31 Januari 2010

Instrumen Penangkalan

All hands,
Militer adalah satu dari beberapa instrumen penangkalan yang digunakan oleh banyak negara. Ketika berdiskusi tentang militer, manakah pilihan yang terbaik untuk melaksanakan penangkalan? Apakah Angkatan Laut, Angkatan Udara atau Angkatan Darat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, konteksnya harus jelas terlebih dahulu. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan dan pihak yang ingin ditangkal lebih dari satu, pilihan penangkalan mengerucut pada Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sebab kedua matra mempunyai karakteristik yang sama, yaitu mobilitas tinggi dan didukung dengan sistem senjata yang lebih mematikan. Sebaliknya, mobilitas Angkatan Darat cukup rendah karena sifatnya yaitu manusia yang dipersenjatai, selain tentu saja sistem senjatanya kurang mematikan dibandingkan dua matra lainnya.
Daya tangkal kekuatan udara tidak diragukan lagi keampuhannya, namun masalahnya pesawat tempur Angkatan Udara tidak dapat hadir 24 jam terus menerus di wilayah operasi. Ketahaanlamaan pesawat tempur pada dasarnya terbatas, meskipun sudah dibantu dengan pengisian bahan bakar di udara. Sebab selain pesawatnya, pengawaknya pun membutuhkan waktu istirahat. Tidak heran bila meskipun secara teori satu pesawat tempur mampu terbang 24 jam dengan bantuan pengisian bahan bakar di udara, namun pengawaknya maksimal cuma bisa 8 jam terbang.
Kapal perang sebagai sistem senjata Angkatan Laut merupakan pilihan yang terbaik untuk melaksanakan penangkalan. Sebab selain bisa hadir 24 jam setiap hari di wilayah operasi, pengawakannya yang puluhan personel memudahkan adanya pergantian waktu purba jaga. Ketahaanlamaannya di laut pun tidak diragukan, apalagi bila didukung oleh RAS dari kapal bantu.
Tidak sedikit negara di dunia mengandalkan instrumen penangkalannya pada Angkatan Laut. Terlebih lagi ketika pihak yang akan ditangkal secara geografis posisinya jauh dari negara yang ingin menangkal. Dengan kondisi seperti demikian, pilihan paling logis dan sekaligus murah jatuh pada Angkatan Laut dengan kapal perangnya.
Sebagai contoh, tidak sedikit negara yang khawatir dengan program nuklir Iran melaksanakan penangkalan terhadap Negeri Mullah itu dengan menyebarkan kapal perangnya ke Teluk Persia. Dalam kasus Iran, Angkatan Laut adalah pilihan pertama dan utama untuk menangkal Teheran. Pertanyaannya, seberapa paham pengambil keputusan di Indonesia tentang eksploitasi kekuatan Angkatan Laut sebagai instrumen penangkalan?

30 Januari 2010

Mengoptimalkan Kemitraan Strategis

All hands,
Indonesia mempunyai beberapa kerjasama kemitraan strategis dengan beberapa negara besar di kawasan, seperti dengan Cina dan Amerika Serikat. Adapun dengan negara-negara lain, tahapannya belum mencapai pada kemitraan strategis. Kemitraan strategis Indonesia-Cina diteken pada Mei 2005 oleh pemimpin kedua negara. Sedangkan kemitraan strategis Jakarta-Washington disepakati oleh Presiden Yudhoyono dan Presiden G.W. Bush, Jr pada November 2006.
Kemitraan strategis antara Jakarta dengan Beijing maupun Washington bidang cakupannya sangat luas, termasuk dalam bidang pertahanan. Pertanyaannya kini, setelah beberapa tahun berjalan lalu apa keuntungan yang sudah didapatkan oleh Indonesia di bidang yang satu ini? Apakah keuntungan itu sudah optimal?
Dengan Cina, keuntungan yang sudah dieksploitasi baru sebatas pada kerjasama penjualan rudal anti kapal permukaan beserta sistemnya kepada Angkatan Laut Indonesia. Begitu pula pelatihan pilot tempur Angkatan Udara Indonesia di Negeri Tembok Bambu. Sedangkan kerjasama yang menyangkut teknologi militer belum digarap secara optimal oleh Jakarta. Padahal kerjasama yang terakhir ini juga penting ketika Jakarta bersemangat untuk mengurangi ketergantungan senjatanya dari Barat.
Sementara dengan Washington, kemitraan strategis masih diwarnai oleh trauma Jakarta terhadap kebijakan Amerika Serikat soal militer di masa lalu. Dampaknya, pemanfaatan kemitraan strategis di bidang pertahanan masih sangat terbatas. Yang menikmati baru sebatas Angkatan Laut Indonesia melalui Project 1206 dan 1207. Meskipun proyek itu bukan berupa penjualan sistem senjata, namun sangat membantu kekuatan laut negeri ini meningkatkan kemampuan sensing-nya dalam rangka penciptaan maritime domain awareness.
Memang terdapat sejumlah daftar kerjasama lainnya antara Indonesia dan Amerika Serikat di bidang pertahanan, namun daftar tersebut sudah eksis jauh sebelum kemitraan strategis kedua negara disepakati. Misalnya latihan tahunan antar Angkatan Laut maupun pengiriman perwira Angkatan Laut Indonesia untuk belajar di U.S. Naval War College maupun USMC War College.
Sementara yang menyangkut kerjasama teknologi militer, belum tersentuh sama sekali. Bisa jadi hal demikian terjadi karena Amerika Serikat melihat posisi Indonesia yang kurang jelas dari perspektif kepentingan nasionalnya. Sementara dari persepsi Indonesia sendiri, mungkin saja kerjasama tersebut tidak masuk dalam daftar karena masih trauma dengan kerjasama pertahanan di masa lalu.
Mengacu pada pengalaman India, New Delhi memanfaatkan kemitraan strategisnya dengan negara-negara lain di antaranya untuk meraih keuntungan dari kerjasama teknologi militer. Kemajuan teknologi militer yang kini dinikmati oleh negeri yang pernah membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya itu tidak lepas dari eksploitasi secara optimal kemitraan strategis yang terjalin.

29 Januari 2010

Kapal Perang Sebagai Simbol Negara

All hands,
Peraturan mengenai bagaimana suatu kapal dapat ditetapkan menjadi kapal perang sebenarnya dari dulu sudah ada. Mengacu pada peraturan itu, tidak semua kapal yang dipunyai oleh Angkatan Laut negeri ini dapat dikategorikan sebagai kapal perang alias KRI. Kapal-kapal yang tidak memenuhi status sebagai kapal perang biasanya ditetapkan sebagai Kapal Angkatan Laut alias KAL. Namun disayangkan beberapa tahun lalu aturan ini tidak diperhatikan dengan penuh, sehingga sejumlah kapal yang statusnya ditetapkan sebagai KRI seringkali dipertanyakan kepatutannya.
Pertanyaan soal kepatutan itu antara lain pada kemampuan operasional kapal tersebut yang terkait dengan bahan baku pembuatan kapal tersebut. Tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa semestinya segolongan kapal tersebut status terbaiknya adalah KAL, bukan KRI. Dalam operasionalnya, terbukti sejumlah kapal jenis itu mengalami masalah teknis terkait dengan bahan baku kapal. Padahal pengoperasian kapal tersebut seringkali digelar di laut terbuka yang sesungguhnya tidak cocok dengan desain asli penggunaan bahan baku tersebut.
Alasan di masa lalu mengenai penetapan sejumlah kapal perang itu sebagai kapal perang adalah untuk mengejar kebutuhan minimal KRI yang belum tercapai. Bukan hal yang aneh kemudian meskipun statusnya adalah kapal perang, namun operasionalnya bukan berada di bawah kendali Armada, melainkan di bawah kendali Lantamal layaknya KAL.
Seiring dengan berjalannya waktu, termasuk ditetapkannya kebijakan minimum essential force (MEF) oleh Departemen Pertahanan, terdapat pemikiran kuat yang akan direalisasikan menyangkut nasib segolongan kapal itu. Yakni menurunkan statusnya dari KRI menjadi KAL. Sebab apabila kapal-kapal itu dimasukkan dalam MEF, jelas tidak bisa memenuhi standar sebuah kapal perang. Sementara MEF menuntut kesiapan sistem senjata setiap matra militer dalam jumlah minimal untuk melaksanakan berbagai operasi.
Bertolak dari sini, ke depan hendaknya penetapan suatu kapal sebagai kapal perang hendaknya melalui pertimbangan yang matang dari segala aspek. Bukan lagi sekedar untuk mengejar jumlah kapal perang minimal yang belum terpenuhi. Hendaknya kembali dipahami bersama bahwa kapal perang adalah simbol negara, dengan demikian tidak semua kapal layak jadi simbol negara.

28 Januari 2010

Transfer Teknologi Butuh Dukungan Politik

All hands,
Sebagian pihak di Indonesia masih belum meyakini bahwa transfer teknologi adalah sebuah kemustahilan. Pihak ini masih yakin seratus persen bahwa pihak asing bersedia melaksanakan transfer teknologi kepada Indonesia dalam pembelian sistem senjata. Keyakinan demikian boleh-boleh saja, akan tetapi hendaknya ada satu hal yang harus diperhatikan dengan cermat.
Yakni dalam transfer teknologi, posisi tangan Indonesia berada di bawah dan bukan di atas. Dengan demikian negeri ini tidak bisa menentukan kata akhir dalam kegiatan tersebut. Apakah pihak asing bersedia memberikan teknologi kepada Indonesia dan tingkat teknologi seperti apa yang hendak diberikan, semua kembali pada kehendak sang pemilik teknologi.
Hal ini hendaknya dipahami betul oleh Indonesia. Tidak sulit untuk membantah bahwa adalah industri kapal perang, globalisasi memang terjadi. Artinya, pembangunan suatu kapal perang di suatu galangan disubkan kepada beragam vendor. Vendor itu ada yang dikontrak membuat lunas kapal, ada yang dikontrak membikin bagian haluan depan, ada yang mendapat kontrak memproduksi anjungan dan lain sebagainya.
Akan tetapi harus diingat bahwa kontrak tersebut biasanya diberikan kepada galangan kapal negara-negara sekutu atau kawan dari negara induk galangan kapal yang memberikan pekerjaan subkontrak. Sebagai contoh, tidak semua bagian dari kapal perang Angkatan Laut kita kelas Sigma dibuat oleh galangan Belanda. Sebagian diproduksi oleh galangan di Eropa Timur yang biaya produksinya lebih murah daripada di Eropa Barat.
Kembali ke soal transfer teknologi, bisa didapatkan apabila ada sikap politik yang jelas dari Indonesia dalam soal hubungan luar negeri. Tanpa itu, posisi negeri ini masih tetap lemah. Keinginan merevitalisasi industri pertahanan dalam negeri patut untuk dihargai, tetapi harus didukung oleh kebijakan di bidang lain.

