain awareness. Maritime domain awareness secara singkat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan tentang apa yang tengah berlangsung di laut dalam suatu kawasan perairan yang dapat berdampak terhadap keamanan, ekonomi dan lain sebagainya. Misalnya di perairan Kepulauan Seribu, kita harus tahu kapal saja yang tengah berlayar atau sedang lego, apa muatannya, berapa krunya, dari mana pelabuhan asal dan kemana pelabuhan tujuannya, apa saja anjungan minyak yang ada di sekitar sana, milik perusahaan apa saja, berapa karyawan yang ada di anjungan minyak, kapal nelayan apa saja yang tengah beraktivitas dan lain sebagainya.
Itu baru contoh di satu perairan dalam lingkup “kecil”. Belum lagi di perairan yang luas, misalnya di Selat Malaka yang membentang dari Aceh sampai Kepulauan Riau, di ALKI dan perairan lainnya.
Untuk membangun kemampuan demikian, dibutuhkan dukungan politik dari pemerintah. Tanpa dukungan politik, maritime domain awareness tidak akan terwujud. Sebab maritime domain awareness merupakan sebuah sistem nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan maritim yang terkait.
Salah satu prasyarat utama untuk membangun maritime domain awareness adalah adanya strategi maritim. Suatu hal yang sangat memalukan bahwa negeri dengan sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut justru tidak mempunyai strategi maritim. Hal itu antara lain karena laut selama ini diabaikan oleh pemerintah alias pemerintah tidak memiliki preferensi terhadap laut.
Dalam prakteknya, ada upaya dari beberapa instansi yang memang domainnya di laut untuk mulai membangun kemampuan maritime domain awareness. Khususnya oleh Angkatan Laut negeri ini dan Departemen Perhubungan. Namun upaya ke arah tersebut kurang didukung oleh pemerintah, antara lain dari aspek pendanaan.
Sebab untuk membangun maritime domain awareness, bukan sekedar menyiapkan dana bagi pembangunan infrastruktur seperti stasiun radar pengamatan pantai. Tetapi dibutuhkan pula dukungan berkelanjutan dari aspek anggaran untuk mendukung aspek operasional. Kini masalah itu menjadi salah satu kendala nyata di lapangan, meskipun di wilayah tertentu telah berdiri serangkaian stasiun radar pengamatan pantai.

17 November 2009

Sinkronisasi Kebijakan Pertahanan Dan Kebijakan BUMN

All hands,
Sebagai korban dari kebijakan embargo senjata oleh negara-negara maju, Indonesia kini berupaya mengurangi ketergantungan senjatanya dari asing. Salah satu bentuknya adalah mendorong industri pertahanan dalam negeri untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan senjata militer negeri ini. Upaya tersebut mulai berjalan, namun kadangkala masih ada hambatan-hambatan teknis berupa kekurangsiapan industri pertahanan itu sendiri.
Industri pertahanan dalam negeri yang utama semuanya berstatus BUMN. Menghadapi kondisi demikian, ke depan hendaknya ada sinkronisasi antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan BUMN. Sinkronisasi seperti apa yang dimaksud?
Seperti diketahui, rencana pembangunan kekuatan pertahanan telah dijabarkan rinci dalam bentuk Renstra jangka menengah yang berlangsung tiap lima tahun. Dalam renstra tersebut sudah dijabarkan dengan rinci kebutuhan material apa saja yang dibutuhkan oleh militer Indonesia yang akan dibeli. Dari kebutuhan itu, bisa diidentifikasi senjata apa yang bisa dipenuhi oleh industri pertahanan dalam negeri dan mana pula yang hanya bisa didukung oleh pabrikan asing.
Bertolak dari situ, Kementerian BUMN dapat memerintahkan industri pertahanan dalam negeri dapat mempersiapkan diri. Baik persiapan kapasitas produksi, sumber daya manusia, pendanaan, kerjasama dengan industri sejenis di luar negeri, koordinasi dengan vendor dan lain sebagainya. Dengan demikian, daya dukung dan daya kompetisi industri pertahanan dalam negeri dapat meningkat.
Sehingga tidak terjadi lagi pelanggaran kontrak seperti penyerahan kapal perang yang tidak sesuai jadwal, kesulitan bahan baku, datangnya sebagian sistem senjata dalam kapal perang yang masih harus dipasok oleh industri asing yang tidak tepat waktu dan lain sebagainya. Singkatnya, Kementerian BUMN dan BUMN industri pertahanan harus tahu apa kebutuhan Departemen Pertahanan dalam lima tahun sampai sepuluh tahun ke depan soal pengadaan senjata.