31 Januari 2011

Ketidakcerdasan Segelintir Anak Bangsa

All hands,
Bangsa Indonesia sesungguhnya telah mengalami kemunduran 60 tahun selama ini, hanya saja kemunduran itu tak pernah disadari. Kemunduran itu terjadi by design dan bukan sebuah kesengajaan. Tentu saja menjadi pertanyaan kemunduran di bidang apa? Tak bukan dan tidak lain adalah kemunduran dalam bidang maritim.
Soal pentingnya pembangunan kemampuan maritim ---harus dibedakan antara kemampuan maritim dengan kemampuan Angkatan Laut--- telah didengungkan oleh pemimpin pertama republik ini sejak 1950. Tahun 1950 adalah tonggak baru kehidupan Republik Indonesia setelah pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah eks Hindia Belanda. Kalau mempelajari dengan cermat berbagai pikiran Presiden pertama republik ini, sangat jelas sejak 1950 Sang Bung Besar selalu mendorong dan memompakan semangat agar Indonesia menjadi penguasa di bidang maritim.
Salah satu bukti kebijakan Si Bung Besar adalah adanya postur Angkatan Laut yang kuat pada akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an. Si Bung Besar juga membangun sejumlah fasilitas penelitian terkait laut di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Ambon. Singkatnya, Pemimpin Besar Revolusi itu tidak sebatas berorasi dan retorika belaka, tetapi mampu mewujudkan mimpinya di tengah ekonomi Indonesia yang saat itu jauh dari stabil.
Kini sebagian anak bangsa Indonesia telah bangun dari mimpinya dan mulai berteriak soal pembangunan kekuatan maritim. Sangat disayangkan, teriakan itu sebenarnya sudah terlambat. Sebab pembangunan yang terkait laut saat ini yang dilakukan oleh pemerintah adalah pembangunan kelautan untuk mewujudkan negara kelautan, bukan mewujudkan negara maritim. Bagi sebagian kalangan awam tentu menjadi pertanyaan apa beda kelautan dengan maritim.
Kelautan adalah segala aktivitas yang terkait dengan sumber daya laut (marine), seperti menangkap ikan, pelestarian terumbu karang dan riset terkait sumber daya laut. Adapun maritim adalah segala aktivitas yang terkait dengan laut, entah itu pembangunan kekuatan Angkatan Laut, pembangunan pelabuhan, pengembangan jasa maritim, industri perkapalan, perdagangan lewat laut, penangkapan ikan, pelestarian lingkungan laut, riset terkait dengan laut dan lain sebagainya. Dari situ tergambar bahwa domain maritim jauh lebih luas daripada kelautan, sebab kelautan hanya satu bagian kecil dalam bingkai domain maritim.
Masalahnya, ada segelintir anak bangsa Indonesia yang terus berkampanye mengenai pembangunan negara kelautan. Artinya, mereka bermimpi membangun kejayaan Indonesia lewat aktivitas menangkap ikan dan pengelolaan sumber daya laut. Sementara tidak ada preseden sejarah dari peradaban manusia yang mencatat suatu negara berjaya dari aktivitas kelautan. Sebaliknya, catatan sejarah menunjukkan bahwa kejayaan berbagai bangsa hanya bisa tercapai apabila yang dibangun adalah aspek maritim, bukan aspek kelautan.
Tidak ada marine power dan tidak akan pernah ada marine power, sebaliknya pernah ada, tengah ada dan akan terus ada maritime power di dunia ini. Begitulah dialektika sejarah mengajar kepada manusia, namun sangat disayangkan dialektika itu rupanya tidak dibaca oleh segelintir anak bangsa Indonesia.

30 Januari 2011

Menyeimbangkan Kemampuan

All hands,
Dewasa ini dengan beragamnya tantangan dan ancaman terhadap keamanan, tercipta suatu kondisi di mana kekuatan militer dituntut untuk menyeimbangkan kemampuannya. Pada satu sisi, kekuatan militer ---termasuk Angkatan Laut--- dituntut untuk mampu melaksanakan misi-misi non tradisional. Tetapi pada sisi lain, kekuatan militer dituntut pula harus tetap mampu melaksanakan misi tradisionalnya. Misalnya dalam soal pengembangan kemampuan Korps Marinir.
Secara tradisional Korps Marinir adalah pasukan pendarat. Akan tetapi selaras dengan berjalannya waktu, pasukan Marinir juga mampu melaksanakan misi-misi tempur non pendaratan pantai. Seperti peperangan kota alias urban warfare dan pertempuran di tengah hutan. Yang menjadi masalah, ada kekuatan militer lain yang "cemburu" karena menganggap lahan operasionalnya direbut oleh Marinir.
Dalam kasus Amerika Serikat, seorang mantan Komandan USMC pada 2010 menekankan kembali agar Marinir kembali ke kemampuan tradisionalnya dan tidak disibukkan dengan kemampuan-kemampuan lain seperti peperangan kota yang mereka lakoni di Afghanistan sejak Oktober 2001 dan Irak sejak Maret 2003. Penekanan Jenderal James T. Conway tersebut tidak lain agar USMC tidak melupakan kemampuan tradisionalnya. Tentu saja muncul pro kontra soal penekanan sang Jenderal yang sejak 22 Oktober 2010 jabatannya digantikan oleh Jenderal James F. Amos yang berlatar belakang marine aviator.
Ditarik dalam konteks Indonesia, sesungguhnya hal yang mirip juga terjadi. Sebagai kekuatan darat, Marinir merasa mampu untuk mengemban misi-misi tempur di luar bisnis utamanya yaitu pendaratan pantai. Dengan kata lain, Marinir mampu melaksanakan berbagai misi yang terkait dengan operasi darat lanjutan pasca pendaratan amfibi. Namun seringkali ada kekuatan eksternal yang kurang bahagia dengan gagasan perluasan misi Marinir. Soalnya alasannya tak susah untuk ditemukan, yaitu ego sektoral.
Belajar dari kasus operasi militer di Aceh, ke depan ada baiknya perlu ditinjau kembali secara seksama misi-misi yang diberikan kepada Marinir. Singkatnya, akan sangat membantu untuk mencapai tujuan operasi yang telah ditetapkan apabila Marinir tidak sekedar ditugas di wilayah pesisir yang dalam operasi di Aceh dikenal sebagai Mupe alias permukaan dan pesisir. Untuk mencapai hal tersebut, egoisme sektoral harus di kesampingkan dan sebaliknya operasi gabungan harus di kedepankan.

29 Januari 2011

Mimpi Yang Keropos

All hands,
Berdiskusi tentang industri pertahanan nasional, selama ini ada satu yang dilewatkan oleh banyak pihak dan sebaliknya hanya dipahami oleh sedikit kalangan. Apa itu? Jawabannya tidak perlu panjang, yakni industri pertahanan Indonesia tidak didukung oleh basis yang kuat.
Apa yang dimaksud dengan basis yang kuat? Indonesia pertahanan Indonesia tidak didukung oleh penelitian dan pengembangan yang mumpuni, tak pula didukung oleh industri-industri vendor nasional yang kuat. Sehingga kalau ada pihak yang selama ini berbicara tentang local content, sebagian besar bahasan soal itu cenderung kurang berdasar. Mengapa demikian? Local content tidak dapat didefinisikan sebatas manusia yang menjadi tenaga kerja saja, tetapi mencakup pula material yang dipasok dan dibuat oleh industri nasional, misalnya SME alias small and medium enterprises.
SME adalah basis industri pertahanan di negara-negara Eropa. Industri pertahanan seperti BAe, Thales, EADS dan lain sebagainya didukung oleh ratusan atau bahkan ribuan SME. SME itulah yang membuat berbagai subparts dari sebuah sistem senjata, entah itu rudal, kapal perang, pesawat udara dan lain sebagainya. SME itu pula yang menjadi basis industri pertahanan negara-negara Eropa sehingga pijakan industri itu sangat kokoh dan mampu berkompetisi dengan industri serupa dari seberang Samudera Atlantik.
Memang benar bahwa Indonesia mempunyai sejumlah industri pertahanan. Sayangnya, industri itu tidak mempunyai basis yang kuat alias basisnya keropos. Sebagai contoh, seberapa banyak peran vendor yang berstatus SME untuk mendukung terbangunnya sebuah pesawat udara buatan industri di Bandung atau kapal perang produksi galangan di Ujung, Surabaya? Boleh dikatakan nyaris tak ada SME nasional yang mendukung industri tersebut.
Eksistensi SME untuk mendukung industri pertahanan nasional sifatnya strategis, karena dengan demikian industri itu bisa menggerakkan ekonomi secara signifikan dan terdistribusikan secara luas. Sehingga industri pertahanan tidak lagi dicap sebagai industri menara gading yang tidak dirasakan manfaatnya oleh industri-industri vendor nasional.
Dengan kondisi seperti saat ini, pertanyaannya apakah akan ada kontribusi signifikan dari ambisi membangun kapal perang fregat dan kapal selam di dalam negeri terhadap industri pertahanan nasional secara luas? Yang dimaksud secara luas yaitu bukan saja keuntungan material dan non material yang dinikmati oleh industri yang merakit kapal itu, tetapi keuntungan serupa dirasakan oleh industri-industri yang menjadi vendor galangan perkapalan nasional itu.

