31 Juli 2009

Kemampuan Mencegah Konflik Angkatan Laut

All hands,
Dalam era pasca Perang Dingin, kekuatan suatu Angkatan Laut tidak semata dinilai dari sistem senjatanya. Lebih dari itu, kekuatan Angkatan Laut salah satunya dinilai dari kebisaannya untuk mencegah konflik. Kebisaan untuk mencegah konflik dilaksanakan melalui diplomasi Angkatan Laut guna mendukung kebijakan politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Melalui diplomasi Angkatan Laut menggunakan kapal perang, suatu Angkatan Laut mengirimkan pesan diplomasi dan sekaligus kemampuan penangkalan kepada pihak lain yang dituju.
Dari sini dapat terbaca bahwa atmosfir keamanan saat ini dan ke depan mengutamakan pencegahan konflik, bukan mengutamakan perang. Sehingga di Amerika Serikat kekuatannya lautnya menganut frase preventing the war is as important as winning the war. Kata kuncinya adalah kecenderungan masa kini yaitu Angkatan Laut diarahkan untuk mencegah konflik. Namun apabila konflik muncul dan tidak bisa dicegah oleh Angkatan Laut, maka tugas berikutnya Angkatan Laut adalah memenangkan konflik tersebut sebagaimana digariskan oleh tujuan politik.
Berangkat dari situ, sangat jelas bahwa dalam kasus di Laut Sulawesi kekuatan laut Negeri Tukang Klaim tidak memahami perkembangan terbaru soal ke-Angkatan Laut-an. Kapal perang Negeri Tukang Klaim ---atas perintah para petinggi politiknya di semenanjung--- selalu memprovokasi AL kita sehingga menjadi konflik terbuka. Kehadiran kekuatan laut Negeri Tukang Klaim di Laut Sulawesi adalah untuk memunculkan konflik terbuka, bukan mencegah konflik.
Lepas dari kasus di Laut Sulawesi, kini sebaiknya menjadi pemahaman bersama bahwa arus utama dalam pemikiran ke-Angkatan Laut-an masa kini adalah mendayagunakan Angkatan Laut sebagai pencegah konflik. Tentu perlu dikaji dan dirumuskan lebih jauh bagaimana kontribusi AL kita guna mencegah konflik di kawasan, khususnya pada domain maritim.

30 Juli 2009

Minimum Essential Force Dan Pemahaman Terhadap Strategi

All hands,
Minimum essential force adalah produk politik pemerintah yang wajib diterjemahkan oleh militer negeri ini. Hal ini hendaknya kita pahami bersama. Karena merupakan produk politik, maka akan sangat mungkin akan ditemukan beragam kekurangan apabila ditinjau dari perspektif militer secara profesional. Artinya assessment profesional militer belum tentu berbanding lurus dengan kehendak politik pemerintah.
Suka atau tidak suka, strategi pertahanan negeri ini masih menganut Defense in Depth. Dalam strategi itu, sudah jelas kekuatan mana yang berada digaris depan dan kekuatan mana yang harus rela posisinya di belakang. Bagi AL kita, sebagian dari kemampuan yang dituntut dalam strategi itu adalah kemampuan beroperasi di laut teritorial hingga ZEE. Artinya dituntut kehadiran kapal perang dan pesawat udara yang fungsi asasinya mampu untuk beroperasi di wilayah itu.
Kebijakan minimum essential force yang merupakan produk politik tersebut didasari oleh keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, suka atau tidak suka kekuatan militer negeri ini dalam minimum essential force harus mengandalkan pada sebagian besar sistem senjata yang teknologinya sudah satu atau dua generasi dari teknologi termutakhir. Dari situ akan terlihat benang merah antara keputusan politik di satu sisi dengan kondisi nyata kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh militer Indonesia, termasuk AL kita di sisi lain.
Benang merahnya yaitu produk politik tidak sinkron dengan strategi pertahanan. Produk politik menekankan pada keterbatasan anggaran, sehingga harus “puas” dengan kondisi sistem senjata saat ini. Sementara strategi pertahanan menuntut sistem senjata yang dapat melaksanakan fungsi asasinya. Fakta menunjukkan bahwa sistem senjata yang ada saat ini sebagian sudah tidak dapat lagi melaksanakan fungsi asasinya secara maksimal.
Meskipun tahu akan hal tersebut, namun keputusan politik tetap menekankan pada keterbatasan anggaran. Artinya pengadaan sistem senjata baru dibatasi sebisa mungkin tanpa batasan waktu yang jelas. Mungkin saja batasan waktunya adalah sampai adanya pemerintahan baru setelah pemilu 2014.
Dari sini tergambar jelas bahwa dalam perumusan kebijakan minimum essential force nampaknya kurang atau malah sama sekali tidak memperhatikan strategi pertahanan yang dianut oleh negeri ini. Sangat keliru apabila strategi pertahanan Indonesia mengandalkan pada nirmiliter, sehingga kekuatan militer Indonesia dirancang cukup untuk minimum essential force yang mayoritas bertumpu pada sistem senjata lama. Harap diingat bahwa untuk memprediksikan lingkungan keamanan lima tahun ke depan bukan suatu hal yang mudah, sebab kecenderungan yang ada saat ini tiba-tiba bisa berbalik 180 derajat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sejarah telah berulang kali mengajarkan hal tersebut!!!

29 Juli 2009

Apa Setelah Minimum Essential Force?

All hands,
Susunan kekuatan dalam minimum essential force AL kita yang dirancang harus diakui sebagian besar bertumpu pada sistem senjata yang posisinya satu atau dua generasi di bawah teknologi generasi termutakhir. Tumpuan pada sistem senjata demikian merupakan sebuah keterpaksaan karena tidak ada lagi pilihan lain. Sebab tidak ada perbandingan lurus antara pengadaan sistem senjata termutakhir dengan makin bertambahnya usia sistem senjata lama.
Pilihan yang terpaksa bertumpu pada sistem senjata dengan teknologi generasi lama tentu saja mempunyai konsekuensi. Semisal biaya pemeliharaan dan operasional yang mahal, sulit untuk mampu menandingi perkembangan sistem senjata Angkatan Laut negara-negara lain di kawasan dan berpengaruh pula pada pembinaan personel, khususnya personel pada bidang operasi. Dan tentu saja kemampuan penangkalannya jauh dari situasi yang diharapkan.
Lepas dari semua itu, pertanyaannya kini apa langkah selanjutnya setelah minimum essential force ditetapkan? Sepertinya diketahui, pada susunan kekuatan dalam minimum essential force terdapat jumlah kekuatan yang dibutuhkan. Singkatnya, jumlah KRI, pesawat udara dan berbagai peralatan tempur Korps Marinir.
Jumlah itu bisa tetap di atas kertas, akan tetapi realita di lapangan dapat dipastikan bahwa jumlah itu akan menyusut seiring berjalannya waktu. Sebab ada sistem senjata yang suka atau tidak suka harus dihapus, kecuali bila kita masih ingin dibebani dengan biaya pemeliharaan yang sudah tidak ekonomis.
Kembali ke pertanyaan tadi, intinya yaitu langkah apa yang dilakukan untuk mempertahankan jumlah kekuatan dalam minimum essential force? Pihak yang paling berkompeten menjawab pertanyaan ini adalah Departemen Pertahanan, bukan AL kita. Sebab kebijakan pertahanan, termasuk masalah anggaran dan pengadaan sistem senjata merupakan wewenang dan tanggung jawab departemen itu.
Secara logika, untuk mempertahankan susunan kekuatan dalam minimum essential force harus ada pengadaan sistem senjata baru guna menggantikan sistem senjata yang saat ini memperkuat konsep tersebut. Namun pertimbangan berdasarkan logika ini seringkali tidak sejalan dengan logika yang berkembang pada pengambil keputusan di bidang pertahanan.

28 Juli 2009

Mengukur Kemampuan Proyeksi Kekuatan Angkatan Laut

All hands,
Untuk mengukur kemampuan Angkatan Laut suatu negara apakah mampu melaksanakan proyeksi kekuatan sebenarnya tidak sulit. Terdapat beberapa indikator untuk mengukurnya, salah satu di antaranya adalah kemampuan melaksanakan underway replenishment alias replenishment at sea. Kemampuan underway replenishment suatu Angkatan Laut bisa dilihat dari kekuatan armada kapal bantunya. Armada kapal bantu bisa berupa salah satu satuan dalam armada negara tersebut, bisa pula berdiri sendiri di luar armada seperti halnya U.S. Military Sealift Command.
Dalam armada kapal bantu, bisa dilihat dimensi, tonase, jumlah dan kemampuan kapal-kapal yang dipunyai oleh suatu Angkatan Laut. Bisa dimensinya besar, tonasenya juga besar, berarti kapal itu secara teknis mampu untuk berlayar jauh. Apalagi bila jumlahnya banyak, dari situ bisa dibaca bahwa Angkatan Laut tersebut secara teknis mempunyai (potensi) kemampuan proyeksi kekuatan.
Sedangkan bila kapal bantu yang dimiliki dimensinya sedang atau kecil, tonasenya juga sedang atau kecil, menandakan bahwa Angkatan Laut yang mempunyai armada kapal bantu tersebut kemampuan proyeksi kekuatannya terbatas. Hal ini lepas dari berapa banyak jumlah kapal bantu berkemampuan underway replenishment yang dipunyai.
Indikator ini sangat bisa digunakan untuk mengukur kemampuan proyeksi kekuatan Angkatan Laut di dunia, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Dengan batasan bahwa yang diukur adalah Angkatan Laut suatu negara, bukan Angkatan Laut koalisi negara. Sebab kalau sudah menyentuh pada koalisi, bisa saja suatu negara yang sebenarnya kemampuan proyeksinya terbatas menjadi besar karena dalam hal underway replenishment mengandalkan pada kapal bantu dari Angkatan Laut negara mitra koalisinya.

27 Juli 2009

Kunjungan Muhibah Kapal Perang

All hands,
Kunjungan muhibah kapal perang ke luar negeri merupakan suatu praktek yang lazim dalam Angkatan Laut di berbagai negara. Maksud kunjungan itu selain untuk CBM, juga ditujukan untuk memamerkan otot suatu Angkatan Laut beserta teknologi yang diadopsi dan melatih keterampilan awak kapal untuk melaksanakan operasi jarak jauh.
Praktek ini sebenarnya dapat pula dijadikan salah satu parameter untuk mengukur kemampuan operasi Angkatan Laut suatu negara. Bila intensitas kunjungan muhibah dalam satu periode tertentu, entah satu tahun atau empat tahun misalnya rendah, maka dapat diukur kemampuan Angkatan Laut itu. Begitu pula kalau intensitas muhibahnya tinggi, tentu dapat ditakar kapabilitas Angkatan Laut tersebut melaksanakan operasi jarak jauh.
Intensitas kunjungan dipengaruhi pula oleh aspek geografis. Berlayar ke negara lain di wilayah yang sama tentu akan berbeda nilainya bila berlayar ke luar kawasan, seperti ke Eropa atau Amerika. Intensitas kunjungan ke wilayah yang jauh tentu saja berbeda dengan intensitas serupa ke negara-negara yang masih satu kawasan.
Kemampuan melaksanakan muhibah secara rutin bagi suatu Angkatan Laut menunjukkan pula aspek dukungan logistiknya dalam arti luas. Sebab pelayaran jarak jauh membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dari situ tercermin pula kemampuan suatu negara mendukung Angkatan Lautnya. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

