30 September 2009

Sistem ASBM Cina Versus Kapal Induk U.S. Navy

All hands,
Saat ini di kalangan ahli strategi Angkatan Laut Amerika Serikat tengah dibahas mengenai perkembangan terbaru dalam teknologi pertahanan Cina. Seperti diketahui, Negeri Tirai Bambu itu mempunyai trauma besar atas krisis Taiwan 1996, di mana U.S. Navy yang mengirimkan dua kapal induk untuk mempertahankan Taiwan dari intimidasi militer Cina mampu mempengaruhi course of action Cina selanjutnya. Bertolak dari pengalaman itu, salah satu prioritas utama Cina adalah pengembangan rudal anti kapal induk.
Menurut analisis para ahli strategi U.S. Navy, kini Cina diduga kuat tengah mengembangkan sistem ASBM. Sistem ASBM Cina yang patut diduga berasal dari varian rudal DF-21 bersifat lengkap dengan kill chain. Maksudnya, sistem ASBM-nya bukan semata bertumpu pada rudal itu, tetapi pada sejumlah sejumlah sistem satelit. Rudal itu juga dirancang mampu mengubah manuvernya sehingga bisa mengecoh sistem Aegis yang dipasang di kapal perusak kelas Ticonderoga dan Arleigh Burke sebagai bagian dari THAAD.
Lepas dari perdebatan soal kemampuan teknis sistem ASBM Cina, sekarang sepertinya ada indikasi bahwa Cina berpikir bahwa sulit bagi mereka untuk mengalahkan kekuatan armada U.S. Navy lewat cara konvensional yaitu pertempuran laut. Sebaliknya, Cina mengandalkan pada sistem ASBM untuk melaksanakan sea denial dan sea control. Harapannya, dari jauh ratusan kilometer kapal perang U.S. Navy sudah dapat dilumpuhkan dengan bantuan sistem penginderaan dalam sistem ASBM. Perlu diketahui bahwa ASBM menganut pendekatan system of the system, sama halnya seperti RMA.
Kini menjadi pertanyaan, apakah dengan pengembangan sistem ASBM berarti Cina ingin mengubah teori strategi maritim? Seperti dipahami bersama, pengendalian laut menurut teori strategi maritim hanya bisa dilaksanakan oleh kapal perang. Cina nampaknya akan mengarah pada terobosan baru.
Tentu menjadi pertanyaan seberapa besar efektivitas sistem ASBM Cina dalam upaya merebut pengendalian laut. Mengapa demikian? Pertama, Amerika Serikat bukan negara kemarin sore dalam soal pertahanan rudal. Semua kapal kombatan atas air dan kapal selam Amerika Serikat terintegrasi dalam sistem kodal yang dikenal sebagai NCW.
Kedua, pengendalian laut tidak semata bagaimana melumpuhkan kapal atas air Amerika Serikat, tetapi juga kapal selam U.S. Navy. Saat menyentuh isu kapal selam, Amerika Serikat nampaknya masih unggul soal ini. Seandainya ada kapal induk U.S. Navy yang dilumpuhkan oleh sistem ASBM Cina, apakah Amerika Serikat tidak akan mengeksploitasi kapal selamnya untuk membalas tindakan Cina. Perlu diingat bahwa meskipun sebagai kapal selam yang memperkuat U.S. Navy telah dikonversi, namun kemampuan serangan darat tetap dipunyai.
Ketiga, isu perang bintang. Cina sudah mengembangkan kemampuan ASAT dan satelit-satelit Amerika Serikat akan menjadi sasaran penghancuran apabila muncul konflik. Seandainya skenario itu terjadi, tentu Amerika Serikat akan mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menghadap Cina. Kaitannya dengan penggunaan sistem ASBM, menjadi pertanyaan apakah fase ASBM akan dieksploitasi sebelum melangkah pada fase ASAT? Ataukah ASAT terlebih dahulu baru kemudian ASBM?

29 September 2009

Ancaman Terhadap Pengendalian Laut

All hands,
Secara garis besar, Angkatan Laut di dunia dituntut untuk mampu dan bisa menghadapi peperangan konvensional dan irregular warfare. Hanya Angkatan Laut tertentu yang bisa menghadapi bentuk peperangan lainnya, yaitu peperangan nuklir. Membahas tentang peperangan konvensional dan irregular warfare, tidak sedikit Angkatan Laut di berbagai negara seperti dihadapkan pada dilema. Meskipun secara universal Angkatan Laut mempunyai tiga peran yang unik.
Mengapa dilema? Peperangan konvensional adalah alasan utama mengapa Angkatan Laut dibangun dengan struktur kekuatan yang sedemikian rupa. Ketika kini dunia juga dihadapkan pada irregular warfare seperti ancaman terorisme, perompakan dan pembajakan di laut, di situlah dimulai titik perdebatan mengenai struktur kekuatan Angkatan Laut.
Apakah struktur kekuatan Angkatan Laut harus dibangun untuk menghadapi irregular warfare at the expense of conventional warfare capability? Ataukah sebaliknya, Angkatan Laut harus tetap dibangun guna menghadapi conventional warfare at the expense of irregular warfare capability?
Dari tinjauan ideal, Angkatan Laut harus mampu menghadapi semua spektrum ancaman. Akan tetapi pencapaian posisi ideal itu tidak gampang, sebab ada banyak hal yang harus diperhatikan. Bukan saja soal alokasi anggaran seperti pendapat kalangan awam, tetapi mencakup pula kesiapan organisasi dan sumber daya manusia.
Bertolak dari latar belakang dilema saat ini, strategi Angkatan Laut sampai kapan pun akan berfokus pada pengendalian laut. Dengan pengendalian laut, operasi apapun dapat dilaksanakan, baik pada masa damai maupun masa perang. Dikaitkan dengan peperangan konvensional, menjadi pertanyaan yaitu sumber terbesar ancaman terhadap kemampuan pengendalian laut Indonesia berasal dari mana?
Apakah dari kapal permukaan, kapal selam ataukah pesawat udara? Masalah ini perlu dikaji dengan seksama, agar penentuan prioritas dalam perencanaan kekuatan tidak keliru. Meskipun menurut sebagian pihak Indonesia tidak akan mempunyai perang dalam tahun-tahun ke depan, tetapi mengingat bahwa perang masa kini terjadi secara tiba-tiba dan berakhir dengan cepat pula, tetap perlu mempersiapkan kemampuan peperangan konvensional untuk menghadapi situasi demikian.
Menurut hemat saya, ancaman utama terhadap pengendalian laut Indonesia sumbernya berasal dari kapal selam. Sebab selain sifat kapal selam yang senyap dan beroperasi di kolom air yang tidak gampang untuk dideteksi, Indonesia kini telah dikepung oleh tiga negara anggota FPDA yang kekuatan lautnya sekarang semuanya telah mengoperasikan kapal selam. Jangan sampai ketika suatu saat nanti tiba-tiba muncul konflik, kekuatan laut Indonesia bertindak seperti Angkatan Laut Argentina saat Perang Malvinas.
Dalam Perang Malvinas, kapal penjelajah ARA Belgrano ditorpedo oleh HMS Conqueror. Setelah kapal penjelajah eks U.S. Navy itu tenggelam ke dasar Samudera Atlantik Selatan, kekuatan laut Argentina tidak punya keberanian untuk beroperasi lagi menyongsong invasi Inggris ke Kepulauan Malvinas. Artinya, jangan sampai nanti kemampuan pengendalian laut Indonesia lumpuh setelah satu kapal atas airnya ditorpedo oleh kapal selam lawan dan peristiwa itu selanjutnya berdampak seperti kasus Angkatan Laut Argentina.
Kalau kapal selam dipandang sebagai sumber ancaman utama terhadap pengendalian laut Indonesia, tentu saja diperlukan langkah-langkah untuk memperkuat kemampuan peperangan bawah air. Untuk menuju ke situ, dibutuhkan kesamaan persepsi secara nasional. Artinya, masalah ini tidak boleh dipandang sebagai bisnisnya Angkatan Laut negeri ini semata sehingga pihak lain yang sebenarnya terkait tidak terlalu peduli atau bahkan tidak mau ambil pusing.
Kasus penundaan pengadaan kapal selam menunjukkan bahwa pemahaman bangsa ini terhadap Angkatan Laut dan lebih khusus lagi peperangan bawah air sangat lemah. Seolah-olah itu urusan Angkatan Laut semata dan tidak ada kaitannya dengan mereka. Padahal masalah pengendalian laut Indonesia terkait juga dengan pemasukan negara berupa pajak dan lain sebagainya, suatu hal yang sangat dipahami dan pasti akan dikejar-kejar oleh Departemen Keuangan. Sangat disayangkan, pemahaman para pemburu uang untuk mengisi pundi-pundi APBN tidak paham hubungan antara kapal selam dengan pemasukan uang bagi negara.

28 September 2009

Ekonomi Dan Lingkungan Keamanan

All hands,
Hubungan antara ekonomi dan lingkungan keamanan sangat jelas dan signifikan. Pada satu sisi, lingkungan keamanan akan menentukan struktur kekuatan militer yang harus dibangun. Namun pada sisi lain, pembangunan struktur itu harus memperhatikan pula aspek ekonomi.
Selama ini dalam praktek di Indonesia, seringkali aspek ekonomi lebih banyak mendikte pembangunan struktur kekuatan militer. Akibatnya struktur kekuatan militer Indonesia selalu tidak sesuai dengan lingkungan keamanan yang dihadapi. Dengan kata lain, pertahanan di Indonesia belum menganut diktum pay any price.
Ada tinjauan dari sisi lain menyangkut hubungan antara ekonomi dan lingkungan keamanan. Yaitu bagaimana lingkungan keamanan mendikte ekonomi untuk mendukung pembangunan struktur kekuatan militer yang sesuai dengan lingkungan keamanan. Pendekatan inilah yang tidak pernah dilaksanakan di Indonesia pasca Operasi Trikora.
Perilaku mendikte lingkungan keamanan terhadap ekonomi sebenarnya harus diterapkan di Indonesia pada kondisi sekarang. Mengapa demikian? Pertama, lingkungan keamanan menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan terus menerus kekuatan militer negara-negara di sekitar Indonesia. Pada waktu yang sama, Indonesia masih mempunyai masalah yang belum terselesaikan dengan negara-negara tersebut, baik masalah wilayah maupun freedom of navigation. Artinya ada kepentingan nasional Indonesia yang berpotensi dilabrak oleh negara-negara lain.
Kedua, kemampuan kekuatan militer Indonesia menuju titik nadir. Apabila kebijakan pemerintah masih terus menempuh pendekatan ekonomi mendikte struktur kekuatan militer, maka dalam 2-3 tahun mendatang kekuatan militer Indonesia hanya akan ada di atas kertas. Di alam nyata, kekuatan militer Indonesia nyaris tidak mempunyai n kemampuan apapun untuk mengamankan kepentingan nasional.
Secara ideal, sebaiknya memang tidak ada saling mendikte antara ekonomi dan lingkungan keamanan. Namun untuk kondisi Indonesia saat ini, pendekatan itu harus ditempuh untuk mengamankan kepentingan nasional bangsa ini. Sama halnya dengan yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat di era Presiden George W. Bush, Jr berkuasa untuk memerangi teroris yang dinilai mengancam secara nyata kepentingan nasional negeri itu.
Dengan kata lain, demi kepentingan nasional maka ekonomi sangat bisa tidak dijadikan anak emas. Kemakmuran itu penting, tetapi kemakmuran tanpa keamanan hanyalah ilusi. Tidak ada negara di dunia yang makmur tanpa dukungan keamanan yang memadai. Swiss sekalipun yang puluhan tahun berstatus netral dan kekuatan militernya tidak lebih hebat dari negara-negara di sekitarnya, kemakmurannya tercapai kepentingan nasionalnya “disandarkan” pada negara-negara besar di sekitarnya.
Sehingga tidak ada negara yang berani mengganggunya. Berbeda dengan Indonesia yang tidak mau “bersandar” pada negara manapun, tetapi ekonominya pun pelit untuk mendukung pembangunan kekuatan militer.