28 Januari 2011

Eksploitasi Respon Terhadap Krisis

All hands,
Sejak Maret 2010 Semenanjung Korea dilanda ketegangan militer menyusul ditenggelamkannya kapal korvet ROKS Cheon An (PCC-722) oleh kapal selam Korea Utara. Menyusul kemudian penembakan artileri medan Korea Utara terhadap salah satu pulau milik Korea Selatan pada 22 November 2010. Untuk merespon situasi tersebut, selain menyiagakan kekuatan militernya, Seoul juga segera berkonsultasi dengan Washington. Sebagai respon terhadap provokasi Korea Utara, pada 28 November 2010 Angkatan Laut Korea Selatan dan Angkatan Laut Amerika Serikat kembali berlatih di dekat perbatasan Korea Utara, sebuah latihan yang sebelumnya juga digelar pada 25 Juli 2010 guna merespon tenggelamnya ROKS Cheon An.
Respon terhadap krisis dengan menyebarkan kekuatan militer merupakan hal yang lumrah dalam hubungan antar bangsa. Hanya saja dalam konteks Indonesia, penyebaran kekuatan militer belum dilakukan secara optimal. Sebagai contoh, apabila ada krisis di wilayah tertentu di luar Pulau Jawa, kekuatan yang dikirim lebih banyak kekuatan darat. Sementara kekuatan laut tidak diprioritaskan, padahal penyebaran kekuatan laut di sekitar wilayah krisis memiliki sinyal politik yang jauh lebih kuat daripada kekuatan darat.
Misalnya, di Maluku situasi keamanan tegang karena sesuatu dan lain hal. Merespon perkembangan demikian, sudah seharusnya kekuatan Angkatan Laut disebarkan ke perairan di sekitar Maluku. Setidaknya ada dua pesan yang disampaikan dari penyebaran tersebut. Pertama, kepada "aktor yang nakal" di Maluku bahwa pemerintah tidak main-main menghadapi mereka demi mengamankan kepentingan nasional. Kedua, kepada kekuatan asing yang hendak mengambil keuntungan dengan situasi di Maluku, agar tidak bertingkah "macam-macam" di perairan Indonesia khususnya di sekitar ALKI III.

27 Januari 2011

Jawaban Atas Pertanyaan Tentang Perilaku Cina

All hands,
Cina kini tumbuh menjadi kekuatan politik, ekonomi dan militer baru di tingkat kawasan dan global. Salah satu pertanyaan yang mengusik negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik adalah bagaimana perilaku Cina apabila ketiga instrumen kekuatan nasionalnya makin kuat dan menjadi pesaing Amerika Serikat. Kini jawaban atas pertanyaan itu mulai menemukan bentuknya.
Cina tidak akan jauh berbeda dengan Amerika Serikat dalam perilakunya di kawasan ketika kekuatan politik, ekonomi dan militernya makin kuat. Itulah jawaban dari pertanyaan tersebut. Banyak gejala yang mendukung ke arah yang mendukung jawaban tersebut.
Kasus Taiwan bisa dijadikan salah satu patokan, di mana Cina menekan habis-habisan negara yang tak menganut Kebijakan Satu Cina. Begitu pula dengan kasus penganugerahan hadiah Nobel kepada pembangkang negeri itu pada 10 Desember 2010, Beijing menekan berbagai negara untuk memboikot upacara pengerahan di Oslo. Tekanan pada kedua kasus lebih pada penggunaan instrumen politik dan ekonomi minus militer.
Tidak adanya tekanan memakai instrumen militer tak lain karena kemampuan proyeksi kekuatan laut Cina saat ini masih terbatas. Namun ceritanya akan lain ketika kemampuan proyeksi Angkatan Lautnya meningkat pasca 2020, terlebih ketika eks kapal induk Rusia telah selesai mereka perbaiki. Singkatnya, Cina akan petantang-petenteng pula di dunia, khususnya di kawasan Asia Pasifik.
Kondisi demikian perlu diantisipasi oleh Indonesia. Sebab Indonesia mulai banyak memakai sistem senjata buatan Cina dalam Angkatan Bersenjatanya. Jakarta mempunyai pula konflik dengan Beijing di ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan. Sekali lagi, jangan sampai lepas dari mulut Washington (baca: macan) masuk ke mulut Beijing (baca:buaya).

26 Januari 2011

Paradigma Pengadaan Sistem Senjata

All hands,
Merupakan suatu hal yang sangat menyedihkan saat ini ketika mulai muncul paradigma baru di negeri ini soal pengadaan sistem senjata. Paradigma ini utamanya menimpa sistem senjata yang diawaki. Apa paradigma yang dimaksud?
Paradigma itu adalah pengadaan sistem senjata minus senjata. Seperti pengadaan kapal perang tanpa dipersenjatai dengan lengkap, begitu pula pesawat udara. Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan paradigma ini sangat kuat. Lihat saja daftar belanja sistem senjata yang diawaki dalam 10 tahun terakhir, sebagian besar hanya platform-nya saja. Adapun senjatanya "urusan nanti kalau sudah punya uang", begitu kata para pengambil keputusan.
Paradigma demikian jelas keliru besar dan menyalahi pola pikir dan pola tindak pengambilan keputusan strategis. Kalau lingkungan strategis menunjukkan adanya ancaman potensial terhadap negeri ini ---katakanlah kasus di Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan---, seharusnya direspon dengan pendekatan yang benar. Pendekatan yang benar ini sebenarnya sudah diwariskan oleh generasi perencana pertahanan terdahulu yang kini sudah pensiun ---bahkan sebagian sudah tinggal nama---, tetapi sayangnya ditinggalkan hanya karena alasan anggaran.
Lalu bagaimana dengan soal penangkalan yang selama ini sangat fasih diucapkan dan diajarkan kepada para perwira militer? Masihkah yakin bahwa penangkalan akan muncul dengan sistem senjata yang tidak lengkap? Masihkah yakin bahwa ancaman nyata terhadap Indonesia hanya akan muncul ketika sistem itu sudah dipersenjatai secara lengkap dan tidak akan muncul saat sistem senjatanya minus kemampuan daya rusak?

25 Januari 2011

Armada RI Dan Minimum Essential Force

All hands,
Pengembangan Armada RI ke depan menuntut pula adanya kemampuan-kemampuan yang merata antar tiap armada. Apapun nanti nama pengembangan armada RI, apakah berupa satu armada tunggal yang terdiri dari tiga eskader ataukah satu armada tunggal dengan tiga armada kawasan atau armada bernomor, hal itu bukan masalah. Yang perlu diperhatikan adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki setiap armada kawasan tersebut.
Kemampuan itu akan terkait dengan sistem senjata yang dimiliki. Itu prasyarat penting, sebab eksistensi personel minus sistem senjata yang memadai dari aspek kuantitas maupun kualitas tidak akan berkontribusi positif terhadap kekuatan dan kemampuan armada. Harus diingat bahwa Angkatan Laut adalah sistem senjata yang diawaki.
Bertolak dari kondisi saat ini, pemerataan kemampuan antar armada kawasan pasti memerlukan waktu yang tidak sedikit. Sebab pembentukan armada baru pasti akan bertolak dari situasi yang tak jauh beda dengan keadaan sekarang. Mengingat bahwa pembentukan armada baru berada dalam kerangka MEF, perlu langkah antisipatif jangka menengah yang sangat mungkin daya jangkaunya melampuai MEF. Perlu dipahami bahwa MEF merupakan sasaran antara, bukan sasaran akhir.
Memperhatikan MEF saat ini, sulit mengharapkan armada baru yang nantinya dibentuk akan well established dalam waktu singkat. Artinya, ketika masa MEF berarti kondisi armada baru itu masih perlu pembenahan dan peningkatan terus menerus. Titik krusialnya adalah program pembangunan kekuatan ke depan pasca MEF harus tetap mempunyai keterkaitan dengan MEF, jangan sampai terjadi missing link. Masih sulit untuk memprediksi secara pasti kondisi politik dan ekonomi negeri ini pasca MEF, sebab jaraknya dari saat ini "terlalu jauh".

24 Januari 2011

Pengembangan Armada RI

All hands,
Sesuai dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, ke depan Armada RI akan dikembangkan menjadi tiga armada. Penambahan satu armada diarahkan ke wilayah timur, sehingga nantinya wilayah tanggungjawab Armada RI Kawasan Timur saat ini nampaknya akan dipecah menjadi dua armada. Rencana pengembangan ini sebenarnya bukan hal baru, sebab telah diperjuangkan sejak awal 2000-an oleh Angkatan Laut negeri ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan Armada RI membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit. Baik penyiapan infrastruktur, sistem senjata, organisasi maupun sumberdaya manusia. Mengingat bahwa pengembangan armada tersebut bersifat bertahap, tentu perlu perencanaan sejak dini untuk mewujudkannya. Misalnya yang krusial adalah pengembangan infrastruktur pangkalan, agar ke depan pangkalan armada baru betul-betul memenuhi kriteria sebuah pangkalan Angkatan Laut.
Untuk sistem senjata, menjadi tantangan besar untuk "membagi" sistem senjata Angkatan Laut ke dalam tiga armada. Singkatnya, dibutuhkan modernisasi kekuatan yang konsisten sesuai dengan MEF untuk mencapai kondisi bahwa setiap armada dilengkapi dengan sistem senjata yang memadai dari sisi kuantitas maupun kualitas. Yang krusial di sini antara lain soal penyebaran kapal kombatan pada ketiga armada nantinya, jangan sampai ada armada yang tak memiliki satuan kapal eskorta. Begitu pula dengan kapal selam, perlu ditinjau kembali kebutuhan masa depan seiring dengan akan berkembangnya Armada RI.
Tantangan pada organisasi maupun sumberdaya manusia juga tidak ringan. Semua itu hendaknya dirumuskan sejak dini, sehingga ketika Armada RI dikembangkan tidak ada kesan "didadak" dalam menata persebaran sumberdaya.