26 Juli 2009

Menakar Gagasan Kerjasama Industri Pertahanan ASEAN

All hands,
Kunjungan Menteri Pertahanan Negeri Tukang Klaim ke Jakarta beberapa waktu lalu selain untuk membahas tentang sengketa di Laut Sulawesi, juga dimanfaatkan untuk menggolkan ide negeri itu untuk membentuk Dewan Industri Pertahanan Asia Tenggara. Dalam Dewan itu, Negeri Tukang Klaim akan menempatkan dirinya sebagai hub dari industri-industri pertahanan di kawasan Asia Tenggara. Dengan catatan, Singapura dikecualikan dari keanggotaan dewan itu, sebab sudah pasti Singapura tidak mau berada di bawah bayang-bayang Negeri Tukang Klaim.
Melalui dewan itu, kemampuan industri pertahanan di kawasan ini hendak diintegrasikan oleh Negeri Tukang Klaim. Alasannya demi efisiensi, yaitu pengurangan biaya pengembangan. Gagasan integrasi industri pertahanan oleh Negeri Tukang Klaim hendaknya dipertimbangkan dengan betul-betul oleh Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa harus begitu.
Pertama, reduksi kemampuan industri pertahanan Indonesia. Industri pertahanan Indonesia tengah mengalami suatu masa menuju era yang lebih baik saat ini walaupun dukungan dari pemerintah masih setengah hati. Bila proses yang dialami oleh industri pertahanan Indonesia berjalan mulus, harapan Indonesia untuk mengurangi minimal separuh ketergantungan dari pihak asing dapat dipenuhi pada sistem senjata tertentu. Apabila Indonesia menerima atau menyetujui gagasan Negeri Tukang Klaim, bukan tidak mungkin kemampuan industri pertahanan Indonesia tidak akan mencapai kondisi yang diharapkan, karena direduksi sedemikian rupa oleh Negeri Tukang Klaim lewat mekanisme ASEAN.
Kedua, ketergantungan baru Indonesia terhadap Negeri Tukang Klaim. Bila gagasan itu diterima, dikhawatirkan akan ada ketergantungan baru Indonesia pada Negeri Tukang Klaim yang tentu saja tidak menguntungkan bagi kepentingan nasional. Harap diingat bahwa Negeri Tukang Klaim adalah musuh kita dalam sengketa di Laut Sulawesi. Hanya bangsa yang bodoh yang akan menyerahkan nasib sistem senjata militernya kepada pihak musuh.
Ketiga, ASEAN bukan Uni Eropa. Negara-negara Uni Eropa mempunyai industri pertahanan bersama yang bernama EADS. EADS bisa eksis, walaupun di dalamnya tetap ada friksi di antara negara-negara pemegang saham utama, karena di Eropa integrasinya betul-betul sudah mapan dan lewat sejarah ratusan tahun. Sementara di Asia Tenggara, integrasi ASEAN hanyalah integrasi semu belaka. Tentu kita sudah paham bahwa hampir semua negara ASEAN mempunyai sengketa dengan negara ASEAN lainnya, belum lagi ada negara ASEAN yang menikam negara ASEAN lainnya dari belakang menggunakan FPDA.
Keempat, mengukuhkan peran Negeri Tukang Klaim di ASEAN. Menerima gagasan Dewan Industri Pertahanan Asia Tenggara dengan Negeri Tukang Klaim sama saja dengan mengukuhkan peran utama negeri itu dalam bidang industri pertahanan di kawasan ini. Dengan demikian, produk industri pertahanan Indonesia seperti FPB-57 dan lainnya dari PT PAL, CN-235 dan lainnya asal PT DI, industri roket dari Lapan dan lainnya sebagainya bukan tidak mungkin akan diklaim sebagai Made In Negeri Tukang Klaim. Kita bangsa Indonesia jangan pernah lupa dengan karakter culas bangsa yang satu itu dan karakter tersebut akan terus terbawa selama Negeri Tukang Klaim eksis.

25 Juli 2009

Hubungan Industri Maritim Dengan Angkatan Laut

All hands,
Peran industri maritim, khususnya industri perkapalan sangat vital dalam menunjang eksistensi suatu Angkatan Laut. Sebelum industri tersebut memenuhi kebutuhan Angkatan Laut asing akan kapal perang, harus terlebih dahulu mendukung keperluan Angkatan Lautnya sendiri dahulu. “Hukum” ini berlaku bagi semua negara, sebab mustahil Angkatan Laut suatu negara berjaya tanpa ditopang oleh industri perkapalan negeri itu.
Di Indonesia industri maritim, termasuk perkapalan sepertinya tidak dipandang oleh pemerintah sendiri. Lihat saja PT PAL yang sekarang kondisinya sudah memprihatinkan dari segi keuangan. Tanpa suntikan dana dari pemerintah, industri itu mungkin dalam beberapa waktu ke depan tidak akan mampu bertahan.
Sebenarnya kemampuan teknis perusahaan itu tidak jauh berbeda dengan industri lain di kawasan. Namun memang belum semua aspek terkait rancang bangun kapal perang mereka kuasai. Sebagai bukti adalah keterlambatan jadwal pengerjaan kapal perang jenis LPD pesanan AL kita. Hal itu antara lain konon karena bahan baku kapal itu harus didatangkan dari Negeri Ginseng dan terjadi ketidaksesuaian pendapat yang berakibat pada pasokan bahan baku.
Pada sisi lain, eksistensi industri perkapalan masih sering kurang sinergi dengan kebutuhan AL kita. Misalnya ketika kapal AL kita memerlukan perbaikan di industri perkapalan dalam negeri, perlakuan yang diterima disamakan dengan entitas swasta. Secara vulgar boleh dibilang pihak industri perkapalan takut AL kita tidak bayar fasilitas jasa mereka. Itulah kondisi yang ada, termasuk pada BUMN industri perkapalan.
Padahal kalau sama-sama milik negara, semestinya lebih mudah. Toh ini urusannya anggaran pemeliharaan AL kita yang dari APBN masuk ke kantong BUMN dan kemudian tiap tahun BUMN akan setor dividen ke pemerintah yang nantinya akan masuk ke APBN tahun berikutnya lagi. Begitulah siklus perputaran uangnya bila digambarkan secara sederhana. Kasus ini sama persis dengan masalah antara TNI vs Pertamina soal pembayaran utang BBM.
Dari situ masalah utamanya adalah pengaturan dari pemerintah. Semestinya BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mencari uang memberikan perlakuan yang berbeda kepada AL kita. Sebab AL kita juga melaksanakan tugas pemerintah dan negara, yaitu menjaga kepentingan nasional pada domain maritim.
Artinya, pemerintah sudah seharusnya mendukung penuh pengembangan industri perkapalan dalam negeri, sehingga betul-betul bisa memenuhi kebutuhan AL kita. Dan mengurangi tingkat ketergantungan AL kita yang masih tinggi terhadap teknologi dan jasa industri perkapalan asing.

24 Juli 2009

Pilar Kekuatan Maritim

All hands,
Angkatan Laut Rusia kini tengah menghadapi kemunduran yang serius, sebab industri perkapalan dalam negeri tidak mampu mendukung kebutuhan kapal perangnya. Baik secara kuantitas maupun kualitas sesuai kebutuhan Angkatan Laut. Kondisi tersebut sangat merisaukan Angkatan Laut Rusia dan juga pemerintah Rusia, sebab hal itu bisa memaksa mereka untuk memesan kapal perang dari galangan asing.
Menjadi suatu hal yang tidak terbayangkan betapa Angkatan Laut yang di masa lalu berjaya di lautan dunia kini justru hampir tidak berdaya dalam soal pengadaan kapal perang baru. Harus diakui bahwa pembangunan Angkatan Laut Uni Soviet di era Fleet Admiral of the Soviet Union Sergey G. Gorshkov berjalan dengan sangat cepat, padahal Rusia yang merupakan bagian terbesar dari Uni Soviet tidak mempunyai tradisi maritim. Bangsa itu adalah bangsa kontinental, sehingga peran Angkatan Laut di masa sebelum Gorshkov adalah mendukung manuver Angkatan Darat.
Ketidakmampuan industri perkapalan dalam negeri Rusia mendukung kebutuhan Angkatan Lautnya merupakan dampak dari runtuhnya Uni Soviet. Keruntuhan itu disertai dengan gejolak ekonomi yang membuat pembangunan kekuatan laut Rusia mengalami kemunduran. Tidak ada pesanan dari Angkatan Laut Rusia terhadap galangan kapal mereka, sehingga industri perkapalan mati suri. Tidak adanya pesanan berarti tidak ada pemasukan dana bagi pelaksanaan R&D pada galangan-galangan itu.
Kemunduran lainnya adalah masuknya beberapa galangan kapal penting, seperti galangan kapal yang mampu membuat kapal induk ke negara-negara pecahan Uni Soviet. Galangan kapal yang di masa lalu membuat beberapa kapal induk Uni Soviet/Rusia kini berada di wilayah Ukraina, negeri yang hubungannya sekarang tidak mulus dengan Moskow.
Pesan dari kasus ini adalah industri perkapalan dalam negeri merupakan salah satu pilar kekuatan maritim suatu bangsa. Ketidakmampuan industri perkapalan dalam negeri mendukung Angkatan Laut sama artinya dengan rapuhnya pilar kekuatan maritim suatu bangsa. Rusia yang pada dasarnya adalah negara kontinental sangat sadar akan hal itu. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang memproklamasikan diri sebagai negara kepulauan, mengapa sepertinya pemerintah tenang-tenang saja dengan tingginya ketergantungan AL kita terhadap galangan kapal asing dalam memenuhi kebutuhan kapal perang?

23 Juli 2009

Frase To Fight And Win Belum Dikenal Di Indonesia

All hands,
Frase to fight and win bukan suatu yang aneh lagi di kalangan militer dan pertahanan, termasuk Angkatan Laut. Meskipun frase ini belum pernah saya temukan dalam dokumen-dokumen kebijakan pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, setidaknya sering ditemukan apabila kita mempelajari dokumen-dokumen kebijakan dan operasional pertahanan negara-negara asing. Bagi pihak asing, frase to fight and win mempunyai makna yang sangat mendalam.
To fight and win bukan saja sekedar tertulis dalam dokumen resmi, tetapi juga bisa ditemukan bukti-buktinya pada satuan militer. Yakni pada pembangunan kekuatan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, frase to fight and win bukan sekedar slogan seperti penyakit yang dianut oleh Indonesia saat ini.
Segala daya upaya diarahkan untuk menyiapkan kekuatan militer dan pertahanan agar meraih kemenangan ketika harus bertempur. Jadi bukan sekedar menyiapkan kekuatan militer untuk bertempur, tetapi juga bertempur untuk meraih kemenangan. Artinya kesiapan bertempur adalah satu soal, meraih kemenangan merupakan soal lain.
Militer manapun ---mayoritas--- siap untuk bertempur. Tetapi kondisi siap untuk bertempur bukan secara otomatis siap untuk meraih kemenangan. Itu dua kondisi yang berbeda, bukan suatu hal yang berbanding lurus. Dibutuhkan investasi lebih besar untuk mempunyai kekuatan militer yang disiapkan untuk menang daripada sekedar menyiapkan kekuatan yang siap untuk bertempur.
Pembangunan kekuatan militer dan pertahanan di Indonesia baru sekedar pada menyiapkan kekuatan untuk bertempur, belum mencapai tahap menyiapkan kekuatan untuk meraih kemenangan. Bagaimana untuk meraih kemenangan dalam pertempuran kalau dukungan anggaran pemeliharaan sistem senjata saja masih jauh dari cukup. Belum lagi bila menyentuh pada aspek perangkat lunak seperti doktrin, strategi dan taktik.
Doktrin, strategi dan taktik diuji kebenarannya bila ada perang atau konflik. Dari beberapa konflik yang pernah dihadapi oleh kekuatan militer dan pertahanan negeri ini seperti Aceh, Timor Timur dan Laut Sulawesi, sudah berapa persen dari asumsi-asumsi dalam doktrin, strategi dan taktis yang terbukti kebenarannya? Ketiga konflik itu boleh dikatakan berintensitas rendah sebab belum dapat digolongkan sebagai perang terbuka.
Meskipun intensitas rendah, dapat dipastikan ada hal-hal dalam doktrin, strategi dan taktik yang diuji dalam konflik itu. Cuma masalahnya adalah seberapa jauh kita mengambil lesson learned dari sana. Kemudian seberapa besar kemauan kita untuk mengubah asumsi-asumsi yang terbukti tidak benar dari konflik itu.
Merupakan suatu pendekatan yang keliru bila menempatkan doktrin, strategi dan taktik sebagai harta warisan dari generasi terdahulu yang tidak boleh diutak-atik. Sebab alam tempur yang dialami oleh generasi terdahulu berbeda dengan yang dihadapi generasi saat ini. Generasi terdahulu tidak akrab atau setidaknya belum akrab dengan peperangan elektronika, NCW, information operations dan lain sebagainya. Sementara generasi sekarang harus tahu dan akrab dengan itu semua, karena (bakal) lawan mengeksploitasi cara-cara demikian untuk meraih kemenangan.
Kembali ke frase to fight and win, kekuatan militer dan pertahanan Indonesia belum dibangun menuju ke arah tersebut. Jadi sebenarnya wajar saja bila kita belum pernah menemukan frase itu dalam dokumen-dokumen kebijakan pertahanan negeri ini.