27 Januari 2010

Strategi 1-4-2-1 Dan 2010 Quadrennial Defense Review

All hands,
Ketika Pentagon dipimpin oleh Donald Rumsfeld untuk kedua kalinya, organisasi pertahanan Amerika Serikat mengalami transformasi besar-besaran. Transformasi itu dicantumkan dalam 2001 QDR dan 2006 QDR. Kini ketika Pentagon dipimpin oleh Robert M. Gates yang merupakan holdover dari administrasi G.W. Bush, Jr, menurut rencana pada 2010 ini QDR akan diterbitkan kembali. Dapat dipastikan bahwa QDR 2010 sesuai dengan nafas administrasi Barack Obama, Jr.
Kalau mengacu pada perkembangan yang terjadi selama 2009, salah satu fokus dalam QDR 2010 adalah hybrid war. Mengapa kebijakan pertahanan Amerika Serikat kini mengacu ke sana? Tidak lain karena dilatarbelakangi oleh lesson learned Perang Hizbullah-Israel Juli-Agustus 2006. Dalam perang itu, bisa dilihat bagaimana suatu aktor non negara mampu bertahan dan melawan kekuatan militer konvensional terkuat di Timur Tengah dengan mengandalkan pada serangan roket, pertempuran darat dan juga peperangan informasi.
Selain itu, QDR 2010 sepertinya akan mulai meninggalkan konsep kemampuan berperang di dua teater utama perang sekaligus. Konsep ini sudah dianut sejak Perang Dingin sampai saat ini. Apabila konsep ini ditinggalkan karena dianggap bahwa musuh yang dihadapi bukan lagi aktor negara, tentu menjadi pertanyaan apakah Strategi 1-4-2-1 juga akan ditinggalkan dalam kebijakan pertahanan Obama? Ataukah strategi ini hanya sekedar mengalami penyesuaian saja?
Selama administrasi G.W. Bush, Jr, Strategi 1-4-2-1 selalu menjadi perhatian negara-negara lain. Sebab strategi itu selain memperlihatkan kemampuan militer Negeri Abang Sam, juga akan terkait dengan stabilitas kawasan dan dunia. Sebagai contoh, petualang militer Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak memberikan dampak pada stabilitas wilayah lainnya, semisal maraknya serangan terorisme.
Kalau memang Strategi 1-4-2-1 berubah, lalu apa strategi penggantinya? Bagaimana dampak dari penerapan strategi itu terhadap stabilitas kawasan dan dunia? Apakah strategi itu akan berpotensi negatif terhadap negara-negara lain yang selama ini menjaga jarak dengan Washington ---termasuk Indonesia di dalamnya---?
Bagaimana pula dengan kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik? Apakah ada perubahan signifikan dalam kerjasama militer dan pertahanan antara Amerika Serikat dengan negara-negara yang selama ini dikenal sebagai sekutu dan kawannya di kawasan Asia Pasifik? Lalu apakah Pentagon masih melanjutkan kebijakan era Rumsfeld yaitu meningkatkan kehadiran Marinir dan pasukan khusus di kawasan Asia Tenggara?
Semua pertanyaan itu akan bisa dijawab apabila 2010 QDR sudah dipublikasikan kepada khalayak ramai. Satu hal yang harus ditarik oleh Indonesia dari penyusunan 2010 QDR adalah Amerika Serikat mampu menyusun perencanaan pertahanannya secara detail sesuai kepentingan nasionalnya. Kemampuan menyusun tersebut sebenarnya tidak terkait langsung dengan anggaran, tetapi terkait dengan kemauan dan juga knowledge tentang pertahanan dan bagaimana mengelolanya.

26 Januari 2010

Patroli Penangkalan

All hands,
U.S. Navy mempunyai jenis patroli yang disebut dengan deterrence patrol alias patroli penangkalan. Deterrence patrol dilaksanakan oleh kapal selam dengan senjata yang dibawa adalah senjata nuklir. Hal itu sebenarnya tidak aneh, sebab teori penangkalan dari aspek sejarah lahir karena adanya senjata nuklir.
Sebenarnya tanpa melibatkan kapal selam sekalipun, penyebaran kekuatan laut Amerika Serikat di berbagai kawasan dunia telah melahirkan dampak penangkalan luar biasa. Lihat saja kehadiran satu CVBG atau CVSG dengan satu kapal induk dan berbagai jenis kapal kombatan lainnya serta didukung oleh wing udara yang berpangkalan di atas kapal induk tersebut. Wing udara itu seringkali kekuatannya melebihi kekuatan pesawat tempur Angkatan Udara banyak negara di dunia.
Dengan penggelaran yang demikian, patroli yang dilaksanakan oleh U.S. Navy dipastikan senantiasa mencapai tujuan yaitu menimbulkan dampak penangkalan. Keluaran yang seperti ini seharusnya ditiru pula oleh Indonesia. Setiap patroli harus menimbulkan dampak penangkalan kepada para pengguna perairan Indonesia dan pihak-pihak lain yang terkait.
Untuk mencapai keluaran demikian, diperlukan kesiapan unsur kapal perang dan pesawat udara Angkatan Laut. Ketika menyinggung kesiapan unsur, berarti akan langsung terkait dengan dukungan logistik. Dukungan logistik yang ada di Angkatan Laut adalah turunan dari dukungan anggaran dari pemerintah. Masalah yang kita hadapi selama ini selalu berkutat pada anggaran ketika harus menyiapkan kapal agar siap berlayar dan bertempur.
Singkatnya, dampak penangkalan bisa ditimbulkan apabila adanya dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah bagi Angkatan Laut untuk menyiapkan kapal perangnya. Artinya masalah anggaran terkait komitmen, salah satu dari empat hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan penangkalan. Bagaimana mengharapkan patroli yang menimbulkan dampak penangkalan bila komitmen pemerintah terhadap Angkatan Laut masih rendah?

25 Januari 2010

Biaya Dan Kemampuan

All hands,
Dalam pengadaan sistem senjata, termasuk kapal perang, masalah biaya dan kemampuan merupakan salah satu perhatian. Terkadang tidak sedikit negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, yang harus dihadapkan pada pilihan apakah mensinergikan antara dan kemampuan ataukah mengorbankan alias mengkompromikan salah satu untuk kepentingan lainnya. Maksudnya, biaya mengikuti kemampuan yang dipersyaratkan atau kemampuan dikompromikan agar sesuai dengan biaya yang telah ditetapkan.
Sebagai contoh, apabila kita ingin membeli sebuah fregat baru dengan opsreq yang telah ditetapkan, menjadi pertanyaan apakah pagu anggaran yang tersedia dapat memenuhi opsreq tersebut. Ataukah sebagian dari opsreq dikompromikan agar terpenuhi dari pagu anggaran yang tersedia?
Misalnya, opsreq mengharuskan fregat tersebut selain mumpuni dalam peperangan anti kapal selam, juga harus mampu melaksanakan peperangan anti kapal permukaan dan peperangan anti udara. Secara ideal pagu anggaran harus memenuhi semua opsreq tersebut. Namun kadangkala dari persepsi pengambil keputusan soal anggaran, pagunya dinilai terlalu besar sehingga meminta agar ada penyesuaian pada opsreq. Penyesuaian misalnya untuk kemampuan peperangan udara, opsreq-nya diturunkan dari mampu menggelar area defense menjadi point defense.
Persoalan-persoalan seperti ini selalu dihadapi oleh banyak Angkatan Laut di dunia. Lalu bagaimana jalan keluarnya? Menurut hemat saya, pendekatan spesialisasi kapal merupakan cara ekonomis tanpa merugikan baik biaya maupun kemampuan. Dengan pendekatan spesialisasi kapal, maka satu kelas kapal permukaan mempunyai spesialisasi kemampuan peperangan tersendiri. Adapun kemampuan peperangan lainnya dapat diemban kepada kelas kapal lainnya.
Atau bisa pula dalam satu kelas kapal, terbagi dalam dua atau tiga kemampuan sekaligus. Misalnya ada enam kapal sekelas, maka ada dua yang spesialisasinya untuk peperangan anti kapal selam, peperangan anti udara dan peperangan anti kapal permukaan.
Melengkapi sebuah kapal perang dengan semua kemampuan yang diinginkan berkonsekuensi pada mahalnya biaya pengembangan. Akan lebih baik bila menggunakan pendekatan spesialisasi kemampuan, sehingga tidak ada pengorbanan atau kompromi dari aspek biaya maupun kemampuan itu sendiri.
Beberapa Angkatan Laut di dunia tengah menghadapi masalah krusial menyangkut soal biaya dan kemampuan. Pangkal dari masalah tersebut adalah keinginan mencangkokkan semua kemampuan peperangan yang ada pada platform yang sama. Masalahnya adalah mereka lupa bahwa dalam pembangunan kekuatan, sumber daya yang tersedia selalu terbatas. Asumsi keterbatasan sumber daya harus dipahami betul.

24 Januari 2010

Pembengkakan Anggaran Minimum Essential Force

All hands,
Kebutuhan anggaran bagi pemenuhan minimum essential force sebesar Rp.332 trilyun sebenarnya dapat ditekan lebih rendah. Mengapa bisa ditekan? Karena kalau kembali kepada konsep komponen apa saja dalam anggaran yang harus dimasukkan dalam minimum essential force, anggaran diperuntukkan hanya untuk belanja modal yaitu pengadaan alutsista dan pembangunan infrastruktur untuk mendukung sistem senjata tersebut. Dengan kata lain, sebenarnya ada pembengkakan sebab kalau diteliti secara rinci soal kebutuhan minimum essential force tiap matra, ada daftar kebutuhan dari matra tertentu yang tidak sesuai dengan kriteria komponen yang telah ditetapkan
Penting untuk dipahami bahwa minimum essential force bukan penambahan kekuatan baru, termasuk pembentukan batalyon baru. Minimum essential force bukan pula penambahan kekuatan personel. Yang ada adalah peremajaan dan modernisasi sistem senjata pada satuan-satuan tempur yang sudah berdiri saat ini.
Pembengkakan anggaran minimum essential force terjadi karena hal-hal tersebut. Implikasinya adalah postur tersebut mempunyai resiko cukup besar tidak tercapai, sebab ada kesenjangan antara kemampuan anggaran dengan kebutuhan sekitar 40 persen. Kesenjangan itu sudah dikalkulasikan oleh pihak-pihak terkait, dalam hal ini termasuk Departemen Keuangan. Apabila pembengkakan dapat diminimalisasi dengan merevisi pembangunan kekuatan yang tidak sesuai dengan kriteria minimum essensial force, kesenjangan antara kemampuan anggaran dengan kebutuhan dapat dikurangi.
Pertanyaannya, Departemen Pertahanan ada kemauan atau tidak untuk merevisi kalkulasi minimum essential force yang diajukan oleh matra tertentu?