23 Januari 2011

Resizing Kekuatan TNI

All hands,
Dinamika lingkungan strategis senantiasa berubah. Situasi ekonomi nasional selalu berubah pula. Sementara kepentingan nasional yang abadi tidak pernah berubah. Kondisi seperti itulah yang dihadapi kekuatan militer setiap negara dalam suatu kurun waktu, termasuk kekuatan militer Indonesia.
Sangat jelas bahwa TNI saat ini tidak menghadapi dunia dalam konfigurasi Perang Dingin. Tidak dapat dibantah pula bahwa ekonomi nasional terkini sangat rawan akan guncangan seiring era globalisasi yang belum ditopang oleh fondasi ekonomi yang kuat, sedangkan faktor ekonomi merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan kekuatan militer dan pertahanan. Dikaitkan dengan kepentingan nasional yang abadi, tak ada pilihan lain bagi instrumen kekuatan nasional ---termasuk TNI--- harus mampu mengamankan itu.
Menghadapi situasi yang demikian, kebijakan resizing kekuatan TNI sangat tepat. Sebab organisasi TNI memang harus berubah menyesuaikan dengan dinamika lingkungan strategis di segala aspek. Yang tidak boleh berubah ada visi TNI sebagai instrumen kekuatan militer Indonesia guna mengamankan kepentingan nasional di mana pun dan kapan pun. Tentu banyak pihak yang bertanya, resizing seperti apa?
Sepengetahuan pribadi saya berdasarkan informasi dari pihak yang berkompeten, resizing berada dalam konteks DSP (istilah di Angkatan Laut negeri ini) atau TOP (terminologi di Angkatan Darat Indonesia). Singkat, DSP/TOP setiap satuan akan ditinjau kembali dengan melihat antara DSP/TOP resmi dengan kenyataan yang ada di lapangan. Misalnya, ada satuan yang DSP-nya 50 personel (semua tingkat kepangkatan), ternyata realisasinya di satuan itu kekuatan ril ada 70 personel. Artinya, ada 20 personel yang tidak masuk dalam DSP.
Sementara di sisi lain, tidak dapat dipungkiri pula bahwa banyak satuan TNI yang DSP/TOP-nya belum terpenuhi. Kelebihan personel dari DSP/TOP suatu satuan teorinya akan disalurkan kepada satuan yang DSP/TOP-nya belum terpenuhi. Secara teoritis demikian, tetapi dalam praktek pasti akan menemukan kendala-kendala yang mungkin lebih bersifat "manusiawi". Seperti personel yang memilih berdinas di satuan yang dekat dengan kampung halamannya atau bahkan di kampung halamannya dengan alasan sebentar lagi akan pensiun, sementara DSP/TOP di satuan itu sebenarnya sudah terpenuhi.
Resizing sebenarnya memiliki kaitan erat dengan tunjangan kinerja alias renumerasi yang dikucurkan pemerintah kepada TNI. Singkatnya, ada benang merah antara renumerasi dengan reformasi birokrasi TNI. Sebab tunjangan kinerja terkait dengan DSP/TOP.
Tak bisa dipungkiri pula bahwa resizing ada yang memahaminya dengan pengurangan personel matra tertentu. Pemahaman demikian boleh-boleh saja, namun perlu dipahami kebijakan resmi soal resizing. Soal bahwa nantinya mungkin ada kelebihan personel setelah dilakukan identifikasi dan pengkajian dengan seksama, menurut hemat saya pengurangan personel bukan pilihan tunggal dan satu-satunya. Masih ada cara lain yang lebih bagus dan cerdas, yaitu membatasi perekrutan personel baru. Katakanlah dalam satu tahun perekrutan ada 3.000 orang, mungkin bisa dibatasi menjadi 2.000 orang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

22 Januari 2011

Imitasi Cina Dan Operasi Gabungan Di Natuna

All hands,
Dalam KTT ASEAN 2011, ASEAN secara resmi akan menerima keanggotaan Amerika Serikat dan Rusia dalam East Asia Summit (EAS). Diundangnya kedua negara yang pernah bermusuhan dalam era Perang Dingin tersebut oleh ASEAN tak lain dimaksudkan untuk mengimbangi peran Cina yang dinilai tidak mampu dihadapi sendirian oleh ASEAN. Pertanyaannya, bagaimana ekuilibrium kawasan Asia Pasifik pasca aksesi Washington dan Moskow ke dalam EAS?
Pada dasarnya ekuilibrium kawasan tidak akan berubah banyak, sebab sebelum kedua negara masuk EAS pada kenyataannya Amerika Serikat sudah berperan dominan di Asia Pasifik, antara lain ditandai dengan kehadiran Armada Pasifik. Yang menjadi tanda tanya adalah peran Rusia dengan Armada Pasifiknya, apakah akan lebih meningkat dibandingkan saat ini? Perlu diketahui bahwa Rusia sebenarnya juga memiliki masalah dengan Cina, khususnya menyangkut sistem senjata.
Sudah menjadi rahasia umum betapa Beijing dengan tanpa izin dari Moskow membuat imitasi sistem senjata keluaran Rusia yaitu pesawat tempur Sukhoi Su-33. Tindakan tersebut jelas melanggar kesepakatan IPR kedua negara yang ditandatangani pada 2008. Kenapa Beijing mengimitasi Su-33?
Hal ini tak lepas dari ambisi Beijing untuk segera mengoperasikan kapal induk yang dibuat berdasarkan tiga eks kapal induk Uni Soviet. Su-33 merupakan pesawat yang dirancang untuk beroperasi dari geladak kapal induk. Apabila pada sekitar 2020 Cina telah mampu mengoperasikan kapal induk, hal itu merupakan lampu kuning bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki sengketa wilayah dengan Cina mesti menempuh langkah antisipasi di sekitar Kepulauan Natuna. Satu di antaranya adalah mengkaji sejak dini pembentukan suatu komando pertahanan gabungan di sekitar ALKI I, dengan pangkalan aju di Pulau Natuna Besar. Rincian gagasan ini memang akan sangat panjang dan lebar dan tidak akan dibahas secara keseluruhan di sini.

21 Januari 2011

Perlakuan Amerika Serikat Terhadap India Dan Pakistan

All hands,
Bila dahulu negara sekutu penting Amerika Serikat di Asia Selatan hanya Pakistan, India pun kini telah menjadi negara sekutu penting berikutnya bagi Washington. Dahulu Islamabad ditabalkan sebagai sekutu penting guna mendongkel Moskow dari Kabul, kini Pakistan dinobatkan sebagai sekutu penting kembali untuk menghancurkan kelompok Al Qaida dan Taliban di Afghanistan. Adapun New Delhi digandeng erat oleh Washington guna menghadapi kebangkitan militer Beijing.
Sejak 1947, India dan Pakistan dilanda perpecahan dan perang karena isu agama. Kedua bangsa yang sebenarnya satu tanah air hingga sekarang masih terus bermusuhan. Isu Kashmir menjadi isu yang belum terselesaikan antar dua negeri itu, kemudian disusul lagi dengan isu terorisme di mana New Delhi menuduh Islamabad mendukung serangan-serangan terorisme terhadap sasaran-sasaran penting dan strategis di India, seperti gedung parlemen dan teror di Bombay pada 26 November 2008. Kedua seteru ini berebutan pengaruh pula di Afghanistan, yang mana karena alasan sempitnya wilayah Pakistan, maka Islamabad menerapkan konsep in depth defense dengan Afghanistan sebagai perimeter terluar pertahanan Pakistan.
Amerika Serikat kini menghadapi dua ancaman sekaligus, yaitu terorisme dan kebangkitan militer Cina. Untuk isu terorisme, Washington sangat membutuhkan bantuan dari Islamabad guna memerangi kelompok Al Qaida dan Taliban di Afghanistan maupun yang berlindung di Pakistan. Sedangkan guna menghadapi kebangkitan militer Cina, bantuan New Delhi sangat diperlukan oleh Washington.
Karena masih terus membaranya permusuhan antara India dan Pakistan, Amerika Serikat mencoba mencari jalan tengah bagi kedua sekutu pentingnya di Asia Selatan tersebut. Washington berupaya pula merangkul New Delhi dan Islamabad agar mau bekerja sama sesuai agenda kepentingannya. Sebagai balasan, kucuran finansial dan bantuan sistem senjata mengalir deras dari Washington kepada kedua ibukota. Hanya saja, kalau dicermati ada diskriminasi perlakuan Amerika Serikat terhadap India dan Pakistan.
Sebagai contoh dalam soal pesawat intai maritim. Guna memperkuat kemampuan peperangan anti kapal selam Pakistan, Washington memberikan bantuan lewat EDA (Excess Defense Article). Sesuai penyebutan, bantuan lewat jalur EDA berarti bantuan sistem senjata bekas pakai militer Amerika Serikat yang telah di-retrofit. Bentuk nyatanya adalah sejumlah pesawat P-3 Orion yang sebelumnya telah menghuni "kuburan" pesawat terbang di New Mexico.
Adapun India tidak mendapatkan bantuan lewat EDA, namun lewat jalur FMS yaitu diizinkannya New Delhi membeli pesawat patroli maritim terbaru P-8 Poseidon yang bahkan satu unit pun belum operasional di skadron udara U.S. Navy. Sejauh ini P-8 Poseidon baru menjalani uji purwarupa alias prototipe untuk keperluan sertifikasi. India kalau tidak salah tercatat sebagai konsumen asing pertama untuk P-8 Poseidon. Seperti diketahui, pesawat patroli maritim yang berbasis dari pesawat komersial Boeing B-737-800/900 ini dimaksudkan untuk menggantikan P-3 Orion yang telah berdinas di U.S. Navy sejak awal 1960-an.
Dari ilustrasi ini tergambar jelas perbedaan perlakuan Washington terhadap New Delhi dan Islamabad. Pemberian pesawat P-3 Orion bekas menandakan Amerika Serikat sudah berhitung
bahwa persekutuannya dengan Pakistan paling lama cuma sampai 2014 ketika pasukan Amerika Serikat dan NATO sepenuhnya telah menarik diri dari Afghanistan. Setelah itu Islamabad akan kembali diperlakukan seperti pasca 1989 ketika Uni Soviet telah menarik diri dari Afghanistan. Singkatnya, terlihat gelagat kuat bahwa Pakistan akan segera "dibuang" oleh Amerika Serikat. Islamabad sendiri tidak bodoh soal ini, bisa dilihat dari upayanya meningkatkan kerjasama militer dengan Beijing, termasuk pengadaan sistem senjata dan produksi bersama sistem senjata.
Adapun India dipastikan akan terus dirangkul oleh Amerika Serikat, sebab upaya membendung kebangkitan militer Cina merupakan upaya jangka panjang dan tidak cukup lima atau 10 tahun saja. Pemberian izin penjualan P-8 Poseidon kepada India menandakan bahwa persekutuan Amerika Serikat-India akan berjalan lama.