27 September 2009

Siap Berperang Dan Menang Di Masa Lalu

All hands,
Berbicara tentang pertahanan pasti akan terkait dengan lingkungan keamanan. Dinamika lingkungan keamanan akan menentukan dan mempengaruhi strategi pertahanan yang dianut. Banyak negara yang telah melaksanakan pergeseran strategi pertahanan sebagai respon terhadap lingkungan keamanan yang berubah.
Pergeseran strategi pertahanan berarti mengubah pula struktur kekuatan militer. Perubahan struktur tersebut akan dimulai dari aspek perencanaan sampai dengan akuisisi. Aspek perencanaan bukan semata soal sistem senjata apa yang harus dibeli untuk mencapai struktur kekuatan militer yang diinginkan, tetapi mencakup pula penyiapan sarana pendukung seperti pangkalan dengan segala fasilitasnya, sistem C4ISR dan personel.
Sebagai contoh, merespon invasi Uni Soviet ke Afghanistan dan jatuhnya rezim Syah Iran pada 1979, Amerika Serikat memperluas cakupan strategi pembendungannya hingga ke Asia Barat Daya. Saat Negeri Beruang Merah runtuh, Uwak Sam membangun strategi pertahanan yang berfokus pada operasi ekspedisionari di wilayah Timur Tengah. Sebab wilayah itu dipandang sebagai wilayah yang sangat vital bagi kepentingan nasionalnya, khususnya ketergantungan pada ladang minyak negara-negara Arab.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini sudah diinvasi oleh Australia pada 1999. Negeri ini masih terus dilecehkan oleh Negeri Tukang Klaim di Laut Sulawesi. Negeri ini masih terancam keutuhan wilayahnya terkait masalah Irian Jaya.
Ketika sejumlah masalah itu muncul, lingkungan keamanan sudah berubah. Tidak ada lagi Perang Dingin. Artinya peran dan nilai strategis Indonesia dalam peta keamanan Amerika Serikat sudah berubah dibandingkan di era Perang Dingin sedang berkecamuk. Di antara contoh nyata adalah restu Washington kepada Dili untuk memisahkan diri dari Jakarta.
Lalu berubah strategi pertahanan negeri ini? Jawabannya jelas, tegas dan gamblang yaitu tidak!!! Strategi pertahanan negeri yang pernah dipimpin oleh Soekarno ini masih menganut strategi pertahanan berlapis untuk menghadapi serangan dari luar. Serangan dari luar tersebut lebih banyak diartikan invasi untuk menduduki wilayah Indonesia, bukan serangan model surgical strike yang kini justru lebih popular.
Strategi pertahanan Indonesia juga tidak dengan jelas menunjukkan siapa bakal lawan yang akan dihadapi. Dengan kata lain, kekuatan militer Indonesia dirancang untuk menjadi super hero, mampu menghadapi serangan militer dari aktor manapun, baik aktor pemilik senjata konvensional maupun nuklir.
Pada sisi lain, kemampuan dukungan sistem senjata untuk mendukung strategi pertahanan mengalami penurunan drastis. Sehingga tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa ada keterputusan antara strategi dengan means untuk mencapai strategi tersebut. Masalahnya tidak banyak pihak di negeri ini yang hirau dengan masalah-masalah ini.
Sebenarnya di lembaga pendidikan profesional militer semacam Sesko sudah dengan jelas diajarkan teori strategi. Termasuk hubungan antara strategi pertahanan dengan struktur kekuatan militer. Masalahnya adalah implementasi teori itu sepertinya tidak berjalan, karena tidak adanya kemauan politik dari pemerintah. Keterbatasan anggaran pertahanan senantiasa dijadikan tameng oleh pengambil kebijakan menghadapi tuntutan pergeseran strategi pertahanan.
Meskipun merupakan hal yang tidak enak, bukanlah suatu hal yang berlebihan untuk menarik kesimpulan bahwa strategi pertahanan Indonesia dirancang untuk bekerja di alam Perang Dingin. Artinya kekuatan militer Indonesia siap untuk berperang dan menang di masa lalu, tetapi tidak siap untuk berperang dan menang di masa depan.

26 September 2009

Ironi Di Lanudal Juanda

All hands,
Bagi kita yang secara rutin mendarat dan tinggal landas di Surabaya, baik lewat Lanudal Juanda maupun Bandara Juanda, pasti akan menemukan ironi apabila mencermati memperhatikan lingkungan di sana. Ironi itu sekaligus mengundang senyum kecut sambil tak pikir habis di dalam hati kita. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa demikian?
Yang menjadi bahan renungan hingga tak habis pikir adalah eksistensi Lanud Surabaya milik Angkatan Udara di lingkungan Lanudal Juanda. Kenapa dikatakan tak habis pikir? Jawabannya sederhana, apa urgensinya mendirikan sebuah pangkalan udara di wilayah yang jelas-jelas dari awal sejarahnya adalah milik Angkatan Laut dalam bentuk organisasi Lanudal Juanda.
Toh kalau kita perhatikan pergerakan pesawat udara Angkatan Udara di Lanudal Juanda sangat tidak signifikan. Sangat jarang pesawat Angkatan Udara menggunakan Lanudal Juanda untuk kepentingan operasi. Sebab 10-15 menit penerbangan di sebelah selatan dan barat daya Lanudal Juanda terdapat dua Lanud punya Angkatan Udara yang berkategori kelas A.
Sejarah Lanudal Juanda jelas dibangun oleh Angkatan Laut dan khusus untuk kepentingan penerbangan Angkatan Laut menggantikan peran PUALAM yang kini menjadi bagian dari AAL. Karena fasilitas di Lanudal Juanda ketika baru selesai dibangun jauh lebih lengkap daripada di IWY, dulu seringkali pesawat MiG bermanuver di Juanda dengan kecepatan suara untuk menunjukkan ketidaksukaan tersebut. Dengan manuver tersebut, diharapkan fasilitas rusak seperti misalnya pecahnya sistem lampu pendaratan.
Ketika di era Orde Baru Pelabuhan Udara (sipil) Morokrembangan ditutup dan disulap menjadi lapangan peti kemas hingga kini, penerbangan sipil kemudian pindah menumpang ke Lanudal. Semua fasilitas di Lanudal Juanda yang berada di sisi selatan landasan pacu merupakan inventaris Angkatan Laut.
Dikaitkan dengan kehadiran Lanud Surabaya di tengah-tengah Lanudal Juanda, menjadi pertanyaan apa urgensinya? Toh secara nyata Lanud Surabaya praktis tidak punya apa-apa di Lanudal Juanda, kecuali Markas Lanud saja. Dan posisi Surabaya dari sisi operasional Angkatan Udara nampaknya masih bisa terliput dari Lanud ABD maupun IWY.
Pertanyaan ini bisa dianalogikan apabila misalnya Angkatan Laut mau mendirikan Lanudal di IWY. IWY dari sejarahnya jelas milik Angkatan Udara. Dari sisi operasional Angkatan Laut, nampaknya tidak ada urgensi harus mendirikan Lanudal di Maospati. Semua masih bisa terliput dari Lanudal Juanda.
Kalau kita berpikir dalam konteks operasi gabungan, tidak ada urgensi bagi Angkatan Udara untuk mendirikan Lanud di Surabaya. Toh seandainya ada kebutuhan operasional, bisa menggunakan fasilitas yang tersedia di Lanudal. Kalaupun Angkatan Udara mau hadir di Surabaya, apa perlu setingkat Lanud. Apa tidak cuma setingkat perwakilan atau Detasemen saja?
Memang tidak diingkari fakta bahwa ada pula sejumlah Lanudal yang berdampingan dengan Lanud di sejumlah tempat, seperti di Manado, Kupang dan Sabang. Namun kehadiran Lanual tersebut beralasan, sebab di wilayah tersebut memang menjadi salah satu basis operasional Penerbangan Angkatan Laut dalam rangka menggelar patroli maritim. Sehingga wajar saja ada Lanudal di situ. Sekarang silakan bandingkan dengan kondisi di Surabaya yang buat kita yang paham tentu sangat jelas berbeda.
Tulisan ini bukan ditujukan untuk persaingan tidak sehat antar matra. Pesan yang ingin disampaikan adalah mari kita lihat kebutuhan untuk membangun suatu pangkalan. Jangan sampai terjadi redundansi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Kebutuhan untuk membangun pangkalan hendaknya bukan didasarkan pada kebutuhan untuk menambah jabatan dan pangkat tertentu dalam DSP, tetapi mengacu pada kebutuhan operasional.
Penting untuk kita pahami bahwa saat ini eranya adalah operasi gabungan. Dalam operasi gabungan, suatu Angkatan menggunakan fasilitas Angkatan lainnya sah-sah saja. Itu lebih efisien daripada harus membangun fasilitas baru, termasuk pangkalan yang sebenarnya urgensinya dipertanyakan.

25 September 2009

HADR Dan Intensitas Latihan Gabungan

All hands,
Harus diakui bahwa kemampuan militer Indonesia untuk melaksanakan HADR secara gabungan belum teruji. Gabungan di sini bisa dalam kerangka joint, dapat pula dalam kerangka combined. Tentu kita semua sudah paham apa beda joint dengan combined.
Selama ini memang Indonesia telah beberapa kali mengikuti latihan-latihan militer di kawasan Asia Pasifik yang salah satu materinya adalah HADR. Bahkan dalam latihan militer bilateral dengan negara asing, beberapa latihan di antaranya memuat materi tentang HADR.
Adanya beberapa bencana alam beberapa tahun terakhir pasca tsunami Aceh 26 Desember 2004 memperlihatkan bahwa kemampuan HADR militer Indonesia masih jauh dari harapan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal seperti ketidaksiapan material dan ketidaksiapan sumber daya manusia. Ketidaksiapan material bisa dilihat dari tingkat kesediaan sistem senjata untuk mendukung operasi HADR, begitu pula dengan belum lengkapnya peralatan untuk mendukung operasi itu seperti ketersediaan alat zeni dan ketersediaan rumah sakit lapangan yang memenuhi standar internasional. Sedangkan ketidaksiapan sumber daya manusia karena masih banyak satuan militer negeri ini yang belum pernah dilatih secara khusus untuk melaksanakan HADR.
Dari situ muncul tantangan untuk meningkatkan kemampuan militer Indonesia melaksanakan HADR. Salah satu caranya adalah perlu digelarnya latihan HADR gabungan dengan skenario mirip skenario latihan gabungan selama ini. Cuma kalau skenario latihan gabungan adalah respon terhadap ancaman militer dari negara asing, maka dalam latihan gabungan HADR skenarionya adalah respon terhadap bencana alam yang memporakporandakan satu atau beberapa wilayah Indonesia secara simultan.
Untuk menuju ke arah itu, tentu saja perlu didukung oleh kesiapan material dan sumber daya manusia. Untuk material selain pengadaan sistem senjata baru dan peralatan lain yang mendukung pelaksanaan HADR, juga harus didukung oleh biaya pemeliharaan rutin material yang memadai. Adapun untuk kesiapan sumber daya manusia, nampaknya perlu terus meningkatkan kerjasama, termasuk latihan dengan militer negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang sudah makan asam garam soal HADR.