23 Januari 2010

Mengedepankan Angkatan Laut Sebagai Respon Terhadap Krisis Dan Kontinjensi

All hands,
Peran Angkatan Laut di beberapa negara dalam merespon krisis dan kontinjensi yang terjadi tidak diragukan lagi. Ketika terjadi krisis dan kontinjensi yang berkaitan dengan kepentingan nasional negara-negara itu, kekuatan Angkatan Laut akan segera disebarkan ke kawasan krisis dan kontinjensi. Entah kawasan itu berada di wilayah yurisdiksinya ataupun di luar negeri.
Di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, ketika terjadi krisis dan kontinjensi di wilayah kedaulatannya sendiri, kekuatan pertama yang disebarkan bukan Angkatan Laut. Kalau di masa lalu kekuatan yang dikirim adalah Angkatan Darat, kini yang dikirim adalah sipil bersenjata yaitu polisi. Alasannya, setiap krisis dan kontinjensi terkait dengan kamtibmas atau keamanan internal. Padahal tidak sedikit dari krisis dan kontinjensi yang sudah bersentuhan dengan kepentingan nasional, sehingga tidak pantas bila yang disebarkan bukan kekuatan militer.
Pola seperti ini sudah seharusnya diakhirinya. Ketika muncul krisis dan kontinjensi yang terkait langsung dengan kepentingan nasional, semestinya kekuatan yang disebarkan adalah militer. Dalam hal ini, kekuatan Angkatan Laut sepantasnya disebarkan per kesempatan pertama, sebab dapat dipastikan di sekitar wilayah krisis dan kontinjensi terdapat kapal perang yang tengah melaksanakan patroli rutin.
Kenapa harus kekuatan Angkatan Laut? Dari segi kesiagaan, kekuatan Angkatan Laut dalam hal ini kapal perang sudah pasti berada pada kondisi siap, sebab sebagian unsur kapal perang tengah berpatroli rutin di laut. Tinggal diperintahkan saja bertolak ke wilayah krisis dan kontinjensi, seketika itu juga haluan kapal perang akan diarahkan ke kawasan itu.
Bandingkan dengan kekuatan Angkatan Darat, apalagi sipil bersenjata milik negara. Mereka masih harus konsinyering di markas masing-masing, belum lagi harus berkoordinasi dengan Angkatan Udara untuk kepentingan pergeseran kekuatan. Semua itu memerlukan waktu lebih dari 24 jam. Sementara untuk merespon krisis dan kontinjensi dibutuhkan kehadiran kekuatan dalam waktu cepat, karena ini adalah persoalan politik dan keamanan yang apabila keliru ditangani pada 24 jam pertama akan berimplikasi negatif pada waktu-waktu selanjutnya.
Terkait dengan hal tersebut, perlu dikaji kembali eksistensi Kimar Apung. Dengan adanya Kimar Apung, daya pukul dan daya tangkal kekuatan Angkatan Laut lebih meningkat ketika dihadapkan terhadap krisis dan kontinjensi. Dengan hadirnya kapal perang baru tipe LPD, kenyamanan personel Kimar Apung akan lebih bagus dibandingkan di masa lalu ketika mereka harus onboard di kapal perang tipe LST yang ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan LPD.

22 Januari 2010

Latihan Perang Angkatan Laut Terintegrasi

All hands,
Mengacu pada teori Geoffrey Till, kekuatan maritim suatu bangsa merupakan gabungan dari kekuatan Angkatan Laut, armada niaga dan lain sebagainya. Angkatan Laut merupakan inti dari kekuatan maritim suatu bangsa. Namun demikian, peran kekuatan armada niaga tidak dapat diabaikan dalam rangka mendukung Angkatan Laut.
Selama ini, latihan puncak Angkatan Laut yang bersandi Armada Jaya hanya melibatkan unsur-unsur Angkatan Laut saja. Pelibatan tersebut bisa jadi benar, sebab Latihan Armada Jaya adalah barometer untuk melihat dan menilai hasil-hasil pembinaan yang dilaksanakan terhadap unsur-unsur Angkatan Laut, baik kapal perang, pesawat udara, Marinir maupun pangkalan. Akan tetapi dari perspektif lain, sudah saatnya bila Latihan Armada Jaya ke depan sebaiknya melibatkan pula unsur-unsur armada niaga.
Hal itu penting untuk membiasakan para pelaut yang mengawaki armada niaga berinteraksi secara nyata di laut dengan para sejawatnya yang mengawaki kapal perang. Keterlibatan armada niaga dalam Latihan Armada Jaya bisa disisipkan pada unsur Subkogasgab Ratmin Angkatan Laut. Dengan terlibat langsung dalam latihan, para pelaut niaga dapat diajari bagaimana bermanuver di laut dalam suatu konvoi bersama kapal-kapal perang Angkatan Laut. Ilmu dan pengalaman latihan demikian penting apabila suatu saat nanti Angkatan Laut atas nama negara membutuhkan dukungan dari armada niaga dalam mendukung operasi yang akan digelar.
Untuk bisa melaksanakan manuver bersama di laut, tentu para pelaut armada niaga harus diajari dulu teori-teori operasi laut khususnya yang berkaitan dengan operasi yang akan mereka ikuti nantinya. Artinya, interaksi yang rutin dalam ruang kelas yang sama antara antara para pelaut pengawak kapal perang dengan sejawatnya pengawak kapal niaga harus senantiasa dilaksanakan. Tanpa itu sulit untuk bisa langsung mengajak mereka ikut dalam manuver di laut dalam latihan bersama.
Pola seperti ini sudah lama dilaksanakan oleh Angkatan Laut negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Indonesia hendaknya tidak ketinggalan soal ini, sebab di masa lalu beberapa operasi dan atau kampanye militer melibatkan partisipasi unsur armada niaga dalam jumlah yang tidak sedikit. Di masa depan, sangat mungkin preseden itu akan kembali terulang.

21 Januari 2010

Koridor Sempit Kerjasama Angkatan Laut

All hands,
Ketika dihadapkan pada tantangan untuk mengeksploitasi kerjasama Angkatan Laut, seringkali kita dihadapkan pada sempitnya koridor yang tersedia. Khususnya ketika menyentuh bidang operasi dan intelijen, maka akan dirasakan betapa koridor yang tersedia bagi Angkatan Laut untuk mengeksploitasi kerjasama cukup sempit. Setidaknya inilah yang saya rasakan secara pribadi selama ini.
Koridor yang terbuka lebar adalah pada bidang personel dan logistik. Bidang personel antara lain menyangkut kerjasama pendidikan dan pelatihan, sedangkan pada bidang logistik menyentuh kerjama yang terkait dengan bidang tersebut seperti dukungan pengisian bahan bakar secara resiprokal dan lain sebagainya. Namun dua bidang ini pun selama ini nampaknya belum dieksploitasi secara maksimal oleh Indonesia.
Sebagai contoh, tidak jarang ada kursi kosong di lembaga pendidikan Angkatan Laut asing yang sebenarnya dialokasikan oleh Indonesia namun tidak bisa diisi dengan beragam alasan. Dari situ bisa dilihat bahwa negeri ini sebenarnya mengalami kerugian dengan tidak mengisi kuota tersebut. Kerugian tersebut bisa berupa material bila kursi tersebut dihitung sebagai bantuan kerjasama pendidikan dalam bentuk utang luar negeri, dapat pula kerugian non material yang tidak terhitung karena kesempatan menambah wawasan, pergaulan dan jaringan personel Angkatan Laut negeri ini tidak dimanfaatkan secara optimal.
Kembali kepada koridor sempit di bidang operasi dan intelijen, hal itu bisa dilihat dari tidak bisanya Indonesia memenuhi keinginan negara-negara lain untuk melaksanakan combined ops di suatu wilayah perairan. Selain sensitif bagi Indonesia, combined ops juga tidak bisa terlaksana karena kebijakan luar negeri Indonesia. Faktor yang terakhir ini lebih menonjol daripada faktor pertama. Kebijakan luar negeri Indonesia yang dalam prakteknya cenderung anti asing berakibat pada adanya kecurigaan berlebihan ketika muncul gagasan mengenai maritime combined ops, khususnya bila operasi itu dirancang untuk dilaksanakan di dekat perairan Indonesia.
Kerjasama intelijen juga demikian nasibnya. Suatu pihak bersedia membagi informasi intelijen apabila ada posisi kebijakan luar negeri yang sama. Inilah yang tidak dipunyai oleh Indonesia. Status Indonesia di mata negara-negara utama di kawasan Asia Pasifik tidak jelas kecenderungan “keberpihakannya”. Karena ketidakjelasan itu, wajar saja apabila ada pihak yang berpendapat bahwa mengharapkan realisasi kerjasama intelijen maritim pada ranah yang luas bagi Indonesia bagaikan pungguk merindukan bulan.
Arus utama kerjasama Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik saat ini adalah di bidang operasi dan intelijen, tanpa mengabaikan bidang personel dan logistik. Sangat disayangkan koridor yang bisa dieksploitasi oleh Angkatan Laut Indonesia dalam arus utama itu sangat sempit. Pertanyaannya, apakah negeri ini harus terus begini berlaku terhadap Angkatan Lautnya sendiri?