22 Juli 2009

Inisiatif Keamanan Dan Dukungan Politik

All hands,
Dalam percaturan keamanan di Asia Tenggara, Indonesia harus diakui merupakan salah satu negara yang banyak melahirkan inisiatif keamanan. Contohnya adalah ASEAN Security Community yang konsep awalnya digagas oleh Indonesia. Namun harus diakui pula meskipun Indonesia kaya akan inisiatif, namun di sisi lain miskin dukungan politik untuk mewujudkan inisiatif tersebut agar senantiasa berada dalam bingkai kepentingan nasionalnya.
Dukungan politik dimaksud di antaranya adalah soal ketersediaan anggaran guna merealisasikan inisiatif tersebut. Sebagai contoh, dalam ASEAN Security Community terdapat bidang kerjasama di bidang keamanan maritim, khususnya yang melibatkan antar Angkatan Laut. Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia sebenarnya bisa melakukan banyak hal yang bersifat nyata dalam kerjasama di lapangan, asalkan didukung oleh anggaran yang memadai. Sangat terbuka peluang bagi negeri ini untuk melakukan kegiatan latihan keamanan maritim kawasan yang mirip CARAT dan SEACAT yang digagas oleh Amerika Serikat. Syaratnya mudah, yaitu pemerintah menyediakan anggaran rutin yang cukup untuk itu. Namun sayangnya pemahaman para pengambil keputusan di negeri ini belum sampai ke sana.
Bahkan terkesan bahwa Indonesia ingin kembali menduduki posisi primus inter pares secara gratis. Maksudnya, dengan pengorbanan anggaran seminimal mungkin, Indonesia ingin meraih keuntungan sebesar mungkin. Itulah pola pikir yang tidak ingin bersusah payah tetapi ingin hasil sebesar-besarnya, bahkan cenderung ingin makan siang gratis.
Karena menganut pendekatan demikian, jangan menyesal bila negara-negara lain di sekitar Indonesia jauh lebih agresif dalam mewujudkan beragam inisiatif keamanan kawasan, baik dalam bingkai ASEAN maupun tidak. Sebagai contoh, kalau di Singapura adalah acara rutin tahun bertajuk The Shangrila Dialogue, di Brunei Darussalam ada pula kegiatan rutin bertajuk Bridex Conference. Isi kedua kegiatan itu pada dasarnya sama, yaitu membahas isu-isu keamanan kawasan. Sangat disayangkan bahwa Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara dikalahkan oleh negeri-negeri yang jauh lebih kecil di sekitarnya dalam soal inisiatif keamanan.

21 Juli 2009

Kerjasama Dan Kedaulatan

All hands,
Dalam dunia kontemporer, kerjasama keamanan antar negara merupakan hal yang sulit untuk dihindari. Sebab kini muncul interdependensi keamanan antar negara, khususnya pada kawasan yang sama. Begitu pula di kawasan Asia Pasifik yang wilayahnya didominasi oleh wilayah perairan, kerjasama dalam bidang keamanan maritim merupakan suatu hal yang tak terhindarkan.
Namun dalam prakteknya, kerjasama keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik belum berjalan lancar karena beberapa isu, di antaranya adalah soal kedaulatan. Isu kedaulatan merupakan hal yang sensitif bagi beberapa negara, termasuk Indonesia. Memang pada satu sisi, kerjasama antar negara harus berpegang pada prinsip saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah. Namun pada sisi lain, kerjasama antar negara juga menyentuh kata where, bukan sekedar why, what, who, when dan how.
Kata where alias wilayah di mana kerjasama keamanan maritim dilakukan inilah yang menjadi isu sensitif bagi negara-negara tertentu. Misalnya kerjasama di Selat Malaka, yang menjadi isu tarik menarik adalah soal masuknya pihak ketiga atau salah satu negara peserta kerjasama ke wilayah perairan negara pantai lainnya.
Bagi Indonesia, kata where selain terkait dengan isu kedaulatan, juga terkait dengan isu kemampuan untuk mengamankan perairan tersebut. Inilah inti masalah mengapa Indonesia selalu konsisten dengan isu kedaulatan dalam kerjasama keamanan maritim.
Konsistensi Indonesia merupakan hal yang bagus, akan tetapi seharusnya ditindaklanjuti pada bidang yang lain.
Pemerintah seharusnya jangan hanya bersikeras menolak keterlibatan pihak manapun dalam mengamankan perairan Selat Malaka dan perairan lainnya yang tergolong wilayah kedaulatan negeri ini. Sikap itu seharusnya diikuti dengan konsistensi kebijakan memperkuat aparat keamanan maritim Indonesia, khususnya Angkatan Laut. Hanya dengan Angkatan Laut yang kuat maka kita bisa mengamankan perairan yurisdiksi Indonesia yang sekaligus berfungsi sebagai SLOC pihak lain.
Bukan suatu hal yang baik kita berlindung di balik tabir kedaulatan ketika pihak asing bersikeras ingin masuk mengamankan perairan Indonesia, tetapi di sisi lain tidak konsisten dalam meningkatkan kemampuan AL kita. Keinginan pihak asing masuk ke perairan yurisdiksi Indonesia karena persepsi mereka ---yang belum tentu benar--- bahwa kemampuan Indonesia mengamankan perairannya sendiri terbatas. Kalau memang demikian kekurangan Indonesia, kelemahan itulah yang harus dibenahi agar tidak semata lagi mengandalkan mantra kedaulatan. Kedaulatan harus ditegakkan dan di laut sarananya adalah kapal perang.

20 Juli 2009

Penentuan Lokasi Latihan Perang

All hands,
Latihan perang bagi kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut merupakan kegiatan rutin untuk menguji taktik, strategi, sistem senjata, keterampilan personel dan lain sebagainya. Latihan perang seperti Armada Jaya merupakan puncak latihan yang didahului oleh latihan-latihan pada tingkat yang lebih rendah pada berbagai satuan atau Kotama mulai dari L-1 sampai L-4. Selain Armada Jaya, ada pula latihan perang gabungan yang melibatkan unsur AL dengan AU yakni Latgabla. Latihan lainnya adalah Lathanud Perkasa di bawah Kohanudnas yang juga melibatkan unsur-unsur AL, di samping tentunya Latgab TNI yang jauh lebih besar.
Dari semua latihan itu, ada baiknya bila kita perhatikan lokasi di mana latihan dilaksanakan. Penentuan lokasi latihan hendaknya senantiasa memperhatikan kondisi lingkungan keamanan yang terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, bukan memperhatikan “rasa tidak enak” terhadap negara lain. Selama ini terkesan bahwa penentuan lokasi latihan perang berskala besar seringkali sangat mempertimbangkan “rasa tidak enak” terhadap negara lain di sekitar Indonesia.
Sebagai contoh, Latgab TNI 2008 meskipun digelar di perairan Kalimantan Timur namun posisinya masih ratusan mil laut dari wilayah sengketa Laut Sulawesi. Kenapa tidak di dekat wilayah sengketa sekalian? Yang penting adalah adanya pemberitahuan sejak awal kepada militer Negeri Tukang Klaim bahwa Indonesia ingin latihan di perairan sekitar Tarakan-Nunukan.
Indonesia sepertinya terlalu memperhatikan perasaan “tidak enak” terhadap negara lain daripada kepentingan nasionalnya sendiri. Sementara negara-negara lain ketika menggelar latihan perang tidak demikian terhadap Indonesia. Mereka cuma memberitahukan lewat saluran resmi sejak jauh-jauh hari bahwa pada tanggal sekian sampai tanggal sekian kami akan latihan perang di wilayah x.
Bagian dari Latgab TNI 2008 yang “agak berani” cuma latihan di Batam, itu pun kekuatan yang dikerahkan tidak semaksimal di perairan Kalimantan Timur. Mengapa demikian? Jawabannya lagi-lagi “rasa tidak enak”. Itu penyakit psikologis politik yang menjangkiti bukan saja pada domain militer, bahkan pada domain pemerintahan juga.
Penentuan lokasi latihan perang harus didasarkan pada kepentingan nasional Indonesia, bukan memperhatikan perasaan negara di sekitar Indonesia. Kalau kepentingan nasional Indonesia menganggap pentingnya pertahanan di wilayah selatan, kenapa tidak berani menggelar latihan perang mulai dari Selat Lombok terus ke wilayah timur sampai ke Selat Torres. Apakah memperhatikan perasaan Australia selaras dengan kepentingan nasional Indonesia?
Idealnya, penentuan lokasi latihan perang melibatkan aparat pemerintah seperti Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri. Namun kondisi saat ini sepertinya menjadi meragukan apakah keduanya sudah bebas dari penyakit psikologis politik khas Indonesia atau tidak? Ataukah malah jajaran yang lebih atas juga mengidap penyakit yang sama?

19 Juli 2009

Postur Blue Water Navy Negara Berkembang

All hands,
Selama lebih dari 60 tahun, status blue water navy hanya dipunyai oleh negara-negara maju. Selain Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet (di masa lalu) merupakan negara-negara pemilik blue water navy. Namun memasuki dekade pertama abad ke-21, sepertinya kepemilikan postur blue water navy tidak lagi didominasi oleh negara-negara maju, tetapi mulai dipunyai pula oleh negara-negara berkembang.
India tengah melaksanakan terobosan untuk menjadi negara berkembang pertama di dunia yang mempunyai Angkatan Laut berstatus blue water navy. Meskipun saat ini kekuatan laut New Delhi belum berstatus blue water navy sepenuhnya, namun pembangunan kekuatannya tengah bernavigasi ke sana. Menurut perkiraan sekitar 2020-2025 Angkatan Laut India akan mencapai status tersebut.
Kemampuan India untuk mewujudkan blue water navy memang melalui jalan yang panjang. Kemandirian teknologi pertahanan, termasuk teknologi kapal perang negeri itu dirintis sejak 1950-an. Kematangan taktik dan strategi maritim telah diuji lewat beberapa kali perang laut melawan Pakistan. Interoperability-nya dengan Angkatan Laut lain tengah terus dimantapkan dalam 10 tahun terakhir.
Kehadiran Angkatan Laut India di laut semakin meningkat dan kini tidak terbatas di kawasan Samudera India yang merupakan primary area of interest-nya. Kapal perang India telah merambah hingga Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, Laut Filipina, bahkan Samudera Atlantik. Dan kekuatan laut New Delhi telah mampu mengamankan SLOC-nya dari wilayah Asia Barat.
Negara berkembang lain yang berambisi memiliki Angkatan Laut berpostur blue water navy adalah Cina. Berbeda dengan India, masih banyak keraguan soal kemampuan nyata Negeri Tirai Bambu untuk mewujudkan aspirasi blue water navy. Memang betul bahwa teknologi pertahanan Cina terus mengalami kemajuan, tetapi harus diketahui bahwa negeri itu miskin pengalaman taktik dan strategi maritim.
Kemiskinan terjadi pula pada aspek interoperability, bahkan untuk tingkat antar matra dalam militer Cina sekalipun. Begitu pula soal kehadiran di laut, apalagi kemampuan mengendalikan SLOC dari wilayah Asia Barat sampai Laut Cina Timur.
Taktik dan strategi maritim suatu Angkatan Laut akan matang bila kaya pengalaman operasi, termasuk perang. Sebab di situlah sarana terbaik untuk menguji taktik dan strategi yang selama ini dianut. Dari medan itu akan terlihat mana asumsi yang benar selama ini, mana pula asumsi yang salah.
Harus jujur diakui bahwa Cina sangat minim pengalaman soal operasi maritim, khususnya pertempuran laut. Taktik dan strategi maritim yang saat ini mereka anut belum teruji keabsahannya. Dengan bermodal miskin pengalaman itu, nampaknya masih butuh waktu yang lama untuk mewujudkan blue water navy bagi Cina.
Sangat mungkin pada 2020-an negeri itu akan mempunyai kapal induk buatan sendiri. Akan tetapi harus dipahami bahwa memiliki kapal induk tidak otomatis berarti sudah mencapai status blue water navy. Thailand adalah contoh terbaik, yang mana tidak ada pihak di dunia yang menggolongkan kekuatan laut Negara Gajah Putih sebagai blue water navy. Eksistensi kapal induk tidak selalu berbanding lurus dengan status blue water navy.
Aspirasi India mempunyai blue water navy didukung oleh faktor-faktor internal dalam Angkatan Laut. Sebaliknya, faktor-faktor internal dalam Angkatan Laut Cina belum mendukung untuk mewujudkan aspirasi blue water navy. Di situlah yang membedakan antara kekuatan laut India dengan kekuatan laut Cina.