20 Januari 2011

Konsistensi Bantuan Amerika Serikat Kepada Indonesia

All hands,
Sebagai negara mitra Indonesia, Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir selalu konsisten membantu perkuatan kekuatan militer Indonesia, termasuk Angkatan Laut negeri ini. Pasca November 2005, Washington telah beberapa kali memberikan bantuan kepada kekuatan laut Indonesia. Hingga kini, bila ditarik garis lurus maka akan terlihat konsistensi tersebut.
Konsistensi itu yaitu konsisten memberikan bantuan yang tidak menambah fire power maupun mobilitas kekuatan Angkatan Laut. Jenis bantuan yang dikucurkan adalah bantuan yang "remeh-temeh", yang sebenarnya tanpa harus dibantu oleh Washington pun Jakarta bisa melaksanakan pengadaan barang atau sistem senjata itu secara mandiri menggunakan anggaran sendiri. Singkatnya, bantuan militer Amerika Serikat kepada kekuatan laut negeri ini sebenarnya tidak bernilai strategis, sementara bantuan yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah yang bersifat strategis.
Dari sini terlihat betapa kemitraan komprehensif yang telah disepakati kedua negara belum dieksploitasi secara optimal oleh Indonesia. Harus diingat bahwa Washington membutuhkan Jakarta, sehingga Jakarta harus cerdas dalam meminta sumberdaya dari Washington dalam kemitraan tersebut.

19 Januari 2011

Konsep Operasi Marinir Amerika Serikat Di Asia Pasifik

All hands,
Kekuatan USMC merupakan satu dari dua tulang punggung gelar kekuatan yang dilaksanakan oleh militer Amerika Serikat dalam rangka mengamankan kepentingan nasionalnya. Kekuatan lainnya adalah saudara USMC, yaitu U.S. Navy. Keduanya selalu menjadi andalan untuk merespon krisis yang terjadi di berbagai belahan dunia. Terkait dengan peran sebagai kekuatan yang merespon krisis, sejak 2001 USMC telah menyusun konsep operasi di kawasan Asia Pasifik, baik secara mandiri alias matra tunggal maupun operasi gabungan.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah konsep operasi matra tunggal yang dianut oleh USMC di kawasan. Sejak sembilan tahun terakhir USMC telah mampu menggelar operasi di kawasan Asia Pasifik dari pangkalan di Okinawa ke Asia Tenggara tanpa dukungan angkutan laut dan udara strategis. Maksudnya, Wing Udara Marinir yang berpangkalan di Okinawa mampu menggelar pergeseran pasukan dan logistik ke Asia Tenggara hanya dalam hitungan jam setelah perintah operasi dikeluarkan.
Kemampuan pergeseran kekuatan USMC itu didukung sepenuhnya oleh pesawat-pesawat angkut taktis, baik sayap tetap maupun sayap putar. Kedua jenis pesawat tersebut dilengkapi kemampuan melakukan pengisian bahan bakar udara dengan pesawat tanker KC-130 Hercules sebagai andalan. Seperti diketahui, kekuatan udara Marinir Amerika Serikat di Asia Pasifik bertumpu pada 1st Marine Air Wing (MAW) yang berpangkalan di Futenma guna mendukung operasi III Marine Expeditionary Force (MEF).
Dengan kemampuan menggeser kekuatan secara mandiri menggunakan berbagai pesawat udara taktis, tidak diragukan bahwa militer Amerika Serikat mampu merespon krisis di Asia Tenggara secara cepat (dalam hitungan jam). Hal itu juga menunjukkan bahwa seandainya pun di sekitar kawasan Asia Tenggara sedang tidak ada Marine Afloat yang berpangkalan di atas kapal serang amfibi, kondisi demikian sama sekali tidak berpengaruh signifikan terhadap militer Amerika Serikat guna merespon krisis.

18 Januari 2011

Peluang Dari Defense Trade Cooperation Agreement

All hands,
Banyak cara ditempuh oleh tidak sedikit negara di dunia untuk dapat menguasai teknologi yang terkait dengan sistem senjata. Satu di antaranya yaitu dengan menjalin kerjasama lewat ikatan Defense Trade Cooperation Agreement (DTCA) dengan negara pemilik teknologi tertentu. Melalui DTCA, suatu negara dapat mengakses teknologi tertentu yang dipunyai oleh negara mitra perjanjian tersebut. Biasanya DTCA mengatur soal teknologi sensitif, yang dalam konteks Angkatan Laut antara lain berupa teknologi kapal selam, enskripsi dan lain sebagainya.
Sejauh ini, Australia dan Inggris tercatat sebagai negara yang telah memiliki DTCA dengan Amerika Serikat. Perjanjian itu telah diratifikasi oleh Senat Amerika Serikat pada 2010, sehingga kini tinggal memasuki tahap pelaksanaan. Untuk kasus Australia, DTCA antara lain dikembangkan guna mendukung ambisi pembangunan 12 kapal selam baru menggantikan enam kapal selam kelas Collins. Seperti diketahui, Australia mempunyai pengalaman pahit dalam membangun dan mengoperasikan kapal selam kelas Collins, meskipun sebenarnya kapal selam itu teknologinya juga dipasok oleh Washington.
Terkait dengan Indonesia, ada baiknya bila Jakarta mengkaji kemungkinan penerapan DTCA dengan negara pemilik teknologi maju. Entah dengan Jerman, Rusia, Cina, India, Australia atau Amerika Serikat. DTCA merupakan salah satu peluang untuk memperkuat penguasaan teknologi sensitif di bidang militer dan pertahanan. Dengan DTCA, ada ikatan hukum yang mengikat Indonesia sehingga negara yang diajak kerjasama tidak terlalu khawatir akan terjadinya kebocoran informasi terkait teknologi yang mereka berikan kepada Indonesia.

17 Januari 2011

Teknologi Versus Kedaulatan

All hands,
Teknologi memiliki relevansi langsung dengan kedaulatan. Contoh soal ini banyak sekali. Misalnya, Inggris yang "patah hati" karena tidak diberi akses oleh Amerika Serikat terhadap kode-kode dalam perangkat lunak pesawat tempur F-35 JSF, sehingga mengembangkan sendiri perangkat lunak sistem senjata itu. Ada pula cerita tentang sedikitnya Angkatan Laut di dunia yang diberi akses oleh Amerika Serikat terhadap teknologi Aegis. Atau cerita tentang embargo yang dijatuhkan Amerika Serikat kepada Indonesia beberapa tahun lalu yang berujung pada rendahnya tingkat operasional sistem senjata tertentu milik militer Jakarta.
Isu teknologi versus kedaulatan memang isu yang problematik. Mengapa demikian? Pada satu sisi, negara-negara maju berupaya mengendalikan proliferasi berbagai macam sistem senjata maju. Akan tetapi di sisi lain, teknologi yang terkait dengan sistem senjata butuh pula untuk ditransfer ke negara-negara sekutu, kawan dan mitra sampai pada tingkatan tertentu. Penyebaran teknologi itu bukan berarti tanpa resiko, khususnya apabila bocor kepada negara lain yang tidak dikehendaki.
Dalam era globalisasi dewasa ini, kerjasama di bidang teknologi pertahanan merupakan hal yang tak bisa dihindari. Di sinilah munculnya tantangan terhadap kedaulatan, khususnya terhadap negara pemilik asal teknologi. Namun dari perspektif lain, sangat sulit bagi suatu negara untuk memakai sendiri sistem senjata buatannya dengan teknologi maju yang ada di dalam sistem senjata itu tanpa mengekspor ke negara lain, sebab di sini harus dipertimbangkan pula faktor-faktor ekonomi.
Terkait dengan Indonesia, bangsa ini harus sadar bahwa kemandirian alias self suffiency dalam teknologi pertahanan biayanya sangat besar, sehingga sulit untuk diwujudkan secara absolut. Sebagai contoh, Indonesia tidak memiliki tambang biji besi sebagai bahan baku bagi baja. Padahal baja itu diperlukan bagi pembangunan kapal perang dan sistem senjata lainnya. Itulah gambaran betapa kemandirian absolut tidak ada.
Artinya, kedaulatan dalam teknologi sistem senjata juga tak bersifat mutlak. Harus ada trade off antara kedaulatan dengan hal-hal yang terkait produksi sistem senjata, seperti material/bahan baku atau teknologi sistem senjata itu sendiri.