20 Januari 2010

Unjuk Kekuatan Di Haiti

All hands,
Gempa dahsyat di Haiti pada 12 Januari 2010 kembali menjadi ajang unjuk kekuatan militer berbagai negara, dengan militer Amerika Serikat memainkan peran paling dominan. Meskipun situasi yang dihadapi di Haiti adalah gempa ---bukan operasi perang---, akan tetapi mesin perang beberapa negara maju disebarkan secara besar-besaran. Dalam konteks kekuatan laut, U.S. Navy yang mengerahkan pula kapal induk USS Carl Vinson (CVN-70) selain beberapa kapal perang lainnya dan kapal Angkatan Laut (USNS). Mengacu pada A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower, U.S. Navy sekali lagi menunjukkan dirinya sebagai a force for good.
Dari sini ada pesan yang hendaknya didapat ditangkap oleh para pengambil keputusan di negeri ini. Pesannya singkat, yaitu merupakan mimpi di siang bolong untuk membangun soft power dengan menegasikan kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut. Apa yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat di Haiti ---termasuk U.S. Navy--- adalah bagian dari soft power untuk menunjukkan bahwa pemerintah dan rakyat Negeri Abang Sama murah hati, bersimpati dan siap menolong rakyat Haiti yang tengah ditimpa kesengsaraan.
Ketika beberapa waktu lalu Filipina ditimpa oleh bencana alam taipun, apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia yang selama ini sangat membangga-banggakan soft power? Jangankan menyebarkan kekuatan Angkatan Laut untuk membantu rakyat dan pemerintah Filipina, mengirimkan pesawat angkut C-130 Hercules saja masih berpikir panjang. Meskipun pada akhirnya juga mengirimkan pesawat itu ke Filipina. Itulah akibat dari menegasikan peran kekuatan militer dalam mendukung soft power.
Apa akibat dari semua itu? Indonesia makin kehilangan legitimasi sebagai primus inter pares di ASEAN. Bagaimana kembali bisa menjadi primus inter pares, kalau menolong negara tetangga saja yang sedang ditimpa bencana tidak bisa akibat tidak tersedianya kekuatan militer yang dapat diandalkan dan layak dipercaya?

19 Januari 2010

Memelihara Stabilitas Di Kawasan Littoral

All hands,
Bagi negara-negara yang memproyeksikan Angkatan Lautnya ke wilayah-wilayah di mana kepentingan nasionalnya dipertaruhkan, keamanan nasional mereka dapat dipastikan salah satunya terkait dengan kawasan littoral. Strategi maritim nasional yang mereka anut di antaranya menekankan pada pemeliharaan stabilitas di kawasan littoral. Sebab stabilitas kawasan littoral terkait dengan life line mereka di laut.
Untuk dapat memelihara stabilitas di kawasan littoral di berbagai kawasan dunia, satu di antara kemampuan yang harus dimiliki adalah proyeksi kekuatan dalam bentuk operasi amfibi. Meskipun sebagian kalangan berpendapat bahwa operasi amfibi masa kini sudah tidak relevan lagi, namun pandangan demikian harus ditinjau ulang. Sebab proyeksi kekuatan dari laut ke darat hingga kini masih terus terjadi, cuma bisa jadi dalam proyeksi itu tidak lagi menekankan pada pentingnya pembentukan tumpuan pantai.
U.S. Navy mempunyai gugus tugas yang dikenal sebagai Amphibious Ready Group/Marine Expeditionary Unit (ARG/MEU) yang tulang punggung kekuatannya adalah kapal serang amfibi jenis LHA, LHD atau LSD. Saat ini terdapat empat ARG/MEU di lingkungan Angkatan Laut Negeri Abang Sam. Di dek kapal serang amfibi itu bertengger puluhan heli untuk kepentingan operasi amfibi yang siap memindahkan pasukan Marinir ke daratan melalui konsep STOM. Kalau diperhatikan dengan jelas, tidak ada satu pun sistem pendarat heli itu menggunakan skid, tetapi memakai roda pendarat sebagai halnya pesawat sayap tetap.
Australia dalam kebijakan pertahanannya juga menekankan pada pemeliharaan stabilitas di kawasan littoral pada wilayah-wilayah jalur pendekatnya. Berbeda dengan Washington yang senantiasa menempatkan Marinir sebagai unsur pemukul utama, Canberra yang tidak mempunyai organisasi Korps Marinir dalam militernya mengandalkan pada Angkatan Darat yang akan diangkut oleh kapal-kapal amfibi Royal Australian Navy. Kekuatan darat Australia dirancang untuk beroperasi di wilayah littoral Indonesia seperti sekitar Selat Lombok, Selat Bali, Selat Ombai dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sampai saat ini tidak mempunyai strategi keamanan nasional, apalagi strategi keamanan maritim, sehingga tampak jelas belum berpikir untuk mengamankan kawasan littoral-nya dari kemungkinan instabilitas, apalagi menghadapi serangan negara lain. Kekuatan Marinir dilatih untuk proyeksi kekuatan ke negeri sendiri, namun belum optimal dilatih untuk melaksanakan operasi anti amfibi. Lihat saja skenario yang dimainkan dalam Latihan Armada Jaya maupun Latihan Gabungan TNI.

18 Januari 2010

Berbicara Dalam Bahasa Yang Sama

All hands,
Pada 18 Januari 2010 dilaksanakan AUSMIN 2010 di Australia. AUSMIN adalah Australia-United States Ministerial Consultations yang melibatkan Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri kedua negara. Setiap tahun, penyelenggaran AUSMIN selalu bergilir antara di Australia dengan di Amerika Serikat.
Tentu konsultasi yang melibatkan dua menteri sekaligus dari masing-masing negara menggambarkan kualitas hubungan Australia-Amerika Serikat. Bandingkan dengan Indonesia, yang mana forum USIDSD hanyalah forum setingkat Direktur Jenderal yang melibatkan pejabat Departemen Pertahanan kedua negara. Tentu menjadi pertanyaan mungkinkah di masa depan kualitas hubungan pertahanan Indonesia-Amerika Serikat bisa ditingkatkan. Sehingga nantinya konsultasi keamanan kedua negara ditingkatkan tingkatnya dari pejabat setara Direktur Jenderal menjadi antar Menteri Pertahanan.
Jawabannya mudah yakni bisa saja. Asal ada kemauan politik dari Indonesia untuk think out of the box. Mempererat kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat dari sudut pandang kepentingan nasional sebenarnya sangat relevan. Entah kalau dari sudut pandang kebijakan luar negeri bebas aktif.
Seperti disebutkan sebelumnya, AUSMIN melibatkan Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri kedua negara. Hal ini sepertinya sulit di Indonesia, sebab ada kesan kuat bahwa aspirasi antara blok pertahanan dan blok luar negeri masih sulit untuk dipertemukan. Mendudukkan Menteri Pertahanan dengan Menteri Luar Negeri satu meja dan berbicara dalam “bahasa yang sama” masih bagaikan pungguk merindukan bulan di Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa di negara lain keduanya bisa berbicara dalam “bahasa yang sama”? Jawabannya tidak sulit untuk ditemukan, yaitu apabila sudah satu persepsi dalam mencapai dan mengamankan kepentingan nasional. Ketika kita menyentuh isu kepentingan nasional, pendekatan apapun dibenarkan!!! Penggunaan instrumen apapun dibenarkan!!!
Pemahaman yang seperti ini masih sulit ditanamkan di Indonesia, khususnya pada birokrat sipil. Apalagi apabila ada birokrat sipil tertentu yang tidak mau mengikuti pendidikan reguler di Lemhannas seperti yang terjadi selama ini. Sebab di sana, lepas dari kekurangan lembaga itu, birokrat sipil diajak berpikir nasional dan tidak semata sektoral lagi.

17 Januari 2010

Birokrasi Pertahanan Indonesia

All hands,
Birokrasi pertahanan Indonesia cukup rumit walaupun sebenarnya bisa dibuat sederhana apabila ada kemauan politik. Akibatnya rumitnya birokrasi tersebut, pihak yang paling sering dirugikan pada pada matra Angkatan TNI. Setiap pengajuan yang terkait soal anggaran, pembangunan kekuatan dan lain sebagainya dari tingkat Mabes Angkatan ke Departemen Pertahanan harus melalui Mabes TNI terlebih didahulu. Di sana dokumen dari ketiga Mabes Angkatan dikompulasi baru kemudian diajukan kepada Departemen Pertahanan.
Dari situ bisa dihitung berapa jumlah hari kerja yang terbuang hanya sekedar untuk menyampaikan dokumen dari Mabes Angkatan kepada Departemen Pertahanan. Belum lagi waktu yang diperlukan bagi Departemen Pertahanan untuk memproses pengajuan tersebut. Baru kemudian realisasi dari pengajuan itu apabila pengajuan yang dimaksud disetujui pelaksanaannya oleh Departemen Pertahanan.
Bandingkan dengan soal pengucuran anggaran. Kedudukan Mabes Angkatan setara dengan Mabes TNI dalam masalah anggaran, yaitu sama-sama UO. Dengan demikian, anggaran bagi tiap matra langsung disalurkan dari Departemen Pertahanan kepada Mabes Angkatan masing-masing tanpa melewati Mabes TNI. Di sini terlihat adanya kesederhanaan birokrasi.
Apa arti dari semua itu? Selama ini didengungkan bahwa Mabes TNI adalah gunkuat. Meskipun menurut hemat saya semestinya gunkuat ada pada Departemen Pertahanan karena terkait dengan kebijakan politik, namun dalam kondisi saat ini harus diakui soal posisi Mabes TNI tersebut. Yang menjadi masalah adalah ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya.
Kalau memang Mabes TNI adalah gunkuat, semestinya masalah binkuat tidak perlu ikut campur. Serahkanlah masalah itu kepada tiap Mabes Angkatan sepenuhnya, termasuk di dalamnya soal koordinasi dengan Departemen Pertahanan selaku penentu kebijakan pertahanan. Artinya usulan soal anggaran dan lain sebagainya dari Mabes Angkatan sudah seharusnya langsung saja ke Departemen Pertahanan tanpa melewati Mabes TNI.
Bukankah sudah jelas bahwa dalam sistem yang berlaku saat ini Mabes TNI adalah gunkuat. Dengan status itu, semestinya Mabes TNI tidak ikut terlibat dalam urusan antara Mabes Angkatan dengan Departemen Pertahanan.
Urusan Mabes TNI semestinya hanya menerima unsur yang siap setelah dibina oleh Mabes Angkatan untuk digunakan bagi kepentingan operasi. Soal bagaimana proses pembinaannya, seharusnya bukan domain Mabes TNI. Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah penataan kembali birokrasi pertahanan harus dilaksanakan segera seiring diterapkannya program renumerasi di lingkungan Departemen Pertahanan-TNI.