18 Juli 2009

Kesiapan Menghadapi Krisis Dan Perang

All hands,
Kalangan pertahanan dan militer tidak mengenal frase seperti “tidak akan ada perang dalam kurun waktu tertentu”. Frase demikian hanya dikenal oleh para politisi dan diplomat yang memang profesinya “mewujudkan perdamaian”. Sangat keliru bila dalam dokumen resmi kebijakan pertahanan dinyatakan secara lantang frase para politisi dan diplomat tersebut, sebab pertahanan dan militer dirancang untuk menghadapi ketidakpastian (uncertainties) dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
Ketidakpastian tersebut bisa berupa krisis, bahkan dapat pula berwujud perang. Segala upaya dalam pembangunan kekuatan pertahanan dan militer diarahkan untuk menghadapi ketidakpastian, yang mana ketidakpastian itu akan berimplikasi terhadap kepentingan nasional. Masalahnya adalah tidak semua pihak di Indonesia paham akan hal tersebut.
Kalau kita mau berpikir jernih, kekuatan pertahanan dan militer Indonesia tidak siap untuk menghadapi krisis dan perang. Kenapa tidak siap? Sistem senjata yang ada tingkat kesiapannya masih jauh dari kondisi ideal. Misalnya dari seratus lebih kapal perang, berapa banyak yang betul-betul siap?
Kondisi kesiapan sistem senjata sebenarnya cuma ada dua kategori, yakni siap dan tidak siap. Sesungguhnya tidak dikenal siap terbatas, sebab pada dasarnya siap terbatas sama saja dengan tidak siap. Contoh siap terbatas pada kapal perang misalnya sistem pendorong bagus, namun sewaco-nya tidak siap.
Kondisi siap atau tidak siap pada sistem senjata merupakan cermin dari kebijakan pemerintah. Kebijakan itu berwujud pada anggaran, yang apabila anggaran pemeliharaan kurang maka implikasinya wajar saja bila banyak sistem senjata yang tidak siap. Kalau sebagian besar sistem senjata tidak siap, yang mestinya ditanya lebih lanjut bukan militer, tetapi perumus anggaran pemerintah.
Jika realitasnya demikian, lalu bagaimana mengharapkan kekuatan pertahanan dan militer bisa merespon kontinjensi. Sebagai contoh, apabila ada kontinjensi di perbatasan darat Kalimantan, apakah kekuatan udara negeri ini sanggup menggeser kekuatan darat sebanyak satu Brigade sekaligus dari Pulau Jawa dalam hitungan jam?
Masalah kesiapan ini merupakan isu krusial dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Tetapi sepertinya kurang mendapat perhatian, mungkin karena belum ada krisis yang betul-betul mengancam kepentingan nasional. Kalau kondisinya terus berlanjut, lalu bagaimana kita berhadap bisa mengeksploitasi kekuatan militer dalam mengamankan kepentingan nasional?
Negeri lain menganut prinsip preventing the war is as important as winning the war. Sedangkan bagi Indonesia, jangankan memenangkan perang, mencegah perang saja tidak siap. Namun kalah pun juga tidak siap.

17 Juli 2009

Menuju Indonesia Era Sebelum Desember 1957

All hands,
Menghadirkan kapal perang kita di laut selain merupakan simbol eksistensi AL negeri ini, juga bertujuan untuk melaksanakan pengendalian laut. Sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, prioritas utama pengendalian laut ditujukan pada wilayah perairan yang diklaim oleh Indonesia dan atau perairan yurisdiksi negeri ini. Bagi kita yang berkutat dengan dunia ke-Angkatan Laut-an Indonesia, sangat sadar dan paham bahwa tugas mengendalikan laut bukan suatu hal yang mudah. Sebab luas perairan yang harus dikendalikan ribuan kali lipat daripada luas perairan Singapura dan ratusan kali lipat dari luas perairan Negeri Tukang Klaim.
Namun sangat disayangkan bahwa bangsa Indonesia belum paham betapa vitalnya masalah pengendalian laut negeri ini. Termasuk pula di dalamnya para pengambil keputusan. Pengendalian laut bagi Indonesia merupakan urusan hidup matinya negeri ini, yang kalau menggunakan parameter kepentingan nasional yang diperkenalkan oleh Richmond M. Lloyd tergolong sebagai survival.
Penting untuk dipahami bersama bahwa Indonesia bukan sekedar rangkaian gugusan pulau-pulau saja, tetapi mencakup pula perairan-perairan di antara pulau-pulau tersebut. Tidak mampunya Indonesia melaksanakan pengendalian laut menandakan secara substansi Indonesia sudah tidak ada, sebab Indonesia bukan sebatas Pulau Sumatera dan pulau-pulau lainnya, tetapi termasuk wilayah perairan yang menghubungkan pulau-pulau itu. Indonesia sejak Desember 1957 berbeda dengan Indonesia sebelum masa itu.
Bertolak dari sini, sangat jelas bahwa pengendalian laut sesungguhnya merupakan sebuah misi nasional. AL kita adalah pelaksana dari misi tersebut dan misi itu tidak akan terlaksana apabila tidak didukung oleh elemen nasional lainnya. Pertanyaannya kini, seberapa besar kesadaran anak negeri yang konon dulu nenek moyangnya seorang pelaut terhadap isu pengendalian laut.
Bila merujuk pada pengadaan kapal selam yang sepertinya tidak menjadi prioritas pemerintah karena alasan memprioritaskan peningkatan pembangunan sosial dan kesejahteraan, berarti pengendalian laut bukan prioritas. Dengan demikian, kelangsungan eksistensi Indonesia pasca Desember 1957 juga bukan prioritas. Mungkin yang diprioritaskan adalah Indonesia sebelum Desember 1957.

16 Juli 2009

Menghadirkan Kapal Perang Di Laut

All hands,
Kehadiran kapal perang di laut merupakan simbol eksistensi setiap Angkatan Laut. Tanpa kehadiran di laut, seberapa banyak pun suatu Angkatan Laut mempunyai kapal perang dalam susunan tempurnya, hal itu tidak berarti apa-apa. Kehadiran di laut, bukan kapal perang yang tambat di dermaga pangkalan adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Oleh karena itu, sasaran akhir dari kinerja semua satuan kerja di Angkatan Laut adalah bagaimana menghadirkan kapal perang di laut. Apapun bidang kegiatan suatu satuan Angkatan Laut, sasaran akhirnya tetap sama yaitu menghadirkan kapal perang di laut. Masalah ini hendaknya menjadi pemahaman semua insan yang mengawaki organisasi Angkatan Laut.
Hanya dengan hadir di laut maka kita dapat mengukur kemampuan dan kebisaan yang dipunyai oleh unsur-unsur kapal perang di Armada. Misalnya untuk mampu dan bisa melaksanakan pengendalian laut, harus melalui latihan-latihan rutin. Selain tentunya melaksanakan operasi-operasi rutin yang tujuan dasarnya adalah melaksanakan pengendalian laut, khususnya pada masa damai.
Karena sasaran akhir dari kinerja semua satuan kerja adalah menghadirkan kapal perang di laut, berarti semua satuan tersebut selain harus diawaki oleh sumber daya manusia yang berkualifikasi dan berdedikasi tentunya, juga harus didukung oleh pendanaan dari pemerintah. Pertanyaannya kemudian menjadi menarik apakah selama ini pemerintah sudah maksimal untuk mendukung hadirnya kapal perang di laut.
Tanggung jawab untuk menghadirkan kapal perang di laut tidak berhenti pada Angkatan Laut saja, sebab Angkatan Laut pun harus mendapat dukungan pendanaan memadai dari pemerintah. Artinya Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan pun punya tanggung jawab soal kehadiran kapal perang AL kita di laut.
Kalau selama ini kehadiran kapal perang kita di laut belum maksimal karena masih belum terpenuhinya anggaran pemeliharaan, pemerintah juga harus bertanggung jawab. Tidak adil kalau hanya menyalahkan AL kita, sebab mustahil bagi kita untuk menghadirkan kapal perang di laut apabila anggaran pemeliharaan dan operasinya tidak terpenuhi.
Kata kuncinya adalah AL kita adalah milik bangsa. Tinggi rendahnya kehadiran kapal perang di laut menunjukkan komitmen dan sekaligus rasa memiliki bangsa ini terhadap AL kita. Mungkin terlalu berlebihan, tetapi menurut pengalaman pribadi saya selama ini, yang memikirkan AL kita cuma kita yang berada di dalamnya. Seolah-olah para pemegang saham Angkatan Laut ---yakni bangsa ini, khususnya pemerintah--- tidak merasa mempunyai Angkatan Laut.

15 Juli 2009

Strategi Maritim Cina

All hands,
Sejarah Cina menunjukkan bahwa selama ribuan tahun, bangsa itu tidak pernah merasa terancam dari laut. Baru pada abad ke-18 dan ke-19 negara itu mulai merasakan ancaman dari laut, melalui kedatangan bangsa Eropa yang memaksa negeri itu membuka diri dari isolasi. Kebutuhan negeri itu akan akses terhadap laut baru dirasakan mutlak ketika statusnya sudah menjadi pengimpor minyak. Cina merasa mutlak untuk mengamankan SLOC-nya dari ancaman “interupsi” oleh kekuatan maritim lainnya.
Perubahan status sebagai negeri pengimpor minyak pada 1993 telah didahului sebelumnya oleh perubahan strategi pertahanan Cina. Pada 1985 terjadi perubahan strategi pertahanan yang menekankan pada peperangan darat menjadi fokus pada domain maritim. Hal itu didorong oleh keyakinan para pengambil keputusan di Cina bahwa invasi Uni Soviet kecil kemungkinannya.
Fokus pada domain maritim berarti terciptanya perubahan pada strategi maritim Negeri Tirai Bambu. Sebelumnya strategi maritim Cina adalah Coastal Defense yang kini sudah berganti menjadi Offshore Defense. Strategi Offshore Defense selaras pula dengan prioritas pemerintahan Cina untuk memodernisasi ekonomi.
Pembangunan kekuatan laut Cina saat ini merupakan upaya mengimplementasikan Strategi Offshore Defense. Sejauh ini pencapaian strategi itu menurut hemat saya masih jauh dari harapan, walaupun secara kuantitas dan kualitas kapal perang Cina meningkat dibandingkan 10-20 tahun silam.
Apabila kita sering mendengar terminologi Two Island Chains, hal itu merupakan penerjemahan dari Offshore Defense. Namun dalam perkembangannya, Offshore Defense dipahami oleh pihak asing tidak lagi dibatasi oleh batasan geografis. Sebab dalam dokumen-dokumen resmi Cina tidak pernah dijelaskan jarak minimum dan maksimum dari strategi Offshore Defense.
Lepas dari itu semua, situasi saat ini dan hingga 20 tahun ke depan sepertinya masih sulit bagi Cina untuk betul-betul mengimplementasikan Strategi Offshore Defense. Strategi itu hanya bisa tercapai apabila negeri itu mampu melaksanakan pengendalian laut di SLOC-nya, bukan berapa banyak kapal perang yang dipunyai dalam susunan tempur. Dengan kata lain, ancaman Cina terhadap stabilitas kawasan lewat pembangunan kekuatan militernya seperti yang dihembuskan oleh Amerika Serikat di kawasan merupakan bagian dari kepentingan nasional Amerika Serikat sendiri.