24 September 2009

HADR Dan Kesiapan Politik

All hands,
Isu HADR tidak semata terkait kesiapan operasional militer, khususnya Angkatan Laut untuk melaksanakan misi tersebut. Kesiapan politik harus pula diperhatikan dan tentu saja masalah ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Mengapa kesiapan politik harus diperhatikan?
Sebab HADR tidak saja berdimensi operasional militer, tetapi mengandung pula dimensi politik. Dimensi politik tersebut tergabung satu paket dalam HADR. Sebagai contoh, melalui HADR negara-negara asing yang mengirimkan kekuatan Angkatan Lautnya ke wilayah operasi HADR akan berupaya menanamkan pengaruh politiknya di sana. Penanaman pengaruh politik dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang halus, kadang pula dalam bentuk yang vulgar.
Bentuk yang halus misalnya dapat dilihat di Aceh pasca bencana tsunami 26 Desember 2004. Jangankan Amerika Serikat, Singapura dan Malaysia Si Negeri Tukang Klaim pun berupaya menanamkan pengaruhnya di sana. Sebab di Negeri Tukang Klaim itu bermukim pula orang-orang Aceh pelarian (saat itu) yang secara tidak langsung dilindungi oleh pemerintah negeri tersebut.
Penanaman pengaruh secara vulgar dalam HADR bisa dilihat di Kosovo 1999 dan Kurdistan pasca 1991. Kekuatan asing masuk ke sana, kemudian merancang agenda politiknya sendiri yang bertentangan dengan kedaulatan negara induk di mana kedua wilayah berada. Dalam kasus Kosovo, agendanya adalah memerdekakan negara itu dari negara induk. Kurdistan pun mirip-mirip demikian.
Indonesia harus paham soal kesiapan politik ini. Kasus kelaparan di sebagian kecil wilayah Papua dapat menjadi pintu masuk bagi HADR. Masalahnya di balik HADR itu ada agenda tersembunyi. Tentu kita paham siapa yang kira-kira sangat bernafsu untuk masuk ke Papua atas nama HADR, sebab mereka juga pernah masuk ke sana pada 1997 ketika sebagian wilayah itu dilanda kelaparan.
HADR harus dicermati dan dipahami dengan betul, sebab seringkali di sana menumpang agenda politik di balik agenda kemanusiaan. Untuk meminimalisasi ketergantungan Indonesia terhadap HADR, pilihan terbaik adalah jangan pelit keluarkan anggaran untuk memperkuat kekuatan pertahanan, termasuk Angkatan Laut. Berapapun anggaran yang dikeluarkan, itu jauh lebih murah daripada hilangnya pengaruh dan wibawa pemerintah di wilayah kedaulatannya sendiri karena operasi HADR asing.

23 September 2009

HADR Tidak Semudah Yang Dibayangkan

All hands,
Seiring dengan “kecenderungan” bencana alam di dunia, kerjasama pertahanan antar negara kini sudah menyentuh pula isu humanitarian assistance and disaster relief (HADR). Contohnya adalah Perjanjian Lombok antara Indonesia dan Australia. HADR masuk pula dalam materi latihan militer gabungan antar negara, misalnya Cobra Gold dan CARAT. Bahkan isu HADR seringkali menjadi pintu masuk bagi kerjasama pertahanan antar negara sebelum menyentuh isu-isu yang keras seperti latihan manuver di laut.
Bagi Indonesia, tidak ada pilihan lain kecuali meningkatkan kemampuan melaksanakan HADR, termasuk di dalamnya Angkatan Laut. Sudah merupakan ketetapan Allah SWT bahwa negeri ini terletak di ring of fire dan pertemuan lempeng bumi, sehingga bencana alam mengintai setiap saat. Cuma masalahnya adalah seberapa siap militer negeri ini melaksanakan HADR?
Harus jujur diakui akan adanya kekhawatiran dalam kerjasama HADR, Indonesia lebih banyak menjadi obyek daripada subyek. Alasannya selain memang Negeri Nusantara rawan akan bencana alam, tingkat kesiapan dan respon terhadap HADR masih jauh dari tingkat yang diharapkan. Sebagai contoh, berapa pesawat udara kekuatan militer negeri ini yang siap merespon terjadinya bencana alam di salah satu wilayah Indonesia di luar Pulau Jawa? Berapa lama respon itu, apakah enam jam, 12 jam, 24 jam ataukah 48 jam?
Bagaimana pula dengan kesiapan kapal angkut Angkatan Laut Indonesia? Berapa hari waktu yang diperlukan untuk berlayar dari pangkalan di Pulau Jawa ke salah satu wilayah Indonesia, katakanlah di sekitar Aceh dan atau di kawasan Indonesia Timur?
Belum lagi kesiapan logistik yang harus diangkut oleh kapal perang. Seberapa besar cadangan logistik darurat yang ada di gudang-gudang pemerintah? Bagaimana pula mekanisme bila logistik militer digunakan untuk HADR, apakah mendapatkan penggantian dari pemerintah atau tidak?
Begitu pula dengan kesiapan logistik seperti alat berat. Seberapa banyak alat berat yang siap disebarkan sewaktu-waktu untuk HADR, baik yang berada di bawah kepemilikan pemerintah dan militer. Di lingkungan militer negeri ini sendiri, kekuatan batalyon zeni Korps Marinir dan AD belum sesuai harapan. Dalam arti perlengkapan mereka masih belum cukup lengkap sebagai satuan zeni, misalnya ketersediaan beragam jenis alat berat.
Memperhatikan dengan cermat sebagian dari masalah-masalah tersebut, nampaknya Indonesia belum akan mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri soal HADR. Bantuan asing dalam HADR akan lebih dominan, khususnya ketika terjadi bencana skala besar dan bertempat di luar Pulau Jawa.

22 September 2009

Berpikir Gabungan Dalam Perencanaan Kekuatan

All hands,
Salah satu tantangan dalam pembangunan kekuatan pertahanan di Indonesia adalah paradigma berpikir gabungan. Termasuk di dalamnya saat menyusun perencanaan kekuatan, paradigma operasi gabungan harus dikedepankan. Sebagai contoh, apabila Angkatan Laut merencanakan membeli kapal korvet dan atau fregat jenis x, sementara Angkatan Udara dalam waktu yang sama merencanakan pengadaan pesawat tempur jenis y, kedua matra sebaiknya berkoordinasi menyangkut interoperability kedua sistem senjata yang berbeda.
Meskipun sangat jelas bahwa opsreq antara kapal perang dengan pesawat tempur berbeda, minimal ada interoperability dalam sistem C4ISR. Sehingga ketika beroperasi nanti, kedua sistem senjata yang berbeda jenis itu dapat berkomunikasi di frekuensi gelombang elektronika yang sama untuk pertukaran informasi dan sekaligus komando dan kendali. Dengan demikian interoperability nantinya dapat benar-benar diterapkan di lapangan, bukan sekedar teori saja.
Masalah kesamaan frekuensi gelombang elektronika bagi gelombang elektronika antara Angkatan Laut dan Angkatan Udara di negeri ini merupakan masalah lama yang hingga kini belum dapat dipecahkan sepenuhnya. Agar tidak menjadi masalah terus di masa mendatang, hendaknya interoperability antar sistem senjata dari matra yang berbeda dibahas secara matang ketika dalam proses perencanaan kekuatan.
Isu interoperability lainnya yang harus dibenahi adalah soal operasi maritim. Seperti dipahami, operasi maritim bukanlah operasi yang eksklusif Angkatan Laut, meskipun Angkatan Laut selalu menjadi unsur utama dalam operasi itu. Dalam operasi maritim, kekuatan udara Angkatan Udara bisa terlibat, termasuk heli. Yang sangat jarang dipikirkan di Indonesia, apalagi dipraktekkan adalah bagaimana heli Angkatan Udara tergabung dalam gugus tugas gabungan maritim di bawah kendali Angkatan Laut.
Artinya heli itu harus berpangkalan di kapal perang Angkatan Laut dan melaksanakan operasi bersama unsur-unsur Angkatan Laut. Dari aspek perencanaan kekuatan, tergambar bahwa salah satu pekerjaan rumahnya adalah bagaimana menyinkronisasi kapasitas heli Angkatan Udara dengan kemampuan kapal perang untuk menampungnya. Sebagai contoh, dengan SA-330 Puma dan SA-332 Super Puma sebagai tulang punggung kekuatan heli Angkatan Udara, berarti Angkatan Laut harus mempunyai kapal perang yang sanggup melayani heli jenis itu.
Sejauh ini, hanya kapal perang jenis LPD yang sanggup melayani operasional heli Puma/Super Puma. Itu pun belum pernah diuji coba interoperability antara kedua jenis sistem senjata. Kemampuan kapal LPD menampung heli Puma/Super Puma sebenarnya sebuah kebetulan belaka, sebab dalam perencanaannya di masa lalu belum mengarah penuh ke interoperability sistem senjata dengan Angkatan Udara.
Jalan ke depan masih panjang, artinya belum terlambat untuk memulai berpikir gabungan sejak dalam perencanaan kekuatan di masing-masing Angkatan. Kasus masalah frekuensi gelombang elektronika dan interoperability heli Angkatan Udara di kapal LPD Angkatan Laut hanya sedikit dari banyaknya peluang interoperability yang selama ini belum terpikirkan dan atau digarap.
Untuk menciptakan pola berpikir gabungan sejak dari perencanaan kekuatan, selain dibutuhkan paradigma gabungan dalam setiap perwira staf perencanaan, mesti didorong oleh kebijakan dari Departemen Pertahanan maupun Mabes TNI. Artinya paradigma di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI juga harus pada paradigma gabungan dalam arti yang sesungguhnya, bukan gabungan dalam arti semu. Penanaman paradigma gabungan ini yang masih perlu jalan panjang, karena operasi gabungan belum menjadi budaya yang mengakar di Indonesia.

21 September 2009

Mencari Sosok Tokoh Gabungan

All hands,
Operasi gabungan yang kini menjadi keharusan di abad ke-21 sebenarnya bukan suatu hal yang baru bagi militer Indonesia. Dalam sejarahnya, militer negeri ini pernah beberapa kali melaksanakan operasi gabungan, yaitu dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta dan Operasi Trikora. Kedua kampanye militer tersebut merupakan operasi gabungan yang melibatkan ketiga matra militer. Dari sini tergambar bahwa militer Indonesia mempunyai modalitas mengenai operasi gabungan.
Namun modalitas itu nampaknya kurang ditonjolkan ketika berbicara soal pengalaman operasi di masa lalu dan apa lesson learned bagi kebutuhan operasi gabungan di masa kini dan di masa depan. Militer negeri ini lebih suka melihat pengalaman perang kemerdekaan sebagai tonggak penting ketika dihadapkan dengan lingkungan keamanan saat ini dan ke depan yang menuntut operasi gabungan. Tidak heran ketika berdiskusi tentang perang, yang langsung muncul biasanya bukan soal bagaimana kita merancang operasi gabungan ke depan, tetapi tentang perang semesta yang identik dengan perang gerilya.
Akibatnya nyaris tidak ada kemajuan dalam pola pikir soal perang, termasuk menyangkut operasi. Meskipun sejak 1980-an telah beberapa dilaksanakan latihan gabungan secara cerminan pelaksanaan operasi gabungan, namun mindset mayoritas masih pada perang kemerdekaan. Upaya-upaya untuk mendobrak paradigma perang kemerdekaan pada tingkat doktrin sangat sulit. Kalau melihat doktrin militer negeri ini (Doktrin TNI), itulah cerminan dari kegagalan mendobrak paradigma perang kemerdekaan.
Perang kemerdekaan bagi militer sangat identik dengan tokoh tertentu. Nama dan patung tokoh ini pasti ada di markas-markas non laut dan udara. Bahkan di Departemen Pertahanan pun demikian. Lebih dari itu, di departemen ini yang harusnya bernuansa gabungan kita tidak akan pernah menemukan tokoh matra laut dan udara yang namanya diabadikan menjadi nama gedung.
Perang kemerdekaan dan peran tokoh tertentu yang sentral adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Namun apakah kita harus menyakralkannya sehingga pola pikir mengenai perang, kampanye dan operasi masih harus terkungkung pada pengalaman era itu? Bukankah militer negeri ini juga mempunyai sejumlah pengalaman perang yang jauh lebih maju dari sekedar perang kemerdekaan?
Kalau kita mau jujur, militer negeri ini sebagai tentara modern baru mempunyai setidaknya dua pengalaman perang, yaitu saat menumpas PRRI/Permesta dan kampanye pembebasan Irian Barat lewat Operasi Trikora. Pada era kemerdekaan, militer negeri ini belum bisa disebut sebagai tentara modern, sebab modalnya cuma senapan ringan dan mortir. Tidak ada tank, meriam apalagi kapal perang dan pesawat udara.
Mengingat kompleksitas tantangan dan ancaman masa kini, nampaknya militer negeri ini perlu mencari sosok tokoh baru yang dapat dijadikan sebagai founder dalam operasi gabungan. Sosok tokoh baru itu tidak harus satu orang, bisa dua atau tiga orang. Misalnya perlu dilacak dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta, siapa saja yang menjadi otak dari operasi gabungan itu? Kehadiran sosok tokoh baru ini menurut saya penting, agar militer negeri ini tidak terpaku pada satu episode saja dalam rangkaian sejarahnya. Terpaku pada satu periode sejarah mengakibatkan stagnasi dalam berpikir soal perang di masa depan, termasuk pengembangan doktrin.