16 Januari 2010

Kebijakan Pengadaan Sistem Senjata

All hands,
Diakui atau tidak, salah satu kegiatan yang menyerap banyak energi di Angkatan Laut adalah soal pengadaan sistem senjata. Sebab Angkatan Laut bukan saja dituntut menyiapkan spesifikasi teknis dan opsreq-nya, tetapi juga terlibat dalam tender beserta semua ikutannya. Proses tender bukan sesuatu yang mudah, sebab Angkatan Laut sebagai calon pengguna harus menetapkan besaran harga yang diinginkan. Masalah harga ini sensitif sekali.
Melihat praktek pada Angkatan Laut di negara-negara lain, mereka tidak terlalu direpotkan dalam proses pengadaan sistem senjata. Kewajiban mereka cukup menganut spesifikasi teknis dan opsreq sistem senjata yang dibutuhkan kepada Departemen Pertahanan. Soal tender, itu urusan Departemen Pertahanan yang salah satu tugasnya adalah sebagai pembangun kekuatan pertahanan. Dengan kata lain, Angkatan Laut tinggal duduk manis menerima sistem senjata dari Departemen Pertahanan yang harus sesuai dengan spesifikasi teknis dan opsreq yang diajukan.
Kalau kembali ke konsep bang-bin-gun, semestinya Angkatan Laut Indonesia tidak terlibat dalam proses pengadaan alutsista. Sebab fungsi Angkatan Laut adalah sebagai bin. Adapun bang merupakan fungsi dari Departemen Pertahanan. Soal gun seharusnya merupakan fungsi departemen itu pula, sebab penggunaan kekuatan terkait erat dengan kebijakan politik pemerintah.
Untuk bisa kembali mengembalikan konsep bang ke pundak Departemen Pertahanan sehingga Angkatan Laut murni sebagai bin, pekerjaan rumah terbesar bagi Departemen Pertahanan adalah membenahi sumber daya manusianya. Tanpa sumber daya manusia yang paham soal teknis beragam sistem senjata Angkatan Laut, mustahil departemen itu dapat memenuhi kebutuhan Angkatan Laut sesuai spesifikasi teknis dan opsreq yang disodorkan.

15 Januari 2010

Pengamanan Alur Keluar Masuk Pelabuhan

All hands,
Keamanan maritim sejak dahulu selalu mempunyai keterkaitan dengan kepentingan ekonomi. Tidak terjaminnya keamanan maritim berarti memberikan ketidakpastian pada bidang ekonomi. Ketidakpastian pada bidang ekonomi berarti memberi resiko yang besar menyangkut biaya yang harus disiapkan oleh pelaku ekonomi dalam melaksanakan aktivitasnya. Oleh karena itu, faktor ketidakpastian tersebut senantiasa diupayakan untuk dikurangi atau dieleminasi oleh banyak negara melalui penyebaran dan penggunaan kekuatan Angkatan Laut sebagai instrumennya.
Salah satu faktor kritis dalam keamanan maritim adalah pelabuhan yang merupakan tempat aktivitas bongkat muat. Untuk menghadapi resiko ancaman keamanan maritim di wilayah sekitar pelabuhan, tidak sedikit Angkatan Laut di dunia yang kini memberikan perhatian khusus terhadap pengamanan pelabuhan, khususnya pada alur keluar masuk. Bentuk pengamanannya antara lain berupa penyebaran kapal buru ranjau untuk mendeteksi kemungkinan adanya ranjau pada alur tersebut.
Kegiatan seperti ini bukan saja dilaksanakan oleh Angkatan Laut negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia, tetapi dilakukan pula oleh Angkatan Laut negara-negara Eropa. Seperti diketahui, negara-negara Eropa mempunyai beberapa pelabuhan tersibuk di dunia yang digolongkan sebagai megaport, seperti Rotterdam, Bremenhaven, Antwerp dan La Havre. Untuk mengamankan alur keluar masuk pelabuhan-pelabuhan mega tersebut, salah satu yang berperan penting adalah Angkatan Laut melalui kapal-kapal buru ranjaunya.
Di Indonesia, kita harus jujur mengakui bahwa pengamanan alur keluar masuk pelabuhan belum menjadi prioritas. Apalagi ketika berbicara tentang skenario peranjauan terhadap alur tersebut. Padahal skenario itu tidak dapat dinafikan begitu saja, sebab ada pihak yang mampu berbuat demikian. Bukankah ranjau di berbagai belahan dunia telah menunjukkan dirinya sebagai senjata yang murah dengan daya rusak besar serta mampu menimbulkan kerugian secara politik dan ekonomi yang tidak terbatas pada sasarannya saja?
Pesan dari sini adalah Angkatan Laut sesungguhnya mempunyai peran dalam pengamanan pelabuhan. Pengamanan pelabuhan bukan semata menempatkan aparat keamanan di pintu-pintu keluar masuk pelabuhan seperti yang selama ini dipahami, tetapi mencakup pula pengamanan alur keluar masuk pelabuhan. Ketika menyentuh soal alur keluar masuk tersebut, yang punya kemampuan untuk mengamankannya hanya Angkatan Laut.

14 Januari 2010

Tantangan Keamanan Maritim Masa Kini

All hands,
Secara garis besar, terdapat dua tantangan besar yang kini dihadapi oleh Angkatan Laut di berbagai negara. Yakni secure the use of the sea and littorals dan deny the use of sea by non-stately actors. Itulah alasan mengapa beberapa Angkatan Laut dunia menyebarkan kekuatannya di perairan Somalia, Laut Merah dan Teluk Persia.
Bagi Indonesia, tantangan yang dihadapi juga demikian. Masalah secure the use of the sea and littorals merupakan tantangan besar bagi Indonesia, sebab negeri ini merupakan negara kepulauan. Artinya, Indonesia mempunyai sangat banyak wilayah littoral yang mana pihak asing juga berkepentingan atas keamanan di situ. Celakanya, ada preseden di masa lalu bahwa sejumlah konflik internal Indonesia justru terjadi di wilayah littoral.
Dengan demikian, mengamankan wilayah littoral harus dilihat secara luas oleh semua pihak. Menjadi tugas pokok dan kewajiban Angkatan Laut untuk mengamankan situasi keamanan maritim di kawasan littoral. Sementara pihak lain seperti pemerintah daerah yang terletak di wilayah littoral wajib menjaga keamanan wilayahnya agar tidak muncul konflik yang mempengaruhi kualitas keamanan maritim secara keseluruhan.
Isu yang terakhir ini nampaknya belum dipahami semua pihak di Indonesia. Selama ini persepsi yang ada bahwa masalah keamanan maritim adalah Angkatan Laut. Persepsi demikian memang benar, namun harus dilihat pula bahwa apa yang terjadi di laut seringkali dipengaruhi oleh situasi di daratan. Itulah yang terjadi di perairan Somalia sekarang.

13 Januari 2010

Strategi Kerjasama Pertahanan Indonesia-Amerika Serikat

All hands,
Sejak kemarin di Jakarta berlangsung pertemuan tahunan USIDBDD. USIDBDD merupakan wadah pertemuan tahunan antara militer kedua negara membahas kerjasama yang telah, tengah dan akan dilaksanakan. Terkait dengan hal itu, satu isu krusial yang seharusnya diperhatikan oleh Indonesia adalah strategi kerjasama.
Selama ini ada beberapa kerjasama yang telah terjalin antara Jakarta-Washington, khususnya di bidang operasi dan latihan dan personel. Namun demikian, dari sisi Indonesia sepertinya negeri ini belum merumuskan strategi kerjasama apa yang harus digunakan. Akibatnya, tidak jarang kerjasama yang dilaksanakan kurang berdampak signifikan dari sisi kepentingan Indonesia.
Atau dengan kata lain, kerjasama yang dijalin lebih banyak berada dalam bingkai kepentingan Washington daripada Jakarta.Kerjasama dengan Amerika Serikat hendaknya tidak terjebak pada pola yang sudah ada selama ini, tetapi harus berani melakukan teroboson baru yang bingkainya berada dalam kepentingan Indonesia.
Berdiskusi soal kerjasama pertahanan yang dilaksanakan oleh Indonesia, masalah mendasarnya adalah negeri ini tidak mempunyai strategi kerjasama. Bandingkan dengan India yang dalam kerjasama pertahanan dengan tiap negara, dia sudah merumuskan strateginya. Dengan adanya strategi, berarti ends yang ingin dicapai jelas, begitu pula means-nya juga terdefinisikan, tak ketinggalan juga ways-nya nyata.

12 Januari 2010

Eksploitasi Rudal Yakhont

All hands,
Kemajuan teknologi yang terkait dengan sistem senjata serta peredaran produk teknologi itu di pasaran internasional melahirkan kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara maju. Mereka khawatir sistem senjata hasil kemajuan teknologi itu akan makan tuan, seperti kasus Exocet MM-39 Angkatan Udara Argentina yang melumpuhkan kapal perang Inggris HMS Sheffield (D-80). Sebab sistem senjata itu memberikan kemampuan kepada negara-negara berkembang untuk mengembangkan kemampuan anti akses.
Sehingga wajar bila kini penjualan sistem senjata kepada Angkatan Laut negara-negara berkembang yang dapat digunakan untuk kepentingan anti akses sangat dikontrol. Hanya negara-negara berkembang yang digolongkan sebagai sekutu dan teman yang dapat memperoleh sistem senjata itu. Sistem senjata yang dimaksud di sini bukan semata rudal saja, tetapi mencakup pula pendukungnya seperti surveillance radar, fire control radar dan combat system management.
Indonesia yang di masa lalu relatif mudah mengakses sistem senjata yang mempunyai kemampuan anti akses kini tidak lagi menikmati kemudahan itu dari negara-negara Barat. Akibatnya, daya tangkal pada kapal perang yang memperkuat Angkatan Laut negeri ini mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Sebab sebagian besar sistem senjata yang ada di kapal perang itu kini telah kadaluarsa. Menurunnya kemampuan penangkalan diikuti oleh meningkatnya ancaman dan tantangan di laut yang muncul dari negara-negara di sekeliling Indonesia
Untuk menghadapi situasi demikian, Indonesia berpaling pada sistem senjata buatan Rusia dan Cina. Misalnya pengadaan rudal P-800 Onix alias Yakhont dari Rusia dan rudal C-802 dan C-705 asal Negeri Tirai Bambu. Pembelian dari dua negeri yang menjadi pesaing Uwak Sam itu diharapkan mampu mendongkrak kembali kemampuan penangkalan Indonesia.
Eksistensi rudal buatan Rusia dan Cina dalam arsenal Angkatan Laut negeri ini harus dieksploitasi secara optimal. Misalnya menghadirkan kapal perang yang menggendong rudal Yakhont di perairan sekitar Selat Malaka dan Selat Singapura secara rutin. Bisa pula menghadirkan kapal perang yang bersenjatakan C-802 di perairan Selat Lombok, Selat Ombai dan Laut Sulawesi secara rutin pula. Hal itu penting untuk unjuk kekuatan, sebab negara-negara di sekitar Indonesia hanya paham dengan bahasa kekuatan, bukan bahasa diplomasi yang bertumpu pada soft power.
Hingga awal 1990-an, selalu ada pemandangan indah di sekitar Selat Singapura apabila kapal perang Indonesia jenis kombatan melintas di sana. Sebagian kapal perang Negeri The Red Dot akan keluar dari pangkalannya dalam kondisi peran tempur mengawasi gerak-gerik kapal kombatan Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kapal perang negeri ini sebenarnya mempunyai kemampuan penangkalan yang diperhitungkan oleh pihak lain apabila sistem senjatanya memadai dan tidak ketinggalan teknologi.
Pemandangan indah tersebut sangat besar peluangnya untuk diulangi kembali kini dan tahun-tahun ke depan. Syaratnya cuma satu, yaitu kita mampu mengeksploitasi kapal perang yang mengusung sistem senjata yang mematikan asal Rusia dan Cina.