16 Januari 2011

Hubungan Kekuatan Maritim Dengan Kekuatan Udara

All hands,
Selama ini di Indonesia terdapat pemahaman yang keliru terhadap istilah kekuatan maritim, termasuk di lingkungan militer. Kekuatan maritim disalahpahami menjadi sekedar kekuatan Angkatan Laut. Pemahaman demikian sangat jelas keliru, sebab kekuatan maritim merupakan gabungan dari kekuatan Angkatan Laut dan kekuatan lainnya, baik kekuatan sipil maupun militer. Artinya, kekuatan udara maupun kekuatan darat dapat menjadi bagian dari kekuatan maritim.
Menyangkut kekuatan udara, kekuatan ini sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kekuatan maritim. Hanya saja di Indonesia pemikiran demikian belum membumi, sebab seringkali kekuatan udara di negeri ini merasa berdiri sendiri. Padahal dalam operasi yang berlangsung pada domain maritim maupun daratan, kekuatan ikut sesungguhnya merupakan kekuatan yang mem-back keduanya.
Karena kekuatan udara adalah bagian dari kekuatan maritim, di Indonesia perlu dikembangkan suatu doktrin maritim yang komprehensif. Artinya, doktrin maritim harus pula menyediakan ruang untuk mengakomodasi peran kekuatan udara dalam operasi maritim. Doktrin maritim ini meskipun isinya pasti akan didominasi oleh kekuatan laut, tetapi harus tetap menyediakan ruang bagi kekuatan udara. Kekuatan udara yang dimaksud bukan semata Angkatan Udara, tetapi juga unsur penerbangan sipil yang dapat dimobilisasi bagi kepentingan operasi maritim.

15 Januari 2011

Kategori Operasi HADR Angkatan Laut Amerika Serikat

All hands,
Dalam strategi maritim Amerika Serikat, salah satu kemampuan inti yang harus dipunyai oleh Angkatan Laut Amerika Serikat adalah HADR. Tidak perlu diulas lagi mengapa HADR kini menjadi bagian penting dalam kemampuan inti U.S. Navy. Yang sebaiknya perlu diketahui adalah sifat operasi HADR yang dianut oleh kekuatan laut terkuat di dunia tersebut.
U.S. Navy membagi operasi HADR dalam dua kategori. Pertama, proactive HADR. Kedua, reactive HADR. Apa beda antara kedua kategori tersebut?
Proactive HADR adalah operasi HADR yang rutin digelar selama ini tanpa harus menunggu ada bencana alam atau tidak. Misalnya Pacific Partnership untuk di kawasan Pasifik dan Continuing Promise bagi kawasan hemisphere. Kalau di Indonesia dapat disetarakan dengan Ops SBJ yang secara rutin digelar oleh kekuatan laut Indonesia.
Reactive HADR adalah operasi HADR yang digelar untuk merespon suatu bencana alam. Misalnya Unified Assistance yang digelar guna menjawab bencana gempa dan tsunami di sekitar Samudera India pada 26 Desember 2004. Untuk tingkat Indonesia, dapat disetarakan dengan operasi-operasi yang digelar untuk merespon bencana gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, begitu pula dengan banjir dahsyat di Wasior pada 3 Oktober 2010.
Berangkat dari konsep operasi yang sudah matang, bukan suatu hal yang mengherankan kalau Angkatan Laut Amerika Serikat senantiasa siap menggelar operasi HADR, apapun kategori operasinya. Tingkat kesiapan Angkatan Laut Amerika Serikat memang tinggi, sehingga dapat merespon bencana dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini masih menjadi tantangan di Indonesia, di mana respon terhadap bencana seringkali melebihi 24 jam.

14 Januari 2011

Amerika Serikat Masih Dibutuhkan Di Kawasan Asia Pasifik

All hands,
Sejak 2010 Amerika Serikat mendapat tantangan dari kawasan Asia Pasifik yang mempertaruhkan reputasinya. Tantangan itu datang dari Cina dan Korea Utara. Cina bersikeras soal klaimnya atas seluruh wilayah Laut Cina Selatan, sementara Korea Utara makin bertindak gila dengan memprovokasi Korea Selatan, misalnya penenggelaman kapal korvet ROKS Cheon An (PCC-772) pada 26 Maret 2010 dan penembakan meriam ke salah satu pulau Korea Selatan pada 23 November 2010.
Isu Laut Cina Selatan maupun Semenanjung Korea jelas merupakan tantangan terhadap kehadiran Amerika Serikat di kawasan. Sebab dalam kedua konflik tersebut, Cina merupakan aktor yang menantang Amerika Serikat dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Korea Utara berani bertindak nekad karena faktor Cina. Dengan kata lain, sebenarnya yang menantang Washington di Asia Pasifik adalah Beijing.
Tentu saja tantangan demikian diladeni oleh Washington. Sebab hal itu terkait dengan kredibilitasnya di kawasan, sebab kegagalan menjawab tantangan itu akan mempengaruhi citra Amerika Serikat. Bukan tidak mungkin, akan muncul negara-negara lain di kawasan yang akan menantang Amerika Serikat karena yakin pamor Washington di wilayah ini telah menurun.
Dalam konteks ini, Indonesia sebaiknya memainkan dengan optimal posisi Amerika Serikat yang demikian. Maksudnya, Jakarta harus menggunakan kartu truf yang dipunyai guna meraih keuntungan sebesar-besarnya dari Washington. Toh Washington membutuhkan Jakarta untuk menghadapi Beijing. Cara ini jauh lebih menguntungkan bagi kepentingan nasional daripada Jakarta bertindak "nakal".
Suka atau tidak suka, kehadiran Washington di kawasan Asia Pasifik masih dibutuhkan. Sulit untuk membayangkan apabila hanya ada satu aktor dominan di kawasan ini yang dapat dengan seenaknya "menginjak kaki" negara lain. Perilaku "injak kaki" itu selama ini sudah terlihat gejalanya dari negara tertentu. Sulit untuk melawan perilaku "injak kaki" tersebut, sebab negara-negara di kawasan ini tidak memiliki instrumen kekuatan nasional yang setara dengan negara yang suka "injak kaki" itu. Hadirnya Amerika Serikat akan membantu negara-negara kawasan menghadapi perilaku "injak kaki" itu, meskipun semua pihak sadar Amerika Serikat juga sering bermain kasar di kawasan.

13 Januari 2011

Kesatuan Sikap Dalam Berhadapan Dengan Militer Asing

All hands,
Indonesia sebagai bangsa memiliki beragam kebutuhan dalam mengamankan kepentingan nasionalnya, satu di antaranya adalah kesatuan sikap dalam menghadapi tindakan militer asing yang dipandang melecehkan bangsa. Kesiapan sikap tersebut dibutuhkan mulai dari aparat pengambilan keputusan di tingkat atas hingga aparat operasional di bawah. Dalam konteks tersebut, pendekatan yang harus dilakukan hendaknya bukan saja terukur, tetapi mempunyai pula unsur shock therapy. Selama ini, nampak jelas bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk merespon pelecehan oleh militer asing, khususnya Angkatan Laut asing, sama sekali tidak memperhatikan aspek shock therapy agar peristiwa itu tidak terulang di kemudian hari.
Selama ini sepertinya ada kesan kuat akan ketakutan yang tidak beralasan untuk memberikan shock therapy. Di sinilah butir penting dari pentingnya kesatuan sikap secara nasional tersebut. Singkatnya, pengambil kebijakan politik hendaknya memberikan restu politik untuk memberikan shock therapy kepada pihak pelanggar. Tidak perlu takut dengan tindakan itu, sebab di manapun tindakan shock therapy senantiasa terukur. Aturan soal ini hendaknya dijabarkan dengan jelas dan bahasa yang terang serta hanya memiliki satu penafsiran tunggal dalam aturan pelibatan.

