31 Oktober 2009

Peran Industri Perkapalan Mendukung Pengadaan Kapal Perang Angkatan Laut

All hands,
Selama ini, peran industri perkapalan nasional dalam mendukung pengadaan kapal perang Angkatan Laut tidak terlalu signifikan. Apabila pengadaan kapal perang bersumber dari galangan perkapalan dalam negeri, peran industri tersebut cukup signifikan. Sebaliknya, bila Angkatan Laut membeli kapal perang dari galangan perkapalan asing, peran industri perkapalan nasional nyaris tidak ada.
Peran industri perkapalan nasional dalam mendukung pengadaan kapal perang Angkatan Laut negeri ini sebenarnya harus signifikan, baik yang berasal dari galangan dalam negeri maupun yang dipasok dari industri perkapalan asing. Mengapa demikian? Karena galangan perkapalan nasional akan menjadi sasaran pertama bagi Angkatan Laut untuk kepentingan pemeliharaan kapal perang yang dibeli tersebut. Angkatan Laut pertama kali akan melirik kemampuan industri perkapalan nasional untuk memelihara kapal perang yang ada dalam susunan tempurnya, sebelum berpaling ke galangan luar negeri.
Tentu bisa dihitung berapa biaya, waktu dan tenaga yang dihabiskan apabila kapal perang harus diperbaiki di galangan luar negeri. Walaupun galangan tersebut berada di kawasan Asia Pasifik, tetap saja banyak sumber daya dan waktu yang terbuang. Terlebih lagi bila galangan perkapalan yang hanya mampu memelihara terletak di luar kawasan ini.
Belajar dari pengalaman saat ini dan sebelumnya, pengadaan kapal perang ke depan dari manapun sumbernya, hendaknya harus didukung oleh kesiapan industri perkapalan nasional. Industri perkapalan dalam negeri sebaiknya dilibatkan dalam proses pengadaan tersebut, yakni menyangkut kemampuan pemeliharaan kapal perang. Apabila pengadaan kapal perang Angkatan Laut bersumber dari luar negeri, sebaiknya dijalin kerjasama antara industri pemasok tersebut dengan galangan kapal dalam negeri untuk bidang pemeliharaan.
Dengan demikian, industri perkapalan dalam negeri dapat mempersiapkan diri membangun fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan pemeliharaan kapal perang yang dibeli oleh Angkatan Laut. Khususnya apabila fasilitas itu belum tersedia, sebab fasilitas yang dibutuhkan oleh jenis dan kelas kapal perang seringkali bersifat khusus. Penting untuk kembali diingat bahwa dalam pengadaan kapal perang yang dibeli bukan cuma kapal perang, tetapi sistem senjata secara keseluruhan.

30 Oktober 2009

Pengadaan Sistem Senjata Bagian Dari Perencanaan Kekuatan

All hands,
Selama ini banyak pihak di Indonesia, termasuk kalangan yang digolongkan sebagai selebritas pertahanan yang oleh sebagian pihak pendapatnya selalu dijadikan acuan kebenaran, tidak paham soal pengadaan. Pihak-pihak ini seolah-olah berpendapat bahwa pengadaan adalah suatu hal yang berdiri sendiri, sehingga mereka dengan sangat percaya diri langsung mengaitkannya dengan ketersediaan anggaran. Substansinya, pengadaan terkait langsung dengan anggaran.
Pola pikir demikian, termasuk yang dialami oleh para selebritas pertahanan menunjukkan bahwa mereka tidak paham dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka tidak paham bahwa pengadaan adalah salah satu bagian terbawah dalam sebuah kerangka besar yang disebut sebagai perencanaan kekuatan alias force planning. Perencanaan kekuatan adalah sebuah proses panjang, rumit dan dipengaruhi oleh beragam variabel.
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, kebanyakan kalangan yang paham betul dengan perencanaan kekuatan di Indonesia adalah mereka yang sehari-harinya berkutat di lingkungan pertahanan dan militer. Namun tidak berarti semua pihak yang berkutat di lingkungan itu paham dengan perencanaan kekuatan. Mayoritas yang paham dengan perencanaan kekuatan biasanya pernah berada di lingkungan perencanaan (kekuatan).
Ketika kita membahas soal pengadaan, harus ditarik dulu ke bagian yang lebih tinggi yaitu strategi pertahanan. Strategi pertahanan yang dianut akan menentukan opsreq sistem senjata yang dibutuhkan. Sebagai contoh apabila strategi pertahanan menganut pola forward presence, maka dibutuhkan kapal perang yang mampu beroperasi di sea state 6. Itu baru pada kemampuan platform kapal perang, belum terhitung lagi sistem senjata yang dibutuhkan.
Dari opsreq kemudian baru ditentukan sistem senjata apa di pasaran yang mampu memenuhi opsreq yang telah ditetapkan. Ketika persoalan teknis ini sudah bisa dijawab, baru kemudian melangkah pada penyiapan anggaran. Dengan kata lain, anggaran harus memenuhi kebutuhan sistem senjata. Bukan sebaliknya yakni kebutuhan sistem senjata mengikuti ketersediaan anggaran.
Di samping aspek teknis yang telah dijelaskan, dalam proses pengadaan hendaknya tidak dilupakan pula mengenai aspek politik dan teknologi. Soal ini menyangkut pertanyaan sederhana, siapa sekutu dan kawan kita? Masalah sekutu dan kawan terkait dengan isu teknologi.
Selama industri pertahanan dalam negeri masih belum bisa memenuhi kebutuhan dalam perencanaan kekuatan, mengandalkan pada sistem senjata buatan luar negeri adalah satu-satunya pilihan yang logis. Di situlah pentingnya sekutu dan kawan yang mempunyai teknologi yang kita butuhkan. Ketika membahas soal ini dalam konteks Indonesia, relevansi kebijakan luar negeri bebas dan aktif yang sangat dibangga-banggakan oleh sebagian pihak di Indonesia menjadi dipertanyakan.

29 Oktober 2009

Ketersediaan Listrik Dan Operasional Angkatan Laut

All hands,
Masalah ketersediaan listrik di negeri ini masih akan terus mengemuka setidaknya hingga 10 tahun ke depan. Jangankan di luar Pulau Jawa, di Pulau Jawa saja yang secara diskriminatif oleh pemerintah seolah-olah dijadikan “pusat dari Indonesia” ketersediaan listrik masih tetap menghantui. Pemadaman listrik kini bukan saja menjadi tamu tetap bagi sebagian kawasan di luar Pulau Jawa, bahkan telah pula menjadi tamu di Pulau Jawa.
Operasional Angkatan Laut harus didukung oleh fasilitas pangkalan. Secara umum kriteria 4R harus tersedia di semua pangkalan Angkatan Laut. Namun dalam prakteknya, kriteria itu masih jauh panggang dari api. Terlebih lagi bagi pangkalan Angkatan Laut yang berada di luar Pulau Jawa yang justru jumlahnya jauh lebih banyak daripada pangkalan yang terletak di Pulau Jawa.
Dikaitkan dengan ketersediaan listrik, sampai sekarang hanya sedikit pangkalan Angkatan Laut di luar Pulau Jawa yang mampu memberikan suplai listrik bagi kapal perang yang tengah merapat di pangkalan atau lebih dikenal sebagai listrik aliran darat. Apa akibat dari semua itu? Tanpa banyak kita sadari, kondisi itu memaksa usia pakai mesin diesel generator di kapal perang menjadi lebih pendek daripada yang seharusnya. Sebab apabila mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pabrikan kapal perang, ketika kapal perang merapat di pangkalan maka dukungan listrik kapal harus dipasok oleh listrik aliran darat. Sebaliknya mesin diesel generator harus dimatikan.
Pertanyaannya, pernahkah kita berhitung berapa kerugian yang diderita oleh Angkatan Laut negeri ini akibat tidak tersedianya listrik aliran darat setiap tahunnya? Selain kerugian bernilai material, juga timbul kerugian non material. Seperti terhambatnya operasi yang seharusnya digelar karena mesin diesel generator harus menjalani perbaikan sebelum waktu yang seharusnya.

28 Oktober 2009

Perencanaan Disusun Untuk Ditaati

All hands,
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut yang dalam beberapa tahun terakhir tidak berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan boleh jadi salah satu penyebabnya adalah karena perencanaan yang tidak ditaati. Sesuai dengan kebijakan pemerintah, pembangunan kekuatan Angkatan Laut harus disusun dalam tahapan tertentu yang dikenal sebagai Renstra Angkatan Laut. Penahapan pembangunan tersebut salah satunya karena harus mempertimbangkan faktor dukungan anggaran. Dengan demikian, setiap rencana pembangunan kekuatan yang tercantum dalam Renstra berarti telah mendapatkan alokasi pendanaan dari pemerintah.
Namun yang terjadi justru salah satunya adalah ketidaktaatan terhadap renstra itu. Misalnya pengalihan alokasi anggaran bagi kepentingan lain, sehingga pengadaan sistem senjata yang telah direncanakan malah tidak terlaksana. Atau masuknya daftar belanja baru dalam Renstra yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan satuan operasional. Situasi demikian seringkali menjadi penyebab mengapa Renstra terkadang meleset.
Kata kunci dari semua itu adalah kepatuhan terhadap rencana pembangunan kekuatan yang telah disusun dan disepakati bersama. Semua pihak yang terkait dengan Renstra seharusnya terikat untuk menaati kesepakatan tersebut. Sangat disayangkan bahwa tingkat ketaatan itu masih jauh dari 100 persen. Tidak terlaksananya pengadaan kapal selam dan PKR pada Renstra Angkatan Laut 2005-2009 adalah contoh nyata dari ketidaktaatan pihak-pihak yang terkait.

27 Oktober 2009

Langkah Menuju Reunifikasi Armada RI

All hands,
Reunifikasi Armada RI dari dua armada menjadi satu armada sesungguhnya hanya soal waktu. Sebab masalah itu telah ditegaskan dalam kebijakan pertahanan, yang mana armada kekuatan laut Indonesia akan terdiri dari satu armada besar dan tiga armada kawasan atau eskader. Apapun nama armada kawasan nantinya, apakah armada bernomor, armada kawasan ataupun eskader, substansinya republik ini cuma mempunyai satu armada saja.
Tentu menjadi pertanyaan kapan reunifikasi Armada RI yang telah dirintis pada 2003 oleh pemimpin Angkatan Laut Indonesia saat itu dan diteruskan oleh penggantinya pada 2005 akan terwujud. Menurut hemat saya, bisa jadi itu akan terwujud dalam rentang waktu hingga 10 tahun ke depan. Semua tergantung kebijakan politik pemerintah dan kesiapan Angkatan Laut sendiri.
Kebijakan politik pemerintah antara lain terkait dengan modernisasi kekuatan laut, baik kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara. Sebab armada kawasan nantinya harus dilengkapi dengan sejumlah kapal perang dan pesawat udara yang memadai. Tentu harus diperhitungkan sejak dini berapa kebutuhan setiap armada kawasan terhadap kedua jenis sistem senjata. Terlebih lagi armada kawasan nantinya merupakan komando operasional yang tidak merangkap sebagai komando pembinaan.
Adapun kesiapan Angkatan Laut antara lain terkait dengan penyiapan sumber daya manusia dan fasilitas dukungan pangkalan. Bagian yang terakhir ini sifatnya krusialnya, karena sekarang nyaris tidak ada pangkalan Angkatan Laut yang bisa menyamai fasilitas di Surabaya. Padahal fasilitas di Surabaya pun dirasakan masih kurang, misalnya soal fasilitas perbaikan kapal.
Lepas dari kapan waktu pastinya Armada RI akan kembali disatukan, hendaknya sejak dini Angkatan Laut mempersiapkan diri menyongsong situasi tersebut. Terdapat sejumlah pekerjaan rumah untuk menjadi Angkatan Laut yang lebih baik di masa depan, seperti telah disebutkan secara singkat sebelumnya.