11 Januari 2010

Keandalan Integrasi Sistem Pada Pesawat Patroli Maritim

All hands,
Keunggulan pesawat patroli maritim antara lain terletak pada sistem sensor dan senjata yang diusung olehnya. Sistem sensor pada pesawat tersebut harus diintegrasikan dengan sistem pesawat secara keseluruhan. Itulah tantangan yang dihadapi oleh produsen pesawat terbang bersama dengan produsen sistem sensor dalam rangka mengintegrasikannya sehingga pesawat tersebut menjadi pesawat patroli maritim yang dapat diandalkan.
Tantangan demikian juga dihadapi oleh industri kedirgantaraan Indonesia yang memproduksi pesawat patroli maritim bagi kepentingan Angkatan Laut. Pabrikan itu selama ini telah memasok beberapa pesawat patroli maritim kepada Angkatan Laut dan dalam beberapa tahun ke depan akan menyuplai kembali beberapa pesawat patroli maritim dari jenis yang berbeda. Berdasarkan pengalaman yang ada, keandalan integrasi sistem pada pesawat itu masih dipertanyakan.
Salah satunya pada masalah layanan purna jual. Seringkali integrasi sistem yang pada fase uji coba mulus dan tidak bermasalah, ketika mencapai fase full operational capability justru baru muncul masalah. Pengalaman itu setidaknya dialami oleh Angkatan Udara yang mengoperasikan CN-235 MPA.
Pesan dari sini adalah Angkatan Laut harus mengawasi dan menguji coba hasil integrasi sistem sensor pada CN-235 ASW nantinya sebelum pesawat itu diserahkan kepadanya. Pengawasan sebaiknya dilakukan sejak saat sistem sensor diintegrasikan dengan sistem lainnya di pesawat hingga saat uji kelaikan. Uji kelaikan hendaknya dilakukan dengan ketat, artinya perlu dilakukan secara berulang dalam waktu yang lama. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi agar jangan sampai pesawat itu justru bermasalah ketika sudah memasuki tahap full operational capability seperti yang dialami oleh pesawat CN-235 MPA milik pihak lain.
Karena mengacu pada pengalaman operasional pesawat MPA Angkatan Laut tipe lainnya, dukungan layanan purna jual terhadap pesawat tersebut masih jauh dari harapan. Untuk memperbaiki kerusakan pada sistem sensor tertentu, dibutuhkan waktu yang panjang karena ketidaksiapan dari produsen itu sendiri.

10 Januari 2010

Tantangan Penerbangan Angkatan Laut

All hands,
Para penerbang Angkatan Laut mempunyai beberapa sumber masuk, yaitu dari Akademi Angkatan Laut, IDP/PSDP dan Capa. Khusus yang terakhir ini adalah kebijakan tahun 1980-an yang sejak 1990-an sudah dihentikan, sehingga sekarang sumber pemasukan personel cuma dari Akademi Angkatan Laut dan PSDP. Dengan dinamika yang berkembang di dalam kekuatan udara Angkatan Laut, dalam beberapa tahun terakhir sekitar 30 penerbang yang mayoritas berasal dari sumber IDP/PSDP melakukan pensiun dini dan kemudian berkarir sebagai penerbang sipil di berbagai perusahaan penerbangan nasional.
Pengunduran diri mereka memang dilematis, sebab pada satu sisi tidak sedikit dari mereka yang telah memperoleh kualifikasi instruktur penerbang. Namun pada sisi lain, memang ada ketentuan dalam “kontrak” ketika mereka mengikuti IDP/PSDP bahwa setelah 10 tahun ikatan dinas, mereka mempunyai kesempatan untuk memilih mengundurkan diri atau melanjutkan karir di lingkungan Angkatan Laut. Posisi ini dari segi kepentingan Angkatan Laut secara global nampaknya merugikan.
Merupakan hal yang wajar kemudian bila muncul pemikiran agar Angkatan Laut tidak lagi menerima penerbang asal PSDP. Pemikiran demikian dapat dipahami, namun sepertinya sulit untuk direalisasikan. Mengapa begitu?
Sebab program PSDP adalah program Mabes TNI yang pendidikannya dilaksanakan oleh satuan pendidikan Angkatan Udara. Sejak beberapa tahun silam, penerbang lulusan PSDP cuma disalurkan ke Angkatan Laut dan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Udara kini hanya menerima penerbang lulusan Akademi Angkatan Udara. Artinya, Angkatan Laut harus mampu melobi dan meyakinkan Mabes TNI soal gagasannya untuk tidak menerima lagi penerbang asal PSDP. Kalau melihat situasi sekarang, nampaknya sulit untuk menggolkan gagasan tersebut, sebab PSDP adalah program terpusat yang mempunyai dampak pada anggaran.
Menurut hemat saya, agar tidak terjadi eksodus dari penerbang asal PSDP maka pembinaan mereka harus diperkuat. Misalnya semenjak dini harus diketahui apakah mereka masih berminat melanjutkan karir di lingkungan Angkatan Laut atau tidak setelah 10 tahun kontrak mereka berakhir. Apabila mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan karir, maka sebaiknya mereka tidak perlu dididik untuk menjadi instruktur dan atau menduduki jabatan komando seperti Dan Flight.
Pada sisi lain, nampaknya perlu pembenahan di dalam lingkungan penerbangan Angkatan Laut agar mereka merasa terwadahi kemampuannya. Seringkali karena merasa tidak terwadahi menjadi pemicu dari pengambilan keputusan untuk melanjutkan karir di penerbangan sipil.
Namun mereka juga harus melihat bahwa sebenarnya pengembangan karir mereka di Angkatan Laut sebenarnya tidak terbatas di lingkungan penerbangan saja. Hal yang terakhir ini seringkali kurang diperhatikan oleh mereka, sehingga ketika merasa ada hambatan di lingkungan penerbangan, serasa karir di Angkatan Laut sudah berakhir.

09 Januari 2010

Resiko Kegagalan Pembangunan Kekuatan

All hands,
Apabila pemerintah tidak bisa menyiapkan anggaran modernisasi kekuatan pertahanan sesuai dengan pengajuan dari Departemen Pertahanan berdasarkan masukan dari ketiga matra militer Indonesia, ada resiko besar yang harus diperhitungkan dengan seksama. Resiko itu adalah makin meningkatnya ancaman dan tantangan terhadap kepentingan nasional Indonesia sebagai akibatnya dari lumpuhnya kekuatan pertahanan Indonesia. Kekuatan pertahanan negeri ini dalam 15 tahun dari sekarang bisa jadi akan mengalami kondisi serupa ketika pasca 1965 negeri ini mengalami pergantian rezim yang berkonsekuensi besar terhadap kesiapsiagaan militer, khususnya Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Harus diinsyafi bahwa dalam 15 tahun ke depan kekuatan pertahanan negeri-negeri di sekitar Indonesia seperti negeri tukang klaim, negeri penampung koruptor, negeri penindas Aborigin, negeri Inspektur Vijay maupun negeri jagoan hukum mati koruptor justru akan semakin kuat daripada kondisi saat ini. Apabila dalam waktu yang sama kekuatan pertahanan Indonesia justru lumpuh, di situlah kebenaran prediksi bahwa ancaman dan tantangan terhadap kepentingan nasional Indonesia akan semakin meningkat.
Resiko demikian harus diperhitungkan dengan seksama oleh pemerintah. Kurang tepat apabila ada pihak yang mengernyitkan dahi melihat besaran kebutuhan anggaran bagi pemenuhan MEF, sebab itulah harga yang harus dibayar untuk membuat negeri ini bisa mempertahankan diri dengan kekuatan minimum. Toh jumlah itu sebenarnya sangat sedikit dibandingkan dengan akumulasi anggaran pendidikan selama 15 tahun ke depan. Kalau rata-rata dalam satu tahun anggaran pendidikan berkisar Rp.200 trilyun, bisa dihitung berapa kebutuhan anggaran pendidikan hingga 15 tahun nanti. Sementara kebutuhan anggaran pemenuhan MEF hanya sekitar Rp.300 trilyun selama sekitar 15 tahun. Jauh lebih murah bukan?

08 Januari 2010

Menunggu Realisasi Pembangunan Kekuatan

All hands,
Sejak Desember 2009, ketiga matra militer Indonesia telah menyerahkan rancangan minimum essential force mereka beserta berapa kebutuhan anggaran untuk mewujudkan kekuatan tersebut. Berdasarkan perhitungan sementara, total dana yang dibutuhkan oleh ketiga matra TNI bagi pemenuhan MEF mencapai hampir Rp.300 trilyun. Soal detailnya tidak bisa diungkap di sini, namun yang pasti kebutuhan Angkatan Laut dan Angkatan Udara masing-masing mendekati plafon Rp.100 trilyun.
Dana sebesar itu bagi tiap matra digunakan untuk dua hal, yaitu pengadaan sistem senjata dan pembangunan infrastruktur guna mendukung sistem senjata tersebut. Dengan kata lain, peruntukan anggaran bagi MEF hanya bagi dua pos itu saja.
Tentu saja muncul pertanyaan soal realisasi MEF itu. Misalnya berapa lama postur kekuatan yang dibangun akan tercapai. Menyangkut pertanyaan itu, jawabannya kembali kepada pemerintah, dalam hal ini pemerintahan sekarang dan setidaknya dua pemerintahan berikutnya. Sebab ada pandangan bahwa postur itu bisa dicapai setidaknya melalui tiga renstra. Artinya sekitar 15 tahun terhitung sejak 2010.
Pertanyaan berikutnya adalah seberapa mampu pemerintah menyiapkan Rp.300 trilyun dalam jangka waktu 15 tahun ke depan bagi kepentingan pembangunan kekuatan. Mengacu pada struktur anggaran pertahanan sekarang, dana untuk pembangunan kekuatan masih disatukan dengan anggaran bagi gaji, tunjangan dan lain sebagainya bagi para pelaut, Marinir, airmen dan prajurit. Artinya, total anggaran yang dibutuhkan selama waktu 15 tahun ke depan di atas Rp.300 trilyun, mungkin sekitar Rp.500 trilyun atau bahkan lebih.
Pertanyaan soal kemampuan pemerintah akan terkait dengan kinerja ekonomi nasional. Kalau menggunakan pendekatan konvensional seperti yang dipakai oleh pemerintah selama ini, rasanya mustahil pemerintah negeri ini bisa siapkan dana Rp.300 trilyun selama 15 tahun ke depan bagi modernisasi kekuatan pertahanan. Namun apabila menempuh pendekatan lain, tidak mustahil pembangunan kekuatan sesuai MEF akan tercapai.
Sekarang masalahnya kembali kepada pemerintah, baik yang kini berkuasa maupun yang akan berkuasa berikutnya. Ibarat penyakit kanker, kondisi pertahanan negeri ini sudah stadium IV. Untuk menghadapi situasi demikian, penyembuhannya tidak bisa lagi menggunakan resep-resep atau pendekatan tradisional. Pendekatan tradisional selalu akan linear dan tidak akan mampu memberikan penyembuhan yang diharapkan.