20 September 2009

Peliknya Urusan End User Certificate

All hands,
End User Certificate merupakan salah satu mekanisme untuk pengendalian senjata internasional. Melalui end user certificate, negara produsen ingin memastikan bahwa produk senjata mereka tidak akan dialihkan kepada pihak ketiga tanpa seijin mereka. Banyak hal yang diatur dalam end user certificate, termasuk di antaranya tidak akan mengutak-atik bagian dalam sistem senjata. Negara yang mengeluarkan end user certificate dipastikan mampu mengawasi senjata yang dijualnya.
Negara-negara konsumen senjata seperti Indonesia seringkali menjadi korban dalam soal end user certificate. Misalnya, tidak bisa memodifikasi suatu sistem senjata tanpa ijin dari pemerintah negara pembuat. Atau tidak bisa menggunakan sistem senjata itu ketika dibutuhkan, dengan alasan negara pembuat memandang hal itu akan berpotensi melanggar dan lain sebagainya.
Mengapa menjadi korban? Sebab posisi negara pembeli biasanya selalu lebih lemah dibandingkan negara produsen. Pilihannya tinggal take it atau leave it. Tidak ada pilihan lain.
Salah satu pilihan agar kita tidak menjadi korban end user certificate adalah meneliti dengan cermat klausul dalam end user certificate. Kalau bisa dinegosiasikan, kenapa tidak? Katakanlah ada 20 klausul di dalamnya, 5-8 klausul bisa dinegosiasikan saja sudah bagus.
Artinya kita butuh negosiator yang handal dan negosiator itu sebaiknya harus perwira militer. Karena dia yang paham akan teknis penggunaan senjata yang akan dibeli. Kelemahan Indonesia selama ini, sangat jarang mempunyai perwira militer yang pandai untuk bernegosiasi soal itu.
Kalau selama ini Indonesia seringkali menjadi korban dari end user certificate, sebagian dari hal itu karena kekurangcermatan Indonesia juga. Mungkin kita lebih tergoda pada “hal lain-lain” dalam pengadaan senjata, sehingga untuk end user certificate kita langsung setuju saja terhadap klausul yang disodorkan oleh negara pembuat senjata.

19 September 2009

Mengembalikan Sistem Senjata Armada Terpadu

All hands,
Disadari atau tidak, pemahaman kita terhadap Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) sudah mengalami kemerosotan. Akibatnya tanpa disadari, terkadang muncul pemikiran dan tindakan-tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan SSAT. Misalnya, ada keinginan menjadi lebih besar tanpa memperhatikan dengan seksama soal SSAT.
SSAT secara harfiah terkait dengan penggunaan secara terpadu empat sistem senjata Angkatan Laut dalam operasi. Keempat sistem senjata ini tidak dapat bergerak sendiri-sendiri, tetapi harus bergerak secara terpadu di bawah bendera Angkatan Laut. Misalnya, eksistensi Penerbangan Angkatan Laut adalah untuk mendukung operasional kapal perang dan juga Marinir.
Dari empat komponen SSAT, dua di antaranya secara organisasi terpisah dari Armada RI. Sebetulnya hal itu tidak menjadi masalah, sepanjang operasionalnya masih berada di bawah atap armada. Sebagai contoh, penerbangan Angkatan Laut yang mempunyai induk sendiri dalam operasinya tetap berada di bawah komando dan kendali Armada RI melalui konsep BKO. Dengan kata lain, Pusnerbal berfungsi sebagai force provider bagi armada.
Yang menarik untuk dicermati adalah soal Korps Marinir. Di masa lalu, di dalam organisasi Armada RI terdapat Satmararma. Sangat disayangkan organisasi itu kemudian dilikuidasi, sehingga kini armada tidak lagi mempunyai satuan Marinir yang dapat disebarkan sewaktu-waktu. Kalau cuma masalah pembinaan, sebenarnya eksistensi Satmararma tidak perlu dihapuskan karena pembinaan personel satuan ini tidak berada di armada.
Begitu pula dengan pangkalan. Dalam SSAT, salah satu tugas pokok pangkalan adalah memberikan dukungan logistik kepada kapal perang yang sedang beroperasi. Pertanyaannya kini, seberapa banyak pangkalan yang memenuhi syarat 4R?
Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa SSAT perlu dipahami kembali dan dirujuk kembali kenapa konsep itu dijadikan kebijakan Angkatan Laut sejak dahulu. Kalau kita mempelajari kembali sejarah Angkatan Laut negeri ini, SSAT muncul pertama kali dalam Jakpimal 1974-1978. Kenapa kebijakan itu muncul? Karena saat itu ada kecenderungan setiap unsur dalam Angkatan Laut negeri ini yang terkesan berdiri sendiri alias otonomi dan kurang terikat dalam suatu kekuatan Angkatan Laut yang terpadu.

18 September 2009

Kajian Pengadaan Sistem Senjata Secara Komprehensif

All hands,
Satu di antara kekurangan yang mesti dibenahi dalam pengadaan sistem senjata adalah pada sisi kajian. Seringkali faktor kajian dalam pengadaan tersebut kurang komprehensif yang disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya kurangnya pemahaman terhadap filosofi sistem senjata yang ingin dibeli, kurangnya data pembanding, masih mendominasinya pola pikir matra dibandingkan gabungan, masih dominannya pendekatan harga daripada kualitas sistem senjata maupun adanya faktor given.
Akibatnya seringkali kajian dalam pengadaan suatu sistem senjata sebatas formalitas belaka.Sebagai dampak dari semua itu, wajar saja bila seringkali muncul keluhan terhadap sistem senjata yang usianya masih muda. Sehingga muncul kerugian operasional dan kerugian ekonomis yang sebenarnya dapat ditunda hingga 20 tahun ke depan.
Lalu bagaimana agar kajian tersebut dapat dilaksanakan secara komprehensif? Ada beberapa syarat untuk itu. Pertama, perencanaan pengadaan sistem senjata dilaksanakan secara matang. Artinya dibutuhkan timeline yang lumayan panjang dari proses awal yaitu persyaratan apa saja yang harus dipenuhi oleh sistem senjata hingga proses akhir yakni ketika diputuskan kita akan membeli sistem senjata dengan merek x.
Kedua, dibutuhkan personel yang mumpuni dari berbagai latar belakang. Misalnya untuk masalah propulsi, perlu dikaji antara sistem propulsi pada sistem senjata yang kita pertimbangkan dengan ketersediaan kadar bahan bakar untuk propulsi itu di dalam negeri. Sebab perbedaan pada kadar bahan bakar seperti viskositas akan berkontribusi pada pendeknya umur sistem senjata yang akan dibeli.
Begitu pula dengan filosofi rancang bangun sistem senjata itu. Diperlukan personel yang paham akan filosofi rancang bangun sistem senjata, misalnya kenapa kapal perang negara x menggunakan meriam di haluan dan buritan sekaligus. Mengapa propulsinya dirancang untuk dioperasikan dalam kecepatan tinggi, mengapa sudut kemiringan anjungan y derajat, mengapa frequency band-nya memilih frekuensi tertentu dan lain sebagainya.
Ketiga, independensi tim pengkaji. Independensi ini penting agar hasil kajian tingkat akurasi dan obyektivitasnya dapat dijamin setinggi mungkin. Tanpa independensi, akan terkesan bahwa kajian dilaksanakan hanya untuk memenuhi syarat formalitas belaka.
Independensi bukan semata terhadap “titipan” dari atas, tetapi juga dalam soal harga. Sebaiknya masalah harga jangan dipatok pada pagu tertentu, sebab hal itu akan berdampak pada tidak terpenuhinya opsreq yang sesungguhnya dibutuhkan di lapangan.

17 September 2009

Pertahanan Dan Tujuan Berbangsa

All hands,
Beberapa waktu lalu Menteri Pertahanan telah menjelaskan hasil audit alutsista, yang mana tingkat kesiapan sistem senjata negeri ini hanya 35 persen. Pertanyaannya kemudian, kebijakan apa yang ditempuh oleh pemerintah kondisi tersebut? Tanpa perlu menunggu waktu yang tak terlalu lama, pengambil keputusan di Negeri Nusantara memerintahkan panglima militernya untuk memelihara alutsista yang ada.
Dengan kata lain, ada kecenderungan bahwa audit alutsista terkesan kebijakan setengah hati. Sebab begitu hasilnya dipaparkan sesuai dengan kondisi di lapangan, titah yang keluar dari pengambil keputusan adalah pelihara alutsista itu. Dengan demikian, militer Indonesia masih akan tetap terjebak dalam lingkaran setan kebijakan sistem senjata.
Mengapa lingkaran setan? Pertama, tidak ada keberpihakan terhadap modernisasi kekuatan militer. Komitmen itu sebatas lip service yang dimunculkan kapan diperlukan, khususnya ketika publik menuntut agar kekuatan militer mereka dimodernisasi.
Kedua, miskinnya keberpihakan dari sisi anggaran. Kalau kita mau jujur, sebagian putra-putri bangsa yang mengabdikan dirinya ke dalam dinas militer menemui akhir hidupnya karena kebijakan anggaran yang tidak berpihak pada mereka. Sebagai contoh, apabila kita mempunyai 10 kapal perang jenis tertentu, dukungan anggarannya paling banyak untuk 6 kapal.
Ketiga, pemborosan anggaran yang luar biasa. Titah untuk memelihara sistem senjata yang mayoritas berumur berimplikasi pada pemborosan anggaran. Sebab biaya pemeliharaan sistem senjata itu sangat mahal, sebab life cycle cost-nya sudah tidak terhingga. Selain itu, sistem senjata yang dipaksakan untuk terus dipelihara tidak akan optimal untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok.
Sebagai ilustrasi adalah dalam latihan lintas laut militer, yang sebagian di antaranya mengandalkan kapal angkut yang usianya lebih tua daripada perwira paling tua yang masih berdinas aktif di militer negeri ini. Kecepatan ekonomis kapal perang itu rata-rata cuma 5-6 knot, sementara kapal tabirnya rata-rata 14-16 knot, bahkan ada yang lebih cepat lagi. Bisa dibayangkan betapa lelahnya mengawal kapal angkut ini, selain waktu yang terbuang karena rendahnya kecepatan kapal yang dikawal.
Dari situ tergambar bahwa pemeliharaan sistem senjata yang berumur sebenarnya tidak berkontribusi banyak pada kepentingan operasional, bahkan sebaliknya cenderung menjadi beban. Beban bukan sebatas pada kepentingan operasional, tetapi juga pada kepentingan anggaran pemeliharaan.
Sebenarnya masalah-masalah yang menggelayuti sistem senjata militer negeri ini sudah dipahami dengan betul. Namun tidak ada niat dan langkah untuk memperbaikinya. Jangankan untuk modernisasi kekuatan, untuk menganggarkan pemeliharaan sistem senjata yang masih ekonomis untuk digunakan saja sulitnya luar biasa. Sementara untuk kepentingan ekonomi, mengeluarkan dana yang nilainya setara atau bahkan lebih besar dari harga sebuah kapal selam termutakhir dunia sulitnya minta ampun. Pertanyaannya, apakah negeri bernama Indonesia didirikan oleh para pendahulu hanya agar bangsa ini sejahtera dengan mengabaikan kepentingan pertahanan, martabat dan harga diri? Ataukah kini tujuan bangsa Indonesia telah berubah menjadi menciptakan masyarakat yang adil makmur dengan martabat dan harga diri diinjak-injak oleh bangsa lain? Apakah bangsa Indonesia kini diharamkan menggunakan hard power untuk mengamankan kepentingan nasionalnya? Kalau diharamkan, siapa yang mengharamkan dan dasarnya apa?