26 Oktober 2009

Modernisasi Sistem Elektronika Kapal Perang

All hands,
Dalam praktek di Indonesia saat ini, kegiatan MLM kapal perang seringkali lebih banyak difokuskan pada sistem pendorong, selain platform itu sendiri. Perhatian yang cukup belum diperlihatkan pada modernisasi sistem elektronika kapal perang, apalagi pada sistem senjatanya. Sehingga seringkali platform telah dilengkapi dengan sistem pendorong yang lebih maju daripada sistem pendorong semula, akan tetapi sistem elektronikanya masih seperti saat kapal pertama kali dibeli. Sedangkan pada sisi lain, teknologi sistem elektronika kapal perang terus berkembang sehingga lama kelamaan sistem elektronika yang melengkapi kapal perang Indonesia ketinggalan teknologi.
Berangkat dari situasi tersebut, ada baiknya bila program MLM kapal perang ke depan juga turut memasukkan modernisasi sistem elektronika ke dalamnya. Modernisasi sistem elektronika maksudnya sistem elektronika yang melengkapi kapal perang diganti dengan keluaran teknologi terakhir. Dengan demikian, hasil program MLM akan lebih efektif daripada sekedar memodernisasi sistem pendorong maupun platform-nya.
Pendekatan modernisasi sistem elektronika kapal perang kini banyak dianut oleh Angkatan Laut di dunia. Bahkan kapal perang keluaran masa kini dirancang untuk bisa diganti sistem elektronika dalam masa 10-15 tahun sejak commissioning. Australia adalah salah satu negara yang melakukan demikian, dengan memodernisasi kapal perang kelas Adelaide lewat Project SEA 1390.
Mengingat usia platform kapal perang biasanya lebih panjang dari usia teknologi sistem elektronika, perlu dipikirkan dengan serius apa untung ruginya memodernisasi kapal perang lewat program MLM pada keseluruhan sistem yang ada di kapal perang. Mungkin pendekatan itu selain lebih ekonomis, juga dapat meningkatkan daya pukul, mobilitas dan daya penginderaan kapal perang yang dipunyai.

25 Oktober 2009

Pendekatan Baru Dalam Sistem Elektronika Kapal Perang

All hands,
Dari satu dekade ke dekade lainnya, biaya konstruksi platform kapal perang selalu meningkat. Peningkatan itu antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya harga bahan baku, penerapan teknologi baru, meningkatnya biaya tenaga kerja, peningkatan harga minyak dunia dan lain sebagainya. Sehingga bukan suatu hal yang aneh apabila harga kapal perang secara keseluruhan akan terus meningkat setiap dekade.
Secara garis besar, biaya pembangunan kapal perang mencakup biaya konstruksi platform, biaya sewaco dan biaya sistem propulsi. Dalam perkembangan terkini, negara-negara maju mencoba merancang sistem konstruksi kapal perang baru yang masa pakainya lebih panjang dengan upgrade pada komponen sewaco. Diharapkan dalam masa pakai kapal perang yang minimal 25 tahun dan dapat diperpanjang hingga 35 tahun, modernisasi ditujukan pada komponen sewaco tersebut. Dengan demikian, bisa jadi komponen sewaco mengadopsi dua atau tiga generasi teknologi elektronika dalam platform yang sama.
Masalah yang klasik dihadapi oleh kekuatan laut Indonesia selama ini salah satunya pada peralatan elektronika kapal perang. Sebab setidaknya dalam satu dekade, selalu muncul teknologi lebih baru dalam bidang tersebut dan biasanya segera diadopsi oleh Angkatan Laut negara-negara sekitar. Sementara pada sisi lain Angkatan Laut negeri ini mengoperasikan suatu platform kapal perang minimal 30 tahun, bahkan lebih.
Yang terjadi selama ini, selama masa pengoperasian tersebut maka peralatan elektronika yang diadopsi sama usianya dengan umur platform kapal perang. Sehingga seringkali kita ketinggalan teknologi dalam bidang itu dengan negara-negara di sekitar Indonesia. Konsekuensi lainnya, makin tahun makin sulit mencari suku cadang peralatan elektronika itu di pasar internasional. Pada akhirnya, biaya untuk mempertahankan peralatan elektronika tersebut semakin meningkat setiap tahun.
Berangkat dari kondisi tersebut, mungkin perlu dikaji secara mendalam mengenai opsi untuk memodernisasi sistem elektronika kapal perang setiap 10 tahun sekali. Opsi ini perlu dihitung biayanya dibandingkan misalnya dengan tetap mengadopsi sistem elektronika yang terpasang sejak kapal diluncurkan dari galangan pabrikan. Biaya yang dimaksud di sini bukan sekedar yang bernilai rupiah, euro atau dollar, tetapi mencakup pula kerugian operasional apabila kapal perang tidak dapat beroperasi karena masalah sistem elektronikanya.

24 Oktober 2009

Memberdayakan Angkatan Laut Melaksanakan Tugas Perang

All hands,
Ketika terjadi bencana gempa di Sumatera Barat 30 September 2009, salah satu tumpuan utama pemerintah untuk operasi tanggap darurat adalah Angkatan Laut. Ketika itu kebutuhan terhadap peranan Angkatan Laut sangat besar sebab dengan karakteristik dan kemampuan yang dimilikinya, kehadiran Angkatan Laut tidak dapat digantikan oleh pihak lain. Memang dari segi mobilitas kapal perang Angkatan Laut jauh kalah dari pesawat angkut Angkatan Udara, tetapi dari segi kapasitas angkut kapal perang menjadi andalan untuk pergeseran logistik yang tidak bisa dimuat oleh pesawat udara. Dengan kata lain, Angkatan Laut diberdayakan secara maksimal untuk mendukung operasi tanggap darurat.
Namun sayangnya, pemberdayaan Angkatan Laut belum menyentuh pada hal-hal yang terkait dengan tugas perangnya. Menurut pemahaman saya, tugas utama Angkatan Laut adalah hadir di laut untuk mengamankan kepentingan nasional. Spektrumnya terbagi dalam tiga peran yang diemban, yakni peran militer, diplomasi dan konstabulari. Sehingga dari situ bukan sesuatu yang berlebihan bahwa penanggulangan bencana alam bukanlah tugas utama Angkatan Laut.
Kalau untuk menyelamatkan nyawa manusia penduduk negeri ini maka Angkatan Laut diberdayakan secara maksimal oleh pemerintah, lalu mengapa hal itu tidak dilakukan pula ketika masalah menyangkut kepentingan nasional bangsa ini. Terlebih lagi hal tersebut terkait langsung dengan tugas utama Angkatan Laut yang terkait dengan naval warfare. Seharusnya tidak ada keenganan dari pemerintah untuk memberdayakan Angkatan Laut guna melaksanakan tugas pokoknya yaitu kehadiran di laut untuk siap melaksanakan naval warfare.
Jangankan untuk pengadaan kapal perang baru, untuk pemeliharaan kapal perang yang ada dalam susunan tempur di armada saja dukungan politiknya kurang. Bentuk konkritnya adalah minimnya anggaran pemeliharaan, sehingga tingkat kesiapan akan sulit untuk menyentuh prosentase 70 persen, apalagi di atas itu. Situasi demikian menunjukkan bahwa tidak ada keinginan yang kuat untuk memberdayakan Angkatan Laut untuk melaksanakan tugas pokoknya.
Pertanyaannya kini, apakah Angkatan Laut hanya diberdayakan untuk melaksanakan tugas non esensial dan sebaliknya tidak diberdayakan untuk mendukung terlaksananya tugas pokok? Prioritas kebijakan pertahanan yang mengutamakan pada kesiapan sarana angkut militer, khususnya kapal angkut dan pesawat udara disadari atau tidak secara tidak langsung mengebiri Angkatan Laut melaksanakan tugas pokoknya yaitu hadir di laut untuk mengamankan kepentingan nasional. Tentu tidak lucu bila kapal angkut seperti LST dan LPD menggelar patroli di laut, misalnya mengejar kapal ikan.

23 Oktober 2009

Pengelolaan Utang Negara Dengan Mengorbankan Pertahanan?

All hands,
Pembangunan kekuatan pertahanan, termasuk kekuatan laut khususnya menyangkut pengadaan alutsista sebagian besar masih bertumpu pada pinjaman asing. Pinjaman asing yang berbentuk utang tersebut seperti kredit ekspor pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan. Departemen Pertahanan melaksanakan koordinasi yang erat dengan Departemen Keuangan ketika hendak melaksanakan pengadaan alutsista. Pengelolaan pinjaman asing oleh Departemen Keuangan merupakan amanat undang-undang, sebab semua urusan utang piutang negeri ini harus melalui satu pintu.
Namun masalahnya adalah muncul tengarai bahwa pengelolaan utang yang sangat berhati-hati dalam beberapa tahun terakhir dicurigai mengorbankan kepentingan pertahanan. Bentuk konkritnya adalah tidak terlaksananya Renstra 2005-2009 pada tingkat yang diharapkan. Realisasi renstra itu masih sangat jauh dari harapan, dengan contoh pada Angkatan Laut Indonesia.
Kalau ditelusuri lebih jauh, tidak terlaksananya renstra salah satu penyebabnya adalah tidak disetujuinya pencairan utang bagi pengadaan alutsista dari luar negeri. Memang harus diakui bahwa pengadaan alutsista dengan mengandalkan pada dana pinjaman asing berarti menambah utang negeri ini. Namun pada sisi lain belum tersedia alternatif lain yang memadai, sebab APBN tidak sanggup untuk memikul beban pengadaan alutsista. Pada proses itu muncullah tengarai bahwa salah satu penyebab sangat rendahnya realisasi Renstra 2005-2009 di bidang pertahanan karena bidang ini menjadi pilihan favorit untuk mengurangi bertambahnya utang baru Indonesia.
Sekali ini ini baru ditengarai!!! Tengarai ini justru muncul dari pihak-pihak yang terkait dengan proses pengadaan alutsista sendiri. Dan penting untuk diingat bahwa dalam proses itu yang terlibat bukan cuma eksekutif, tetapi juga legislatif.
Tentu saja menjadi pertanyaan apakah tengarai tersebut benar adanya? Saya yakin seiring berjalannya waktu, jawabannya akan muncul dengan sendirinya.

22 Oktober 2009

Proporsionalitas Anggaran Pertahanan

All hands,
Proporsionalitas anggaran pertahanan merupakan salah satu pekerjaan rumah bagi Menteri Pertahanan baru. Perlu dihitung ulang apakah benar pembagian anggaran pertahanan selama ini untuk Angkatan Laut dan dua matra lainnya sudah sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing matra. Apakah tepat anggaran bagi Angkatan Laut yang sistem senjatanya padat teknologi besarannya jauh lebih rendah daripada Angkatan Darat yang bersifat manusia dipersenjatai? Sebagai perbandingan, anggaran bagi Angkatan Laut berkisar antara Rp.5-6 trilyun, sedangkan Angkatan Darat sekitar Rp.12 trilyun.
Untuk membenahi masalah pembagian anggaran, perlu dimulai dari menata ulang organisasi TNI. Perlu dilihat apakah organisasi yang ada saat ini sudah efektif atau tidak? Benarkah rencana Kodam sudah dikaji secara komprehensif? Kalau alasan utama dalam penambahan Kotama itu terkait soal rentang kendali, apakah setiap masalah yang terkait dengan rentang kendali solusinya harus dengan pembentukan Kotama baru?
Bukankah masalah rentang kendali sebenarnya dapat diatasi dengan pembangunan sarana komunikasi militer, bahkan sampai ke satuan-satuan yang bertugas di garis depan. Ataukah rencana penambahan itu terkait dengan penyaluran personel yang menumpuk, khususnya pada korps perwira karena perpanjangan masa dinas?
Selain itu, perlu ditinjau pula soal organisasi Mabes TNI. Apakah organisasi Mabes TNI dengan model yang sekarang masih relevan atau tidak? Pernahkah dihitung dengan benar berapa operational cost organisasi Mabes TNI dengan model sekarang? Apakah tidak perlu perampingan organisasi itu yang satu paket dengan transformasi Mabes TNI menjadi Markas Gabungan dengan pengawakan oleh personel dari setiap matra yang proporsional dan berimbang?
Selama ini isu proporsionalitas anggaran belum mendapat perhatian yang cukup dari Departemen Pertahanan. Sebagai lembaga pemerintah yang mempunyai mandat melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, Departemen Pertahanan sebenarnya mempunyai daya tawar yang lebih besar daripada militer. Tinggal apakah mandat itu mau dilaksanakan atau tidak?