14 Juli 2009

Pembangunan Kekuatan Laut Cina Versus Kemampuan Pengendalian Laut

All hands,
Pembangunan kekuatan laut Cina sebenarnya tidak perlu disikapi secara berlebihan bila dipandang dari perspektif ke-Angkatan Laut-an secara jernih. Memang perspektif ini berbeda dari perspektif kepentingan nasional Amerika Serikat selama ini yang mendominasi sebagian pemikir strategis di kawasan Asia Pasifik yang memandang pembangunan kekuatan laut Negeri Tirai Bambu sebagai potensi instabilitas di masa depan. Perspektif Amerika Serikat wajar-wajar saja, sebab berangkat dari kacamata kepentingan nasionalnya. Namun sebaiknya kita yang bukan warga Amerika Serikat dan sekaligus bukan pula kaki tangan alias antek-antek Uwak Sam, mencari sudut pandang lain sebagai pembanding.
Memang betul fakta-fakta yang dijelaskan dalam Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2009 terbitan Pentagon menyangkut kapal perang apa saja yang telah dimiliki dan akan dipunyai oleh PLA Navy. Termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan kapal selam. Semua itu fakta yang siapa pun tidak bisa membantahnya.
Namun pembangunan kekuatan itu tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan Angkatan Laut Cina dalam pengendalian laut. Penting untuk kita insyafi bahwa kuantitas dan kualitas kapal perang dan pesawat udara Angkatan Laut tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan pengendalian laut. Dalam konteks ini, kita harus mencermati tiga aspek dalam major naval operations yaitu space, time and force.
Dari aspek force memang suatu fakta bahwa kekuatan laut Cina secara kuantitas meningkat. Kualitas sistem senjatanya juga ditengarai meningkat, apalagi mereka terus meningkatkan kemampuan C4I yang didukung oleh satelit militer. Tetapi ketika kita masuk ke dalam aspek space and time, masalahnya menjadi lain.
Semua ahli strategi maritim pasca Alfred Thayer Mahan sepakat bahwa pengendalian laut dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidak ada lagi yang disebut command of the sea seperti yang ditulis Mahan dalam The Influence of Sea Power Upon History: 1660-1783. Mengapa tidak ada? Jawabannya sederhana, teknologi Angkatan Laut masa kini bukan lagi mengandalkan tenaga layar untuk mendorong kapal perang, teknologi senjata makin maju dan sekarang teknologi sensing bagi kepentingan Angkatan Laut sudah sangat maju yang belum ada sama sekali di era pertempuran-pertempuran laut di Eropa yang diuraikan oleh Mahan dalam bukunya.
Space yang harus dikendalikan oleh PLA Navy terbentang dari Teluk Persia hingga Laut Cina Timur. Realitas saat ini menunjukkan bahwa jangankan space seluas itu, space dari Laut Cina Timur ke Selat Malaka saja mereka belum mampu kendalikan. Meskipun para ahli strategi di Pentagon sepakat bahwa pembangunan kekuatan laut Cina beyond Taiwan, tetapi dalam prakteknya paling mungkin mereka cuma bisa mengendalikan space di Selat Taiwan. Itu pun kategorinya “masih mungkin”, sebab mereka harus to challenge U.S. Navy di sana bila muncul konflik di selat tersebut.
Kenapa space untuk pengendalian laut Cina masih terbatas? Jawaban atas pertanyaan itu kembali pada doktrin, strategi, taktik Angkatan Laut negeri itu. Penjelasan mengenai ketiga hal tersebut panjang, tidak cukup diuraikan di sini.
Pertanyaan yang muncul antara lain seberapa mampu mereka beroperasi secara gabungan dengan PLA Air Force? Seberapa mampu pula kemampuan logistik PLA Navy untuk melaksanakan pengendalian laut yang jauh dari daratan Cina? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan teknis lainnya.
Namun pertanyaan puncaknya adalah bagaimana komando dan pengendalian bagi kapal perang yang beroperasi jauh dari daratan Cina di masa krisis dan perang? Pertanyaan ini kembali lagi pada struktur pengambilan keputusan nasional di Cina, termasuk dalam organisasi PLA. Seperti diketahui, dalam pengambilan keputusan di tiap kapal perang Cina ada dualisme antara komandan kapal perang dengan komisaris politik. Belum tentu keputusan seorang komandan disetujui oleh komisaris politik, sementara komisaris politik mempunyai jalur sendiri untuk menghubungi komisasaris politik Angkatan Laut di Armada Cina maupun Markas Besar PLA Navy.
Artinya posisi komandan kapal perang di Cina berbeda dengan di negara-negara lain, termasuk Indonesia yang mempunyai tanggung jawab penuh sekaligus kendali terhadap apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukan oleh kapal yang dipimpinnya. Isu komando dan pengendalian kapal perang Cina ini sama persis dengan era Uni Soviet dulu, yang mana banyak ahli strategi dan sekaligus pengambil keputusan di Angkatan Laut negara-negara Barat dan negara-negara lain mempertanyakan bagaimana komando dan kendali di kapal perang Negeri Beruang Merah andai pecah perang.
Memang betul saat ini PLA Navy menyebarkan kekuatannya ke perairan Somalia. Tetapi harus diingat bahwa penyebaran itu dalam situasi damai, sehingga komando dan kendali dengan Markas Besar PLA Navy tidak menjadi kendala. Cerita akan menjadi lain ketika muncul konflik dan atau perang, di mana pasti akan ada serangan terhadap perangkat komando dan kendali Cina untuk melumpuhkan hubungan antara Markas Besar dengan unsur-unsur kapal perang di laut.
Dari situ jelas bahwa kemampuan pengendalian laut Cina tidak otomatis meningkat dengan peningkatan pembangunan kekuatan laut negeri itu. Mempunyai kapal perang banyak tidak otomatis berbanding lurus dengan kemampuan pengendalian laut. Kecuali bagi negeri kecil seperti Singapura yang perairannya sempit dan pengendalian SLOC-nya bertumpu pada U.S. Navy.

13 Juli 2009

Pengembangan Kekuatan Laut Cina

All hands,
Pembangunan kekuatan laut Cina dalam dekade terakhir tidak dapat dipungkiri, walaupun hal itu senantiasa berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan untuk melaksanakan pengendalian laut. Memperhatikan pembangunan kekuatan laut Beijing, negeri itu memperkuat kemampuan pada kapal atas air, kapal selam dan kemampuan pengintaian berbasis satelit. Sedangkan untuk pengembangan kekuatan sayap udara Angkatan Laut masih terbatas, meskipun kabarnya negeri itu tengah menyiapkan kapal induk buatan sendiri.
Dapat dipastikan pengembangan kekuatan laut Cina ditujukan untuk menandingi supremasi U.S. Navy dalam melaksanakan pengendalian laut. Berdasarkan beberapa fakta, menurut hemat saya terdapat kecenderungan bahwa PLA Navy sepertinya akan memberikan perhatian khusus terhadap pengembangan kapal selam guna menandingi kedigdayaan kapal-kapal atas air U.S. Navy, termasuk kapal induk. Sebab untuk berkompetisi dengan Amerika Serikat pada kapal atas air sepertinya sulit, mengingat pengalaman Amerika Serikat yang sudah seratus tahun menjadi kekuatan laut dengan proyeksi kekuatan global.
Penekanan pada pengembangan kapal selam mirip dengan yang dilakukan oleh Uni Soviet di masa lalu. ONI dalam laporannya mensinyalir PLA Navy tengah mengembangkan sejumlah kapal selam nuklir baru yang senyap. Selain itu, PLA Navy diduga kuat telah mengubah beberapa materi latihan peperangan kapal selam, misalnya latihan bersama antar kapal selam dalam suatu gugus tugas.
Pengembangan kapal selam guna menandingi kedigdayaan Amerika Serikat pada kapal atas air memang sebuah pilihan yang masuk akal. Hanya saja, upaya itu tidak akan membantu Cina apabila masih memiliki aspirasi untuk mengendalikan SLOC-nya dari Timur Tengah hingga wilayahnya. Pengendalian laut harus merupakan perpaduan antara unsur kapal selam, kapal atas air dan pesawat udara.
Seperti diketahui, masih banyak isu-isu krusial dalam kemampuan Cina menyangkut kapal atas air. Isu serupa sebagian juga diidap oleh kekuatan kapal selamnya. Adapun kekuatan udaranya akan sangat tergantung pada kemampuan negeri itu mengeksploitasi kapal induk, bukan sekedar mempunyai kapal induk dalam susunan tempur.

12 Juli 2009

String Of Pearls Cina Sekedar Macan Kertas

All hands,
Banyak pihak di kawasan Asia Pasifik yang memberikan perhatian khusus kepada konsepsi String of Pearls yang digagas oleh Cina. String of Pearls merupakan bagian dari kepentingan nasional Cina untuk mengamankan SLOC-nya yang terbentang dari Teluk Persia sampai Alut Cina Selatan. Sejauh ini, terdapat enam pelabuhan yang oleh Amerika Serikat diidentifikasi sebagai String of Pearls Negeri Tirai Bambu, yaitu di Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Kamboja, Vietnam dan di Cina sendiri (Pulau Hainan).
Keterputusan String of Pearls terjadi antara Bangladesh-Kamboja/Vietnam, tepatnya di Laut Andaman-Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sebelah utara Laut Natuna. Di sekitar perairan-perairan itu, tidak ada pelabuhan yang diidentifikasi sebagai bagian dari String of Pearls.
Isu String of Pearls Cina sebenarnya tidak usah disikapi secara berlebihan, sebab itu cuma macan kertas. Dari sudut pandang strategi maritim, Cina belum mampu melaksanakan pengendalian laut dari kawasan Teluk Persia sampai ke wilayahnya. Gelar kekuatan Cina melalui penyebaran kapal perang ke perairan Somalia dan beberapa negara lain di kawasan Asia Pasifik belum dapat diterjemahkan bahwa kekuatan lautnya telah mampu melaksanakan pengendalian laut di sepanjang SLOC-nya.
Sebaliknya, gelar kekuatan itu hanya sebatas menguji bagaimana melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh pada aspek operasional dan pamer kekuatan pada aspek politik. PLA Navy belum mempunyai ilmu tentang operasi Angkatan Laut jarak jauh dan apa yang dilaksanakan sekarang lebih pada tahap trial and error. Suatu Angkatan Laut dapat mempunyai bekal ilmu tentang operasi jarak jauh apabila pengalaman operasionalnya sudah puluhan atau ratusan tahun atau ilmu itu “dihibahkan” dari sang pemilik kepada negara penerima yang dikehendaki.
Negara pemilik ilmu itu adalah Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Sejauh ini, yang paling tinggi tingkat ilmunya masih Amerika Serikat. Tak heran bila sejak beberapa tahun lalu U.S. Navy mengadopsi konsep “place, not base”.
Kalau untuk penguasaan ilmu operasi Angkatan Laut jarak jauh saja diragukan, bagaimana pula dengan kemampuan PLA Navy melaksanakan pengendalian laut. Boleh saja negeri itu berambisi mempunyai kapal induk, tapi memiliki kapal induk tidak identik dengan mampu melaksanakan pengendalian laut. Kemampuan pengendalian laut Cina baru sebatas wilayah negaranya.
Selanjutnya aspek politik. Harap diingat bahwa karakteristik PLA Navy tidak jauh berbeda dengan Angkatan Laut Soviet di masa lalu. Di tiap kapal perang Cina, ada dualisme komando, yakni antara komandan dengan komisaris politik.
Sampai saat ini, masih diragukan adanya otoritas penuh dari markas militer Cina di daratan kepada para komandan kapal perangnya dalam mengambil setiap keputusan yang diperlukan saat beroperasi. Sebaliknya, setiap komandan wajib berkonsultasi dengan komisaris politik di kapal perangnya dan juga dengan markas militer yang nun jauh berada di daratan. Di markas militer pun ada komisaris politik.
Artinya, ada rantai komando yang sangat panjang dalam pengendalian operasi kapal perang Cina. Komandan kapal perang bukanlah seorang perwira Angkatan Laut yang padanya dilimpahkan sejumlah kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri menyangkut kapal perangnya. Segala sesuatunya harus dikonsultasi ke markas militer, termasuk kepada komisaris politik.
Tentu bisa dibayangkan apa yang terjadi bila saluran komunikasi antara markas militer di darat dengan kapal perang terputus, betapa bingungnya seorang komandan kapal perang Cina menentukan sikapnya. Belum lagi dengan kehadiran komisaris politik yang merasa berhak pula menentukan pengambilan keputusan di kapal tersebut.
Bertolak dari situ, dapat disimpulkan bahwa eksistensi String of Pearls baru sebatas di atas kertas. Keberadaannya tidak ditunjang oleh sistem di dalam PLA Navy sendiri, baik dari aspek politik maupun operasional Angkatan Laut. Bahkan sampai 30 tahun mendatang, apabila Cina masih menganut sistem politik seperti sekarang, sangat diragukan cita-citanya mengendalikan SLOC-nya akan tercapai.

11 Juli 2009

Pengendalian Laut Bagi Angkatan Laut Negara Maju

All hands,
Geoffrey Till membagi paradigma Angkatan Laut di dunia atas dua bagian, yakni modern navy dan post-modern navy. Modern navy menurut Till adalah adaptasi konsep-konsep tradisional dalam naval employment untuk kondisi-kondisi kontemporer. Sedangkan post-modern navy yaitu transformasi Angkatan Laut menjadi sesuatu yang lain.
Pembagian ini tidak berarti bahwa satu kelompok Angkatan Laut lebih baik atau lebih buruk daripada Angkatan Laut lainnya. Sebaliknya, penggolongan tersebut lebih pada pencerminan sikap-sikap tiap Angkatan Laut di dunia terhadap globalisasi. Dengan kata lain, klasifikasi modern navy dan post-modern navy terkait dengan era globalisasi saat ini.
Angkatan Laut negara-negara maju kini telah bertransformasi menjadi post-modern navy. Eksistensi mereka tetap untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing negara, tetapi dalam spektrum yang luas. Demi mengamankan kepentingan itu, kekuatan laut mereka diproyeksikan jauh dari wilayah negerinya demi menjamin stabilitas keamanan maritim.
Terkait dengan hal tersebut, isu pengendalian laut tetap menjadi isu pokok dalam strategi maritim negara-negara itu. Namun pengendalian laut bagi post-modern navy bukan lagi berpusat di tengah laut, tetapi pada kawasan littoral. Pengendalian laut yang mereka laksanakan bukan lagi untuk mencegah atau menetralisasi kekuatan laut lawan di tengah laut, akan tetapi lebih berfokus pada force protection dan battlespace dominance di wilayah littoral.
Pentingnya isu force protection bisa dilihat dari kasus USS Cole (DDG-67) dan INS Ahi Hanit. USS Cole yang dilengkapi dengan berbagai senjata berteknologi tinggi menjadi tidak berdaya menghadapi serangan bom dari perahu kecil, sedangkan INS Ahi Hanit yang teknologinya tergolong state of the art lumpuh diserang rudal C-802 yang teknologinya bukan keluaran terakhir.
Adapun battlespace dominance terkait dengan kemampuan Angkatan Laut, dalam hal ini kapal perang untuk mengendalikan segenap spektrum di littoral agar tidak menjadi ancaman baginya. Spektrum itu bukan saja tiga dimensi, namun meliputi pula spektrum elektromagnetik. Dalam peperangan masa kini, spektrum elektronik yang kasat mata itu bisa menjadi wahana untuk melumpuhkan suatu kekuatan laut yang lebih kuat. Siapapun bisa mengeksploitasi spektrum elektromagnetik, artinya tidak hanya didominasi oleh aktor negara.
Indonesia merupakan salah satu negara littoral. Dengan dinamika operasi Angkatan Laut negara-negara maju yang telah dijelaskan sebelumnya, bukan suatu hal yang berlebihan bila kekuatan laut negeri ini mengantisipasi dan mengikuti dinamika itu. Dalam arti AL kita harus mampu menjadi pengendali laut di wilayah littoral kita sendiri dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.