16 September 2009

Daya Dukung Sistem Senjata Terhadap Dua Kawasan Pelibatan

All hands,
Indonesia secara resmi masih menganut pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan yang lebih sering dikenal dengan dua trouble spot. Hal demikian dipraktekkan dalam latihan gabungan militer negeri ini tahun 2008. Meskipun belum pernah ditetapkan secara gamblang dan tegas di mana dua kawasan itu, itu hanya satu dari beberapa persoalan terkini menyangkut pendekatan dari dua daerah pelibatan.
Masalah lainnya yang selama ini kurang disorot adalah daya dukung sistem senjata. Pertanyaan pokoknya adalah apakah kondisi kesiapan sistem senjata saat ini mendukung bagi diterapkannya pendekatan dua kawasan pelibatan. Penting untuk dipahami bahwa pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan dianut sejak 1980-an, setelah modernisasi kekuatan militer Indonesia dilaksanakan untuk menggantikan sistem senjata buatan Uni Soviet.
Dengan demikian, hingga 1990-an konsep dua kawasan pelibatan secara simultan masih relevan dan dapat dilaksanakan. Sebab tingkat kesiapan sistem senjata cukup tinggi, khususnya pada kekuatan laut dan udara. Sebagai contoh adalah kesiapan kapal-kapal angkut AL yang saat itu bertumpu pada LST buatan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sedangkan kesiapan angkut AU didukung oleh sekitar 20-an C-130 Hercules.
Memasuki dekade 2000-an, kondisi pertahanan Indonesia mengalami kemunduran drastis. Kondisi ekonomi yang morat-marit pada awal 2000-an membuat program modernisasi kekuatan militer tidak berjalan. Kini menjelang akhir dekade pertama abad ke-21, dengan kondisi ekonomi Indonesia yang jauh lebih baik dibandingkan di awal dekade ini, tetap saja modernisasi pertahanan nyaris berjalan di tempat. Situasi itu disebabkan oleh tidak adanya keberpihakan terhadap kekuatan militer negeri ini dari pengambil keputusan.
Modernisasi pertahanan yang nyaris jalan di tempat dan makin menurunnya kinerja sistem senjata lama berpengaruh pula terhadap kesiapan untuk menggelar operasi di dua kawasan sekaligus. Secara nyata, kemampuan kekuatan laut negeri ini untuk menggelar kampanye saat ini hanya pada satu kawasan pelibatan. Asumsi itulah yang dibangun dalam konsep minimum essential force kekuatan laut Indonesia. Suatu asumsi yang patut diacungi jempol, karena berani berkata tentang kondisi kemampuan sebenarnya kepada pengambil keputusan negeri ini.
Kalaupun dalam latihan gabungan militer negeri ini tahun 2008 digambarkan mampu melaksanakan kampanye di dua kawasan pelibatan secara simultan, tentu saja perlu dikaji kembali apakah kekuatan lawan dirancang sebagai kekuatan yang lebih kuat, sama kuat atau lebih lemah dari kekuatan militer Indonesia.
Pesan yang hendak disampaikan di sini adalah mari kita meninjau kembali pendekatan dua kawasan pelibatan secara simultan. Pendekatan itu bisa diterapkan apabila program modernisasi yang telah direncanakan tidak sebatas di atas kertas seperti ini. Selama program modernisasi miskin realisasi, hendaknya kita secara arif harus meninjau kembali pendekatan yang selama ini dianut.

15 September 2009

Keamanan Maritim Dan Attack At The Source

All hands,
Keamanan maritim merupakan salah satu isu utama dalam dinamika lingkungan saat ini. Menghadapi isu itu, banyak negara yang berkepentingan tidak ragu untuk menggunakan segala sumber daya yang tersedia, baik politik, ekonomi maupun militer. Secara militer, Angkatan Laut berbagai negara menggelar patroli di wilayah perairan yang dinilai sangat rawan terhadap ancaman keamanan maritim, misalnya di Somalia. Ada pula kerjasama patroli antar beberapa negara pantai, seperti di Selat Malaka.
Salah satu cara yang hingga kini belum ditempuh oleh banyak negara adalah attack at the source. Yaitu menyerang langsung sumber masalah keamanan maritim, yaitu para perompak dan pembajak. Sasaran penyerangan adalah di daratan yang menjadi basis kelompok tersebut. Meskipun belum pernah dilaksanakan, pemikiran seperti ini telah muncul dalam rencana kontinjensi beberapa Angkatan Laut untuk wilayah perairan tertentu, khususnya choke points.
Amerika Serikat dalam rencana kontinjensinya mempersiapkan pendaratan pasukan Marinir di wilayah Selat Malaka apabila negara-negara pantai dinilai sudah tidak sanggup lagi menghadapi ancaman perompakan dan pembajakan. Sedangkan pada rencana kontinjensi Australia, Angkatan Darat negeri itu akan menyerang wilayah pantai choke points apabila ada ancaman terhadap negara tersebut, baik dari aktor negara maupun non negara. Seperti diketahui, Negeri Kangguru tidak mempunyai kekuatan Marinir.
Indonesia belum pernah secara langsung mempraktekkan penggunaan kekuatan Marinir untuk mengatasi perompakan dan pembajakan melalui serangan ke wilayah pantai yang diduga menjadi basis kelompok tersebut. Ketika di Aceh terjadi pemberontakan GAM beberapa tahun lalu, kelompok bersenjata ini turut melancarkan aksi perompakan dan pembajakan sebagai cara untuk mencari uang. Untuk menghadapi masalah tersebut, penggunaan kekuatan Marinir nampaknya belum dioptimalkan, sebab fokus operasi militer saat itu bukan untuk memerangi perompakan dan pembajakan yang dilaksanakan oleh GAM, tetapi melumpuhkan perlawanan kelompok pemberontak ini secara umum. Sehingga tidak aneh bila pada era 2000-2005 perompakan dan pembajakan di perairan sekitar Aceh merajalela.
Menilik akar masalah perompakan dan pembajakan di Indonesia, memang ada beberapa penyebab. Salah satunya adalah aspek kultural pada kelompok masyarakat tertentu. Artinya penggunaan kekuatan Angkatan Laut, termasuk Marinir bukan satu-satunya cara untuk menumpas masalah itu. Namun di sisi lain perlu pula dipersiapkan rencana kontinjensi untuk menggunakan kekuatan militer untuk to attack at the source. Skenario itu hendaknya dipertimbangkan daripada suatu saat nanti kekuatan Marinir Amerika Serikat yang menyerang ke wilayah Indonesia dengan alasan untuk memerangi perompakan dan pembajakan. Preseden itu sudah ada di masa lalu, yakni ketika Marinir Uwak Sam menyerang pantai Aceh karena Kerajaan Aceh dinilai tidak bisa memerangi para bajak laut.

14 September 2009

Implementasi Perjanjian Lombok: Menguntungkan Bagi Angkatan Laut?

All hands,
Perjanjian Lombok kini mulai diimplementasikan, termasuk dalam bidang keamanan maritim. Mengingat bahwa tahap implementasi baru saja dimulai, tentu akan lebih baik bila dari sisi Angkatan Laut untuk berhitung dengan cermat. Jangan sampai dalam implementasi perjanjian tersebut, keuntungan yang didapatkan oleh Angkatan Laut negeri ini tidak maksimal.
Mencermati kerjasama dengan Australia selama ini, khususnya pada tingkat antar Angkatan Laut kedua negara, lebih banyak pada kegiatan seperti latihan, pertukaran siswa. Misalnya AL kita mengirimkan pengamat dalam Kakadu Exercise. Atau melaksanakan kembali New Horizon Exercise yang sempat terhenti karena kelancangan Australia di Timor Timur. Dan dalam perkembangan terbaru, terbuka kemungkinan realisasi information exchange antar kedua Angkatan Laut.
Yang penting kita sadari yaitu Indonesia khususnya Angkatan Laut harus memperoleh keuntungan maksimal dari implementasi Perjanjian Lombok. Termasuk pula soal peningkatan kapabilitas Angkatan Laut dalam melaksanakan tugas pokoknya. Peningkatan kapabilitas bukan semata pada personel, tetapi juga sistem senjata.
Menyangkut sistem senjata, peluang itu tersedia dalam Perjanjian Lombok. Pada bidang kerjasama pertahanan dalam perjanjian itu, butir 3 berbunyi, “Facilitating cooperation in the field of mutually beneficial defence technologies and capabilities, including joint design, development, production, marketing and transfer of technology as well as developing mutually agreed joint projects”.
Butir 3 itu harus dimanfaatkan oleh Angkatan Laut, berkoordinasi dengan Departemen Pertahanan dan BUMN pertahanan. Jangan sampai butir 3 dimanfaatkan dengan mendapatkan kembali sistem senjata yang sebenarnya secara tidak langsung ditujukan untuk mengibiri kemampuan Angkatan Laut negeri ini. Tidak pula digunakan untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai pemakai sistem senjata yang sudah dihapus atau akan dihapus dari susunan tempur RAN.
Pengembangan teknologi kapal perang yang hendaknya dikerjasamakan dengan Australia hendaknya bukan pada kapal patroli, karena teknologi itu sudah dikuasai oleh Indonesia. Seperti diketahui, kini RAN telah menggunakan kapal patroli kelas Armidale menggantikan kelas Fremantle. Sebaiknya kerjasama dikembangkan pada teknologi kapal kombatan.
Karena Australia merupakan sekutu Washington, Indonesia dalam hal ini Departemen Pertahanan perlu melaksanakan pendekatan kepada Amerika Serikat. Tujuannya satu, memastikan bahwa Washington tidak paranoid terhadap kerjasama itu. Sebab kalau Washington paranoid, kerjasama dengan Australia terkait butir 3 tidak akan berjalan maksimal dan menguntungkan Indonesia, khususnya Angkatan Laut.

13 September 2009

Peperangan Bawah Air Tidak Semudah Yang Dibayangkan Pengamat

All hands,
Masuknya kapal selam Scorpene dalam susunan tempur Angkatan Laut Negeri Tukang Klaim sepertinya disikapi secara berlebihan di Indonesia, khususnya oleh kalangan yang merasa dirinya paham soal militer (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/12/05103783/scorpene.dan.demam.kapal.selam). Kalangan ini terkesan sangat panik dengan bertambahnya kekuatan laut negeri yang penuh diskriminasi etnis itu. Selain itu, kalangan ini juga secara tidak langsung sepertinya langsung pesimis dengan kemampuan peperangan bawah air Indonesia, khususnya kapal selam.
Misalnya dengan mengekspos soal kehebatan torpedo Black Shark. Tentu saja apa yang diekspos oleh pengamat ini berdasarkan klaim sepihak dari pabrikan torpedo itu. Pesannya, torpedo Black Shark No.1. Pandangan demikian tentu saja mencerminkan ketidakpahaman sang pengamat terhadap peperangan bawah air, termasuk masalah torpedo. Fakta menunjukkan bahwa masih banyak torpedo jenis HWT yang kualitasnya tidak kalah dengan Black Shark, termasuk torpedo SUT yang memperkuat kapal selam Indonesia.
Berbicara soal kapal selam, tidak dapat semata-mata hanya dilihat dari aspek teknologi. Betul bahwa kapal selam Angkatan Laut Indonesia menggunakan teknologi 1980-an dan beberapa teknologi yang terkandung di dalamnya telah di-upgrade. Sementara kapal selam milik Negeri Tukang Klaim memakai teknologi 2000-an. Akan tetapi harus dipahami bahwa peperangan bawah air itu rumit dan teknologi bukan segalanya.
Kemampuan peperangan bawah air ditentukan oleh beberapa hal. Pertama, jam selam. Negara yang telah lama mengoperasikan kapal selam mempunyai pengalaman soal peperangan bawah air yang jauh lebih banyak dan matang daripada negeri yang baru kemarin sore menggunakan kapal selam. Suka atau tidak suka, pengalaman Indonesia dalam peperangan kapal selam lebih banyak sebab negeri ini telah mengoperasikan kapal selam dari 1959.
Kedua, kemampuan deteksi. Peperangan kapal selam bukan sebatas soal memunculkan periskop serang untuk mencari target di atas permukaan dan atau meluncurkan torpedo seperti yang dikesankan oleh seorang pengamat. Peperangan kapal selam lebih dari itu, sebab peperangan ini berhadapan dengan sifat kimiawi, fisika dan biologi bawah air. Untuk membedakan antara gelombang akustik yang dihasilkan oleh kapal selam lawan dengan biota laut saja tidak mudah. Perlu latihan dan pengalaman yang lama dan itu pun tidak selalu merupakan jaminan meskipun peralatan akustiknya super canggih.
Bagi kita yang paham soal itu, bukan suatu hal yang aneh bila mendengar bahwa kapal selam U.S. Navy dan Voyenno-Morskoy Flot Rossii pun tidak bisa mendeteksi satu sama lain di bawah air walaupun jarak keduanya cuma ratusan yard. Sebab memang dinamika di kolom air sangat berbeda dengan di udara.
Ketiga, taktik. Kapal selam akan dapat dieksploitasi secara maksimal apabila taktiknya juga diberikan. Masalahnya adalah penjualan kapal selam tidak satu paket dengan pemberian taktik kepada pengguna. Bahkan dalam banyak kasus, negara-negara berkembang tidak diberikan taktis peperangan kapal selam oleh negara produsen.
Karena karakteristik tiap jenis kapal selam berbeda, maka untuk melaksanakan suatu taktis yang sama dibutuhkan handling yang berbeda. Dalam kasus Indonesia, eksploitasi kapal selamnya belum maksimal karena taktiknya tidak diberikan oleh Jerman ketika membeli U-209. Pertanyaannya, sebegitu hebatkah Negeri Tukang Klaim sehingga Prancis rela memberikan taktis peperangan kapal selam kepadanya?
Pesan dari tulisan ini adalah pengadaan kapal selam oleh Negeri Tukang Klaim hendaknya tidak disikapi secara berlebihan, khususnya dari aspek teknologi. Yang perlu disikapi secara keras adalah ketidakberpihakan pengambil keputusan di Indonesia terhadap Angkatan Laut dalam pengadaan kapal selam. Sebab dari perspektif taktik peperangan bawah air, senjata anti kapal selam terbaik adalah kapal selam itu sendiri.