21 Oktober 2009

Industri Pertahanan Sebagai Kontributor Ekonomi Nasional

All hands,
Ketika ekonomi dunia dilanda krisis sejak menjelang akhir 2008, ekonomi negara-negara maju dan sebagian negara berkembang langsung terguncang. Untuk mengobati krisis yang menyebabkan jutaan orang di berbagai negara tiba-tiba beralih status menjadi orang miskin, tiap-tiap negara mengambil kebijakan yang berbeda. Salah satu kebijakan yang banyak diambil adalah pemberian stimulus ekonomi, yang mana Indonesia adalah satu satu negara di antaranya.
Terdapat contoh menarik mengenai pemberian stimulus di negara-negara maju untuk mengurangi dampak krisis ekonomi. Paket stimulus bukan saja diberikan pada industri-industri “biasa”, tetapi mencakup pula industri pertahanan. Tentu sebagian pihak ada yang bertanya kenapa industri pertahanan turut kecipratan dana stimulus ekonomi? Jawabannya sederhana, yaitu industri pertahanan mempunyai keterkaitan dengan industri-industri lainnya dalam menggerakkan ekonomi nasional.
Adanya pesanan sistem senjata dari konsumen lokal yaitu Departemen Pertahanan maupun konsumen asing akan menggerakkan sebagian roda industri negara itu. Pesanan dari konsumen lokal di negara-negara maju selain terkait dengan program modernisasi kekuatan mereka yang berjalan secara konsisten, juga didorong oleh kebutuhan operasional mendesak yang dikenal sebagai Urgent Operational Requirements (UOR). UOR muncul karena sejumlah kampanye militer yang digelar oleh militer beberapa maju di berbagai kawasan dunia.
Dengan mengalirkan paket stimulus kepada industri pertahanan, diharapkan industri tersebut dapat turut berkontribusi pada pemulihan ekonomi nasional. Sebab stimulus itu selain mencegah PHK, menciptakan pula sejumlah lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja baru. Hidupnya mesin-mesin industri pertahanan beserta vendor-nya berarti berjalannya pula sebagian dari roda industri nasional secara keseluruhan.
Kondisi demikian bisa tercipta karena industri pertahanan sudah terintegrasi dengan industri nasional lainnya. Ada keterkaitan erat antara industri pertahanan dengan industri nasional lainnya, yang mana industri yang terakhir mendukung kebutuhan industri pertahanan. Situasi seperti itu belum tercipta di Indonesia, sehingga industri pertahanan di negeri ini belum menjadi kontributor ekonomi nasional yang signifikan.

20 Oktober 2009

Mencari Keuntungan Dari Kepentingan Australia

All hands,
Negeri di sebelah selatan Indonesia kini tengah dipusingkan oleh masalah pengungsi yang terus mencoba memasuki wilayahnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, Canberra mencoba meningkatkan kerjasama dengan Indonesia memanfaatkan The Lombok Agreement. Tidak ada yang keliru dengan hal tersebut, cuma masalahnya apa keuntungan bagi Indonesia?
Jangan sampai negeri ini hanya menjadi bumper bagi kepentingan negeri di mana kaum Aborigin menjadi kaum terasing di tanah sendiri. Demi mengamankan kepentingan nasionalnya, Australia rela menggelontorkan lebih dari Aus$ 20 juta kepada Jakarta agar Indonesia bersikap kooperatif dalam menghalau pengungsi yang tengah berlayar menuju pantainya. Demi kepentingan itu pula, Canberra rela melaksanakan kerjasama intelijen dengan Indonesia. Suatu hal yang tidak lazim dan lumrah di masa lalu.
Yang masih mengganjal adalah pemberian informasi intelijen tersebut berdasarkan pada kepentingan Australia untuk menghalau para pengungsi. Apabila Indonesia meminta informasi intelijen soal penangkapan ikan ilegal di Laut Arafuru, apakah Australia mau berbagi? Ini masih menjadi pertanyaan besar yang harus bisa dijawab.
Bagaimanapun bangsa Indonesia jangan sampai menjadi jongos dari kepentingan Australia. Bantuan senilai lebih dari Aus$20 juta jangan sampai menjadikan kita menuruti semua kemauan Australia tanpa keuntungan yang berarti di pihak Indonesia.

19 Oktober 2009

Meragukan Kemampuan Industri Pertahanan Nasional

All hands,
Kemampuan dan kapasitas industri pertahanan Indonesia untuk mendukung pembangunan kekuatan pertahanan negeri ini masih diragukan. Kasus KRI Banjarmasin-592 merupakan contoh termutakhir dari keraguan itu. Tentu saja menjadi pertanyaan, mengapa diragukan?
Kasus KRI Banjarmasin-592 terjadi karena industri pertahanan pasca reformasi tidak lagi mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Alih-alih mendapat penguatan kapital, teknologi dan sumber daya manusia, industri pertahanan sekarang disuruh untuk mencari untung sebanyak-banyaknya tanpa penguatan pada ketiga bidang yang telah disebutkan.
Sulit bagi industri pertahanan nasional seperti PT PAL untuk bersaing dengan galangan asing apabila masalah kapital, teknologi dan sumber daya manusia tidak dibenahi. Kesulitan modal yang dialami industri perkapalan yang sejarahnya dirintis oleh Angkatan Laut Indonesia tersebut berkontribusi pada tidak sesuainya penyerahan kapal sesuai dengan kontrak. Sebab perusahaan ini tidak dapat mengandalkan sepenuhnya pembuatan kapal perang pada dana kas internal sebagaimana layaknya industri serupa lainnya.
Penguasaan teknologi kapal perang khususnya dalam pembuatan platform juga belum paripurna. Bisa membuat platform kapal perang sekelas FPB-57 bukan berarti secara otomatis bisa pula membuat platform untuk jenis kapal perang lainnya. Dalam kasus KRI Banjarmasin-592, ketergantungan teknologi rancang bangun kapal pada galangan Korea Selatan cukup tinggi. Situasi itu berpengaruh pada ketepatan penyerahan kapal perang sebagaimana tercantum dalam kontrak.
Sumber daya manusia pada industri pertahanan nasional masih harus ditingkatkan, khususnya untuk perancangan dan pembuatan kapal perang. Sebab perancangan dan pembuatannya jelas berbeda dengan kapal niaga. Sangat jelas terlihat dalam kasus KRI Banjarmasin-592 bahwa sumber daya manusia PT PAL masih harus belajar banyak soal perancangan jenis kapal perang yang satu ini.
Apa yang terjadi selama proses rancang bangun KRI Banjarmasin-592 menunjukkan bahwa kebijakan transfer of technology dalam pengadaan alutsista ditinjau dari aspek teknis masih bagaikan langit dan bumi. Ada domain-domain tertentu dalam industri pertahanan nasional yang di luar kewenangan pihak-pihak penentu pengadaan alutsista. Belum lagi apabila menyentuh ranah politik.

18 Oktober 2009

Meragukan Niat Baik Negeri Tukang Klaim

All hands,
Beberapa waktu Angkatan Laut negeri ini disibukkan dengan urusan pengungsi asal Srilanka di wilayah Banten. Dalam penanganan tersebut, Angkatan Laut ditunjukkan oleh pemerintah untuk menjadi leading sector penangan tersebut, membawahi beberapa instansi lain yang selama ini merasa lebih berhak dan lebih superior di laut dalam menangai masalah keamanan maritim. Penunjukkan itu menandakan bahwa bagaimana pun, habitat laut adalah domain Angkatan Laut dan tidak boleh ada pihak manapun di republik ini yang merasa lebih berhak dan lebih superior di laut daripada Angkatan Laut.
Kasus pengungsi ini diawali oleh information sharing dari Australian Northcom kepada beberapa instansi terkait di Indonesia soal kehadiran kapal pengungsi yang menuju Negeri Kangguru. Kemampuan deteksi Northcom tidak lepas dari AMIS yang mereka terapkan yang mengandalkan sejumlah perangkat pengumpulan informasi intelijen, baik berbasis di daratan maupun di luar angkasa. Tidak aneh bila mereka mampu mendeteksi jauh hingga ke wilayah Indonesia.
Berdasarkan info dari Northcom itulah kemudian ditindaklanjuti oleh Angkatan Laut kita. Penangkapan kapal pengungsi itu dilakukan oleh sejumlah kapal perang Angkatan Laut, bukan seperti klaim instansi darat tertentu yang terus mencoba menerapkan KUHAP di laut. Klaim tersebut tidak berdasarkan fakta, sebab realitas di lapangan tidak demikian.
Terkait dengan kasus pengungsi Srilanka, menjadi pertanyaan apakah memang ada pembiaran dari otoritas Negeri Tukang Klaim untuk melepas mereka keluar dari wilayahnya dan kemudian melemparkan masalah ini kepada Indonesia? Sebab jaringan mafia di balik kasus tersebut adalah manusia-manusia yang memegang paspor terbitan Negeri Tukang Klaim. Harap dipahami bahwa negeri wilayah pantai Negeri Tukang Klaim tidak ada apa-apanya dibandingkan panjang pantai Indonesia, sehingga pengawasan terhadap keluar masuknya manusia lewat pantai jauh lebih mudah.
Selama ini sudah menjadi modus bahwa arus pengungsi dari negara-negara di Asia Barat Daya dan Asia Selatan selalu menggunakan wilayah Negeri Tukang Klaim sebagai tempat transit. Dari situ rasanya tidak berlebihan untuk menaruh kecurigaan bahwa kasus yang terus berulang ini sebagian di antaranya karena pembiaran dari Negeri Tukang Klaim itu, sehingga yang menjadi repot dan susah adalah Indonesia.