12 Januari 2011

Meningkatkan Kerjasama Indonesia-Prancis

All hands,
Kerjasama di bidang pertahanan dan militer antara Indonesia dan Prancis selama ini masih belum optimal. Masih banyak peluang kerjasama kedua negara yang belum digarap secara optimal, walaupun sejak 1970-an Jakarta merupakan salah satu konsumen sistem senjata buatan Paris. Misalnya rudal Exocet, helikopter Collibri dan lain sebagainya. Untuk meningkatkan kerjasama kedua negara, secara rutin petinggi militer Paris yang diwakili oleh Panglima Armada Samudera India melawat ke Jakarta yang biasanya diikuti oleh kapal induk helikopter Jean d' Arc yang kini telah dipensiunkan terhitung 1 September 2010.
Tentu menjadi pertanyaan mengapa kerjasama Indonesia-Prancis di bidang pertahanan dan militer belum optimal. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu, salah satu perspektif yang ditawarkan adalah sudut pandang geopolitik. Dari perspektif itu, kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah pengaruh Amerika Serikat, termasuk soal pasaran senjata. Bukan berarti negara-negara lain tidak boleh memasuki pasar senjata kawasan ini, tetapi porsinya telah dibatasi.
Disadari atau tidak, Washington selama ini berupaya untuk mengekang gerakan penjualan senjata Paris di Asia Tenggara. Hanya sistem senjata tertentu yang bisa masuk di kawasan ini, khususnya yang tidak dibuat oleh Washington. Misalnya kapal selam kelas Scorpene yang dibeli oleh Negeri Tukang Klaim yang bodoh. Sementara untuk rudal anti kapal permukaan pun seperti Exocet dibatasi penjualannya oleh Washington, seperti menggunakan isu ada komponen buatan Amerika Serikat dalam rudal itu. Di balik isu komponen, sebenarnya terselip pula aspirasi membatasi penjualan rudal buatan Prancis dan sebaliknya mendorong negara-negara kawaasan memakai rudal produksi Amerika Serikat seperti Harpoon.
Indonesia berada dalam kondisi seperti itu. Akan tetapi tak berarti tidak ada peluang untuk meningkatkan kerjasama pertahanan dan militer dengan Prancis. Sebagai contoh, Indonesia bisa mempertimbangkan pengadaan kapal fregat kelas FREMM untuk menggantikan fregat kelas Van Speijk untuk 10-15 tahun ke depan. Meskipun fregat kelas Van Speijk baru akan pensiun dalam periode itu, namun hendaknya sejak dini dilirik kapal fregat jenis apa yang cocok menggantikannya. Soal apakah nanti pengadaan fregat kelas FREMM lewat lisensi dan atau offset, itu urusan belakangan.
Jakarta dapat melirik pula kapal amfibi BTP Mistral produksi Prancis. Daya muat kapal itu lebih besar daripada LPD buatan Korea Selatan yang digunakan oleh Indonesia saat ini. Sebagai latar belakang, Prancis sangat terbuka untuk bekerjasama dengan negara lain dalam memasarkan kapal itu, termasuk program lisensi dan atau offset. Keinginan Rusia untuk membeli kapal amfibi BTP Mistral menunjukkan potensi kapal perang itu yang dapat dieksploitasi oleh Indonesia, sebab beberapa negara eks Uni Soviet langsung gentar dengan manuver Moskow tersebut.

11 Januari 2011

Mengefektifkan Penghapusan Sistem Senjata

All hands,
Sistem senjata apapun mempunyai life time, sehingga suatu saat pasti akan dihapus. Begitu pula dengan berbagai sistem senjata yang memperkuat Angkatan Laut. Dalam konteks Indonesia, menjadi tantangan bagaimana mengefektifkan sistem senjata yang akan dihapus. Salah satu peluang yang tersedia untuk mengefektivitaskan hal tersebut adalah menjadikan sistem senjata yang akan dihapus sebagai sasaran ujicoba sistem senjata.
Misalnya rudal dan torpedo yang akan segera habis life time-nya ditembakkan terhadap sasaran yaitu kapal perang yang juga telah dihapus dari aset Angkatan Laut. Dengan demikian, ada keuntungan yang dapat diraih oleh kekuatan laut negeri ini. Yaitu menjaga kemampuan personel dalam penembakan rudal mulai dari proses identifikasi sasaran hingga penghancuran sasaran, tidak adanya rudal dan torpedo yang "terbuang" begitu saja dan mempermudah penghapusan kapal perang tanpa harus dipotong-potong sebagai besi tua.
Selain rudal dan torpedo yang akan segera dihapus, kapal perang yang dihapus dapat pula menjadi target dari ujicoba sistem senjata terbaru yang dimiliki oleh Angkatan Laut. Seperti rencana penghapusan LST kelas Teluk Langsa yang akan segera menjadi sasaran salah satu rudal jelajah dan canggih di dunia yang kini dipunyai oleh kekuatan laut Indonesia. Mengingat bahwa kapal perang buatan Amerika Serikat memiliki ketebalan baja yang cukup tebal ---mungkin hanya kalah dengan ketebalan baja pada kapal perang Rusia---, maka ujicoba penembakan sistem senjata yang ditakuti oleh negara-negara Barat tersebut sekaligus menjadi ajang pengetesan seberapa jauh daya rusak rudal itu.

10 Januari 2011

Jembatan Laut Dan Pemahaman Geopolitik

All hands,
Dewasa ini bangsa Indonesia tengah diserang oleh penyakit yang mematikan, yaitu hasrat dan ambisi untuk membangun jembatan antar pulau. Ada hasrat dan ambisi kuat bahwa (kalau bisa) semua pulau di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 17.000 dihubungkan dengan jembatan laut. Hasrat dan ambisi tersebut lahir karena memandang laut sebagai penghalang terhadap pembangunan ekonomi, seperti laut sebagai pemicu biaya tinggi dari kegiatan distribusi barang.
Kini ada ambisi membangun jembatan laut di Selat Sunda yang merupakan bagian dari ALKI I. Ada pula propinsi di Indonesia yang sangat berhasrat dan berambisi membangun jembatan laut di Selat Malaka ke wilayah Negeri Tukang Klaim.
Tidak sadarkah para petinggi propinsi yang ambisius itu bahwa mereka sekedar menjadi alat bagi pemuasan nafsu birahi geopolitik Negeri Tukang Klaim? Masalah jembatan laut di Selat Malaka bukan sekedar urusan ekonomi, tetapi juga politik yaitu perluasan geopolitik Negeri Tukang Klaim ke daratan Pulau Sumatera. Tidakkah para petinggi itu berpikir bahwa suatu saat nanti wilayah mereka akan dicaplok secara geopolitik oleh Negeri Tukang Klaim yang licik dan rasis itu? Dicaplok secara geopolitik artinya secara hukum wilayah propinsi itu masih masuk wilayah kedaulatan Indonesia, tetapi pengaruh politik yang ada di sana bukan pengaruh politik Jakarta, tetapi pengaruh politik Negeri Tukang Klaim.
Selama bangsa Indonesia masih memandang laut sebagai halangan, bangsa ini tak akan pernah maju secara politik, ekonomi dan militer. Kemajuan bangsa ini ditentukan seberapa mampu mengelola potensi maritim yang sudah diberkahi oleh Allah SWT, bukan mengelola potensi kelautan. Sebab kelautan hanyalah satu bagian kecil dalam sebuah bangunan besar yang bernama domain maritim.

09 Januari 2011

Stabilitas Dari Laut

All hands,
Dalam era globalisasi, stabilitas keamanan kawasan merupakan hal yang tak bisa dikompromikan dan ditawar. Karena tulang punggung globalisasi adalah laut, maka stabilitas keamanan kawasan akan senantiasa terkait dengan keamanan maritim. Dengan kata lain, laut adalah sumber stabilitas maupun instabilitas kawasan.
Kerangka berpikir seperti ini hendaknya melekat pada para pengambil keputusan di Indonesia. Alasannya tak lain dan tidak bukan karena dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan, di mana wilayah perairan tersebut merupakan dua pertiga dari luas kawasan Asia Tenggara. Namun dalam realitanya, sangat disayangkan bahwa para pengambil keputusan ---khususnya di Departemen Pertahanan--- tidak berpikir dalam kerangka demikian. Sebagai bukti adalah kekalahan Indonesia dalam urusan focal point kerjasama ADMM+, di mana Indonesia secara sadar dan dengan sengaja menyerahkan urusan stabilitas keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara kepada Negeri Tukang Klaim dan negeri penindas Aborigin. Sebaliknya, Indonesia lebih senang mengambil posisi focal point dalam urusan pemeliharaan perdamaian yang sebenarnya tidak terkait dengan kepentingan nasional Indonesia yang bersifat survival maupun penting.
Baik Negeri Tukang Klaim maupun negeri penindas Aborigin sangat menyadari pentingnya stabilitas dari laut. Ambisi Negeri Tukang Klaim adalah kalau bisa pengendalian Indonesia atas Laut Natuna yang merupakan wilayah teritorial Indonesia dilenyapkan, sehingga tak ada lagi penghalang antara wilayah semenanjung dengan kawasan Sabah-Serawak. Adapun bagi negeri penindas Aborigin, kalau bisa Indonesia hanya mempunyai Angkatan Laut di atas kertas namun di laut tidak mampu menggelar kekuatan. Sebab eksistensi Angkatan Laut Indonesia yang kuat dan tak sekedar di atas kertas merupakan ancaman terhadap kebebasan bernavigasi dari dan menuju Australia.
Oleh karena itu, tak heran bila kedua negara anggota FPDA itu kompak mengusulkan diri untuk menjadi focal point bidang keamanan maritim dalam ADMM+. Masalahnya pula, Jakarta tidak merasa diri kalah soal kegagalan merebut kepemimpinan agenda keamanan maritim. Malah Jakarta lebih bangga mengurus perdamaian dunia. Artinya, Jakarta lebih suka mengurus mengurus halaman orang lain dan menyerahkan urusan halaman sendiri kepada orang lain.
Hal ini mirip dengan kasus Timor Timur 1999. Ketika Indonesia sedang berasyik-masyuk menyalurkan "syahwatnya" terhadap urusan perdamaian dunia di negeri orang, Jakarta tidak merasa kecolongan ketika ada orang lain mengurus perdamaian dunia di Timor Timur. Pola seperti ini sekali lagi mencerminkan bahwa stabilitas dari laut hanya dipahami oleh pihak asing yang luas lautnya lebih kecil daripada Indonesia, sementara Indonesia sendiri justru tak paham apa arti stabilitas dari laut.