12 September 2009

Angkatan Laut Sebagai Pembina Potensi Kekuatan Maritim Nasional

All hands,
Hingga saat ini, Angkatan Laut negeri ini masih mempunyai fungsi sebagai pembina potensi kekuatan maritim nasional. Apabila dulu dasar hukumnya adalah Undang-undang No.20 Tahun 1982, sekarang basis legalnya adalah Undang-undang No.34 Tahun 2004 Pasal 9 butir e. Penafsiran terhadap Pasal 9 butir e sebenarnya sangat luas. Semua potensi maritim yang berkaitan dengan kepentingan pertahanan berada dalam domain Angkatan Laut. Artinya, AL kita bisa membina semua potensi itu pada masa damai dan menggunakannya pada masa perang.
Potensi kekuatan maritim nasional yang nyata meliputi pelabuhan, Armada KPLP Departemen Perhubungan, armada BUMN pelayaran armada kapal patroli Departemen Kelautan dan Perikanan, armada kapal Bekang Angkatan Darat, armada kapal polisi, armada pelayaran niaga, industri perkapalan, stasiun radio pantai dan lain sebagainya. Dalam masa damai, Angkatan Laut berhak untuk membina potensi untuk itu, misalnya berupa latihan lintas laut yang melibatkan kapal perang dengan kapal niaga dan kapal-kapal pemerintah, BUMN dan milik polisi. Angkatan Laut juga berhak untuk memberikan masukan pada rancang bangun suatu pelabuhan, agar pelabuhan itu dapat menampung kepentingan pertahanan pada saat dibutuhkan. Dan masih banyak hak lagi yang melekat pada Angkatan Laut untuk membina potensi kekuatan maritim nasional.
Masalahnya saat ini, perlu diciptakan mekanisme yang jelas mengenai hal itu. Sebab potensi yang harus dibina oleh AL kita kepemilikannya bertebaran. Ada yang milik swasta, ada yang kepunyaan BUMN, ada pula milik instansi pemerintah. Di era demokratisasi sekarang, AL kita tidak bisa lagi menerapkan cara-cara di masa lalu ketika berlaku Dwi Fungsi ABRI.
Kalau jaman dahulu, pejabat Angkatan Laut tinggal menghubungi via telepon ke instansi terkait maka urusan dijamin beres. Sekarang mekanismenya tidak bisa begitu lagi. Terlebih lagi kepada BUMN dan badan usaha swasta yang di otak para manajernya adalah hanya mencari untung saja.
Pertanyaannya, siapa yang harus mekanisme itu? Sebaiknya Departemen Pertahanan sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pertahanan. Mekanisme itu harus dirumuskan dalam sebuah kebijakan yang mengikat semua pihak. Dengan demikian, Angkatan Laut akan dapat melaksanakan tugasnya sebagai pembina potensi kekuatan maritim nasional secara maksimal.

11 September 2009

Perlukah Komando Pantai Angkatan Laut?

All hands,
Meskipun lingkungan keamanan sekarang telah berubah, namun perhatian terhadap keamanan wilayah pantai masih menjadi isu tersendiri. Di masa lalu, keamanan wilayah pantai terkait dengan kemungkinan ancaman sabotase dan serangan lawan terhadap kawasan tersebut. Sedangkan di masa kini, perhatian terhadap keamanan wilayah pantai berfokus pada ancaman terorisme maritim, penyelundupan senjata dan lain sebagainya, tanpa mengabaikan sama sekali ancaman sabotase dan serangan lawan dari laut. Untuk menangani isu tersebut, tidak sedikit negara di dunia yang mempunyai organisasi Naval Coastal Command yang sesuai namanya berada di bawah Angkatan Laut.
Singapura dahulu mempunyai COSCOM, namun beberapa waktu lalu telah bertransformasi menjadi MSTF. India juga mempunyai COSCOM, yang memperoleh perhatian lebih besar setelah serangan Mumbai pada 2008. Sebab dalam serangan itu, para teroris masuk ke wilayah India melalui pantai. Selain berfokus pada ancaman non konvensional, Indian COSCOM juga berfokus pada ancaman konvensional yaitu “intrusi” Angkatan Laut Cina ke Samudera India.
Indonesia sebagai mempunyai garis pantai yang panjang sekali. Namun ada masalah yang masih diidap terkait kemampuan pengamatan terhadap garis pantai tersebut dari berbagai macam tantangan dan ancaman. Yakni tidak ada organisasi khusus yang bertanggung jawab soal pengamanan wilayah pantai.
Sebagai contoh, untuk pertahanan pantai saja tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Secara teoritis masalah pertahanan pantai merupakan tanggung jawab Angkatan Laut. Namun dalam prakteknya belum ada organisasi khusus di Angkatan Laut yang tugas pokok berkisar pada soal itu. Belum lagi soal sistem senjatanya, yang mana Angkatan Laut belum mempunyai senjata meriam pantai.
Memang betul bahwa di tiap Lantamal kini berdiri Yonmarhanlan, suatu organisasi yang berada langsung di bawah Korps Marinir namun dalam pelaksanaan tugasnya lebih banyak berkoordinasi dengan Lantamal. Namun sesuai dengan namanya, tugas pokok organisasi itu adalah pada pertahanan pangkalan, bukan pertahanan pantai.
Melihat praktek di banyak negara, tugas COSCOM bukan semata siap bertempur dengan senjata pertahanan pantai yang memadai, tetapi juga melakukan pengamatan pantai. Radar pantai berada di bawah kendali operasi organisasi ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa tugas sehari-hari COSCOM adalah pengamatan pantai melalui berbagai sarana yang tersedia, baik patroli maupun penggunaan perangkat elektronika. Dengan sarana tersebut, COSCOM adalah bagian tak terpisahkan dari maritime domain awareness Angkatan Laut, bahkan negara.
Indonesia kini mempunyai sejumlah radar pantai di beberapa wilayah. Tentu saja kebutuhan ideal radar pantai Indonesia masih besar. Namun dengan bermodalkan radar yang eksis tersebut, apakah tidak sebaiknya mulai dipikirkan adanya organisasi baru dalam Angkatan Laut yang bernama Komando Pantai? Sebagai organisasi militer, tentu saja Komando Pantai mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan organisasi sipil yang bertugas di bidang pelayaran.

10 September 2009

10 September Sebagai Hari Lahir Angkatan Laut

All hands,
Tanggal 10 September telah ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun Angkatan Laut negeri ini. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa 10 September? Karena pada 10 September 1945 dibentuk BKR Laut sebagai realisasi dari pembentukan BKR pada 22 Agustus 1945. Sehingga tidak berlebihan bila mengatakan bahwa AL kita sebenarnya dibentuk oleh KNIP, bukan oleh pemerintah.
Masalah hari jadi Angkatan Laut Indonesia memang sempat menjadi perdebatan. Tidak sedikit pihak yang mempertanyakan keabsahan penetapan 5 Desember sebagai hari jadi Angkatan Laut. Sebab 5 Desember yang dijadikan patokan tersebut adalah 5 Desember 1959, yakni pembentukan Armada RI berdasarkan Keputusan Kasal Kolonel Pelaut Martadinata. Sebelum 5 Desember 1959, Indonesia telah mempunyai Angkatan Laut yang dilengkapi dengan berbagai jenis kapal perang, akan tetapi belum membentuk armada sebagai satuan induk berbagai kapal perang itu.
Yang juga kurang tepat adalah menarik usia AL kita terhitung sejak 1945. Jadi tanggal pembentukan Armada RI diadopsi sebagai hari pembentukan Angkatan Laut, namun tahunnya ditarik mundur ke tahun 1945. Secara logika sejarah, pendekatan demikian tidak mempunyai dasar. Lebih dari itu, kalau diteliti lebih lanjut sejarah Angkatan Indonesia khusus pada 5 Desember 1945 tidak ada peristiwa terkait Angkatan Laut yang terjadi.
Sejarah Angkatan Laut Indonesia kini telah diluruskan kembali sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Di depan, tantangan bagi aspirasi menciptakan Angkatan Laut yang berjaya di kawasan masih besar. Tidak ada pilihan lain, tantangan itu harus kita hadapi agar suatu saat Angkatan Laut benar-benar menjadi cermin kejayaan bangsa Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah para anak bangsa ---termasuk pengambil keputusan di negeri ini--- sudah memiliki sense of belonging terhadap AL kita?
Yang pasti, saat ini kita diberi kado pahit oleh pengambil keputusan di negeri ini di suasana HUT Angkatan Laut, yakni pengulur-uluran pengadaan kapal selam. Sebuah kado yang menurut hemat saya tidak pantas diberikan kepada Angkatan Laut sebagai anak kandung bangsa sendiri. Sungguh suatu kado yang sangat tidak pantas, apa pun alasannya. Sebab sekarang bukan lagi era gun or butter, tetapi telah memasuki masa gun and butter.

09 September 2009

Kapal Selam Dan Pola Pikir Perencanaan Kekuatan

All hands,
Tidak adanya keberpihakan terhadap Angkatan Laut dalam pengadaan kapal selam mencerminkan banyak hal. Salah satu di antaranya adalah kesalahan pola pikir menyangkut perencanaan kekuatan alias force planning. Sangat jelas pihak yang memutuskan mengulur-ulur pengadaan kapal selam tidak paham soal force planning, bahkan mungkin tidak pernah belajar soal itu.
Dalam force planning, pola pikirnya adalah top down. Hal ini berbeda dengan pola pikir pihak pengulur pengadaan kapal selam, yaitu bottom up. Pola pikir top down berangkat dari aspek yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa, yaitu kepentingan nasional. Dikaitkan dengan kapal selam, pertanyaannya adalah apakah pengadaan kapal selam sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia?
Sementara pola pikir bottom up yang keliru dan sesat tersebut dimulai dari hal yang sangat mikro dalam kehidupan suatu bangsa, yaitu apakah kita punya uang? Kalau kita punya uang, apakah perlu membeli kapal selam? Apakah tidak ada hal lain yang lebih penting?
Itulah pola pikir bottom up. Pola pikir itu mendewakan dan menempatkan uang sebagai “segalanya” dalam kehidupan berbangsa. Bandingkan dengan pola pikir top down, yang ditempatkan sebagai “segalanya” dalam kehidupan berbangsa adalah kepentingan nasional. Penganut pola pikir bottom up tidak pernah pusing dengan kepentingan nasional, yang penting adalah uang.
Dalam pola pikir top down, uang alias anggaran justru menempati urutan paling bawah dalam pembangunan kekuatan. Sebab uang alias anggaran merupakan buah alias turunan dari suatu program. Apabila berdasarkan kepentingan nasional dibutuhkan program pengadaan kapal selam, maka anggaran harus menyesuaikan dengan program.
Sangat disayangkan, banyak pihak di Indonesia, baik di Departemen Pertahanan, TNI, Departemen Keuangan dan Bappenas tidak paham soal force planning. Begitu pula dengan pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai “pengamat militer”, sami mawon. Pura-pura paling tahu soal pertahanan, tapi begitu diajak diskusi soal force planning ketahuan kalau tidak paham alias tidak cerdas.