17 Oktober 2009

Doktrin Operasi Amfibi Dan Perencanaan Kekuatan Angkatan Laut

All hands,
Strategi maritim terdiri atas tiga unsur fundamental, yaitu pengendalian laut, sea denial dan proyeksi kekuatan. Dikaitkan dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut, sistem senjata yang melengkapi susunan tempur Angkatan harus mampu melaksanakan operasi-operasi yang tercakup dalam ketiga unsur itu. Salah satunya adalah proyeksi kekuatan, yang mana satu di antara bentuk proyeksi kekuatan berupa from the sea to shore.
Operasi amfibi merupakan satu pola proyeksi kekuatan from the sea. Operasi amfibi yang telah berlangsung ratusan tahun sekarang telah mengalami perubahan dalam bentuk doktrin. Doktrin operasi amfibi masa kini sebagian di antaranya tidak lagi mementingkan pembentukan tumpuan pantai. Sebaliknya operasi tersebut menekankan pada proyeksi kekuatan dari kapal perang langsung menuju sasaran di darat.
Doktrin yang diperkenalkan oleh U.S. Navy ini dikenal sebagai STOM. Memperhatikan sejarah U.S. Navy pasca Perang Vietnam, Angkatan Laut Amerika Serikat dan USMC sudah cukup lama tidak pernah melaksanakan operasi amfibi melalui pembentukan tumpuan pantai. Sebaliknya, STOM kini mendominasi penulisan sejarah operasi amfibi mereka.
Oleh sebab itu, tidak heran kalau sekarang eksistensi kapal LST dalam susunan tempur U.S. Navy sudah punah. Fungsi LST kini digantikan oleh kapal LPD, LHD, LSD dan LHA yang mampu memuat berbagai jenis sistem senjata, termasuk helikopter. Akuisisi kapal-kapal amfibi jenis tersebut tidak dapat dilepaskan dari perubahan doktrin amfibi yang dianut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Doktrin operasi amfibi yang dianut masih menekankan vitalnya pembentukan tumpuan pantai. Untuk mendukung doktrin tersebut, dihadirkanlah kapal LST yang mampu melakukan beaching. Sedangkan LPD, LHD, LSD dan LHA memang dirancang untuk tidak mampu beaching, sebab doktrin yang melatarbelakanginya berbeda.
Dengan berjalannya waktu, perlahan kapal jenis LPD pun sekarang telah memperkuat kekuatan laut Indonesia. Sesuai dengan fungsi asasinya, LPD digunakan untuk melaksanakan proyeksi kekuatan melalui operasi amfibi. Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya, kapal jenis ini tidak dapat melaksanakan beaching sehingga hanya dapat melakukan debarkasi basah. Di sisi lain, sistem senjata ini juga mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menggelar GKK Lintas Heli, karena terdapat heli deck yang mampu menampung helikopter dengan jumlah lebih dari dua buah.
Dari sini tergambar bahwa terdapat peluang untuk meningkatkan daya pukul operasi amfibi, meskipun doktrinnya masih mengutamakan pada pembentukan tumpuan pantai. Peluang tersebut adalah mengeksploitasi GKK Lintas Heli dalam operasi amfibi dari balik cakrawala. Sebab kecepatan heli menuju sasaran jauh lebih tinggi daripada sekoci pendaratan seperti LCU.
Selain itu, LPD dengan daya muat yang jauh lebih besar daripada LST berarti juga dapat menambah kekuatan pasukan yang terlibat dalam operasi pendaratan. Termasuk kekuatan tank dan panser amfibi yang dapat dimuat lebih banyak daripada di LST. Dengan demikian, LST tetap dapat disinergikan dengan LPD.
Ke depan, perlu dipikirkan lebih matang isu ini sebab makin hari makin sedikit galangan kapal di dunia yang membuat LST. Dengan kata lain, LST terus mengalami pengurangan populasi. Sementara pada waktu yang sama, populasi LPD dan sejenisnya terus meningkat di dunia. Artinya, tidak menutup kemungkinan suatu saat penggunaan LST akan berkurang sangat drastis.
Singkatnya, menjadi pertanyaan apakah dalam 20-30 mendatang LST masih akan memainkan peran signifikan? Bila tidak, lalu bagaimana dengan doktrin operasi amfibi yang dianut oleh Indonesia? Apabila harus dilakukan revisi, sejauh mana revisi itu akan dilakukan? Ataukah harus mengadopsi doktrin baru seperti yang kini dianut oleh Angkatan Laut negara-negara maju?
Semua pertanyaan itu mempunyai keterkaitan erat dengan aspek perencanaan kekuatan. Mengingat perencanaan kekuatan bersifat jangka menengah dan jangka panjang, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelumnya nampaknya harus sudah dapat dijawab dalam 2-4 tahun ke depan? Sebab dalam masa-masa itu, perencanaan kekuatan yang disusun diproyeksikan untuk 10-20 tahun berikutnya.

16 Oktober 2009

Berpikir Sistem Dalam Pengadaan Sistem Senjata

All hands,
Angkatan Laut menganut pendekatan sistem senjata dalam operasinya. Maksudnya, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dibutuhkan sinergi antara berbagai sub sistem senjata menjadi satu sistem yang satu dan padu. Tidak ada satu sub sistem senjata dalam Angkatan Laut yang dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan tanpa dukungan, kontribusi dan peran dan bermacam sub sistem senjata lainnya. Dengan demikian, sistem senjata Angkatan Laut tidak menganut pendekatan system of the system.
Pemahaman dan paradigma sistem senjata ini hendaknya dipahami oleh semua pihak terkait di Angkatan Laut. Dengan demikian, dalam pengadaan sistem senjata pendekatan yang ditempuh merupakan pendekatan komprehensif yang melibatkan semua sub sistem. Sebagai contoh adalah kapal perang sebagai simbol eksistensi Angkatan Laut. Pengadaan kapal perang bukan semata soal pembelian kapal perang lengkap dengan segenap sistem senjata yang ada di dalamnya, tetapi juga harus didukung oleh interoperability kapal perang itu dengan kapal perang lainnya, termasuk kapal selam, dukungan logistik berkelanjutan dari pabrikan dan tidak luput pula kesiapan infrastruktur pangkalan di mana kapal perang itu akan beroperasi serta kesiapan sumber daya manusia pengawak.
Kapal perang sangat boleh dilengkapi dengan berbagai sistem senjata yang mematikan, baik rudal, torpedo, meriam maupun peralatan peperangan elektronika, tetapi tidak akan berarti apa-apa bila tidak didukung oleh dukungan logistik berkelanjutan dari pabrik. Kapal perang tidak berarti apa-apa pula bila infrastruktur pangkalan tidak mampu untuk mendukungnya. Kapal perang akan menjadi tidak berdaya pukul mematikan jikalau personel pengawaknya tidak mampu mengawaki dan mengeksploitasi sistem senjata yang mereka awaki.
Ujung dari semua itu adalah tidak tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan yang tidak ditetapkan tak tercapai karena tidak mampu menghadirkan kapal perang di laut sesuai dengan kebutuhan operasional. Naval presence merupakan simbol dari eksistensi Angkatan Laut.
Terkait dengan hal tersebut, dalam pengadaan sistem senjata seperti kapal perang maupun pesawat udara hendaknya menganut pendekatan komprehensif. Bahwa yang dibeli atau diadakan itu adalah sebuah sistem, bukan satu jenis material saja. Artinya, energi jangan dihabiskan untuk mengatur bagaimana kapal perang yang diinginkan bisa hadir tetap waktu dan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati, tetapi harus pula disisihkan untuk membeli atau membuat ada sistem pendukungnya, baik material maupun non material.

15 Oktober 2009

Status Negara Kepulauan: Nikmat Atau Laknat?

All hands,
Apakah keuntungan yang telah diperoleh Indonesia dengan status negara kepulauan? Fakta menunjukkan bahwa status yang diperoleh dengan perjuangan panjang itu oleh generasi pendahulu kini cenderung disia-siakan oleh (sebagian) generasi sekarang. Generasi sekarang memandang laut sebagai beban, bukan sebagai aset. Buktinya gampang, tengok saja komitmen pemerintah negeri ini terhadap Angkatan Lautnya. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan juga di Asia Tenggara, sudah sepantasnya bila Indonesia mempunyai kekuatan laut yang terkuat dan termodern di kawasan ini. Tapi apa yang terjadi, Indonesia kini cenderung sebagai pecundang di wilayah Asia Tenggara.
Begitu pula dengan armada perkapalan niaga. Armada perkapalan niaga Indonesia mengalami kemunduran dari era sebelumnya. Jangankan berjaya di kawasan Asia Tenggara, berjaya di negeri sendiri pun tidak.
Ketidakberjayaan itu karena adanya kerjasama yang erat dan saling menguntungkan antara pihak-pihak di negeri ini yang anti maritim dengan pihak asing seperti negeri kecil penampung koruptor di sebelah selatan Negeri Tukang Klaim. Bukan rahasia lagi bila negeri kecil itu terus berupaya membonsai upaya-upaya memajukan armada niaga Indonesia, termasuk menghambat pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2005 tentang Cabotage.
Pembonsaian terjadi pula pada masalah perikanan. Pelakunya pun merupakan paduan antara putra bangsa yang anti maritim dengan pihak asing yang berkepentingan mengeruk kekayaan laut Indonesia. Kalau selama ini masalah pencurian ikan seakan tidak pernah selesai, bahkan Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor ikan kembung.
Dari selintas fakta tersebut, pertanyaan kini yaitu apakah status negara kepulauan yang disandang Indonesia sebagai nikmat atau laknat? Nampaknya status itu sebagai nikmat bagi pihak asing, tetapi laknat bagi bangsa Indonesia. Sebab bangsa ini tidak berminat mengeluarkan semua sumber daya nasional yang tersedia untuk mengurus lautnya.

14 Oktober 2009

Strategi Pertahanan Versus Budget Reality

All hands,
Masalah klasik dalam menentukan kebijakan pertahanan di setiap negara adalah budget reality. Seperti dinyatakan dalam teori force planning, sumber daya senantiasa terbatas dan anggaran adalah salah satu bagian dari sumber daya yang terbatas tersebut. Bertolak dari situasi demikian, setiap negara seringkali dihadapkan pada budget reality ketika ingin mengeksekusi strategi pertahanan yang dianut.
Pertanyaan standar dan sekaligus klasik yaitu apakah strategi pertahanan dirancang berdasarkan budget reality atau tidak? Pertanyaan ini bukan saja dihadapi oleh para perencana pertahanan di negara-negara berkembang, tetapi dihadapi pula oleh para perencana pertahanan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya relatif, tergantung siapa yang akan menjawabnya.
Bagi para individu yang tugasnya berkutat pada masalah alokasi anggaran negara untuk semua sektor dan tidak mau tahu serta pusing soal pertahanan, jawaban mereka bisa ditebak. Yakni strategi pertahanan harus menyesuaikan pada budget reality. Akan tetapi bagi para perencana pertahanan, jawaban demikian sama artinya dengan mengkompromikan kepentingan nasional. Sebab kelompok ini berpandangan bahwa penyusunan strategi tidak boleh didikte oleh keterbatasan anggaran, sebab strategi tidak bekerja di alam vakum.
Dalam konteks Indonesia, isu strategi pertahanan versus budget reality masih terus menjadi masalah nyata setiap tahunnya. Pada satu sisi, strategi pertahanan Indonesia belum disusun dengan benar sesuai dengan beragam kondisi fisik dan non fisik, dinamis dan statis yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional. Di sisi lain, budget reality masih belum berpihak pada kepentingan pertahanan yang disebabkan oleh ketidakberpihakan pemerintah sendiri.
Strategi pertahanan Indonesia masih belum terangkai dalam suatu konstruksi yang benar, sehingga berimbas pada kebutuhan anggaran. Hingga sekarang, kebutuhan anggaran bagi kepentingan pertahanan belum dapat dihitung secara nyata berapa besarannya. Sebab strategi pertahanan bangunannya masih compang camping, yang mana satu strategi dipaksakan “kawin” dengan strategi lain yang sebenarnya tidak akan pernah cocok. Akibat dari hasil “kawin paksa” itu adalah munculnya “cacat genetik” pada konstruksi pertahanan Indonesia.
Dengan konstruksi pertahanan yang “cacat genetik”, kemudian dihadapkan pada budget reality, menimbulkan kondisi sulitnya menghitung kebutuhan ril anggaran pertahanan negeri ini. Dihadapkan pada budget reality, diperlukan skala prioritas pembangunan kekuatan pertahanan. Pertanyaannya, siapa yang memperoleh skala prioritas tersebut?
Setelah menentukan aktor mana yang menjadi skala prioritas, lalu di wilayah pelibatan mana aktor tersebut akan berkelahi dengan lawan?
Dua pertanyaan ini belum bisa dijawab atau dirumuskan oleh para perencana pertahanan di negeri ini. Apabila betul Angkatan Laut mendapat skala prioritas, tentu Renstra 2005-2009 untuk Angkatan Laut seharusnya sudah terealisasi minimal 80 persen. Ketika tahun 2009 tinggal menghitung bulan untuk tutup buku, realisasinya tidak sampai 40 persen bahkan kurang dari 30 persen.
Dengan demikian, strategi pertahanan pada satu sisi dan budget reality pada sisi lainnya adalah dua masalah yang sampai kini belum mampu untuk diselesaikan. Penyelesaian salah satu di antara keduanya akan berimbas pada yang lainnya. Apabila diselesaikan sesuai dengan cara-cara yang benar, imbasnya akan positif bagi kepentingan pertahanan Indonesia. Apabila tidak diselesaikan dengan cara-cara yang benarnya, pertahanan negeri ini akan semakin mundur dan terpuruk.