08 Januari 2011

Menyembunyikan Masalah Di Bawah Karpet

All hands,
Indonesia sampai saat ini masih menganut pendekatan menyembunyikan masalah di bawah karpet. Pendekatan ini merupakan peninggalan rezim Orde Baru dan telah terbukti "kemanjurannya". Kekalahan Indonesia dalam kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bukti nyata "kemanjuran" pendekatan itu. Kini pun sejumlah kasus dengan beberapa negara di sekitar Indonesia dicoba disembunyikan di bawah karpet, hanya saja upaya itu tidak sepenuhnya berhasil karena adanya kebebasan bersuara bagi rakyat Indonesia dan juga kebebasan pers.
Semestinya pendekatan menyembunyikan masalah di bawah karpet sudah ditinggalkan, sebab terbukti tidak berpihak kepada kepentingan nasional. Sangat keliru kalau kepentingan nasional dikorbankan demi "rasa tidak enak" kepada beberapa negara di sekitar Indonesia. Contoh kasus yang cenderung diupayakan disembunyikan di bawah karpet adalah sengketa perbatasan di beberapa wilayah dengan Negeri Tukang Klaim, begitu pula dengan tindakan eksesif terhadap nelayan Indonesia yang mencari ikan di perairan perbatasan Indonesia-Australia, tak luput pula upaya merevisi MoU Box yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman lagi.
Kini menjadi pertanyaan apa perlunya mempertahankan menyembunyikan masalah di bawah karpet? Justru karena memakai pendekatan ini maka Indonesia seringkali tidak memegang inisiatif. Dalam bahasa sederhana, Indonesia lebih sering "menyerahkan" penguasaan bola kepada negara lain untuk kemudian ditendang ke gawang Indonesia.

07 Januari 2011

Menyiapkan Instrumen Kekuatan Nasional Hadapi Asertivitas Cina

All hands,
Kini Cina sangat asertif dalam isu Laut Cina Selatan, di mana seluruh wilayah perairan itu diklaim sebagai miliknya. Termasuk yang diklaim adalah wilayah ZEE Indonesia di utara Kepulauan Natuna. Belajar dari kasus sengketa batas wilayah maritim Cina-Jepang atas Kepulauan Sensaku yang mana Beijing sempat menghentikan ekspor material langka tertentu ke Jepang sebagai reaksi atas tindakan Tokyo yang menahan kapten kapal ikan Cina yang menabrak kapal patrol Japan Coast Guard, Indonesia belum terlambat untuk menyiapkan instrumen menghadapi asertivitas Cina di Laut Cina Selatan.
Guna menyiapkan instrumen kekuatan nasional itu, hal pertama dan utama yang dibutuhkan adalah kesepahaman nasional. Harus ada satu sikap antar berbagai aktor yang memegang masing-masing instrumen kekuatan nasional. Jangan sampai kasusnya sama dengan ketika menghadapi Negeri Tukang Klaim di perairan dekat Pulau Bintan, ketika ada instrumen kekuatan nasional yang tidak berjuang untuk mengamankan kepentingan nasional.
Selanjutnya, instrumen apa yang harus disiapkan? Pertama, instrumen militer. Salah satu bahasa yang dipahami oleh Beijing adalah bahasa militer, sehingga Jakarta harus mampu berbicara dalam bahasa itu terhadap Beijing. Kalau cuma bahasa diplomatik, Beijing tidak paham.
Kedua, instrumen ekonomi. Perdagangan bebas ASEAN-Cina bisa dijadikan salah satu kartu truf guna merespon asertivitas Cina di Laut Cina Selatan. Misalnya, melakukan tindakan proteksionisme keras dengan menghentikan atau menghambat impor komoditas tidak strategis dari Cina, semisal peralatan rumah tangga, mainan anak-anak sampai dengan berbagai jenis komoditas lainnya. Termasuk di dalamnya penghentian impor berbagai jenis buah, toh Cina bukan satu-satunya negara di dunia penghasil buah.
Minimal sekali dua instrumen itu harus dimainkan. Terkait instrumen ekonomi, diharapkan pengambil kebijakan di bidang perdagangan memahami kembali arti kehidupan berbangsa dan bernegara. Singkatnya, pembukaan selebar-lebarnya pintu impor komoditas tidak strategis dan vital bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Lalu timbul pertanyaan, apakah instrumen politik/diplomasi tidak dimainkan? Semestinya instrumen itu bisa dimainkan apabila tujuannya mengacu pada pengamanan kepentingan nasional, bukan menciptakan perdamaian dunia. Selama diplomat Dunhill masih menjadikan perdamaian dunia sebagai kepentingan nasional tertinggi, selama itu pula sulit untuk berharap pada peran instrumen politik/diplomasi.

06 Januari 2011

Proyek PKR Sama Dengan LPD?

All hands,
Seperti telah diduga sebelumnya, ambisi Departemen Pertahanan untuk memberdayakan industri pertahanan nasional dalam rangka mendukung kebutuhan sistem senjata Angkatan Bersenjata, termasuk sistem senjata Angkatan Laut, belum berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Kesiapan industri pertahanan nasional dalam rangka mewujudkan ambisi tersebut tidak sesuai harapan, dengan contoh kasus proyek LPD yang merupakan co-production dengan galangan kapal Korea Selatan. Sebagaimana halnya kapal pertama yang dibangun di galangan perkapalan nasional yang jadwal penyerahannya tidak sesuai kontrak awal sekaligus kualitas kerjanya tak sesuai dengan harapan, kapal kedua (dan terakhir) yang dibangun pula di galangan perkapalan itu dipastikan jadwal penyerahannya tidak sesuai kontrak.
Tentang jadwal penyerahan yang molor tentu saja harus dirunut ke proses produksi itu sendiri. Adanya berbagai masalah dalam proses produksi berdampak pada penyerahan kapal perang yang tak sesuai kontrak. Permasalahan dalam proses produksi pada dasarnya akar masalahnya sama, yaitu ketidaksiapan sistem produksi di galangan itu. Adapun ketidaksiapan sistem produksi apabila dirunut lebih jauh disebabkan oleh minimnya modernisasi galangan perkapalan itu oleh pemerintah. Modernisasi galangan tersebut membutuhkan modal besar, sehingga di situ butuh anggaran khusus dari pemerintah.
Ke depan, ada ambisi agar galangan perkapalan itu memproduksi PKR. Terkait dengan hal tersebut, galangan itu hendaknya memperhatikan rekomendasi temuan audit galangan perkapalan Belanda yang akan menjadi mitra utama dalam pembuatan kapal perang jenis fregat tersebut. Soal rekomendasi itu, sebelumnya pernah disinggung sebelumnya dalam situs ini. Kasus kapal LPD dengan rekomendasi dari galangan perkapalan Belanda itu sebenarnya memiliki benang merah, yaitu ketidaksiapan galangan perkapalan nasional untuk memproduksi kapal perang sesuai standar internasional plus tepat waktu. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi Menteri Pertahanan dan Menteri BUMN.

05 Januari 2011

Bersikap Realistis Dalam Proyek PKR

All hands,
Pembangunan kapal perang di galangan perkapalan nasional di Surabaya melalui proyek PKR kini sudah memasuki babak realita, bukan lagi babak mimpi. Artinya, mimpi-mimpi indah sebagian pihak di Indonesia soal pelaksanaan proyek tersebut kini harus berhadapan dengan realita. Realita bahwa pemegang kunci dalam proyek ini bukan galangan perkapalan Indonesia, tetapi galangan perkapalan Belanda. Realita bahwa sebagian besar teknologi pembangunan kapal fregat itu dikuasai oleh Royal Schelde, bukan PT PAL. Realita bahwa subsistem pendukung PKR seperti sewaco dan propulsi dipasok oleh berbagai vendor dari Eropa Barat, bukan dari Indonesia.
Dalam pembangunan PKR di galangan perkapalan Indonesia tersebut, paling sedikit ada dua blok yang akan dibangun di galangan Royal Schelde. Keduanya mencakup sewaco dan propulsi, yang setelah dibangun baru kemudian akan dikapalkan ke Surabaya. Mengapa kedua subsistem itu digarap di Belanda?
Jawabannya tak bukan dan tidak lain karena vendor kedua subsistem adalah perusahaan-perusahaan Eropa yang secara geografis sangat dekat dengan Belanda. Misalnya Thales, Oto Melara, Pilstick dan lain sebagainya. Jaringan kedua subsistem sudah terbangun mapan di Eropa dan merupakan suatu cluster tersendiri.
Boleh saja pihak tertentu di Indonesia bersikeras agar pembangunan kedua subsistem dilakukan di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut harus memperhatikan aspek teknologi, biaya dan jarak. Aspek teknologi yaitu tidak ada produsen subsistem yang mau memberikan cetak biru produknya secara gratis kepada konsumen. Singkatnya, Indonesia jangan berharap ada makan siang gratis.
Tentang aspek biaya, diperlukan biaya tambahan untuk membangun sistem itu di Indonesia, misalnya mendatangkan ratusan tenaga ahli dari masing-masing vendor subsistem ke Indonesia untuk pekerjaan integrasi sistem. Biaya mendatangkan mereka tidak murah, sebab semua kehidupan mereka di sini harus ditanggung oleh Indonesia. Tercakup pula dalam aspek biaya adalah ongkos pengangkutan berbagai komponen subsistem dari Eropa ke Indonesia.
Adapun soal aspek jarak, di kawasan Asia Pasifik belum ada cluster industri pertahanan seperti halnya di Eropa. Misalnya negara X spesialis pembuatan sewaco, negara Y keahliannya pada produksi senjata dan negara Z berfokus pada sistem pendorong. Sebab Asia bukanlah Eropa yang sudah matang melalui ratusan perang sejak era 1400-an hingga kini mampu berintegrasi menjadi satu komunitas.
Bertolak dari kondisi ini, sebaiknya Indonesia mengambil peluang yang realistis dari proyek PKR. Misalnya mematangkan ilmu membangun platform kapal perang, mematangkan ilmu soal integrasi sistem dalam kapal perang dan mematangkan diri sebagai "pencuri" ulung di bidang teknologi. Sebab dalam teknologi tidak dikenal adanya alih teknologi, yang dikenal cuma mencuri teknologi!!! Alih teknologi hanya bumbu politik yang mengecoh pihak yang tidak paham.