08 September 2009

Antara Manado Dan Moskow

All hands,
Tidak dapat dibantah bahwa salah satu kekurangan fatal dalam Indonesia Fleet Review 2009 mempunyai keterkaitan dengan diulur-ulurnya pengadaan kapal selam bagi kekuatan laut Indonesia. Kekurangan fatal dalam Indonesia Fleet Review 2009 adalah tidak hadirnya pejabat tertinggi di negeri ini untuk di kegiatan itu, padahal dalam tradisi Angkatan Laut di mana pun di dunia, seorang pejabat tinggi sangat penting negeri penyelenggara harus hadir dalam fleet review. Sesuai dengan nama kegiatannya, tugas sang pejabat di situ adalah melaksanakan review terhadap armada kapal perang yang ikut.
Apa yang terjadi di Manado beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa komitmen terhadap pembangunan Angkatan Laut negeri ini memang rendah. Rendahnya komitmen itu dibuktikan dengan terus tertunda pengadaan kapal selam. Kalau diruntut, rencana pengadaan kapal selam sudah dirintis sejak 2005 dan secara finansial mendapat dukungan dana dari Moskow pada 2007. Apabila ada komitmen politik dan keberpihakan terhadap Angkatan Laut negeri ini, “ekspedisi ke Moskow” tidaklah sulit.
Sayang komitmen dan keberpihakan itu tidak ada, mungkin karena tidak memandang penting eksistensi Angkatan Laut negeri ini. Mungkin Angkatan Laut negeri ini cuma dipandang sebagai pelengkap, padahal jasa Angkatan Laut terhadap stabilitas keamanan maritim negeri ini luar biasa. Tanpa Angkatan Laut, cerita di Selat Malaka dan Laut Sulawesi mungkin akan lebih parah. Kalau pun sekarang ada di antara anak negeri yang tidak puas dengan kinerja Angkatan Laut di Laut Sulawesi, hal itu di luar domain Angkatan Laut.
Sebab Angkatan Laut terikat pada keputusan politik pemerintah. Kalau ROE-nya “takut-takut” yah itu artinya cermin dari kebijakan politik yang “takut-takut”. Bukan Angkatan Laut yang tidak berani bertindak tegas sesuai dengan tingkat hostilities di lapangan.
Menyangkut pengadaan kapal selam, menurut hemat saya skenario optimisnya adalah setelah 2014. Sulit untuk berharap pada 2011 seperti dijanjikan oleh Menteri Pertahanan, sebab ekonomi dunia masih penuh ketidakpastian. Apabila pada 2011 terjadi lagi turbulensi pada ekonomi dunia, sangat mungkin ada alasan baru untuk kembali mengulur pengadaan kapal selam.
Kata kuncinya adalah tidak adanya komitmen dan keberpihakan terhadap Angkatan Laut. Kalau ada komitmen dan keberpihakan, “ekspedisi ke Moskow” pun bisa dilaksanakan tahun depan. Seperti diketahui, selalu saja ada pihak-pihak di negeri ini yang tidak suka dengan postur Angkatan Laut Indonesia yang kuat dan mempunyai kemampuan penangkalan di kawasan.

07 September 2009

Join The Navy And See The World

All hands,
Slogan Join The Navy and See The World suatu tidak asing lagi bagi siapapun yang berada di domain Angkatan Laut di mana pun. Tentu menjadi menarik mengapa slogan itu begitu unik. Sebagai perbandingan, slogan untuk menarik kalangan muda bergabung dengan Angkatan Darat biasanya cuma berbunyi Join The Army and Change Your Life.
Slogan ajakan untuk bergabung dengan Angkatan Laut yang bunyinya unik itu tidak lepas dari karakteristik Angkatan Laut, dalam hal ini sistem senjatanya yaitu kapal perang. Berbeda dengan angkatan lainnya, kapal perang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan proyeksi kekuatan, baik di masa damai maupun di masa perang. Dengan proyeksi kekuatan ke luar wilayah negara induk, berarti Angkatan Laut telah berinteraksi dengan masyarakat internasional dari berbagai latar belakang negara, budaya, agama dan lain sebagainya.
Itulah salah satu alasan mengapa slogan ajakan bergabung dengan Angkatan Laut ada frase See The World. Angkatan Laut akan selalu berinteraksi dengan pihak asing, baik sesama Angkatan Laut maupun bagian masyarakat lainnya. Oleh karena itu, Angkatan Laut mempunyai peran yang tidak dimiliki oleh kecabangan militer lainnya, yaitu diplomasi.
Bagi personel Angkatan Laut negara-negara maju, kesempatan mereka untuk (to) see the world setelah join the Navy sangat terbuka lebar. Sebab kebijakan politik luar negeri dan pertahanan mereka sangat kondusif bagi proyeksi kekuatan Angkatan Laut. Situasi berbeda dihadapi oleh Angkatan Laut negara-negara berkembang, yang mana peluang untuk (to) see the world lebih sedikit. Sebab sebagian besar dari Angkatan Laut itu tidak memproyeksikan kekuatannya secara rutin, kecuali bersifat situasional.
Namun kondisi tersebut hendaknya tidak menurunkan minat para pemuda untuk bergabung di Angkatan Laut, khususnya di Indonesia. Upaya untuk (to) see the world dengan frekuensi yang lebih tinggi daripada saat ini di Indonesia harus didukung oleh pemerintah, yaitu melalui modernisasi kekuatan Angkatan Laut.

06 September 2009

Network-Centric Warfare Dalam Peperangan Kapal Selam

All hands,
Dibandingkan dengan di media udara dan permukaan, network-centric warfare pada media bawah permukaan air belum dapat dieksploitasi penuh karena karakter dari kolom air. Namun demikian, beberapa Angkatan Laut kini tengah berupaya mengembangkan teknologi dalam peperangan kapal selam yang bisa terkoneksi dengan wahana di udara dan permukaan. Selain Amerika Serikat, Australia merupakan negara berambisi agar kemampuan peperangan kapal selamnya terkoneksi dalam NCW.
Ada beberapa kendala dalam menggelar peperangan kapal selam dalam NCW adalah sistem sensor dan komunikasi. Misalnya komunikasi antara wahana di udara ---baik berawak maupun tidak berawak--- dengan kapal selam yang tengah menyelam di bawah permukaan air. Atau komunikasi antara markas besar dengan kapal selam.
Kendala berikutnya adalah ketersediaan sistem sensor bawah air. Sistem sensor ini selain harus dapat terhubung dengan wahana di permukaan air dan udara, juga harus terhubung dengan kapal selam dan juga UUV. UUV berfungsi untuk membantu kapal selam untuk mendeteksi kehadiran kapal selam dan kapal atas air lawan.
Turut pula menjadi kendala adalah sifat fisika dan kimia kolom air, misalnya eksistensi layer. Seperti diketahui, layer dapat membelokkan pancaran gelombang akustik.
Secara singkat, biaya pengembangan NCW yang terkait dengan peperangan kapal selam nampaknya lebih mahal daripada jenis peperangan yang terjadi di permukaan dan atas permukaan. Artinya hanya Angkatan Laut yang didukung dengan anggaran ekstra memadai yang bisa mengembangkan dan mengadopsi teknologi itu.
Dikaitkan dengan Indonesia, yang perlu menjadi hirauan kita adalah Australia tengah mengembangkan teknologi demikian untuk peperangan kapal selamnya. Menghadapi situasi itu, realitas menunjukkan Indonesia sulit untuk bersaing mengembangkan teknologi NCW tandingan untuk merespon Australia. Akan tetapi bukan tidak ada peluang sama sekali yang terbuka.
Peluang yang terbuka antara lain adalah mengembangkan sistem deteksi bawah air di perairan Indonesia, setidaknya di beberapa perairan strategis seperti choke points. Meskipun hal itu masih jauh dari NCW, setidaknya sebagian kolom air di perairan negeri ini bisa kita pantau nantinya. Dengan demikian, setidaknya kita bisa memantau pergerakan kapal selam asing.

05 September 2009

Network-Centric Warfare Di Laut

All hands,
Network-centric warfare (NCW) merupakan buah dari revolution in military affairs (NCW). Sekarang NCW bukan lagi suatu impian, tetapi telah dipraktekkan di beberapa medan tempur di dunia oleh beberapa negara. Tulang punggung dari NCW adalah teknologi informasi yang melahirkan battlespace awareness. Dengan battlespace awareness, unsur-unsur yang beroperasi di lapangan maupun pengendali komando dan kendali di markas besar dapat mengikuti situasi di wilayah operasi secara real time atau minimal near rear time.
Eksistensi satelit komunikasi militer, pesawat peringatan dini dan wahana tidak berawak mutlak untuk terlaksananya NCW. Wahana-wahana itu saling terhubungkan dengan wahana lainnya, seperti kapal selam, kapal atas air, pesawat tempur, helikopter, tank dan lain sebagainya melalui berbagai jenis gelombang radio. Selain itu, juga terhubung dengan markas besar yang berpusat di daratan.
Tidak semua negara mampu mengadopsi NCW secara penuh, sebab terkait dengan kemampuan ekonominya mendukung pembangunan kekuatan pertahanan. Negara-negara seperti Inggris dan NATO yang telah mengadopsi NCW sebenarnya menggantungkan sebagian infrastruktur NCW-nya pada Amerika Serikat. Supaya tidak terlalu kentara ketergantungan itu, dibungkuslah dengan istilah keren yaitu jointness.
NCW bukan saja terjadi di daratan, tetapi telah merambah pula dalam aspek operasi Angkatan Laut. Operasi U.S. Navy dan Angkatan Laut negara-negara NATO telah mengadopsi NCW pula. Dengan NCW, setidaknya ruang udara dan permukaan laut dapat dipantau sepenuhnya. Yang masih belum dapat dipantau adalah ruang bawah air, sebab dalam kolom air terdapat sejumlah karakteristik fisika dan kimia yang dapat mengurangi efektivitas sarana sensor. Baik sensor yang berbasis di kapal atas air, kapal selam, wahana selam tidak berawak dan pesawat udara berawak maupun tidak berawak.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari sini? Untuk suatu konflik terbuka melawan Angkatan Laut negara-negara yang telah mengadopsi NCW, satu-satunya peluang bagi Angkatan Laut yang belum mengadopsi NCW untuk bisa memberikan pukulan adalah pada peperangan bawah air. Sulit untuk berharap banyak pada kapal atas air pihak sendiri karena kemampuan battlespace awareness mereka yang sangat efektif.