13 Oktober 2009

Tipu Daya Ala Melayu Negeri Tukang Klaim

All hands,
Pada 13-14 Oktober 2009, sebuah lembaga kajian maritim milik pemerintah Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim mengadakan lokakarya tahunan yang mengundang beberapa Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Tema bahasan tahun ini mencakup masalah CBM dan naval arms race alias perlombaan senjata Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara. Menjadi menarik mengapa lembaga itu memilih judul tersebut.
Pesan sponsor sudah pasti merupakan jawaban paling jitu mengapa tema itu dipilih. Sponsornya tentu sudah dapat ditebak dengan pasti. Dari situ kemudian memunculkan pertanyaan baru, mengapa sang sponsor menentukan tema tersebut dalam kegiatan tahun ini?
Setelah diusut lebih jauh, ternyata hal itu tidak lepas dari kelakuan sang sponsor sendiri yang selama ini tidak pernah menghormati CBM. Alih-alih menghormati CBM, sang sponsor malah berupaya memprovokasi konflik di kawasan Asia Tenggara. Memprovokasi konflik sama artinya dengan berupaya memprovokasi timbulnya instabilitas di kawasan ini.
Soal contoh provokasi sangat jelas, lihat saja kelakuan kapal perang Negeri Eksportir Teroris bin Negeri Tukang Klaim di Laut Sulawesi selama ini terhadap Indonesia. Hanya pihak yang tidak dikaruniai akal sehat saja yang menilai kelakuan itu bukan tindakan untuk menimbulkan instabilitas keamanan kawasan.
Lalu artinya apa? Negeri Tukang Klaim seolah-olah ingin menunjukkan kepada kawasan dan dunia bahwa mereka sangat hirau dengan isu CBM. Padahal kenyataan di lapangan justru negeri itu yang tidak menghormati CBM. Itu benar-benar tipu daya ala Melayu yang buat sebagian bangsa Indonesia sudah paham betul maksudnya.
Itu baru tipu daya pertama. Tipu daya kedua soal naval arms race yang diangkat jadi isu lokakarya. Pertanyaannya adalah apakah benar ada naval arms race di kawasan Asia Tenggara? Kalau ada, siapa pemicu utamanya?
Memang betul bahwa saat ini ada kecenderungan ke arah naval arms race di kawasan ini. Kecenderungan beberapa negara memperkuat Angkatan Lautnya yang sebagian sudah tidak proporsional dengan kebutuhan nyata merupakan indikasi adanya naval arms race di Asia Tenggara. Masalah tidak proporsional bisa dikaitkan dengan area of responsibility suatu Angkatan Laut.
Akan tetapi salah besar bila telunjuk langsung diarahkan kepada Singapura sebagai pemicunya. Negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia ini bukan pemicu utama. Memang pada satu sisi pembangunan kekuatan laut negeri yang hingga detik ini sangat takut dengan kemampuan tempur dan keberanian Marinir Indonesia tersebut sangat dapat dikategorikan melebihi kebutuhan nyata. Akan tetapi penting untuk dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh negeri itu sebenarnya dipicu oleh provokasi Negeri Tukang Klaim.
Tidak sulit untuk mencari bukti soal ini. Satu di antaranya adalah ancaman Negeri Tukang Klaim terhadap negeri penampung koruptor dan uang haram asal Indonesia untuk memutus beberapa suplai vital dari daratan semenanjung. Selain ancaman, Negeri Tukang Klaim memprovokasi lewat pembangunan kekuatan militernya, termasuk Angkatan Laut, yang secara samar ataupun tidak sebenarnya ditujukan kepada negeri kecil yang memisahkan diri dari federasi pada Agustus 1965. Provokasi itu ternyata ampuh untuk memicu negara sasaran guna bertindak mengamankan kepentingan nasionalnya.
Penting untuk diketahui bahwa pembangunan kekuatan laut negeri yang takut terhadap kemampuan tempur dan keberanian Marinir Indonesia tidak secara khusus diarahkan kepada Indonesia. Tetapi justru lebih diarahkan kepada mantan negeri induknya di masa lalu.
Kalau kini Indonesia tengah bersiap untuk memperkuat kembali Angkatan Lautnya, hal itu bukan semata-mata disebabkan soal waktu modernisasi kekuatan yang memang sudah tiba saatnya. Tetapi juga memperhitungkan pembangunan kekuatan Negeri Tukang Klaim, sebab negeri yang tidak tahu berterima kasih atas jasa tenaga kerja Indonesia membangun negerinya itu memang masih mempunyai sejumlah masalah politik keamanan yang mengganjal dengan Indonesia.
Berangkat dari situasi tersebut, siapa yang sebenarnya pemicu naval arms race di kawasan Asia Tenggara? Lagi-lagi dari situ tergambar tipu daya ala Melayu yang dimainkan di panggung kawasan dan dunia.

12 Oktober 2009

Penyebaran Pangkalan Dan Strategi Pertahanan

All hands,
Berdasarkan teori, penyebaran pangkalan Angkatan Laut harus didasarkan pada strategi pertahanan yang berlaku. Strategi pertahanan secara garis besar akan membahas tiga aspek yaitu ends, means dan ways. Untuk mencapai ends, mau tak mau harus diidentifikasi siapa yang dikategorikan sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional. Setelah ancaman itu diidentifikasi, selanjutnya dibuat perkiraan intelijen dari arah mana ancaman itu most likely akan datang.
Berdasarkan pada perkiraan intelijen tersebut, maka penyebaran pangkalan Angkatan Laut akan mengalami sejumlah penyesuaian. Misalnya pengembangan pangkalan di wilayah x akan mendapat prioritas utama, sementara di kawasan y dan z ditetapkan pada prioritas kedua dan ketiga. Dengan demikian maka sumber daya pertahanan bagi Angkatan Laut sebagian akan diprioritaskan pada pengembangan pangkalan di wilayah x.
Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, bisa jadi ada penaikan dan penurunan status pangkalan Angkatan Laut. Pangkalan Angkatan Laut yang berada di wilayah x statusnya akan ditingkatkan lebih tinggi daripada di wilayah lainnya, sementara di wilayah y dan z sangat mungkin akan diturunkan. Karena sebagaian sumber daya pertahanan bagi Angkatan Laut sebagian diproritaskan pada wilayah x, maka fasilitas pangkalan di wilayah itu akan lebih lengkap dibandingkan fasilitas di dua kawasan lainnya.
Ketika dipraktekkan ke alam nyata, kesulitan untuk mempraktekkan teori ini terletak pada strategi pertahanan yang tidak jelas. Bila ancaman jangka pendek dan menengah menunjukkan bahwa sumbernya berasal dari negara eksportir teroris bin Negeri Tukang Klaim melalui Laut Sulawesi, semestinya strategi pertahanan harus berfokus ke wilayah tersebut. Sebagai konsekuensinya, sejumlah pangkalan Angkatan Laut yang berada di sekitar Laut Sulawesi akan mendapat prioritas khusus dalam pengembangannya.
Sehingga nantinya pangkalan Angkatan Laut tersebut mempunyai fasilitas yang lebih lengkap daripada pangkalan di kawasan lainnya. Misalnya fasilitas labuh kapal selam, selain fasilitas labuh kapal atas air. Begitu pula fasilitas dukungan untuk pesawat udara Angkatan Laut.
Karena sesuai dengan teori force planning yang menyatakan bahwa sumber daya terbatas, maka prioritas pengembangan pangkalan merupakan pilihan yang paling realistis. Namun untuk menuju ke arah tersebut, harus jelas dahulu strategi pertahanan yang dianut oleh Indonesia.

11 Oktober 2009

Pendekatan Ekonomis Terhadap Perang

All hands,
Bangsa Indonesia sangat sensitif dengan masalah uang. Hanya gara-gara uang bernilai “sedikit” pun, darah seorang manusia bisa dihalalkan untuk tumpah. Sensitivitas pada tingkat antar individu itu pun merambah ke tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh yang tidak dapat dibantah adalah pelitnya pengambil keputusan untuk berpihak sepenuh hati pada modernisasi kekuatan Angkatan Laut negeri ini. Alasannya jelas yaitu masalah cost alias biaya. Seperti pernah ditulis sebelumnya, cakupan biaya itu sebenarnya luas dan tidak terbatas pada aspek moneter. Tetapi mencakup pula aspek korban personel, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut salah satunya ditujukan untuk mencegah perang melalui penangkalan. Apabila kita mempunyai kekuatan laut yang credible, pihak lain seperti Negeri Tukang Klaim akan berpikir seribu kali untuk mengusik kepentingan nasional Indonesia. Jikalau pihak pengambil keputusan beranggapan bahwa biaya mencegah perang mahal, sebaiknya bandingkan dengan biaya rekonstruksi pasca perang.
Untuk suatu perang yang berlangsung singkat dan terbatas dengan sasaran center of gravity lawan, biaya rekonstruksi yang diperlukan menurut prediksi saya minimal Rp. 200 trilyun. Itu dengan asumsi bahwa yang diserang adalah Jakarta sebagai ibukota dengan istana presiden dan markas besar militer, sarana vital yang bertebaran di beberapa tempat di luar Jakarta seperti depo bahan bakar, jaringan telekomunikasi, jaringan jalan utama, pangkalan militer beserta sistem senjata yang ada di sana, pelabuhan laut, bandar udara dan lain sebagainya. Asumsi lainnya, perang berlangsung singkat yaitu antara 1-14 hari.
Kelumpuhan sarana itu biayanya sangat besar. Sebagai contoh, lumpuhnya jaringan telekomunikasi akan berdampak langsung terhadap ekonomi. Sebab kegiatan ekonomi masa kini sebagian besar mengandalkan pada jaringan telekomunikasi, seperti transaksi perbankan dan pasar modal.
Besaran biaya rekonstruksi yang diprediksikan tersebut belum mencakup pengadaan sistem senjata baru sebagai pengganti sistem senjata yang hancur. Biaya rekonstruksi tersebut belum meliputi pula harga yang harus dibayar dari biaya non moneter, seperti kerugian jiwa beserta dampak ikutannya dan lain sebagainya. Artinya, biaya secara keseluruhan (moneter dan non moneter) yang harus ditanggung negeri ini sangat besar bila ada perang.
Oleh karena itu, cara terbaik adalah mencegah perang. Bagaimana caranya? Tidak bisa hanya bertumpu pada mengandalkan silat lidah para diplomat, sebab silat lidah tidak bisa diandalkan untuk mencegah perang. Silat lidah cuma untuk menunda perang, bukan mencegah perang. Cara lain yang lebih andal adalah membangun kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut. Untuk membangun satu skadron kapal selam konvensional termodern sekelas Kilo yang terdiri dari enam kapal selam, cuma membutuhkan Rp.24 trilyun lengkap dengan segalanya. Andaikata kapal selam itu pengadaaannya dikurangi jadi empat buah buah saja dan sisanya dibelikan kapal permukaan sekelas fregat, setidaknya kekuatan laut negeri ini dapat membeli sekitar dua kapal dengan perlengkapan standar dan siap operasi.
Dari ilustrasi ini, sangat jelas bahwa biaya mencegah perang jauh lebih murah daripada rekonstruksi pasca perang. Baik biaya yang bersifat moneter, apalagi non moneter. Sekarang tinggal kembali kepada pengambil keputusan di negeri ini, mana yang mau dipilih. Kalau mengutamakan pendekatan ekonomis, seharusnya pendekatan mencegah perang harus lebih dominan daripada rekonstruksi pasca perang.