10 Juli 2009

Pengadaan Kapal Selam: Butuh Kesatuan Sikap

All hands,
Proses pengadaan kapal selam yang terkesan sulit, rumit dan berlarut-larut mencerminkan tidak adanya kesatuan sikap para pemangku kepentingan di dalamnya. Pemangku kepentingan di sini bukan saja AL kita, tetapi juga pihak-pihak di luar AL yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan proses pengadaan tersebut. Dalam situasi terkini, bola sudah dilempar oleh AL kita kepada pihak-pihak pengambil kebijakan politik, yakni Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan dan Bappenas.
Bola sudah dilempar maksudnya AL kita telah menyampaikan spesifikasi teknis dan persyaratan kebutuhan kapal selam yang dibutuhkan. Selanjutnya tergantung pada instansi-instansi terkait di luar AL untuk memutuskannya melalui proses standar dan baku, yaitu lewat tender.
Yang menjadi masalah yaitu ditengarai banyak pihak “berkepentingan” dengan rencana pengadaan kapal selam tersebut. Antara satu “kepentingan” dengan “kepentingan” lain kadangkala tidak klop dengan kepentingan bangsa ini untuk memiliki armada AL yang mampu mengamankan kepentingan nasional pada domain maritim. Situasi seperti itulah yang konon membuat rumit masalah yang sebenarnya tidak rumit.
Dari situ jelas tergambarkan bahwa bangsa ini belum satu sikap soal pengadaan kapal selam untuk memperkuat AL kita. AL kita berkepentingan mengadakan kapal selam untuk meningkatkan kembali kemampuan peperangan bawah air dan sekaligus diharapkan menambah kemampuan penangkalan. Namun sepertinya kepentingan AL kita tidak selalu selaras dan sejalan dengan kepentingan pihak-pihak lain yang otoritas politiknya lebih kuat daripada AL. Pokok masalahnya, menurut hemat saya terletak di situ.
Untuk keluar dari permasalahan ini, diperlukan kesatuan sikap dari para pengambil kebijakan. Tanpa itu proses pengadaan kapal selam bagi AL negeri ini akan terus berputar-putar bagaikan lingkaran setan tanpa jelas kapan dan di mana titik akhirnya. Bandingkan proses serupa di Singapura, Malaysia dan Australia, di mana para pengambil kebijakan yang otoritasnya lebih tinggi daripada Angkatan Laut mendukung sepenuhnya pengadaan kapal selam bagi kekuatan laut mereka. Semuanya demi kepentingan nasional mereka!!!


09 Juli 2009

Tantangan Dalam Merancang Struktur Kekuatan Angkatan Laut

All hands,
Harus diakui bahwa dalam merancang struktur kekuatan Angkatan Laut bukan suatu hal yang mudah, tetapi tidak pula suatu hal yang mustahil. Perancangan tersebut memiliki sejumlah tantangan terkait dengan dinamika lingkungan keamanan yang sangat cair. Dan semuanya bermuara pada kepentingan nasional yang harus diamankan, yang berimplikasi pada pertanyaan mendasar yaitu how much is enough?
Merancang struktur Angkatan Laut tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi harus terkait dengan strategi maritim yang dianut oleh suatu bangsa. Di situlah vitalnya eksistensi strategi maritim sebagai penuntun bagi Angkatan Laut dalam mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim.
Bagi Angkatan Laut tertentu, mereka sudah mempunyai rumusan tetap bagaimana merancang struktur kekuatannya. Sebagai contoh, apabila strategi pertahanan mewajibkan Angkatan Laut siap untuk bertempur di dua major theater war sekaligus, maka sebagian struktur kekuatan laut yang dirancang akan diarahkan untuk mengantisipasi skenario demikian. Sisa kekuatan lainnya didesain untuk hadir di perairan lainnya, engagement dan juga tugas-tugas HADR.
Namun bagi Angkatan Laut lain yang tidak mempunyai kawasan pelibatan yang tetap, isu mendesain struktur kekuatan menjadi lebih rumit. Indonesia pun nampaknya menghadapi tantangan demikian. Malah tantangan bagi Indonesia lebih besar, sebab strategi pertahanan yang dianut masih diawang-awang. Akibatnya selalu muncul keterputusan antara ends dengan means.
Walaupun tidak pernah dideklarasikan secara resmi, dalam prakteknya kawasan pelibatan Indonesia ada dua yakni Selat Malaka dan Laut Sulawesi. Di kedua perairan itu, kekuatan laut negeri ini harus hadir 24 jam. Di Selat Malaka kekuatan laut Indonesia bekerjasama dengan kekuatan laut Negeri Tukang Klaim, di Laut Sulawesi kedua kekuatan laut saling berhadap-hadapan.
Pertanyaannya, apakah struktur kekuatan laut negeri ini cukup dirancang dengan memperhatikan dua kawasan pelibatan itu? Bagaimana dengan kawasan pelibatan di wilayah timur, yang terbentang dari Selat Lombok sampai Selat Torres? Kita sebaiknya tidak menutup mata terhadap kebijakan pertahanan Australia.
Ketika kita berbicara mengenai struktur kekuatan, salah satu hal utama yang harus dikeluarkan dari perdebatan adalah soal anggaran. Anggaran itu urusan belakangan, sebab bila isu ini kita utamakan, maka sulit untuk berhitung dengan benar soal struktur kekuatan Angkatan Laut seperti apa yang dibutuhkan oleh negeri ini. Mari kita pahami bahwa anggaran adalah turunan dari sebuah program.
Di samping masalah kawasan pelibatan, sudah pasti harus diperhitungkan pula kebutuhan kapal perang di perairan lainnya di Indonesia, selain juga kebutuhan untuk melaksanakan operasi bhakti yang merupakan bagian dari HADR. Itulah tantangan yang dihadapi dalam menyusun struktur kekuatan yang dibutuhkan.
Struktur kekuatan Angkatan Laut dapat dirancang dengan akurat apabila strategi pertahanan yang dianut oleh pemerintah sudah membumi, bukan di awang-awang seperti saat ini. Akibat dari strategi pertahanan yang dianut sekarang, sulit untuk menjawab dengan pasti pertanyaan apakah struktur kekuatan Angkatan Laut yang eksis saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan mengamankan kepentingan nasional atau belum.

08 Juli 2009

Strategi Maritim Bukan Tanggung Jawab Tunggal Angkatan Laut

All hands,
Bagi tiap-tiap individu yang aktivitas sehari-harinya berada di lingkungan AL negeri ini, strategi maritim adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Banyak masalah-masalah yang terkait dengan pengamanan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim menjadi lebih sulit penanganannya karena tidak adanya strategi maritim Indonesia. Misalnya, bagaimana Indonesia seharus bersikap terhadap ajakan latihan Angkatan Laut dari negara-negara lain di kawasan ini. Begitu pula dengan bagaimana sebaiknya Indonesia harus berinisiatif menyangkut isu-isu keamanan maritim di kawasan, agar negeri ini menjadi salah satu pemain yang diperhitungkan di wilayah ini.
Harus diakui bahwa pendekatan dan respon Indonesia terhadap dinamika keamanan pada domain maritim belum terstruktur dengan baik. Dengan kata lain, seringkali pendekatan yang ditempuh adalah pendekatan ad-hoc. Bahkan antar satu instansi dengan instansi lain terkadang menggunakan pendekatan dan respon yang berbeda, sehingga mencerminkan “perpecahan” nasional.
Sebagai contoh, Australia selama ini gencar mengajak AL kita untuk realisasi kerjasama keamanan maritim, di antaranya mengenai nelayan Indonesia yang sering mencari ikan di wilayah Negeri Kangguru itu. Karena AL kita tidak merespon sesuai harapan mereka dengan beberapa alasan yang sebenarnya masuk akal dari perspektif kepentingan nasional Indonesia, negeri itu melambung ke instansi pemerintah yang lain. Dan biasanya tujuan dari melambung itu tercapai dan instansi pemerintah tersebut mau menjalin kerjasama dengan Australia.
Masalah-masalah seperti itu bisa dipecahkan apabila negeri ini mempunyai strategi maritim. Strategi maritim harus disusun oleh pemerintah, sebab hal-hal yang diatur di dalamnya bukan semata domain Angkatan Laut. Namun demikian, sebagaimana praktek di negara-negara lain, Angkatan Laut tetap menjadi pemain utama dalam pelaksanaan strategi maritim.
Pertanyaannya kini, instansi mana yang harus menyusun strategi maritim? Memperhatikan karakteristik Indonesia, sebaiknya strategi maritim disusun oleh lintas instansi. Leading sector-nya adalah Departemen Pertahanan dan Departemen Perhubungan. Jangan sampai ada instansi yang lebih rendah yang menyusun strategi itu dan pada akhirnya menempatkan AL kita seolah-olah subordinat dari instansi tersebut.
AL kita tentu saja harus terlibat dalam penyusunan strategi maritim dan jalurnya adalah lewat Departemen Pertahanan. Maksudnya, ada unsur perwakilan resmi AL kita dalam tim Departemen Pertahanan. Harap diingat bahwa strategi maritim adalah domain pemerintah, sehingga sudah sepantasnya bila Departemen Pertahanan yang menjadi leading sector bersama Departemen Perhubungan.
Untuk mewujudkan strategi maritim, pendekatannya harus bottom up dari pihak-pihak yang berkepentingan. Sulit mengharapkan pendekatan top down, sebab agenda maritim bukanlah salah satu fokus kebijakan pengambil kebijakan negeri ini. Fokusnya baru sampai pada Indonesia tetap utuh dan diakui sebagai negara kepulauan, titik!!!

07 Juli 2009

Pengendalian Laut Di Littoral

All hands,
Pengendalian laut alias sea control dibatasi oleh ruang, waktu dan kekuatan yang terlibat di dalamnya. Dalam pemahaman masa kini, pengendalian laut mencakup pengendalian terhadap permukaan, bawah permukaan dan ruang udara atau kombinasi apapun antara ketiganya. Saat ini tidak bisa lagi pengendalian laut secara mutlak alias command of the sea.
Pada masa Laksamana Muda A.T Mahan soal command of the sea yang dilatarbelakangi oleh masa kapal perang bertenaga layar sudah lewat. Salah satu pengajar awal di U.S. Naval War College ini berpendapat bahwa “control of the sea by maritime commerce and naval supremacy means predominant influence in the world…(and) is the chief among the merely material elements in the power of prosperity of nations”. Pendapat demikian terbukti kebenarannya pada masa sebelum dan saat Mahan menuliskan karya-karyanya, namun kebenarannya menjadi diragukan ketika teknologi sistem senjata Angkatan Laut mengalami kemajuan pesat sejak akhir abad ke-19.
Setelah era Mahan berlalu, para ahli strategi maritim lebih suka menggunakan istilah sea control daripada command of the sea maupun control of the sea. Terminologi yang terakhir menurut beberapa ahli strategi maritim pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan command of the sea. Di antara yang berpikir demikian adalah Laksamana Elmo Zumwalt, CNO of U.S. Navy periode 1970-1974.
Dari era sebelum Mahan hingga era CNO Laksamana Frank Kelso II, masalah pengendalian laut berkutat pada wilayah samudara atau laut terbuka. Ketika Perang Dingin surut di era Laksamana Kelso II, di jajaran U.S. Navy mulailah difokuskan pemikiran pada strategi from the sea, bukan lagi on the sea. Itulah awal dari konsep yang kini dikenal sebagai littoral warfare.
Setelah dikaji lebih dalam, terdapat perbedaan antara pengendalian laut di tengah samudera atau laut terbuka dengan pengendalian laut di littoral. Mengapa terjadi perbedaan? Sebab di wilayah littoral ancaman terhadap pihak yang ingin melaksanakan pengendalian laut lebih banyak dan luas spektrumnya daripada di tengah samudera.
Di tengah samudera, ancaman lebih banyak muncul dari rudal jelajah, kapal permukaan dan kapal selam lawan. Adapun untuk pesawat udara sangat tergantung apakah lawan yang dihadapi mempunyai kapal induk pengangkut pesawat ataupun tidak. Adapun pesawat yang berpangkalan di darat mempunyai keterbatasan waktu untuk lama bermanuver di samudera luas, terkait dengan keterbatasan bahan bakar.
Namun tidak demikian dengan pengendalian laut di littoral. Salah satu ancaman terbesar dari pengendalian laut di wilayah ini muncul dari pesawat udara yang berpangkalan di darat. Oleh sebab itu, kemampuan suatu Angkatan Laut melaksanakan pengendalian laut di sini sangat tergantung dari kemampuan peperangan anti udara-nya untuk menetralisasi ancaman pesawat udara lawan.
Apabila salah satu pihak yang bertikai mempunyai keunggulan udara, maka pihak lain akan cukup kesulitan untuk melaksanakan pengendalian laut secara efektif. Akan tetapi tidak berarti bahwa keunggulan udara dapat menggantikan pengendalian terhadap permukaan dan bawah permukaan laut. Terkait dengan hal tersebut, dalam operasi Angkatan Laut masa kini peran kekuatan udara untuk merebut keunggulan udara tidak dapat diabaikan. Kekuatan udara yang dimaksud tidak identik dengan AU, sebab bisa saja dilaksanakan oleh kekuatan udara AL apabila sayap udara itu dilengkapi dengan pesawat tempur.
Indonesia sebagai negara kepulauan dituntut untuk mengembangkan strategi maritim yang dapat mengamankan kepentingan nasionalnya. Menurut hemat saya, salah satu aspek yang harus diperhatikan ketika menyusun strategi maritim negeri ini adalah aspek peperangan littoral. AL negeri ini dituntut untuk mampu melaksanakan pengendalian laut di littoral, bukan saja di tengah laut lepas.
Guna mencapai ke sana, jalan sepertinya masih panjang. Sebab AL kita bagaikan terasing di negeri sendiri. Sepertinya yang memikirkan masa depan AL kita hanya kita sendiri, sementara komponen bangsa Indonesia seakan tidak merasa memiliki AL. Padahal kehidupan AL kita dibiayai oleh uang mereka.