04 September 2009

Kapal Selam Dan Course of Action Dalam Perang

All hands,
Dalam beberapa perang yang mempunyai dimensi maritim, terlihat jelas bahwa aksi kapal selam memberikan pengaruh pada course of action selanjutnya. Ada beberapa contoh mengenai hal ini. Contoh pertama adalah Perang Dunia II di Eropa, khususnya Battle of Atlantic. Kemampuan Inggris melalui sejumlah metode anti kapal selam, seperti penggunaan ASDIC dan pesawat udara untuk mendeteksi U-Boat serta serangan udara terhadap pangkalan kapal selam Kriegsmarine mampu menetralisasi aksi U-Boat. Pada akhirnya, kekuatan kapal selam Jerman dapat dilumpuhkan sehingga tidak lagi menjadi ancaman terhadap kapal perang Sekutu, termasuk konvoi yang memuat segala macam logistik dari CONUS ke Eropa. Lumpuhnya kemampuan peperangan kapal selam Jerman berkontribusi besar terhadap course of action perang di Eropa.
Saat pecah Perang Malvinas, aksi kapal selam Royal Navy HMS Conqueror menenggelamkan kapal penjelajah ARA General Belgrano di Samudera Atlantik Selatan juga mempengaruhi course of action perang tersebut. Meskipun ARA General Belgrano ditorpedo di luar zona perang yang dideklarasikan oleh Inggris sendiri, namun aksi itu membuat kapal perang Argentina tidak ada yang berani keluar dari laut teritorialnya untuk melakukan engagement dengan kekuatan laut Inggris yang berupaya merebut kembali Kepulauan Malvinas dan sekitarnya.
Ketika Indonesia melancarkan Trikora, kehadiran kapal selam AL kita mempengaruhi rencana operasi Angkatan Laut Belanda di Papua. Salah satunya adalah dijauhkannya kapal induk HNLMS Karel Dorman dari kemungkinan dijangkau oleh kapal selam Indonesia. Sebagai simbol kekuatan laut Belanda, tentu sangat memalukan bila kapal induk ditorpedo oleh kapal selam Indonesia buatan Uni Soviet.
Secara tidak langsung, dalam kasus Trikora kehadiran kekuatan kapal selam Indonesia berpengaruh pada course of action konfrontasi militer dengan Belanda. Berbeda dengan kasus perang di Eropa dan di Malvinas, dalam kasus Trikora kapal selam Indonesia belum bisa mempengaruhi langsung course of action sebab secara resmi perang belum dimulai.
Dari situ tergambar jelas bahwa kapal selam dapat mempengaruhi course of action perang, khususnya pada domain maritim. Kemampuannya mempengaruhi course of action lebih diperkuat lagi dengan sifatnya yang sulit dideteksi dibandingkan kapal atas air. Sehingga tidak berlebihan bila kapal selam dinobatkan sebagai senjata sakti Angkatan Laut. Tidak heran bila nama-nama kapal selam yang pernah dipakai oleh AL kita semuanya merupakan senjata sakti dalam pewayangan, seperti Bramastra, Cakra, Hendrajala, Pasopati dan lain sebagainya.
Dalam teori perang kita diajarkan untuk mengambil inisiatif mendahului lawan. Inisiatif yang diambil akan mempengaruhi course of action apabila inisiatif itu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kapal selam adalah salah satu sistem senjata yang sudah terbukti mampu mempengaruhi course of action dalam perang atau konflik.
Indonesia secara realita mempunyai beberapa potensi konflik dengan negara-negara di sekitarnya. Untuk mengantisipasi skenario terburuk, pertanyaannya adalah apakah bangsa ini, khususnya para pengambil keputusan masih memandang perlu atau tidak untuk mempunyai kapal selam baru.

03 September 2009

Kapal Selam Bukan Cuma Untuk Hari Ini

All hands,
Dalam memilih kapal selam, banyak pertimbangan yang harus dilakukan. Pertimbangan itu baik menyangkut aspek operasi dan aspek logistik yang menjadi domain Angkatan Laut maupun aspek pembiayaan dan aspek politik yang menjadi domain pemerintah. Tentu perlu yang cermat sebelum memutuskan suatu jenis kapal selam untuk dijadikan pilihan bagi perkuatan Angkatan Laut.
Di luar aspek-aspek itu, hendaknya dipertimbangkan pula masalah populasi kapal selam di dunia. Di antara beberapa kandidat kapal selam yang akan dipilih, mana populasinya yang banyak, mana pula populasinya yang sedikit. Banyak dan sedikitnya populasi kapal selam akan berpengaruh pada aspek logistik nantinya.
Sebagai contoh, meskipun Jerman tidak menggunakan kelas U-209 dalam armada Angkatan Lautnya, namun populasi kapal selam itu banyak di dunia. Artinya jaminan suku cadang cukup aman untuk jangka panjang. Masalah jaminan suku cadang sangat penting, jangan sampai kita membeli kapal selam yang suku cadangnya tak terjamin dalam jangka panjang.
Berbeda misalnya dengan sebuah negara Asia yang membuat sebuah kapal selam lisensi, populasi kapal selam lisensi itu cuma ada di negara pembuat. Tidak ada Angkatan Laut lain di dunia yang menggunakan kapal selam lisensi itu. Meskipun kapal selam jenis banyak tersedia di dunia, namun dalam urusan bisnis dipastikan Jerman sebagai pemberi lisensi akan memberikan perlakuan berbeda kepada negara ketiga apabila ada yang menjadi konsumen kapal selam lisensi itu. Perlakuan beda itu misalnya dari harga suku cadang, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya.
Lagi pula kalau dipelajari lebih jauh, kapal selam lisensi ini tengah menjalani proses penghapusan dari jajaran Angkatan Lautnya. Dalam 3-5 tahun ke depan, jenis kapal selam ini dipastikan sudah tidak ada dalam susunan tempur Angkatan Laut negeri tertentu itu. Posisinya akan digantikan kapal selam lisensi jenis yang lebih baru.
Tentu menjadi pertanyaan, mau dikemanakan sejumlah kapal selam yang telah dan akan dihapus itu. Apakah dijadikan monumen, masuk museum, jadi sasaran penembakan torpedo atau dijual ke negara lain?
Kekuatan laut Indonesia memang sangat memerlukan kehadiran kapal selam baru. Dihadapkan pada situasi tersebut, dibutuhkan kecermatan Departemen Pertahanan dalam memilih jenis kapal selam bagi AL kita. Jangan sampai pilihan dijatuhkan pada jenis kapal selam yang di negara pembuatnya sendiri tengah dihapus dari susunan tempur Angkatan Laut. Bila di masa lalu kita merasa “sakit” dengan kehadiran kapal atas air bekas dari Jerman karena faktor biaya, hendaknya pengalaman itu tidak terulang pada kapal selam.

02 September 2009

Perlu Kecermatan Dalam Memilih Kapal Selam

All hands,
Persaingan geopolitik antara India versus Cina berimplikasi pula pada pembangunan kekuatan Angkatan Laut kedua negeri. Cina sedang berambisi mengembangkan blue water navy yang pencapaiannya paling cepat 20 tahun dari sekarang. Sambil menunggu ambisi itu terwujud, kekuatan laut Cina pelan-pelan mulai “belajar” merambah Samudera India. Seperti diketahui, dalam konsep geopolitik India Samudera India merupakan wilayah kepentingannya, sehingga masuknya Angkatan Laut Cina memperoleh hirauan besar dari India.
Bentuk hirauan itu tidak sebatas menggelar Malabar Exercise secara rutin dengan Amerika Serikat di Samudera India dan Laut Filipina lepas pantai Okinawa, tetapi menyentuh pula program pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Untuk menghadapi “intrusi” Cina ke Samudera India, pembangunan Angkatan Laut India di antaranya difokuskan pada pengembangan kapal selam. Alasan pilihan pengembangan kapal selam sudah dapat ditebak, yaitu untuk mengancam kehadiran kapal atas air Cina.
Model pengembangan kekuatan Angkatan Laut India ini mirip dengan pengembangan Angkatan Laut Uni Soviet di era Fleet Admiral of the Soviet Union Sergey G. Gorshkov. Gorshkov memilih mengembangkan kapal selam untuk mengancam kehadiran kapal atas air U.S. Navy di berbagai perairan dunia. Dengan kapal selam, strategi penangkalan nuklir Uni Soviet akan lebih terjamin pelaksanaannya, khususnya untuk melaksanakan second strike.
Berdasarkan analisis strategi, Indonesia sepertinya tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti model pengembangan yang dilaksanakan oleh India. Pengembangan armada kapal selam tidak dapat ditunda-tunda lagi, sebab armada Angkatan Laut tidak cukup bersandar pada kapal atas air. Unsur daya kejut merupakan kelebihan kapal selam yang tidak dipunyai oleh kapal atas air. Dengan kapal selam, kemampuan kekuatan laut Indonesia untuk melaksanakan penghancuran dan atau pembalasan terhadap kekuatan laut (calon) lawan seperti Malaysia akan terjamin.
Sangat disadari bahwa biaya pengadaan kapal selam tidak murah. Oleh karena itu, penentu kebijakan pertahanan harus berpikir arif dan jangka panjang. Maksudnya, jangan sampai pemilihan jenis kapal selam berdasarkan pada harga yang lebih murah, bukan pada kualitas yang sudah teruji dan diakui oleh dunia internasional. Parameter kualitas yang sudah teruji dan diakui oleh dunia internasional ini sangat penting, karena secara ekonomis dan operasional kerugian akan sangat besar apabila memilih kapal selam yang kualitasnya belum diakui.
Kasus kapal atas air jenis tertentu buatan negara tertentu hendaknya menjadi pelajaran. Kapal kelas itu mempunyai penyakit bawaan pada sistem tertentu, sehingga cukup merepotkan kita walaupun usianya masih muda. Penyakit bawaan itu tidak hanya terjadi di satu kapal, tetapi di semua kapal yang satu kelas.
Belajar dari kasus kapal atas air tersebut, hendaknya menjadi pertimbangan dalam menentukan jenis kapal selam yang akan dipilih. Sangat jelas bukan harapan dan keinginan kita penyakit pada kapal atas air itu ditularkan pula pada kapal selam baru nantinya.

01 September 2009

Memahami Transfer of Technology

All hands,
Dalam dua tahun terakhir, istilah transfer of technology begitu digemari di lingkungan komunitas pertahanan negeri ini. Namun apabila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya banyak pihak di lingkungan itu yang justru tidak paham betul dengan apa yang dimaksud dengan transfer of technology. Sehingga tidak aneh bila ada pandangan skeptis bahwa transfer of technology seperti yang dicita-citakan hanyalah sebatas mimpi belaka yang tidak akan terwujud dalam alam nyata.
Pandangan skeptis itu sebenarnya betul bisa yang dimaksud adalah transfer teknologi yang menyangkut bagaimana merancang sebuah sistem senjata ---katakanlah kapal perang---, bagaimana menciptakan jenis baja yang sesuai bagi kebutuhan sistem senjata, bagaimana menciptakan meriam, bagaimana membuat sewaco, bagaimana mengintegrasikan senjata dengan sensor dan lain sebagainya. Semua ilmu itu tidak akan pernah ditransfer kepada Indonesia.
Transfer of technology yang mungkin diberikan kepada Indonesia hanyalah sebatas bagaimana memelihara kapal perang. Atau paling jauh bagaimana merakit kapal perang. Dapat dipastikan ilmu yang ditransfer hanya berkisar pada itu. Padahal ilmu merakit kapal perang sudah dimiliki oleh bangsa ini sejak 1980-an.
Kalau kita ingin transfer of technology yang berkualitas, sebaiknya jangan mengharapkan makan siang gratis. Harus berkorban!!! Berkorban seperti apa?
Beli lisensi terhadap sistem senjata yang kita inginkan kepada produsennya. Kalau kita ingin mengembangkan kapal fregat, belilah lisensi fregat itu di negara produsen misalnya di Eropa. Hal itu sudah terbukti ketika di masa lalu Indonesia membeli lisensi torpedo SUT. Meskipun sebagian komponen dalam SUT masih tergantung pasokan dari Jerman, namun sebagian lagi sudah bisa dibuat di Indonesia oleh tenaga ahli Indonesia sendiri.
Pertanyaannya kini, transfer of technology seperti apa yang diinginkan oleh komunitas pertahanan? Apakah yang gratis atau yang berbayar? Kalau yang gratis, ilmu yang didapatkan hanya “begitu-begitu” saja.
Kalau kita membeli kapal perang tanpa lisensi, maka muatan teknologi yang ditransfer dipastikan akan sedikit. Teknologinya tidak akan jauh dari bagaimana memelihara kapal itu. Kurang tepat kita berharap produsen memberikan teknologi yang lebih tinggi, kecuali kalau kita beli sekaligus dengan lisensinya.