07 Januari 2010

Fokus Doktrin Angkatan Laut

All hands,
Setiap Angkatan Laut mempunyai fokus doktrin yang berbeda-beda sesuai dengan kepentignan nasional masing-masing. Amerika Serikat dalam doktrin Angkatan Lautnya memfokuskan diri pada proyeksi kekuatan dari laut ke littoral. Adapun doktrin Angkatan Laut Inggris diarahkan pada kontribusi kekuatan laut negeri itu dalam operasi gabungan multinasional, sebab tidak ada ancaman nyata terhadap keutuhan wilayahnya. Hal yang mirip dianut pula oleh Prancis, yang doktrin Angkatan Lautnya difokuskan untuk menghadapi dampak-dampak dari isu global.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Apa sebenarnya fokus doktrin kekuatan laut negeri ini? Apakah betul proyeksi kekuatan? Ataukah pengamanan SLOC, baik SLOC internasional maupun SLOC nasional?
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, perlu dicari akarnya yaitu aspirasi nasional bangsa Indonesia. Sebenarnya apa aspirasi nasional bangsa ini? Apakah cukup puas dengan menjadi bangsa yang inward looking? Apakah cukup puas dengan menjadi bangsa yang hanya mengandalkan soft power?
Apakah lebensraum bangsa ini betul hanya terbatas pada wilayah yurisdiksi saja? Apakah penggunaan kekuatan militer untuk mengamankan kepentingan nasional diharamkan oleh bangsa ini? Apa sebenarnya cara pandang bangsa ini terhadap laut?
Semua pertanyaan itu menjadi pintu masuk sebelum membahas tentang doktrin Angkatan Laut secara detail dan teknis. Tanpa mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa doktrin Angkatan Laut yang disusun tidak berakar pada kepentingan bangsa ini.

06 Januari 2010

Layanan Purna Jual Industri Pertahanan Dalam Negeri

All hands,
Kini pemerintah tengah mencoba merealisasikan semangat dan retorika menggunakan hasil industri pertahanan dalam negeri bagi kepentingan pertahanan ke dalam tataran empiris. Realisasi itu patut dihargai, namun harus pula didukung oleh kesiapan oleh industri pertahanan tersebut. Singkat, banyak pembenahan yang perlu dilaksanakan oleh industri pertahanan Indonesia agar produknya dipercaya oleh konsumen nasional. Salah satunya adalah pada bidang layanan purna jual alias after sales service.
Selama ini layanan purna jual yang diberikan oleh industri pertahanan dalam negeri kepada konsumen masih jauh dari memuaskan. Sebagai contoh adalah kerusakan pada instrumen pesawat udara yang seharusnya sebagai produsen industri pertahanan nasional tertentu dapat memberikan layanan purna jual yang memuaskan. Kalau memang suku cadang instrumen itu tidak ada di dalam negeri, seharusnya industri yang bersangkutan bisa mencarikan ke pabrikannya di luar negeri.
Seperti diketahui, pesawat terbang yang mempunyai beragam komponen yang tidak semuanya dibuat oleh pabrikan pesawat terbang. Misalnya peralatan navigasi dan elektronika yang dibuat oleh pabrik yang mengkhususkan diri pada bidang itu, semacam Bendix, Thales dan lain sebagainya. Begitu pula dengan mesin pesawat yang sudah pasti dipasok oleh pabrikan seperti Roll Royce, Garret, P&W dan lain sebagainya.
Layanan purna jual yang juga sering dikeluhkan oleh konsumen nasional adalah jangka waktu perbaikan dan kualitas hasil perbaikan tersebut. Mungkin dari segi harga biaya perbaikan di industri dirgantara nasional masih lebih murah dibandingkan dengan fasilitas serupa di kawasan Asia Pasifik, akan tetapi hal itu belum berbanding lurus dengan kualitas hasil perbaikan dan juga waktu yang diperlukan untuk perbaikan.
Bagi konsumen, molornya waktu perbaikan dan kualitas hasil perbaikan yang diragukan mempengaruhi rencana operasi yang telah ditetapkan. Misalnya pesawat x yang dijadwalkan dua bulan lagi akan selesai menjalani perbaikan, sepulangnya ke pangkalan akan digunakan untuk melaksanakan operasi y yang digelar setelah masa perbaikan selesai. Akan tetapi karena ketidaktepatan waktu dari pabrikan, mempengaruhi pula rencana operasi yang akan dilaksanakan, khususnya menyangkut unsur apa yang akan dipakai.
Itu adalah segelintir tantangan di depan mata yang harus mampu dijawab oleh industri pertahanan dalam negeri. Bila industri tersebut tidak melakukan pembenahan, bukan tidak mungkin konsumen nasional akan kembali melirik produk asing yang dinilai lebih kompetitif dari segi harga dan kualitas, termasuk di dalamnya layanan purna jual.

05 Januari 2010

Menelisik Bantuan Amerika Serikat

All hands,
Dalam bidang pertahanan, tidak sedikit bantuan yang telah diberikan oleh Amerika Serikat kepada Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bantuan tersebut memang benar-benar bermanfaat bagi Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan itu, harus dilihat terlebih dahulu daftar-daftar bantuan yang telah diberikan. Sulit untuk melakukan pukul rata bahwa bantuan dari Uwak Sam bermanfaat atau sebaliknya tidak bermanfaat bagi Indonesia.
Ada jenis bantuan tertentu dari Washington kepada Jakarta yang lebih banyak merugikan Indonesia daripada sebaliknya. Sudah pasti menjadi pertanyaan mengapa Indonesia menerima bantuan itu? Tidak sulit untuk menjawabnya, yakni Indonesia tidak tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan olehnya. Sehingga ketika Amerika Serikat bilang bantuan x, Indonesia langsung mengangguk setuju.
Perlu diketahui bahwa pemberian bantuan militer oleh Amerika Serikat kepada Indonesia berangkat dari pikiran yaitu apa yang dibutuhkan oleh Amerika Serikat dari Indonesia. Bukan apa yang dibutuhkan oleh Indonesia dari Amerika Serikat. Tidak heran bila bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat, khususnya berbentuk material peralatan, tidak akan berusia lama dalam penggunaannya di Indonesia.
Sebagai contoh, kalau Paman Sam memerlukan informasi tentang domain maritim dari Indonesia, maka bantuan yang diberikan olehnya akan terkait dengan hal tersebut. Indonesia sebenarnya bukan tidak butuh bantuan itu, namun seringkali bantuan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan dan atau requirement dari Indonesia sendiri.
Belajar dari situ, ke depan sebaiknya Indonesia dapat mengindentifikasi apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam kerjasama dengan Amerika Serikat.

04 Januari 2010

Prioritas Pada Pangkalan Angkatan Laut Di Wilayah Perbatasan

All hands,
Dilihat dari aspek lokasi penyebaran, terdapat sejumlah pangkalan Angkatan Laut negeri ini yang letaknya berbatasan langsung dengan negara-negara lain. Kondisi demikian mendeskripsikan bahwa pangkalan-pangkalan tersebut bernilai lebih strategis dibandingkan dengan kebanyakan pangkalan yang tidak langsung berbatasan dengan negara lain di sekitar Indonesia. Dengan nilai strategis yang disandang, sudah sepatutnya bila pangkalan Angkatan Laut yang berada di wilayah perbatasan mendapatkan prioritas lebih dibandingkan pangkalan lainnya.
Prioritas antara lain dari aspek personel, operasi, logistik dan lain sebagainya. Tentang aspek personel, sebaiknya personel yang ditempatkan di pangkalan tersebut mempunyai kemampuan yang tidak diragukan. Baik dalam soal diplomasi dengan pihak Angkatan Laut negara yang berbatasan, penguasaan bahasa asing maupun penguasaan tentang seluk beluk operasi di laut.
Aspek operasi antara lain menyangkut ketersediaan sarana operasi seperti kapal patroli dan pendukung. Masalah kapal patroli selama ini masih menjadi salah satu problem di berbagai pangkalan Angkatan Laut, termasuk di pangkalan-pangkalan yang berada di wilayah perbatasan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa luasan daerah tanggung jawab pangkalan dengan ketersediaan kapal patroli masih tidak berbanding lurus.
Soal logistik terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendukung operasi. Intinya adalah terpenuhinya 4R oleh pangkalan guna mendukung operasi, baik oleh unsur kapal patroli yang berasal dari Armada RI maupun dari pangkalan setempat. Selama ini operasi yang digelar tergantung pada pagu bahan bakar yang disediakan oleh pemerintah.
Masalah lainnya adalah intelijen. Unsur intelijen dituntut meningkatkan kemampuan deteksinya terhadap situasi wilayah tanggung jawabnya, baik melalui humint maupun peralatan lainnya seperti radar pengamatan maritim. Keberhasilan intelijen mendapatkan informasi yang akurat akan menentukan keberhasilan operasi, apalagi pada wilayah perbatasan dengan negara lain.