10 Oktober 2009

Tiada Kemakmuran Tanpa Peran Angkatan Laut

All hands,
Menurut data, 75 persen permukaan bumi diliputi oleh laut. Armada niaga dunia mengangkut 90 persen ekspor dunia. Dari gambaran singkat tersebut sudah sangat pesan yang hendak disampaikan, yaitu perputaran ekonomi dunia sangat ditentukan oleh arus barang lewat laut. Artinya, kemakmuran dunia sangat tergantung pada kelancaran arus barang lewat laut pula.
Kelancaran arus barang lewat laut suka atau tidak suka, akan terkait langsung dengan keamanan maritim. Ketika menyentuh isu keamanan maritim, suka atau tidak suka Angkatan Laut mempunyai peran besar di dalamnya. Tiada keamanan maritim tanpa peran Angkatan Laut. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan tiada kemakmuran tanpa peran Angkatan Laut.
Sebagai contoh adalah Cina. Meskipun kekuatan laut Beijing masih beroperasi tidak jauh dari wilayah pantainya, tetapi kemakmuran yang mereka capai tidak lepas dari kondisi keamanan maritim yang diciptakan oleh negara-negara lain, di mana U.S. Navy memainkan peran terbesar. Angkatan Laut Indonesia pun sebenarnya mempunyai kontribusi terhadap kemakmuran Negeri Tembok Raksasa, melalui penciptaan kondisi perairan yurisdiksi Indonesia yang aman bagi pelayaran.
Sebagai negara dengan posisi strategis di kawasan Asia Pasifik, kontribusi Angkatan Laut Indonesia bagi kemakmuran negeri lain tidak terhitung. Kontribusi itu sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Namun hal itu seringkali luput dari pandangan kita sendiri.
Negara-negara tersebut sangat menyadari adanya kontribusi Angkatan Laut asing dalam kemakmuran mereka. Setelah mereka kini mencapai kemakmuran, mereka berupaya mengembangkan Angkatan Laut dengan kemampuan proyeksi kekuatan agar tidak selamanya bergantung pada kontribusi Angkatan Laut asing guna mengamankan kepentingan nasional mereka.
Di Indonesia, ada pihak-pihak tertentu yang bermimpi di siang bolong untuk menciptakan kemakmuran negeri ini sesuai amanat konstitusi dengan menegasikan peran Angkatan Laut. Penegasian peran Angkatan Laut tersebut contohnya bisa dilihat dari ketidakberpihakan pihak-pihak tersebut terhadap program pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Harus disadari bersama bahwa mimpi di siang bolong untuk menciptakan kemakmuran di Indonesia tanpa peran Angkatan Laut adalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah terwujud.
Mengapa? Indonesia adalah negara kepulauan, bukan negara land locked seperti Nepal, atau Mongolia yang tidak butuh Angkatan Laut. Jalur ekonomi Indonesia baik untuk hubungan dengan negara-negara lain maupun internal Indonesia adalah lewat laut. Tidak usah muluk-muluk, bisnis pakaian di Pasar Tanah Abang, Jakarta sangat tergantung pada kelancaran transportasi laut dan keamanan laut.
Bukankah pakaian-pakaian tersebut dikirim ke pulau-pulau besar di luar Pulau Jawa lewat laut? Bukankah sebagian dari konsumen pakaian tersebut bermukim di luar Pulau Jawa? Itu baru pakaian, belum lagi komoditas lainnya yang selama ini kadang kita anggap kurang penting seperti gula, beras, garam dan lain sebagainya. Belum lagi komoditas yang nilainya dipandang lebih mahal seperti otomotif, BBM, produk elektronik dan lainnya.
Dari fakta-fakta tersebut, masihkah sebagian dari bangsa ini masih akan terus melanjutkan mimpinya membangun Indonesia menuju kemakmuran dengan menegasikan peran Angkatan Laut?

09 Oktober 2009

Prasyarat Menuju Angkatan Laut Yang Global Reach

All hands,
Selain preferensi pemerintah yang berpihak kepada Angkatan Laut, Indonesia dapat mempunyai Angkatan Laut yang global reach apabila diikuti dengan sejumlah pembenahan di dalam organisasi Angkatan Laut. Di samping pembenahan masalah personel, diperlukan pula pembenahan pada aspek operasi dan logistik. Dua aspek terakhir patut untuk diperhatikan pula, sebab Angkatan Laut yang global reach sebagian kekuatannya akan beroperasi di luar wilayah perairan yurisdiksi.
Untuk aspek operasi, sebaiknya kita harus keluar dari lingkaran setan dengan kesibukan tiada habis terhadap opskamla. Dari dulu sampai sekarang, kita selalu disibukkan dan dipusingkan dengan jenis operasi yang satu ini. Sehingga tidak heran bila porsi jenis operasi ini sangat tidak proporsional dibandingkan jenis operasi lainnya. Padahal masalah yang dihadapi di laut terkait dengan kepentingan nasional bukan saja soal kamla.
Suka atau tidak suka, harus disadari bahwa penekanan pada opskamla at the expense of other types of operation. Lalu bagaimana dengan opspurla misalnya, apakah jenis operasi ini kurang penting. Bukankah keterampilan, kemampuan dan kebisaan naval warfare sejati hanya bisa didapatkan melalui opspurla.
Bila kita selama ini mampu menghitung berapa kapal ikan yang melanggar hukum di perairan yurisdiksi nasional dalam setahun, bisakah kita menghitung dengan pasti berapa kapal perang asing yang melintas di perairan yang sama. Berapa jumlah kapal atas air yang melintas setiap tahunnya? Berapa pula jumlah kapal selam yang melintas dalam periode yang sama?
Masalah logistik demikian pula. Masih banyak pembenahan yang harus dilaksanakan pada aspek ini. Jangankan membenahi dukungan pasokan logistik yang berasal dari sumber di luar negeri, memperbaiki dukungan pasokan logistik yang berasal dari dalam negeri saja kita masih sulit. Contoh sederhana adalah jaminan pasokan BBM dan minyak pelumas dari BUMN.
Suatu Angkatan Laut yang global reach antara lain tidak dipusingkan dengan masalah keamanan perairan yurisdiksinya. Indonesia sesungguhnya bisa menuju ke sana, dengan catatan Coast Guard harus segera terwujud. Dengan demikian, sebagian tugas terkait keamanan laut bisa dilaksanakan oleh lembaga ini.
Namun demikian, tidak berarti bahwa peran konstabulari Angkatan Laut akan terhapus, sebab peran itu akan terus melekat pada Angkatan Laut sampai kapan pun. Kalaupun peran konstabulari agak berkurang, masih ada dua peran lain yang menanti untuk dioptimalkan oleh Angkatan Laut. Salah satunya adalah peran diplomasi dan peran ini sangat terkait dengan global reach-nya Angkatan Laut. Selama tidak ada konflik bersenjata di laut yang mengancam kepentingan nasional, peran diplomasi sudah seharusnya digenjot oleh Angkatan Laut dalam bentuk global reach.
Untuk global reach, menurut hemat saya kepentingan Indonesia setidaknya terbentang antara kawasan Samudera India sampai dengan Samudera Pasifik. Dari Teluk Persia dan Laut Merah hingga ke Laut Jepang dan Samudera Pasifik sekitar Hawaii. Mengapa kawasan tersebut?
Sebab perekonomian Indonesia sebagian besar terletak pada wilayah tersebut. Bukan saja soal urusan impor minyak, tetapi mencakup pula ekspor impor berbagai barang dan jasa lainnya. Termasuk juga di wilayah-wilayah itu terdapat kantong-kantong komunitas WNI yang wajib dilindungi keselamatannya oleh pemerintah Indonesia. Dan Angkatan Laut negeri ini adalah satu satu komponen untuk melindungi mereka karena karakteristiknya yang unik dibandingkan Angkatan Udara dan Angkatan Darat.

08 Oktober 2009

Menuju Angkatan Laut Yang Global Reach

All hands,
Bangsa Indonesia yang selalu membanggakan diri sebagai negara kepulauan terbesar di dunia harusnya malu kepada diri sendiri. Mengapa demikian? Sebab Angkatan Laut yang dipunyai oleh bangsa ini justru tidak tergolong global reach. Kondisi itu merupakan suatu anomali, sebab seharusnya bangsa Indonesia berjaya di laut.
Terdapat 30 Angkatan Laut di dunia yang global reach, beberapa di antaranya berasal dari kawasan Asia Pasifik. Angkatan Laut yang berkategori global reach dari kawasan ini justru wilayah perairannya lebih kecil daripada Indonesia. Negeri penampung koruptor dan dana haram dari Indonesia yang terletak di utara Pulau Batam merupakan negara dengan Angkatan Laut yang global reach.
Apa yang dimaksud dengan global reach? Global reach apabila dikaitkan dengan strategi maritim berarti terkait dengan proyeksi kekuatan. Dalam era masa kini, proyeksi kekuatan Angkatan Laut lebih banyak diarahkan untuk menjaga stabilitas keamanan maritim di berbagai kawasan dunia. Oleh karena itu, 30 Angkatan Laut yang tergolong global reach bukan berarti semuanya mampu untuk melaksanakan proyeksi kekuatan untuk bertempur jauh dari wilayah negara induknya.
Sebagai contoh adalah kekuatan laut negeri penampung koruptor dari Indonesia. Negeri itu tidak memiliki Angkatan Laut yang mampu diproyeksikan jauh dari wilayahnya untuk tujuan menyerang negara lain, sebab sumber dayanya terbatas. Tetapi negara licik dan rakus itu Angkatan Lautnya mampu diproyeksikan untuk tugas-tugas konstabulari seperti yang dilakukannya ke perairan Teluk Persia dan Laut Arab.
Untuk Angkatan Laut yang bisa melaksanakan global reach untuk semua peran Angkatan Laut secara simultan, cuma U.S. Navy yang memenuhi kategori itu. Sedangkan Royal Navy, Marine Nationale (French) dan Angkatan Laut negara-negara maju lainnya kemampuannya di bawah U.S. Navy.
Dari situ jelas tergambar bahwa harapan dan aspirasi agar Indonesia mempunyai global reach Navy bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Saat ini kekuatan laut Indonesia tengah belajar mempraktekkan hal tersebut melalui partisipasi dalam MTF UNIFIL. Artinya Indonesia sebenarnya bisa mempunyai Angkatan Laut yang global reach.
Sekarang kembali kepada pemerintah, bagaimana preferensinya terhadap Angkatan Laut. Geoffrey Till dengan jelas dan gamblang menyatakan bahwa perkembangan Angkatan Laut suatu negara tergantung pada preferensi pemerintah negara tersebut.