04 Januari 2011

Keamanan Pangkalan

All hands,
Dalam perkembangan terkini, keamanan pangkalan militer ---termasuk pangkalan Angkatan Laut--- makin penting nilainya. Kasus penyerangan pangkalan Angkatan Darat Pakistan yang menjadi markas intelijen militer beberapa bulan lalu menjadi salah satu contoh pentingnya keamanan pangkalan. Soal ini perlu mendapat perhatian pula di Indonesia.
Di pangkalan Angkatan Laut negara-negara maju, pada kolom airnya telah dipasang serangkaian alat sonar untuk mendeteksi penyusupan oleh penyelam. Meskipun jumlah penyelam yang menyusup sangat terbatas, antara 1-4 orang biasanya, akan tetapi efek yang mereka timbulkan akan sangat besar. Karena mereka bisa melumpuhkan kemampuan tempur Angkatan Laut melalui peledakan kapal perang yang tengah berada di pangkalan maupun merusak sarana logistik seperti pipa minyak dan lain sebagainya.
Masih mengacu pada contoh kasus di negara-negara maju, pangkalan Angkatan Laut mereka senantiasa terpisah dengan pelabuhan umum. Hal ini berlaku khususnya untuk pangkalan yang menjadi homebase kapal perang. Selain itu, akses masuk dan keluar ke pangkalan lewat air biasanya tidak satu, sebab akses tunggal justru akan membahayakan operasional kapal perang. Begitu pula akses masuk lewat darat, jumlahnya sangat-sangat terbatas. Tidak semua orang ---bahkan personel militer sekalipun--- dapat mengakses ke pangkalan tanpa izin terlebih dahulu.
Untuk mendapat izin pun, mereka harus diinvestigasi latar belakangnya secara seksama oleh pihak intelijen Angkatan Laut.
Sebagaimana yang berlaku di bandara udara seperti Soekarno-Hatta Jakarta, tidak semua personel yang memperoleh hak akses di pangkalan dapat mengakses semua ruang/tempat/fasilitas di pangkalan. Artinya, izin akses yang diberikan pun terbatas. Hanya pejabat tertentu yang mempunyai akses terhadap semua ruang/tempat/fasilitas di pangkalan, misalnya pejabat-pejabat pangkalan yang relevan.

03 Januari 2011

Operasi Berkerangka Outward Looking

All hands,
Domain maritim senantiasa menyediakan ruang ---bahkan memaksa--- siapapun penggunanya untuk berpikir outward looking. Oleh karena itu, tidak heran bila sejak zaman dahulu masyarakat yang tinggal di wilayah pantai lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat dan budaya lain dari seberang lautan. Situasi demikian melahirkan pula sejumlah ciri masyarakat pantai, di antaranya berpikir outward looking dan menganut budaya egaliter dibandingkan masyarakat yang tinggal di pedalaman.
Indonesia hidup di suatu kawasan dunia yang mayoritas didominasi oleh laut. Kondisi itu berkonsekuensi pada munculnya kewajiban Indonesia untuk turut menjaga stabilitas kawasan melalui penjagaan wilayah lautnya. Sebab seperti diketahui bersama, laut adalah urat nadi globalisasi sejak era dahulu kala. Hal ini hendaknya dipahami dengan benar oleh pihak-pihak terkait di Indonesia, sebab apa yang terjadi di perairan Indonesia akan berdampak pula terhadap stabilitas kawasan.
Dikaitkan dengan operasi yang selama ini digelar oleh militer Indonesia, ke depan paradigma operasi yang berkerangka outward looking harus dikembangkan. Sebab Angkatan Laut negeri ini harus berada dalam kerangka tersebut dan tidak bisa "mengasingkan diri". Kenapa operasi berkerangka outward looking harus dikembangkan? Jawabannya tak bukan karena ketidakmampuan Angkatan Laut menciptakan rasa aman di laut akan mengundang campur tangan pihak lain yang merasa dirinya lebih superior.
Campur tangan tersebut oleh Indonesia pasti akan dipersepsikan sebagai invasi atau minimal turut campur masalah dalam negeri. Di sinilah pentingnya militer Indonesia ---bukan saja Angkatan Laut--- untuk berpikir operasi dalam kerangka yang lebih luas yaitu outward looking. Indonesia yang berbatasan langsung di laut dengan 10 negara, memiliki tiga ALKI, mempunyai empat chokepoints, jelas nilai politiknya jauh lebih tinggi daripada sekedar tiga perbatasan darat.

02 Januari 2011

Perkuatan Kemampuan Lintas Laut

All hands,
Dengan kondisi geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan, angkutan laut militer bersifat strategis dan sekaligus krusial guna merespon dinamika ancaman keamanan yang berkembang. Pemusatan satuan-satuan pemukul militer di Pulau Jawa harus diimbangi dengan kemampuan untuk memindahkan pasukan dalam ukuran batalyon dan brigade dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ke wilayah di luar Pulau Jawa yang tengah menghadapi ancaman keamanan. Untuk pergeseran tersebut hanya sekian persen yang mengandalkan pada angkutan udara strategis, selebihnya kuda beban berada pada angkutan laut strategis yang dikelola oleh Angkatan Laut.
Setelah sekian lama konsep ini dianut, dalam satu dekade terakhir muncul berbagai masalah yang terkait dengan tingkat kesiapan sistem senjata untuk mendukung terlaksananya pergeseran pasukan lewat laut. Masalah tersebut terkait dengan makin bertambahnya usia operasional kapal perang seperti LST yang berarti makin mendekati ambang batas usia ekonomisnya. Untuk menghadapi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif dan tidak semata pada perbaikan kapal angkut.
Salah satu isu krusial terkait hal tersebut adalah kecepatan ekonomis dan maksimal kapal angkut yang berkurang dibandingkan ketika baru dibeli. Isu ini bersifat kritis, karena akan mempengaruhi seberapa cepat kemampuan untuk merespon suatu ancaman atau krisis yang terjadi. Pengadaan kapal angkut jenis LPD membantu mengatasi masalah yang tengah dihadapi, tetapi ada pertanyaan pokok yang belum terjawab. Yaitu apakah LST di masa depan atau tetap dipertahankan (dengan pengadaan LST baru) ataukah fungsinya sebagian diambil oleh LPD.
Berbeda dengan LST, LPD tidak mampu untuk melakukan pemantaian. Keunggulan LPD lebih pada daya angkutnya yang lebih besar, baik personel maupun kendaraan amfibi dan jenis kendaraan militer lainnya. Selain itu, LST pada dasarnya didesain untuk mengangkut tank dan bukan personel, sementara LPD dirancang untuk mampu mengangkut tank dan kendaraan lainnya maupun personel.

01 Januari 2011

Lebih Dari Sekedar Protokoler

All hands,
Terhitung mulai 1 Januari 2011 Indonesia resmi menjadi Ketua ASEAN selama 2011. Artinya, Indonesia akan menjadi tuan rumah berbagai pertemuan ASEAN dengan beragam judul, entah itu SOM, Retreat, Summit dan lain sebagainya. Termasuk pula di dalamnya pertemuan-pertemuan di bidang politik dan keamanan, seperti ARF, AMF, ADMM, CDFM, CNSIM dan lain sebagainya. Belum lagi beberapa latihan yang digelar terkait dengan agenda ARF, seperti latihan HADR di Manado pada Maret 2011.
Situasi itu menimbulkan tantangan terhadap Indonesia. Dalam isu maritim, Jakarta dituntut untuk bertindak lebih dari sekedar urusan protokoler. Jakarta harus bisa memasukkan agendanya untuk diadopsi sebagai agenda ASEAN lewat AMF. Dengan kata lain, Jakarta harus siap dengan konsep-konsep kerjasama yang membumi dan sekaligus dapat dan berani diadu dengan gagasan-gagasan serupa dari Singapura maupun Negeri Tukang Klaim.
Untuk bisa menuju ke sana, hingga akhir Januari 2011 Jakarta belum terlambat untuk merumuskan konsepnya. Sebab pertemuan-pertemuan ASEAN secara intensif mulai ramai sejak Februari hingga sektiar Oktober 2011. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan laut harus merapatkan barisan untuk menyusun konsep Indonesia yang akan disodorkan (baca: dipaksakan) kepada ASEAN.
Kenapa pakai istilah dipaksakan? Tak bukan dan tidak lain karena Indonesia adalah pemilik perairan terbesar di Asia Tenggara, sehingga sudah sepantasnya dan sewajarnya menjadi pemain dominan. Jakarta jangan lagi mengulangi kesalahan pada 2010 ketika dengan sukarela menyerahkan agenda keamanan maritim di ADMM+ kepada Australia dan Negeri Tukang Klaim.
Terkait dengan hal tersebut, sudah sepantasnya pula bila Angkatan Laut Indonesia menjadi leading sector dalam perumusan konsep Indonesia untuk disodorkan kepada ASEAN. Peran itu sesungguhnya dapat dimainkan oleh Angkatan Laut, asalkan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Sebab tidak ada instansi di negeri ini yang paling paham soal domain maritim kecuali Angkatan Laut.