03 Januari 2010

Evaluasi Terhadap Eyes In The Sky

All hands,
Guna menghadapi ancaman terhadap perompakan dan pembajakan di Selat Malaka, dua negara pantai perairan itu dan Singapura sebagai pihak lain yang berkepentingan menggelar Eyes In The Sky untuk mendukung Malsindo Coorpat. Kegiatan itu telah berlansung selama beberapa tahun terakhir. Seiring dengan terus berjalannya waktu, terdapat indikasi bahwa ada pihak tertentu yang terlibat kegiatan patroli pengamatan maritim semangat partisipasinya mulai menurun. Indikatornya bisa dilihat dari partisipasi pihak tertentu yang dimaksud dalam Eyes In The Sky.
Bertolak dari kondisi itu, sebaiknya Eyes In The Sky dievaluasi secara menyeluruh. Yang dievaluasi bukan semata soal pengaruh operasi ini terhadap tingkat perompakan dan pembajakan di Selat Malaka, tetapi meliputi pula mengapa semangat partisipasi pihak tertentu menurun dibandingkan sebelumnya. Hal yang terakhir ini penting untuk dievaluasi, sebab tidak adil bila operasi ini digelar demi kepentingan hidup mati negara tertentu saja.
Dalam konteks Indonesia, perlu diatur pula rotasi antara Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk jadwal onboard di pesawat patroli maritim dua negara lainnya. Sangat tidak tepat bila kegiatan onboard di pesawat patroli maritim dua negara lainnya dalam Eyes In The Sky didominasi oleh pihak tertentu, sementara ketika pihak lain onboard di pesawat udara milik militer Indonesia, pesawat yang digunakan senantiasa adalah pesawat udara milik kekuatan laut.
Eyes In The Sky digelar demi keamanan bersama, sebab Indonesia dan dua negara lainnya mempunyai ketergantungan keamanan satu sama lain. Ketergantungan itu hendaknya saling menguntungkan satu sama lain, bukan satu pihak terkesan bekerja keras sementara yang menikmati hasilnya pihak lain. Ketika pihak lain itu kini terkesan kurang bersemangat lagi mengikuti Eyes In The Sky, maka perlu dipertanyakan apa alasannya? Dua negara lainnya yang aktif dalam Eyes In The Sky bukanlah bawahan negara yang tidak antusias lagi itu.

02 Januari 2010

Kepentingan Nasional Indonesia Di Somalia Terancam

All hands,
Kapal tanker MV Pramoni bertonase 20.000 DWT berbendera Singapura baru saja dibajak oleh para pembajak Somalia di perairan Teluk Aden. Kapal dengan tujuan Kandla, India tersebut diawaki oleh 24 ABK dari berbagai kebangsaan dan 17 di antaranya adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, meskipun kapal itu bukan berbendera Merah Putih melainkan merah putih plus bulan sabit dan bintang, ada kepentingan nasional Indonesia yang dipertaruhkan dengan kasus pembajakan tersebut.
Kepentingan nasional itu adalah melindungi warga negara Indonesia. Meskipun mereka bukan tokoh publik, penyanderaan mereka hendaknya menjadi perhatian khusus pemerintah. Jangan seperti kasus beberapa tahun lalu, ketika “hanya” dua wartawan sebuah stasiun televisi Indonesia diculik di Irak, seluruh negeri kelimpungan. Bahkan pemimpin negeri ini harus membuat suatu pernyataan pers yang kemudian ditayangkan di sebuah televisi internasional berbahasa Arab “hanya’ untuk dua orang tersebut.
Ada kekhawatiran kuat, meskipun kini yang disandera jumlahnya 17 orang warga Indonesia, namun karena mereka bukan siapa-siapa di Republik ini, kasus mereka tidak akan merepotkan siapapun. Kecuali keluarga mereka sendiri serta orang-orang yang mereka cintai. Atau paling jauh perusahaan yang mempekerjakan mereka. Titik!!!
Kalau berbicara tentang penyanderaan warga Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing, ada preseden buruk beberapa tahun lalu. Ketika sekitar 5 warga negara Indonesia disandera di sana beberapa tahun lalu, penyelesaiannya diserahkan kepada perusahaan yang mempekerjakan mereka. Pihak berwenang di Indonesia, terkesan hanya sibuk di awal-awal saja. Membutuhkan waktu sekitar 1 tahun untuk pembebasan mereka dan kalau mau jujur, kontribusi pemerintah dalam pembebasan mereka sangat sedikit.
Konstitusi republik ini mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk antara lain melindungi segenap warga negara Indonesia. Perlindungan itu bukan saja di wilayah yurisdiksi, tetapi di manapun mereka berada. Artinya, pada soal ini tidak ada beda antara konstitusi Republik Indonesia dengan Amerika Serikat.
Yang berbeda adalah bagaimana cara melindunginya. Ketika satu orang warga Amerika Serikat disandera di perairan Somalia tahun lalu, Presiden Amerika Serikat langsung menurunkan pasukan khusus U.S. Navy Seals untuk membebaskan warga itu. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk operasi tersebut, berapa penyandera yang harus mati demi membebaskan sang warga tersebut bukan menjadi sesuatu yang diperhitungkan. Tujuan yang harus dicapai adalah membebaskan warga Amerika Serikat itu dengan cara apapun. Titik!!!
Dengan kasus yang kini terjadi di Somalia, hendaknya masalah ini tidak lagi dipandang sebelah mata. Ada ribuan warga negara Indonesia yang bekerja di berbagai kapal berbendera asing. Dan tidak sedikit dari kapal-kapal itu yang dalam rute pelayarannya melalui perairan Somalia dan sekitarnya. Hal itu menandakan bahwa potensi terus berulangnya kasus penyanderaan warga negara Indonesia oleh para perompak di Somalia cukup besar.
Kondisi itu berimplikasi pada mendesaknya perubahan pendekatan dalam penanganan masalah penyanderaan di Somalia. Indonesia tidak dapat lagi menerapkan cara-cara sekarang yakni mengedepankan instrumen diplomasi saja. Tentu kita sudah paham seberapa “sakti” kinerja instrumen diplomasi Indonesia dalam soal penyanderaan di Somalia.
Harus dikedepankan pula instrumen lainnya, yaitu instrumen militer. Ketika menyentuh instrumen militer, pilihan tunggal adalah Angkatan Laut. Singkatnya, pemerintah harus mempertimbangkan menyebarkan kapal perang Indonesia ke perairan Somalia. Tujuan penyebaran itu jelas, yaitu menjaga kepentingan nasional Indonesia dan sekaligus berpartisipasi menjaga stabilitas keamanan maritim internasional.
Sudah pasti ketika ide ini muncul, ada pihak-pihak yang langsung bertanya soal biaya operasional Angkatan Laut. Soal biaya sebenarnya bisa diatur, asalkan ada kemauan politik. Indonesia punya pengalaman menyebarkan kapal perang ke Lebanon dan berapa biaya operasional yang dikeluarkan selama enam bulan di perairan Lebanon dapat dijadikan referensi untuk menghitung biaya. Biaya adalah konsekuensi dari suatu kemauan politik. Pertanyaannya, adakah kemauan politik pemerintah Indonesia untuk mengubah pendekatan dalam menghadapi pembajakan di perairan Somalia?

01 Januari 2010

Angkatan Laut Dan Perdagangan Bebas

All hands,
Apa hubungan antara Angkatan Laut dengan perdagangan bebas? Yang utama dan pertama harus dipahami adalah Angkatan Laut maupun perdagangan berada dalam bingkai yang sama kepentingan nasional. Bingkai kepentingan nasional tersebut kemudian diturunkan ke dalam bingkai yang lebih rinci, yaitu bingkai keamanan nasional. Dalam bingkai keamanan nasional, Angkatan Laut adalah (salah satu) representasi dari instrumen militer, sementara perdagangan merupakan perwakilan dari instrumen ekonomi.
Penting untuk diinsyafi bahwa keamanan nasional adalah fungsi dari keterbukaan, efisiensi dan daya kompetensi ekonomi nasional di dalam dunia internasional. Tidak dapat dinafikan bahwa keamanan nasional memang selalu terkait fungsi kekuatan militer dan sumber daya nasional yang dicurahkan pada keamanan nasional. Kedua hal tersebut tidak keliru, namun juga harus dilihat dari perspektif yang lebih luas dalam era globalisasi saat ini.
Keamanan nasional tidak dapat dilepaskan dari pendapatan negara di bidang ekonomi, baik dari pajak maupun cukai. Dana dari dua sumber tersebut merupakan sumber investasi pemerintah di bidang keamanan nasional, termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Pemahaman soal investasi bidang pertahanan harus diketahui dan dipahami oleh pihak-pihak di luar lingkungan militer, sebab selama ini di Indonesia ada pendapat bahwa investasi di bidang tersebut seolah-olah sia-sia. Sebenarnya investasi itu tidak sia-sia kalau dipandang dari perspektif bahwa militer, termasuk Angkatan Laut di dalamnya, keberhasilan kinerjanya lebih banyak tidak bisa dihitung dengan nilai rupiah atau dollar ataupun mata uang lainnya.
Dalam era globalisasi, tidak mungkin Indonesia mengikuti jejak Korea Utara atau Birma alias Myanmar yaitu menutup diri alias mengasingkan diri dari sistem global. Termasuk pula di bidang ekonomi, yang mana interdependensi antar bangsa sangat tinggi. Terkait dengan perdagangan bebas, masalah bagi Indonesia adalah rendahnya daya kompetensi produk Indonesia di pasar lokal dan internasional. Rendahnya daya kompetensi itu tidak lepas dari kontribusi pemerintah sendiri.
Akibatnya, banyak pihak berpendapat bahwa dalam era perdagangan bebas Indonesia akan lebih banyak sebagai eksportir barang mentah. Setelah diolah di negara importer, komoditas itu akan kembali dilepas ke pasar Indonesia dengan harga yang lebih mahal karena telah ada nilai tambah. Artinya, kemakmuran Indonesia terancam oleh perdagangan bebas karena industri nasional yang mempekerjakan jutaan orang terancam gulung tikar.
Selain itu, perdagangan bebas dipastikan akan menurunkan pendapatan pemerintah dari cukai. Padahal pendapatan itu merupakan salah satu sumber investasi bagi Angkatan Laut negeri ini. Dari sini jelas ada korelasi erat antara Angkatan Laut dengan perdagangan bebas.
Dikaitkan dengan investasi bagi pembangunan kekuatan Angkatan Laut, patut dipertanyakan sejak kini apa dampak dari kebijakan perdagangan bebas tersebut. Apakah program pembangunan kekuatan Angkatan Laut yang telah disusun untuk tiga Renstra dalam bingkai minimum essential force tidak akan terpengaruh? Kalau terpengaruh, seberapa signifikan pengaruhnya?