06 Juli 2009

Merancang Struktur Kekuatan Angkatan Laut

All hands,
Daripada sibuk mencari alternatif pengadaan sistem senjata yang lebih murah daripada kapal perang yang dapat dipahami sebagai upaya meniadakan Angkatan Laut secara pelan-pelan, lebih baik pengambil kebijakan pertahanan negeri ini merancang struktur kekuatan Angkatan Laut berdasarkan hitungan yang akurat. Hitungan yang akurat berarti bagaimana menerjemahkan Strategi Pertahanan Negara menjadi Strategi Militer Nasional alias grand strategy. Kalau nantinya diakui sulit untuk merumuskan grand strategy, hal itu disebabkan oleh Strategi Pertahanan Negara yang kabur, tidak jelas dan membingungkan.
Bila kita ingin membangun kekuatan pertahanan dengan tetap memperhatikan prinsip keterbatasan sumber daya, maka rumuskan dulu strategi keamanan nasional. Strategi pertahanan merupakan turunan dari strategi keamanan nasional. Baru kemudian diturunkan lagi menjadi strategi militer nasional alias grand strategy. Dari situ kemudian baru bisa dirumuskan struktur kekuatan Angkatan Laut seperti apa yang dibutuhkan oleh negeri ini hingga 15 tahun ke depan.
Sangat tidak beralasan semenjak dini mendeklarasikan bahwa pembangunan kekuatan Angkatan Laut membutuhkan anggaran yang besar. Betul bahwa harga kapal perang tidak ada yang murah, namun masalahnya apakah Departemen Pertahanan sudah menghitung dengan akurat belum struktur kekuatan Angkatan Laut seperti apa yang dibutuhkan negeri ini.
Misalnya, berapa perbandingan kekuatan antara kapal kombatan (termasuk kapal selam), kapal patroli, kapal ranjau, kapal amfibi, kapal bantu dan pesawat udara? Sangat keliru kalau semenjak dini Departemen Pertahanan sudah “berteriak” bahwa pembangunan kekuatan laut memerlukan anggaran yang besar tanpa bisa mendefinisikan struktur kekuatan yang dibutuhkan.
Kalau kita mau jujur dan berpikir jernih, selama ini pembangunan kekuatan pertahanan negeri ini carut marut karena kontribusi Departemen Pertahanan juga. Silakan periksa, berapa banyak kebijakan yang lahir adalah cucu atau cicitnya dulu, baru kemudian kakeknya. Dengan kata lain, kebijakan turunan yang posisinya di tingkat bawah sudah lebih dulu lahir daripada induknya.
Apabila memang Departemen Pertahanan selama ini merasa usulan pembangunan kekuatan laut dari AL kita terlalu berat dari sisi biaya, sebaiknya departemen itu membuat perhitungan tandingan. Akan lebih baik bila Departemen Pertahanan menyusun struktur kekuatan Angkatan Laut versinya sendiri yang nantinya akan diperdebatkan dengan versi AL kita untuk kemudian dicarikan solusinya. Cara demikian lebih satria daripada mencari alternatif sistem senjata lain guna menggantikan pengadaan kapal perang yang dinilai mahal.
Untuk merancang struktur kekuatan Angkatan Laut, siapapun harus memperhatikan isu-isu keamanan yang akan berkembang ke depan. Sebab struktur kekuatan harus mampu menjawab dinamika lingkungan keamanan yang berkembang. Dari situ nantinya bisa ditentukan kebutuhan x kapal kombatan, y kapal patroli, z kapal ranjau dan lain sebagainya.
Bisa saja nantinya perhitungan struktur kekuatan dari Departemen Pertahanan berbeda dengan versi AL kita. Misalnya AL kita berpendapat bahwa hingga 15 tahun ke depan Indonesia memerlukan 8 kapal kombatan baru, sementara Departemen Pertahanan menilai kebutuhannya cuma 6 kapal kombatan baru. Dari situ kemudian akan timbul perdebatan yang sehat, sehingga pembangunan kekuatan yang terjadi betul-betul hasil rumusan yang kompetitif. Suasana seperti ini sudah banyak terjadi di negara-negara lain, tetapi belum terjadi di Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa demikian? Jawabannya tidak sulit, yakni kualitas sumber daya manusia di Departemen Pertahanan masih menjadi pertanyaan. Kalau kualitasnya sudah memadai, dapat dipastikan beberapa waktu lalu akan ada koreksi signifikan terhadap rancangan postur yang diajukan oleh masing-masing matra militer, begitu pula dengan rancangan MEF. Tetapi kenyataannya tidak ada koreksi, semua masukan secara garis besar di-amin-kan saja dan kemudian dijadikan dokumen resmi pemerintah.


05 Juli 2009

Meniadakan Angkatan Laut Secara Pelan-pelan

All hands,
Pemikiran-pemikiran atau pendapat yang mencoba menegasikan peran dan fungsi Angkatan Laut di negara kepulauan yang mengaku terbesar di dunia ini sudah sepantasnya di-counter. Benang merah pemikiran yang berkembang selama ini, sepanjang pengetahuan saya, adalah pembiayaan bagi Angkatan Laut khususnya modernisasi sistem senjata, cukup berat dari sisi anggaran. Dari situ kemudian lahir pemikiran-pemikiran atau pendapat yang substansinya adalah mencari sistem senjata alternatif selain Angkatan Laut agar negeri ini mempunyai daya tangkal yang lebih tinggi daripada kondisi saat ini.
Pola pikir demikian seolah-olah menempatkan pembangunan kekuatan Angkatan Laut negeri ini sebagai beban. Betul bahwa pengadaan satu korvet atau fregat saja minimal Rp. 6-10 trilyun, tergantung pada spesifikasi teknis yang melengkapi kapal perang tersebut. Tapi yang jarang dipikirkan oleh banyak pihak bahwa harga itu jauh lebih murah daripada martabat bangsa ini dilecehkan di laut. Siapapun yang berpikiran sehat pasti akan lebih memilih mengeluarkan uang Rp.6-10 trilyun daripada tidak mengeluarkan uang sama sekali tetapi martabatnya dilecehkan terus oleh pihak lain.
Pernahkah bangsa ini berpikir betapa besar jasa AL terhadap keamanan dan kesejahteraan negeri ini? Kalau AL kita tidak hadir 24 jam x 365 hari di Selat Malaka dan Laut Sulawesi (Blok Ambalat), apakah negeri ini sejak beberapa tahun lalu tidak “diobok-obok” pihak lain? Masihkah wilayah kedaulatan Indonesia akan seluas sekarang bila AL kita tidak hadir di Laut Sulawesi? Apakah keamanan maritim di negeri ini dan stabilitas keamanan maritim di kawasan bisa di-ensure tanpa peran AL kita?
Siapa yang menjaga garis perhubungan laut Indonesia dari Aceh hingga Papua kalau bukan AL kita? Kalau GPL itu tidak aman, tentu kapal niaga dan kapal penumpang yang melayari rute dalam negeri dan internasional sudah pasti akan “berteriak”. Apabila GPL itu terputus, maka keutuhan Indonesia otomatis terancam.
Begitu pula pada tingkat kawasan. Jika keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia tidak aman, kekuatan laut asing pasti sudah masuk untuk mengamankannya. Tetapi mengapa mereka tidak masuk? Jawabannya gampang, karena mereka menilai AL kita masih mampu mengamankannya, lepas dari segala kekurangan yang terjadi.
Harap diingat bahwa parameter keamanan maritim di kawasan bukan sekedar Selat Malaka, tetapi mencakup pula ALKI I, II dan III dan beberapa perairan lainnya. Parameter untuk menilai kinerja AL kita di kawasan tidak sulit, yakni apabila pihak lain tidak “berteriak”, artinya kinerja AL kita dinilai masih mampu menjamin stabilitas kawasan.
Pihak lain di kawasan jelas butuh peran AL kita, walaupun itu didorong oleh kepentingan nasionalnya masing-masing. Lepas dari masalah tersebut, selama ini ada pengakuan dari pihak lain bahwa memerlukan peran dan kerjasama dari AL kita untuk menjamin stabilitas kawasan. Kalau pihak lain saja membutuhkan peran AL kita, lalu bagaimana dari bangsa sendiri?
Sepertinya bangsa ini tidak memerlukan AL-nya sendiri. Hal itu bisa dilihat dari “penghargaan” yang didapat oleh AL kita di dalam negeri selama ini. Dalam beberapa tahun terakhir, “penghargaannya” adalah upaya-upaya menegasikan peran dan fungsi Angkatan Laut. Salah satunya soal anggaran, yang berujung pada terhambatnya program modernisasi yang sebenarnya justru sudah masuk dalam program kerja pemerintah sendiri.
Beragam alasan digunakan untuk menghambat modernisasi AL, termasuk anggaran. Sehingga seolah-olah Angkatan Laut menjadi beban bagi pertahanan negeri ini. Padahal tuntutan anggaran modernisasi Angkatan Laut berbanding lurus dengan keuntungan non material yang didapatkan negeri ini bila mempunyai Angkatan Laut yang diperhitungkan di kawasan.
Pada saat yang bersamaan, mulai dikembangkan pemikiran-pemikiran yang diarahkan untuk menggantikan peran dan fungsi Angkatan Laut. Bahkan ekstrimnya, meniadakan Angkatan Laut. Bagaimana caranya? Lewat pembentukan opini bahwa harga kapal perang mahal, sehingga lebih baik dicari alternatif lain.
Sadarkah kita bahwa opini demikian jelas-jelas untuk meniadakan Angkatan Laut secaa pelan-pelan? Sekali lagi harus kita camkan bahwa eksistensi Angkatan Laut diukur dari kehadiran kapal perang di laut, bukan kapal perang yang lego jangkar di pantai atau tambat di dermaga pangkalan. Dengan makin menurunnya kemampuan kapal perang kita karena faktor teknis yang tidak diikuti dengan realisasi program modernisasi, itu sama halnya dengan peniadaan secara pelan-pelan terhadap Angkatan Laut.
Aneh…negeri yang dua pertiga wilayahnya berupa laut zonder Angkatan Laut!!!