07 Oktober 2009

Pembaruan Doktrin Maritim India

All hands,
Doktrin adalah suatu pemikiran yang bersifat dinamis dan dapat berubah ketika dinilai perlu untuk berubah. Doktrin bukanlah suatu dogma yang harus diperlakukan secara sakral layak kitab suci agama. Dengan demikian perubahan doktrin merupakan suatu keniscayaan.
Contoh termutakhir adalah Angkatan Laut India. Setelah serangan teroris di Mumbai pada 2008, Angkatan Laut Negeri Rabindranath Tagore melaksanakan sejumlah tindakan pembenahan internal. Setelah membentuk Indian Coastal Command yang berada di bawah Angkatan Laut, langkah berikutnya adalah memperbarui doktrin yang hasilnya diluncurkan pada 28 Agustus 2009. Dalam doktrin maritim India terbaru, penekanan diberikan pada praktek penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk memerangi terorisme maritim dan pembajakan dan berperang dan menjaga keamanan pantai. Berikutnya, India merumuskan peran Angkatan Lautnya dalam empat bentuk, yaitu militer, diplomasi, konstabulari dan benign.
Dari pembaruan doktrin maritim India, terdapat beberapa hal yang penting untuk dijadikan lesson learned oleh Indonesia. Pertama, doktrin dapat berubah kapan saja ketika situasi operasional membutuhkan hal tersebut. Tentu saja ada parameter apa saja yang dikategorikan sebagai kebutuhan situasi operasional, yang dikaitkan dengan kepentingan nasional. Ancaman terhadap kepentingan nasional yang survival dan important bisa digolongkan sebagai kebutuhan situasi operasional.
Kedua, dukungan politik yang kuat untuk memerangi terorisme maritim, pembajakan dan sejenisnya. Angkatan Laut India menikmati dukungan politik yang kuat dari pemerintah untuk memerangi aksi-aksi tersebut. Sebab aksi-aksi itu terjadi pada domain maritim yang merupakan birthright Angkatan Laut. Sebaliknya, polisi India pun tidak berani merebut lahan itu karena sadar maritim bukan domain mereka dan masalah di domain maritim adalah masalah kedaulatan, bukan sekedar penegakan hukum.
Ketiga, Angkatan Laut India berani berbeda dalam merumuskan perannya. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa secara umum peran Angkatan Laut terdiri dari tiga, yakni militer, diplomasi dan konstabulari. Rumusan itu dirancang oleh Kenneth Booth, salah satu ahli strategi maritim dari Negeri Ratu Elizabeth II. India sesuai dengan kepentingan nasionalnya berani menambahkan satu peran yang berdiri sendiri, yaitu benign, yang di negara lain kadangkala digabungkan dengan peran konstabulari.
Mempelajari doktrin Angkatan Laut India versi 2004 (sebelum diperbarui 2009), sangat jelas terbaca bahwa doktrin itu bisa diaplikasikan. Sebab materi-materi yang dibahas di dalamnya bersifat aplikasi, bukan lagi nilai-nilai filosofis dan atau kutipan aturan hukum. Itulah salah satu perbedaan antara doktrin Angkatan Laut India dengan Doktrin Eka Sasana Jaya yang dianut oleh Indonesia.

06 Oktober 2009

Menguji Trinitas Pemerintah-Rakyat-Militer

All hands,
Carl von Clausewitz dalam On War mengemukakan teori trinitas pemerintah-rakyat-militer dalam bangunan segitiga. Puncak dari segitiga tersebut diduduki oleh pemerintah, sementara dua bagian sisi bawah diduduki oleh rakyat dan militer. Sang ahli strategi ini meyakini bahwa kekuatan suatu bangsa terletak pada hubungan segitiga tersebut. Apabila salah satu lemah, akan mempengaruhi dua komponen lainnya.
Mari kita uji trinitas tersebut dalam konteks Indonesia. Kuat atau tidaknya militer ditentukan oleh dukungan dari pemerintah dan rakyat. Kuat atau tidaknya pemerintah ditentukan oleh dukungan rakyat dan militer. Dalam konteks ini, yang hendak ditinjau adalah kuat atau tidaknya militer.
Ada dua pertanyaan utama yang wajib untuk diajukan. Pertama, kuatkah dukungan pemerintah terhadap militer? Kedua, kuatkah dukungan rakyat terhadap militer?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, bisa dilihat dari aspek kebijakan pertahanan. Dari situ akan tergambar seberapa jauh keberpihakan pemerintah terhadap militer. Rasanya tidak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, sebab contoh-contoh kasus hubungan antara pemerintah dengan militer sudah terlalu banyak.
Selanjutnya menuju ke pertanyaan kedua. Berdasarkan tinjauan secara umum, maksudnya tidak melalui suatu proses penelitian yang mendalam dan seksama, dapat disimpulkan bahwa dukungan rakyat terhadap militer relatif tinggi. Hal ini bisa dilihat dari reaksi publik apabila terjadi kasus kecelakaan sistem senjata, begitu pula ketika masalah klaim Laut Sulawesi dengan Negeri Tukang Klaim memanas beberapa saat lalu.
Kesimpulan dari dua pertanyaan itu mempunyai benang merah terhadap kondisi militer Indonesia saat ini. Kondisi militer Indonesia yang menghadapi berbagai tantangan berat adalah cermin dari benang merah atas dua pertanyaan tersebut. Benang merahnya adalah terjadi ketidaksesuaian aspirasi antara rakyat dengan pemerintah menyangkut apa yang harus dilakukan terhadap militer. Rakyat menghendaki militer negeri ini dimodernisasi, sementara pemerintah kurang berpihak kepada aspirasi rakyat tersebut.
Kalau suatu ketika terjadi konflik dengan negara lain dan kondisi militer Indonesia masih tetap seperti sekarang, kemudian Indonesia menjadi pecundang dalam konflik itu, hasil demikian adalah sangat wajar. Sebab segitiga antara pemerintah-rakyat-militer saat ini di Indonesia memang rapuh.

05 Oktober 2009

Gugur Demi Kemakmuran

All hands,
Adakah perbedaan signifikan antara kekuatan militer Indonesia hari ini dibandingkan hari yang sama tahun lalu? Apakah ada penambahan kekuatan secara signifikan? Apakah ada peningkatan kualitas personel? Ataukah justru hari ini kekuatan militer Indonesia mengalami kemunduran dibandingkan hari yang sama tahun lalu?
Dalam setahun ini, banyak peristiwa yang mempengaruhi kekuatan militer Indonesia. Mulai dari seringnya kecelakaan sistem senjata hingga kenaikan anggaran pertahanan dengan bonus penundaan pengadaan sistem senjata baru. Dari rangkaian peristiwa itu, sangat jelas tergambar bahwa kekuatan militer Indonesia tengah mengalami tekanan eksternal yang berimbas pada internal.
Tekanan eksternal bersumber dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada pertahanan dan militer, khususnya dalam program modernisasi. Kekuatan militer negeri ini diperintahkan untuk tetap mengoperasikan sistem senjata yang sudah tidak ekonomis dengan dukungan anggaran yang di bawah standar. Ketika terjadi sejumlah kecelakaan menimpa sistem senjata itu, kebijakan yang ditempuh adalah menaikkan anggaran pemeliharaan, bukannya membeli sistem senjata baru. Alasannya sederhana, kekuatan militer harus berkorban demi kemakmuran.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa rekan-rekan dan senior-senior yang gugur saat mengoperasikan sistem senjata lama adalah korban dari ambisi untuk mencapai kemakmuran. Entah kapan kemakmuran itu akan tercapai. Artinya, dalam batasan waktu yang belum jelas pula personel militer negeri ini harus siap gugur demi kemakmuran. Bukan gugur di medan laga menghadapi lawan yang mengancam kepentingan nasional.
Pada sisi lain, dinamika lingkungan keamanan membuat kekuatan militer negeri ini harus cepat menyesuaikan diri. Konflik masa kini kian kompleks dan tidak bisa dihadapi dengan pendekatan dan cara-cara lama. Masalahnya adalah paradigma lama masih mewarnai militer Indonesia, khususnya pada aspek profesionalisme militer. Lihat saja doktrin militer negeri ini yang sulit untuk dipahami, apalagi dioperasionalkan.
Lalu bagaimana untuk menjadi kekuatan militer yang profesional, apabila perangkat lunaknya saja sudah ketinggalan. Sehingga masalah yang dihadapi menjadi sempurna, yaitu perangkat kerasnya yang ketinggalan karena ketidakberpihakan pengambil keputusan dan perangkat lunaknya pun demikian. Untuk mengubah perangkat lunak agar sesuai dengan tantangan lingkungan keamanan, dibutuhkan perubahan paradigma. Perubahan paradigma ini berbeda dengan 10 tahun, sebab 10 tahun lalu adalah mengubah paradigma agar tidak berpolitik lagi baik sebagai tugas pokok maupun tugas tambahan. Sekarang tuntutannya adalah mengubah paradigma dalam memandang perang dan konflik masa kini.
Kembali ke pertanyaan awal, adakah perbedaan signifikan antara kekuatan militer Indonesia hari ini dibandingkan hari yang sama tahun lalu?

04 Oktober 2009

Sistem Senjata Udara Anti Kapal Selam

All hands,
Ketika membahas tentang heli AKS, salah satu yang tidak boleh terlewatkan menyangkut sistem senjata yang memperkuatnya. Sistem senjata yang melengkapi heli AKS bukan saja torpedo jenis LWT seperti Mk.46, tetapi mencakup pula dipping sonar, MAD dan sonobouy, bahkan ECM. Di samping itu, dibutuhkan pula peralatan data link sehingga dapat melaksanakan pertukaran data dengan unsur-unsur lainnya, khususnya kapal kombatan. Hanya dengan kelengkapan demikian maka sebuah heli AKS dapat melaksanakan fungsi asasinya secara optimal.
Selain persyaratan tersebut, ada pula sejumlah persyaratan dasar bagi heli yang hendaknya dioperasikan oleh Angkatan Laut. Seperti peralatan komunikasi berbagai frekuensi, mesin ganda, radar cuaca dan lain sebagainya.
Dari situ tergambar bahwa pengadaan heli AKS tidak murah, sebab harga sistem senjatanya bisa menyamai dan atau bahkan melebihi harga heli itu sendiri. Tetapi itulah harga yang harus dibayar dan sebenarnya dana yang dikeluarkan untuk itu niscaya akan seimbang dengan kinerja yang diinginkan. Dengan catatan bahwa sistem yang dipasang pada heli AKS sudah terbukti keandalannya, bukan sistem yang masih trial and error.
Sistem senjata yang lengkap sekaligus kompleks tersebut menuntut pula keterampilan pengawakan oleh awak heli. Artinya para penerbang heli AKS harus diajari tentang taktik AKS dan bagaimana kerjasama dan koordinasi dengan awak kapal atas air.
Kalau ditarik dalam konteks Indonesia, rencana pengadaan heli AKS ke depan hendaknya dipersiapkan dengan matang. Bukan saja soal teknis seperti mampu memenuhi opsreq, dilengkapi dengan perangkat AKS standar dan memadai, tetapi termasuk pula mempersiapkan personel untuk menjadi operatornya. Artinya pengawak heli bukan cuma dituntut terampil menerbangkan pesawat, tetapi harus pula paham taktik AKS.
Kekeliruan di masa lalu dalam pengadaan sebuah heli yang tidak memenuhi opsreq hendaknya tidak terulang lagi. Pengadaan ke depan hendaknya secara arif dan bijaksana mengambil pelajaran dari kasus tersebut. Sehingga kekuatan udara Angkatan Laut negeri ini kembali bisa menunjukkan giginya di laut, termasuk dalam urusan AKS.

03 Oktober 2009

Interoperability Peperangan Anti Kapal Selam

All hands,
Sulit untuk diingkari bahwa sumber ancaman terbesar terhadap kekuatan laut Indonesia berasal dari bawah air, yakni kehadiran kapal selam beberapa negara eks jajahan Inggris di sekitar Negeri Nusantara. Dinamika lingkungan keamanan demikian sudah sepantasnya direspon, antara lain dalam bentuk perencanaan pembangunan kekuatan ke depan. Perencanaan yang dimaksud bersifat bersifat komprehensif, dalam arti bukan sekedar memperkuat kemampuan peperangan anti kapal selam, tetapi meliputi pula interoperability antar sistem senjata yang berbeda.
Di antara isu kemampuan peperangan anti kapal selam yang krusial bagi Indonesia adalah dukungan Naval Air Arm. Kebutuhan akan heli AKS nampaknya sudah tak terhindarkan, terlebih lagi dalam dua tahun mendatang pesawat AKS akan memperkuat sayap udara kekuatan laut Indonesia. Sudah sepantasnya bila kehadiran pesawat sayap tetap untuk AKS didukung pula oleh eksistensi pesawat sayap putar AKS.
Sudah lebih dari 10 tahun kekuatan laut negeri ini tidak lagi diperkuat oleh heli AKS setelah heli HAS Mk.1 Wasp dipensiunkan. Tentu menjadi pertanyaan heli AKS jenis apa sebaiknya yang memperkuat sayap udara Angkatan Laut Indonesia?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, hendaknya dilihat dahulu bagaimana kesiapan sistem pendukung operasional heli AKS yang tersedia saat ini. Mengingat bahwa operasional heli AKS tidak dapat dipisahkan dari kapal atas air, perlu ditinjau kesiapan kapal atas air untuk menampung heli AKS. Dari beberapa jenis fregat dan korvet yang saat ini memperkuat susunan tempur kekuatan laut negeri ini, bagaimana kapasitas tampungnya terhadap helikopter.
Artinya, seberapa besar dimensi heli AKS yang dapat ditampung. Berapa pula daya muatnya terhadap berat helikopter. Dua hal ini penting untuk dicermati, sebab bukan sesuatu yang diinginkan bila mengadakan heli AKS yang tidak bisa beroperasi di kapal kombatan Angkatan Laut negeri ini.
Setelah menghitung dengan cermat kapasitas kapal kombatan yang tersedia terhadap operasional peperangan anti kapal selam, baru selanjutnya mencari di pasaran heli AKS yang memenuhi opsreq tersebut. Apakah tersedia di pasaran atau tidak? Inilah pertanyaan yang sangat kritis, karena akan menentukan heli AKS jenis apa yang bisa beroperasi pada kapal kombatan Indonesia.

02 Oktober 2009

Penggunaan Senjata Dalam Perang

All hands,
Hingga saat ini, tujuan dari penggunaan senjata dalam perang masih menimbulkan perdebatan. Apakah tujuan penggunaan itu pada countervalue targets ataukah counterforce targets? Penggunaan senjata sangat terkait dengan center of gravity, di mana ilmu strategi mengajarkan bahwa untuk menghancurkan dan atau melumpuhkan lawan harus dilaksanakan melalui penghancuran dan atau pelumpuhan pada center of gravity. Apabila center of gravity lawan hancur, maka lawan diharapkan tidak melanjutkan niatnya untuk berperang.
Sudah menjadi kesepakatan bahwa center of gravity ada yang bersifat fisik, ada pula yang bersifat non fisik. Yang dikategorikan bersifat fisik semisal istana negara, pangkalan militer, pusat telekomunikasi dan infrastruktur vital lainnya. Sedang kategori non fisik yaitu kekuatan moral yang biasanya disebut the will.
Perbedaan antara countervalue targets dengan counterforce targets berimplikasi pula pada aspek politik. Yakni apakah perang bertujuan untuk menghancurkan suatu bangsa ataukah sebatas meraih bargaining position yang lebih unggul pada ajang negosiasi? Masalah seperti ini sifatnya klasik, karena meskipun teori Clausewitz menyatakan bahwa perang yang ideal adalah menghancurkan segitiga pemerintah, rakyat dan militer, akan tetapi di alam nyata hal itu belum pernah terjadi. Misalnya, walaupun Amerika Serikat mengerahkan semua sumber daya pertahanannya untuk menginvasi Irak pada 19 Maret 2003, namun bangsa dan wilayah Irak tetap utuh dan eksis. Yang runtuh cuma pemerintahan Saddam Hussein dan militer Irak.
Countervalue targets adalah sasaran-sasaran yang terkait dengan the will untuk melanjutkan perang. Seperti istana negara, sarana listrik, telekomunikasi, pabrik, pemukiman dan simbol-simbol eksistensi suatu negara bangsa lainnya. Adapun counterforce targets yaitu sasaran-sasaran militer, semisal pangkalan Angkatan Laut dan udara, gudang munisi, pusat telekomunikasi dan lainnya. Dengan kata lain, counterforce targets hubungannya dengan means untuk melanjutkan perang.
Dengan demikian, dalam perang dengan suatu negara lain harus ditentukan apakah sasaran yang harus dihancurkan oleh penggunaan beragam jenis senjata adalah the will ataukah means lawan? Tidak peduli apakah itu perang terbuka ataukah perang terbatas, penentuan ini harus jelas dari awal agar tidak membingungkan bagi para Laksamana, Jenderal dan Marsekal.
Siapa yang harus memutuskan masalah ini? Jawabannya tak lain adalah pemimpin negara!!! Jangan sampai pemimpin negara sendiri tidak bisa mengambil keputusan, karena implikasinya politik dan operasionalnya akan sangat besar. Kepentingan nasional berpotensi untuk menduduki posisi neraca merugi.
Pertanyaan soal tujuan penggunaan senjata dalam perang pantas pula diajukan di Indonesia. Apabila ada konflik terbatas dengan negara di sekitar Indonesia dan atau negara yang menggunakan perairan Indonesia, apakah tujuan dari penggunaan senjata oleh kekuatan militer Indonesia? Apakah untuk menghancurkan the will lawan ataukah sebatas means lawan?

01 Oktober 2009

Bukan Mengamankan Nama Baik Angkatan

All hands,
Dalam menggelar operasi gabungan, pembagian peran antar Angkatan adalah sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Secara garis besar, peran tersebut ada dua yakni peran utama dan pendukung. Ada Angkatan yang in charge sebagai pemeran utama, sisanya berfungsi sebagai pemeran pendukung. Kerelaan dan ketulusan menerima peran masing-masing akan menentukan outcome dari teamwork dalam operasi tersebut.
Pembagian peran dalam operasi gabungan didasarkan pada titik berat operasi atau kampanye yang dilaksanakan. Sebagai contoh, untuk menciptakan pengendalian laut di wilayah operasi, menjadi mutlak posisi Angkatan Laut sebagai pemeran utama dengan Angkatan Udara sebagai pemeran pendukung, sedangkan Angkatan Darat tidak dapat peran apa-apa.
Kenapa Angkatan Laut? Sebab masalah pengendalian laut adalah birthright Angkatan Laut. Selain itu, sasaran yang harus dihancurkan dan atau dinetralisasi dalam pengendalian laut tidak cuma berada di atas air, tetapi terletak pula di bawah air. Berikutnya, kapal perang dapat hovering di wilayah perairan operasi dalam jangka waktu yang lama tanpa khawatir kehabisan dukungan logistik.
Peran seperti itu tidak bisa digantikan oleh Angkatan Udara, meskipun kekuatan udara mempunyai potensi kemampuan untuk menghancurkan sasaran di atas air. Harus disadari bahwa menciptakan pengendalian laut bukan sekedar menghancurkan kapal atas air lawan, tetapi lebih kompleks dari itu. Dengan kompleksitas tersebut, tidak berlebihan bila hanya Angkatan Laut yang bisa melaksanakan pengendalian laut.
Sebaliknya, dalam operasi di littoral Angkatan Laut tidak selamanya memainkan peran sebagai pemeran utama. Pada saat operasi amfibi, tentu saja Angkatan Laut menempati posisi pemeran utama, tetapi tidak pada operasi darat lanjutan. Di tahap tersebut, Angkatan Laut berfungsi sebagai pemeran pendukung bagi Marinir (dan Angkatan Darat) melalui fungsi BTK alias naval gunfire support.
Sudah menjadi rahasia umum banyak di banyak negara, seringkali ada friksi alias gesekan dalam pembagian peran itu. Sebab sulit untuk dihindari bahwa pasti ada Angkatan yang tidak puas ketika harus menempati posisi sebagai pendukung. Ketidakpuasan itu antara lain didasarkan pada alasan seperti sistem senjata mereka lebih mematikan, lebih fleksibel dan lebih responsif dalam menghadapi ancaman yang muncul daripada sistem senjata pemeran utama.
Di Amerika Serikat, kekuatan udara negeri itu harus menyesuaikan strateginya karena sekarang fungsinya lebih banyak sebagai pemeran pendukung dalam kampanye militer yang digelar di Irak dan Afghanistan. Sebab fokus operasi di kedua negara itu bukan lagi soal merebut keunggulan udara, tetapi operasi stabilisasi di daratan dengan USMC dan U.S. Army sebagai pemeran utamanya. Penyesuaian strategi tersebut bukan suatu hal yang mudah bagi USAF yang selama ini menikmati posisinya sebagai kekuatan udara terkuat di dunia, terlebih lagi pada para penerbang tempur.
Dari gambaran tersebut, meskipun operasi gabungan sudah menjadi arus utama dalam militer di dunia, tetapi friksi soal pembagian peran masih menyimpan residu. Masih saja ada matra militer yang tidak puas dalam pembagian peran tersebut, khususnya ketika harus menduduki posisi sebagai aktor pendukung. Hal itu terjadi baik di negara yang sudah mapan soal operasi gabungan seperti Amerika Serikat maupun negara yang masih mencari bentuk dalam operasi gabungan semisal Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, masalah pembagian peran dalam operasi gabungan masih harus dituntaskan lagi. Selama ini masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Misalnya ambisi Angkatan Darat untuk mengendalikan opsratmin, sebab kekuatan darat negeri ini berpendapat bahwa jenis operasi itu hanya soal pendaratan di pantai sasaran. Pendapat yang terlalu menyederhanakan persoalan itu jelas keliru, sebab tahapan opsratmin sebelum sampai pada fase pendaratan di pantai sasaran sangat panjang.
Tahapan itu secara garis besar mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran. Untuk perencanaan saja, suka atau tidak suka peran Angkatan Laut akan sangat dominan. Sebab pelaksana operasi ini adalah Angkatan Laut, yang mana Angkatan Laut bukan saja harus menyiapkan kapal angkutnya, tetapi juga menyiapkan kapal tabir. Belum lagi berkoordinasi dengan Angkatan Udara untuk melindungi konvoi dari ancaman serangan udara selama pelayaran menuju pantai sasaran.
Belum lagi urusan embarkasi pasukan beserta senjatanya. Masalah embarkasi tidak dapat dipandang sebelah mata, sebab embarkasi bukan semata soal memasukkan pasukan dan sistem senjatanya ke dalam kapal angkut. Tetapi harus dihitung pula aspek keselamatan kapal seperti keseimbangan kapal.
Pada tahap pelaksanaan, perlindungan konvoi selama pelayaran hanya bisa diberikan oleh Angkatan Laut dan didukung oleh Angkatan Udara. Begitu pula saat menjelang pendaratan, yang mana ancaman terbesar datang dari pantai dan juga udara. Kekuatan laut dan udara harus membersihkan pantai sasaran sebelum memastikan bahwa pendaratan aman untuk dilaksanakan.
Dari sini bisa terlihat bahwa secara rasional tidak ada celah bagi Angkatan Darat untuk mengendalikan opsratmin. Sebab operasi ini sangat berdimensi maritim, khususnya Angkatan Laut. Opsratmin is Navy’s birthright.
Jangan sampai opsratmin nasibnya seperti opslinud, yang mana Angkatan Udara hanya berfungsi sebagai kekuatan pendukung. Padahal kontribusi Angkatan Udara 95 persen dalam operasi ini. Sebagai contoh, Angkatan Udara harus menyediakan pesawat tempur untuk mengawal pesawat angkut selama dalam penerbangan menuju titik sasaran penerjunan. Angkatan Darat tidak bisa apa-apa bisa pesawat angkut ditembak jatuh oleh lawan, karena memang domain operasi Angkatan Darat adalah di darat.
Pesan dari sini adalah hendaknya segera diselesaikan masalah pembagian peran dalam operasi gabungan di Indonesia. Penyelesaian itu penting agar dalam tahapan perencanaan operasi gabungan tidak terjadi lagi adu argumen soal siapa memerankan apa dalam setiap jenis operasi yang akan digelar seperti yang selalu rutin terulang selama ini. Sebab dalam operasi gabungan, tujuan utamanya adalah mengamankan kepentingan nasional, bukan mengamankan nama baik masing-masing Angkatan.