04 Juli 2009

Rudal Jelajah Tidak Bisa Gantikan Fungsi Kapal Perang

All hands,
Keberhasilan uji coba sebuah jenis roket jarak menengah oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab dalam masalah pengembangan roket memunculkan berbagai harapan. Di antaranya datang dari seorang petinggi pertahanan Negeri Nusantara yang menyatakan akan mempertimbangkan apakah pengembangan rudal di darat lebih murah dibanding dengan membeli kapal atau pesawat.
Pernyataan itu, meskipun menyatakan masih “akan mempertimbangkan”, secara politik maupun operasional menurut hemat saya, kurang tepat. Sebab dapat ditafsirkan bahwa kehadiran rudal berpangkalan di darat dapat menggantikan fungsi Angkatan Laut, dalam hal ini kapal perang. Kapal perang adalah simbol dari Angkatan Laut.
Mari kita tinjau pernyataan itu dari teori strategi maritim. Strategi maritim menekankan pada tiga hal fundamental, yaitu sea control, sea denial dan power projection. Untuk mencapai ketiga hal tersebut, hanya bisa dilakukan dengan kehadiran kapal perang di laut. Mustahil ada sea control, sea denial dan power projection tanpa eksistensi kapal perang.
Meskipun sejak pasca Perang Dunia Kedua rudal jelajah (berkepala nuklir) berkembang menjadi senjata strategis, akan tetapi baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet tidak pernah menempatkan penemuan itu untuk menegasikan fungsi Angkatan Laut. Angkatan Laut kedua negara tetap memiliki peran strategis dalam kepentingan nasional mereka, malah kapal atas air dan kapal selam mereka dilengkapi dengan rudal balistik untuk melaksanakan first and second strike. Kawasan kepentingan kedua negara di seluruh di dunia dan sebagian membutuhkan kehadiran kapal perang.
Harus dipahami oleh semua pihak bahwa eksistensi Angkatan Laut dinilai dari kehadiran kapal perang di laut alias naval presence, bukan kapal perang yang lego jangkar di sekitar pantai atau tertambat di dermaga pangkalan. Hanya dengan kehadiran kapal perang di tengah laut maka Angkatan Laut dapat melaksanakan sea control, sea denial dan power projection.
Rudal jelajah tidak bisa menggantikan fungsi kapal perang dalam ketiga hal mendasar dalam strategi maritim. Ruang bagi rudal jelajah hanya tersedia sedikit pada sea denial, yaitu rudal jelajah dapat menjadi unsur pelengkap atau pendukung kapal perang dalam melaksanakan sea denial. Misalnya rudal itu ditempatkan di choke points. Hanya sebatas itu saja.
Berangkat dari teori strategi maritim, sudah jelas ada hal yang kurang tepat dari pernyataan petinggi pertahanan negeri ini. Eksistensi Angkatan Laut berikut kapal perangnya sangat mutlak di negeri yang mengaku kepulauan terbesar di dunia ini, sebab means utama strategi maritim bukanlah rudal jelajah. Rudal jelajah dalam strategi maritim hanya sekedar pelengkap atau pendukung, bukan unsur utama.
Indonesia boleh saja punya ribuan rudal jelajah, tetapi tidak akan pernah mampu menangkal spektrum ancaman dan tantangan keamanan maritim. Rudal jelajah tidak akan pernah bisa menghadapi perompakan, pembajakan, terorisme maritim, penyusupan kapal selam asing, mengamati kapal perang asing yang melintas di perairan Indonesia dan lain sebagainya. Semua itu hanya bisa dilaksanakan oleh kapal perang.
Angkatan Laut mempunyai tiga peran universal, yaitu militer, diplomasi dan konstabulari. Means-nya adalah kapal perang dan tidak akan pernah bisa digantikan oleh rudal jelajah, seberapapun canggihnya.

03 Juli 2009

Grand Strategy Dan Struktur Kekuatan Angkatan Laut

All hands,
Untuk mewujudkan kepentingan nasional, disusunlah strategi keamanan nasional. Strategi keamanan nasional merinci beberapa aspek, termasuk di dalamnya aspek militer. Aspek militer kemudian dirinci lebih detail dalam bentuk strategi militer nasional. Sebagian pihak memahami bahwa strategi militer nasional adalah bentuk dari grand strategy.
Grand strategy memiliki keterkaitan erat dengan kebijakan luar negeri, selain dengan kebijakan ekonomi nasional. Sebab pada dasarnya grand strategy terkait dengan penggunaan semua sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan. Oleh karena itu, penyusunan grand strategy tidak boleh menegasikan peran elemen-elemen lain di luar militer, meskipun nantinya militer adalah ujung tombak dari grand strategy itu.
Grand strategy setiap bangsa berbeda-beda, tergantung pada kepentingan nasional masing-masing. Apapun grand strategy yang dipilih, setiap pilihan akan dihadapkan pada dua isu, yaitu isu-isu (keamanan) yang dihadapi dan instrumen-instrumen (yang digunakan) dan struktur kekuatan (militer) yang dibutuhkan. Struktur kekuatan yang dirancang akan sangat tergantung pada isu-isu keamanan yang dihadapi.
Pada sisi lain, struktur kekuatan juga harus berkompromi dengan keterbatasan sumber daya, termasuk keuangan. Namun tidak berarti bahwa struktur kekuatan disesuaikan dengan anggaran. Anggaran harus mengikuti kebutuhan struktur kekuatan, bagaimanapun caranya. Sangat keliru bila struktur kekuatan disesuaikan dengan anggaran, sebab isu-isu keamanan yang berkembang bukan suatu hal yang bisa dikompromikan dengan anggaran.
Grand strategy Indonesia hingga sekarang belum ada. Oleh karena itu, struktur kekuatan laut yang dimiliki saat ini mungkin saja suatu saat harus disesuaikan dengan grand strategy apabila grand strategy telah ditetapkan. Penetapan grand strategy penuh dengan tantangan, termasuk di antaranya mengidentifikasi dengan betul isu-isu keamanan yang akan dihadapi dalam suatu jangka waktu tertentu. Kekeliruan dalam mengidentifikasi hal tersebut dapat bersifat fatal.

02 Juli 2009

Pelajaran Dari Kasus Angkatan Laut India

All hands,
Pada tahun 1978 Angkatan Laut India menyetujui pembentukan Indian Coast Guard. Wilayah operasi Indian Coast Guard adalah hingga perairan teritorial negeri itu. Sedangkan Angkatan Laut India beroperasi di luar laut teritorial, sebab pemerintahan di New Delhi mempunyai ambisi untuk mengendalikan Samudera India. Hasil dari kebijakan itu kini sudah terlihat, yang mana Angkatan Laut India telah menjadi menjadi kekuatan kawasan yang memiliki kemampuan proyeksi kekuatan, selain pengendalian laut tentunya.
Namun dinamika lingkungan keamanan dalam 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa kawasan littoral India penuh dengan ancaman dan tantangan, khususnya terkait dengan terorisme. Kasus serangan di Mumbai pada 26-29 November 2008 membuktikan hal itu, sebab para pelaku penyerangan menggunakan laut sebagai medium untuk menyusup ke wilayah India. Dinamika lingkungan keamanan yang demikian “menggoda” Angkatan Laut India untuk berperan aktif.
Akan tetapi masalahnya adalah kekuatan laut Negeri Sungai Gangga tidak dibolehkan oleh aturan pemerintah untuk beroperasi di dalam perairan teritorial negeri itu. Boleh dikatakan bahwa Angkatan Laut India terkena Posse Commitatus. Yang berwenang beroperasi di perairan teritorial adalah Indian Coast Guard.
Dari sini kemudian muncul penyesalan di kalangan Angkatan Laut India mengapa di masa lalu mereka menyerahkan sepenuhnya kewenangan pada perairan teritorial kepada Indian Coast Guard. Sebenarnya kalau dirunut, penyesalan itu timbul karena kesalahan kekuatan laut India sendiri.
Sebagai aktor keamanan nasional pada domain maritim, Angkatan Laut India tidak merancang strategi maritim yang mengikat semua pemangku kepentingan ketika Indian Coast Guard disetujui untuk berdiri. Mereka terlalu asyik dengan aspirasi menjadi kekuatan laut kawasan, sehingga lupa atau lalai menyusun strategi maritim India yang komprehensif. Karena saat itu tidak ada strategi maritim yang jelas dari Angkatan Laut, Indian Coast Guard kemudian yang menata strategi maritim negeri itu. Akibatnya, dalam strategi maritim buatan Indian Coast Guard tersebut peran Angkatan Laut India dalam perairan teritorial berada pada posisi pinggiran.
Pelajaran yang bisa diambil bagi AL kita adalah sebaiknya kita merancang strategi maritim yang kemudian diajukan kepada pemerintah untuk disahkan. Sebagai aktor pengaman kepentingan nasional di laut, sudah sewajarnya AL berada pada posisi memimpin. Dengan menyusun strategi maritim, salah satu tujuannya adalah memastikan peran sentral AL dalam mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim.
Artinya boleh saja ada aktor lain di laut sepanjang sesuai dengan ketentuan internasional, akan tetapi peran dan fungsi mereka tidak dirancang untuk meminggirkan Angkatan Laut. Harus diingat bahwa eksistensi Angkatan Laut adalah untuk mengamankan kepentingan nasional, di mana pun dan kapan pun!!!

01 Juli 2009

Kembali Ke Khittah

All hands,
Apabila kita perhatikan dengan jeli, saat ini tengah berjalan upaya mengatur kembali manajemen keamanan maritim di Indonesia. Departemen Perhubungan, dalam hal ini Ditjen Perhubungan Laut, telah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penjagaan Laut Dan Pantai (Sea And Coast Guard) sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. RPP itu kini tengah dibahas dengan berbagai pemangku kepentingan di laut, termasuk AL kita.
RPP Penjagaan Laut Dan Pantai sulit untuk ditolak kehadirannya, sebab itu merupakan amanat undang-undang. Sepanjang pengetahuan saya, mayoritas pemangku kepentingan di laut secara umum setuju dengan RPP tersebut. Jikalau ada perbedaan pendapat, itu hanya menyangkut pasal-pasal tertentu saja.
Bila dikatakan mayoritas pemangku kepentingan di laut secara umum setuju dengan RPP Penjagaan Laut Dan Pantai, dapat dipastikan ada pihak yang mungkin merasa dirugikan dengan RPP itu. Salah satunya adalah Bakorkamla yang dapat dipastikan akan kehilangan peran dan fungsi bila RPP itu disahkan oleh pemerintah. Kenapa Bakorkamla akan kehilangan peran dan fungsi?
Sesuai dengan Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan PP lebih tinggi daripada Perpres. Tentu semua paham bahwa dasar hukum Bakorkamla adalah Perpres No.81 Tahun 2005. Dengan adanya Penjagaan Laut Dan Pantai, maka eksistensi Bakorkamla sudah tidak valid lagi.
Selain itu, harus kembali diingat bahwa Bakorkamla adalah badan koordinasi dan sesungguhnya tidak mempunyai kewenangan operasional. Kenyataan di laut menunjukkan bahwa lembaga ini sudah mulai melenceng dari fungsinya dengan terjun langsung pada aspek operasional.
Mengacu pada Pasal 12 RPP Penjagaan Laut dan Pantai, Sea and Coast Guard nantinya akan mempunyai Tim Koordinasi Penjagaan Laut Dan Pantai yang dibentuk oleh Kepala PLP RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala PLP RI. Tim ini akan berisikan perwakilan dari beberapa departemen, selain AL kita tentunya.
Dari sini saja sudah terbayang bahwa eksistensi Bakorkamla nantinya sudah tidak relevan bila PP tentang Penjagaan Laut Dan Pantai disetujui oleh pemerintah.
Selama ini Bakorkamla mempunyai mimpi besar menjadi Badan Keamanan Laut yang merupakan Indonesia Coast Guard. Dengan lahirnya Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, mimpi besar itu makin jauh dari kenyataan. Sebab mengacu pada undang-undang itu dan praktek selama puluhan tahun, KPLP yang sudah eksis saat ini di dalam Ditjen Perhubungan Laut merupakan Indonesia Coast Guard. Posisi KPLP kini semakin kuat untuk menjadi the real Indonesia Sea and Coast Guard.
Kalau kita pelajari dengan betul semua perundang-undangan dari era Belanda hingga kini, semua peran dan fungsi pemerintahan di laut berada pada Ditjen Perhubungan Laut, termasuk KPLP di dalamnya. Sehingga tidak aneh bila Ditjen Perhubungan Laut adalah perwakilan resmi pemerintah negeri ini di IMO. Tidak ada satu pun ketentuan perundang-undangan itu yang menyatakan bahwa peran dan fungsi pemerintahan di laut berada di pundak Bakorkamla.
Apa saja yang dimaksud pemerintahan di laut? Yakni keamanan pelayaran, keselamatan pelayaran dan (pengawasan dan penjagaan) lingkungan laut akibat kegiatan pelayaran. Dari situ tergambar jelas instansi mana yang sudah sepatutnya memikul peran dan fungsi pemerintahan di laut.
Pesannya adalah mari kita letakkan segala sesuatu yang terkait manajemen keamanan maritim sesuai dengan jalurnya atau meminjam istilah NU, sesuai dengan khittahnya. Penjagaan Laut Dan Pantai nantinya akan bertanggung jawab atas peran dan fungsi pemerintahan di laut. Sedangkan AL peran dan fungsinya adalah mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim.