28 Februari 2011

Menghadapi Perang Masa Depan

All hands,
Sebagai kekuatan militer paling jumawa dan perkasa di dunia, Angkatan Bersenjata Amerika Serikat selalu dijadikan salah satu acuan dalam pembangunan kekuatan oleh negara-negara lain. Dengan pengalaman operasi, kampanye militer dan perang yang selalu termutakhirkan setiap 10-15 tahun, Washington kaya akan bahan pelajaran soal bagaimana menghadapi semua konflik tersebut dalam situasi kekinian. Berbeda dengan Jakarta di mana masih ada pihak yang menjadikan pengalaman perang gerilya di tahun 1940-an sebagai referensi bagi perang di masa depan. Walaupun kini militer Amerika Serikat tidak terlalu sibuk lagi di Irak dan masih sangat sibuk di Afghanistan, tetapi petinggi Pentagon ---baik militer maupun sipil--- sudah memikirkan tentang bagaimana perang di masa depan.
Singkatnya, para pejabat teras Departemen Pertahanan Amerika Serikat tidak terpaku pada pengalaman perang di Irak dan Afghanistan sebagai referensi tunggal akan konflik di masa mendatang. Pengalaman yang mereka tarik dari perang di kedua negara Muslim itu mereka jadikan sebagai bahan untuk me-reka konflik dan perang seperti apa yang mungkin akan Amerika Serikat hadapi si dekade mendatang. Semua itu bisa terwujud karena mereka mempunyai sistem dokumentasi operasi yang lengkap yang meliputi kejadian dari hari ke hari di medan operasi, selain didukung pula oleh kemauan berpikir out of the box, begitu pula dengan atmosfir politik nasional yang selalu menghendaki kepemimpinan Amerika Serikat di dunia, termasuk dalam bidang pertahanan dan militer.
Kalau mempelajari pengalaman Amerika Serikat dari satu perang ke perang berikutnya, misalnya dari Perang Dunia Kedua ke Perang Korea, kemudian berlanjut ke Perang Vietnam, diteruskan dengan invasi ke Guatemala, berikutnya penyerbuan ke Panama, Perang Teluk 1991, Perang Kosovo, Perang Irak dan Perang Afghanistan, maka akan ditemukan benang merahnya. Benang merahnya yaitu tak ada perang yang sama antara satu perang dengan perang lainnya. Sangat disayangkan di Indonesia masih ada pihak yang terlalu mengagung-agungkan masa lalu, padahal mereka sendiri tidak terlibat secara fisik dan emosional dengan masa lalu tersebut.

27 Februari 2011

Menyatukan Bahasa Yang Berbeda

All hands,
Dalam mengamankan kepentingan nasional, semua instrumen kekuatan nasional harus berbicara dalam bahasa yang sama. Hal itu merupakan keharusan yang tak bisa ditawar, sebab bila tidak yang terjadi adalah kerugian terhadap kepentingan nasional. Dalam konteks Indonesia, masih ada bahasa yang berbeda antar instrumen kekuatan nasional tersebut. Perbedaan bahasa tersebut seringkali muncul ketika ada konflik-konflik fisik dengan negara di sekitar Indonesia, khususnya yang menyangkut domain maritim.
Setidaknya ada dua bahasa yang dapat diidentifikasi berbeda di Indonesia, yaitu bahasa yang digunakan oleh Medan Merdeka Barat dengan bahasa yang dipakai oleh Pejambon. Bahasa yang digunakan oleh Medan Merdeka Barat pada dasarnya sama dengan bahasa yang dipakai oleh Cilangkap, yaitu bahasa realis. Adapun bahasa yang dipergunakan oleh Pejambon nampaknya adalah bahasa liberal dan atau neoliberal. Perbedaan bahasa ini seringkali muncul dalam menyikapi persoalan nyata yang muncul, walaupun seringkali tidak muncul ke publik secara vulgar.
Sudah saatnya perbedaan bahasa ini disatukan, agar semua instrumen kekuatan nasional berbicara dalam bahasa yang sama. Bukan waktunya lagi ada instrumen kekuatan nasional yang bekerja di luar kepentingan nasional seperti yang selama ini disinyalir. Kesamaan bahasa antar instrumen kekuatan nasional akan mempermudah pencapaian kepentingan nasional.

26 Februari 2011

Mengacu Kekuatan Laut Eropa

All hands,
Pembangunan kekuatan laut Eropa memiliki mazhab yang berbeda dengan pembangunan kekuatan laut sekutunya di seberang Samudera Atlantik yaitu Amerika Serikat. Mazhab Angkatan Laut adalah adalah Angkatan Laut middle power yang pemikirnya antara lain yaitu Sir Jullian Corbett, sementara Angkatan Laut Amerika Serikat menganut mazhab global power dengan Laksamana Muda A.T. Mahan sebagai acuan. Apa perbedaan utama antara kedua mazhab tersebut? Mahan mengedepankan sea control, sementara Corbett mengarusutamakan sea denial.
Kalau ditilik, kekuatan laut Eropa merupakan kekuatan laut yang proyek kekuatannya dirancang sebatas wilayah Eropa dan sekitarnya. Sebab paradigma mereka yaitu mereka akan bertempur di wilayah mereka sendiri, bukan di benua lain. Hanya saja pasca Perang Dingin dan 11 September 2001, ancaman keamanan yang berubah mendorong kekuatan itu diproyeksikan ke kawasan yang jauh dari Eropa untuk kepentingan operasi maritim menghadapi ancaman perompakan, pembajakan dan terorisme maritim. Pada sisi lain, saat ini tidak ada ancaman dari aktor negara terhadap Eropa, sehingga kekuatan Angkatan Laut Eropa dapat diproyeksikan keluar wilayahnya.
Indonesia secara alamiah adalah middle power, sehingga kekuatan lautnya pun harus berstatus middle power. Sebagai ilustrasi, ada beberapa istilah berbeda soal kekuatan laut middle power, tergantung siapa pemikir strategi maritim yang dijadikan acuan. Pertanyaannya, postur Angkatan Laut yang seperti apa yang harus dibangun Indonesia ke depan agar menjadi pemimpin ASEAN?
Pertama, Angkatan Laut harus dirancang untuk dibangun guna mengamankan kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang bisa diidentifikasi dan didefinisikan akan menentukan postur Angkatan Laut. Kedua, pendekatan kapabilitas harus menjadi acuan, bukan kapabilitas. Ketiga, menjadikan MEF sebagai sasaran antara dalam pembangunan kekuatan laut dan bukan sebaliknya sebagai sasaran akhir.
Mengacu pada negara-negara Eropa, secara kuantitas jumlah kapal perang mereka tidak banyak dibandingkan dengan luasan Eropa. Memang di Eropa ada saling melengkapi kemampuan antar Angkatan Laut untuk mendukung operasi multinasional. Dibawa dalam ruang Indonesia, mempunyai 10-20 kapal kombatan sekelas fregat plus 4-8 kapal selam sudah cukup memadai selama kapabilitas kapal perang tersebut diperhatikan secara berkelanjutan. Sisanya diisinya oleh jenis kapal perang lainnya.
Kapal perang Indonesia akan diprioritaskan untuk mengamankan wilayah Nusantara, dengan tugas secondary untuk terlibat dalam misi Angkatan Laut multinasional. Untuk mengamankan wilayah Nusantara, dengan mudah dapat ditetapkan wilayah prioritas bagi kepentingan operasional. Tidak semua perairan Indonesia harus dicakup oleh kapal perang, sebab Indonesia belum memiliki dukungan anggaran yang cukup untuk itu. Dengan kekuatan sebesar itu plus kapabilitas yang senantiasa dipelihara dan ditingkatkan, Indonesia dapat merebut kembali posisi sebagai Angkatan Laut terkuat di Asia Tenggara.

25 Februari 2011

Kekuatan Laut Yang Diperhitungkan Di Asia Tenggara

All hands,
Tidak ada alasan bahwa Indonesia tidak berhak menjadi pemimpin de facto ASEAN, sebab hal itu merupakan keharusan sejarah dan geografis. Secara geografis, Indonesia ditakdirkan untuk menjadi pemimpin ASEAN. Untuk mencapai tujuan tersebut, semua pihak terkait di Indonesia hendaknya jangan naif. Antara lain soal kekuatan Angkatan Laut, sebab tak ada kekuatan regional yang berjaya minus Angkatan Laut.
Oleh karena itu, marilah bangsa ini berpikir outward looking. Dahulu Indonesia berjaya di ASEAN, termasuk dalam urusan kekuatan laut. Artinya, sejarah mewajibkan Indonesia ke depan untuk memiliki Angkatan Laut terkuat di kawasan Asia Tenggara bila ingin kembali merebut kepemimpinan ASEAN.
Terkait dengan hal tersebut, belum terlambat bila kebijakan pertahanan negeri ini tidak semata berfokus pada MEF. MEF penting secara internal, tetapi akan lebih lengkap pula kalau pembangunan kekuatan pertahanan hingga 2024 atau 2029 diarahkan pula secara eksternal untuk menjadi kekuatan yang diperhitungkan di Asia Tenggara. Memang hingga tahun itu sulit untuk menandingi secara kualitas kekuatan laut Negeri Penampung Koruptor, tetapi mendekati secara kualitas bukan hal yang tak mungkin. Misalnya dengan memperkuat kemampuan peperangan asimetris (dalam arti luas).
Misalnya, penguatan kembali kemampuan-kemampuan peperangan Angkatan Laut. Hal ini menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi kekuatan laut Indonesia. Dengan menguatkan kembali kemampuan-kemampuan tersebut, diharapkan Angkatan Laut dapat menggelar peperangan asimetris dari aspek kualitas. Sebagai contoh, untuk menghadapi kapal permukaan negara-negara lain pada perairan tertentu tidak harus selalu diperlukan kapal perang kelas korvet atau fregat.
Untuk menjadi Angkatan Laut yang unggul dan diperhitungkan di Asia Tenggara, ada baiknya bila Indonesia mengambil pengalaman pembangunan kekuatan laut negara-negara Uni Eropa. Pengalaman yang seperti apa?

24 Februari 2011

Batu Ganjalan Kepemimpinan Indonesia Di ASEAN

All hands,
Indonesia sudah sepantasnya dan semestinya menjadi pemimpin ASEAN, sebab negeri ini merupakan negeri terbesar di kawasan Asia Tenggara. Artinya, stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara juga tergantung pada stabilitas keamanan Indonesia itu sendiri. Di masa lalu peran kepemimpinan itu telah dimainkan dengan baik antara lain berkat kepemimpinan di Indonesia yang kuat. Sekarang dengan posisi Indonesia sebagai ASEAN Chairman selama 2011, peluang untuk merebut kembali tampuk kepimpinan yang lepas sebenarnya terbuka lebar.
Peluang tersebut sudah seharusnya dimanfaatkan oleh Indonesia, sehingga pada tahun-tahun berikutnya Jakarta tetap menjadi pemimpin de facto ASEAN walaupun ASEAN Chairmanship telah beralih ke negara anggota ASEAN lainnya. Apabila ada niat Indonesia untuk merebut kembali posisi kepemimpinan ASEAN, perlu diperhatikan dengan seksama tantangan yang dihadapi. Satu di antaranya adalah mengidentifikasi dengan jelas siapa musuh dalam selimut di ASEAN.
Kalau diperhatikan secara seksama dan tidak dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, musuh dalam selimut di ASEAN terkait kepemimpinan de facto ASEAN bagi Indonesia ada dua, yaitu Negeri Tukang Klaim dan Negeri Penampung Koruptor. Ada Manila, Bangkok dan ibukota-ibukota lainnya di Asia Tenggara cukup tahu diri. Yang tidak tahu diri adalah dua negeri tetangga Indonesia tersebut.
Banyak contoh soal itu, seperti dalam isu keamanan maritim. Selain kasus ADMM+ 2010 di Hanoi, inisiatif Singapura untuk menjadi tempat bermarkasnya ISC bagi keamanan maritim adalah contoh berikutnya. Kedua negara juga berkolaborasi dalam FPDA yang sangat jelas ditujukan untuk mengecilkan lebensraum Indonesia.
Guna menghadapi tantangan ini, dibutuhkan kesamaan persepsi dan pola tindak dari berbagai elemen di Indonesia. Selama ini ego sektoral lebih mengedepan di Indonesia, termasuk dalam soal keamanan maritim, sehingga dengan gampang disusupi oleh pihak-pihak yang tidak suka bila Indonesia kuat dan menjadi pemimpin de facto ASEAN.

23 Februari 2011

Pemaduan Aspek Operasi Dan Logistik

All hands,
Dalam strategi pertahanan suatu negara, biasanya dinyatakan dengan jelas kemampuan kekuatan pertahanan yang dibangun. Secara strategis, kemampuan itu antara lain menyangkut kemampuan terlibat dalam berapa kawasan pelibatan dalam waktu yang sama. Apakah satu pelibatan, dua pelibatan atau lebih dari itu?
Kawasan pelibatan terkait dengan aspek operasional. Apabila suatu Angkatan Bersenjata, termasuk Angkatan Laut di dalamnya, dirancang untuk mampu bertempur di lebih dari satu kawasan pelibatan, maka salah satu hal kritis yang harus diantisipasi sejak dini adalah aspek logistik. Aspek logistik dituntut harus mampu menyediakan logistik bagi dua kekuatan ---katakanlah Gugus Tugas--- di dua kawasan pelibatan secara simultan. Satu di antara yang kritis dari aspek logistik adalah ketersediaan munisi, khususnya munisi untuk meriam, rudal dan torpedo bagi Angkatan Laut.
Soal yang satu ini kritis karena terkait beberapa hal. Pertama, persediaan di arsenal. Apakah pengadaan selama ini sudah dirancang untuk mengantisipasi dua kawasan pelibatan. Begitu pula dengan mempertimbangkan aspek penyusutan kemampuan sistem senjata itu karena termakan oleh usia, sehingga harus ada pemusnahan yang secara ideal diikuti dengan penggantian munisi baru dalam jumlah yang sama.
Kedua, otorisasi penjualan dari negara produsen. Bisa jadi rencana pengadaan munisi untuk meriam, rudal dan torpedo sudah dirancang untuk mengantisipasi dua kawasan pelibatan secara simultan, namun negara produsen tidak memenuhi kebutuhan tersebut sesuai permintaan negara konsumen. Ada atau tidak adanya otorisasi dari negara produsen akan mempengaruhi kemampuan sesungguhnya untuk bertempur atau terlibat kontinjensi di dua kawasan pelibatan sekaligus.

22 Februari 2011

Benchmark Angkatan Laut

All hands,
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut negara-negara di dunia biasanya mengacu pada satu benchmark. Tidak sedikit negara yang Angkatan Lautnya menjadikan Angkatan Laut Amerika Serikat sebagai benchmark, tetapi banyak pula yang menjadikan Angkatan Laut Eropa seperti Inggris sebagai acuan. Korea Selatan, Jepang dan Australia merupakan negara yang Angkatan Lautnya mengacu pada Amerika Serikat, sedangkan beberapa negara eks jajahan Inggris menjadikan Royal Navy sebagai benchmark.
Pertanyaannya, apa benchmark Angkatan Laut Indonesia? Sampai akhir 1950-an, benchmark Angkatan Laut negeri ini adalah Belanda, karena Belanda yang memberikan asistensi teknis dan pendidikan perwira kepada Angkatan Laut Indonesia pasca 27 Desember 1949. Seiring dengan menguatnya perasaan anti Belanda pada akhir 1950-an, benchmark kekuatan laut negeri ini banyak dipengaruhi oleh Amerika Serikat pada awal 1960-an meskipun sebagian besar sistem senjatanya buatan Uni Soviet. Setelah mengalami kemunduran pada akhir 1960-an hingga akhir 1970-an, pada 1980-an kekuatan laut Indonesia kembali pulih dengan benchmark yang nampaknya masih dipengaruhi oleh Amerika Serikat.
Hal itu bisa dilihat dari pemikiran-pemikiran strategis seperti forward presence yang saat itu diterjemahkan dengan kemampuan untuk hadir di ZEE. Praktik pemikiran-pemikiran strategis pada masa itu banyak mengadopsi dari Newport, yaitu lokasi U.S. Naval War College. Kondisi demikian sebenarnya tidak mengherankan karena cukup banyak perwira lulusan Newport yang menjadi pemikir dan sekaligus menduduki posisi flag officer.
Dalam kondisi kekinian dengan segenap ancaman, tantangan dan sekaligus peluang dan keterbatasan yang dihadapi oleh kekuatan laut Indonesia, apakah masih tepat pembangunan Angkatan Laut mengacu pada satu benchmark ataukah mengembangkan benchmark tersendiri? Menurut hemat saya, kalau masih ingin menjadikan Angkatan Laut sebagai benchmark mungkin perlu dipertimbangkan soal Royal Navy. Alasannya sederhana, Royal Navy adalah Angkatan Laut kekuatan menengah, berbeda dengan U.S. Navy yang merupakan Angkatan Laut kekuatan adidaya.
Sedangkan apabila ingin mengembangkan benchmark sendiri, Angkatan Laut Indonesia perlu mengenali diri dan lingkungannya secara seksama. Dari pengenalan itu, diharapkan bisa dirumuskan formula untuk menciptakan benchmark sendiri.

21 Februari 2011

Relevansi ASROC Dalam Peperangan Anti Kapal Selam

All hands,
Sejak 1960-an negara-negara maju mengembangkan ASROC sebagai salah satu senjata untuk menggempur kapal selam yang bersembunyi di kolom air. Pendekatan ini dianut baik oleh NATO maupun Pakta Warsawa. Namun memasuki era 1990-an ke atas, terlihat persimpangan jalan yang memisahkan rancangan kapal perang NATO dan eks Pakta Warsawa khususnya Rusia. Sementara pihak yang terakhir tetap mengembangkan ASROC, pihak yang pertama boleh dikatakan telah meninggalkan ASROC.
Perhatikan kapal kombatan keluaran NATO, tak ada lagi yang mengadopsi ASROC. Sebaliknya, kapal perang buatan Rusia masih tetap mengadopsi ASROC generasi terbaru. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia mempunyai dua jenis kapal kombatan yang dilengkapi dengan ASROC. Yang pertama adalah korvet kelas Fatahillah, sedangkan yang kedua adalah korvet kelas Parchim. Kedua kapal perang tersebut merupakan kapal kombatan generasi 1980-an. Kapal perang terbaru Indonesia yaitu korvet kelas Sigma sama sekali tidak mempunyai ASROC, sebab desain kapal itu mengikuti pola pikir yang dianut NATO. Bagi NATO, ketidakhadiran ASROC sama sekali tak mengurangi kemampuan peperangan anti kapal selam, sebab eksistensi torpedo sudah lebih memadai daripada ASROC.
Pertanyaannya, apakah kapal kombatan Indonesia ke depan perlu dilengkapi dengan ASROC? Jawaban atas pertanyaan ini hanya dua, ada yang menganggap perlu, ada pula yang berpendapat tidak perlu. Kalau dianggap perlu, semoga jawaban itu bukan karena berdasarkan pertimbangan tunggal bahwa di arsenal masih banyak sistem senjata itu sehingga mubazir kalau tidak digunakan. Sedangkan bagi yang berpendapat sebaliknya, hendaknya dilengkapi dengan argumen taktis operasional yang mumpuni pula.

20 Februari 2011

Cina, Keamanan Maritim Dan ADDM+

All hands,
Seiring dengan semakin kuatnya Angkatan Laut Cina di kawasan, dalam lima tahun ke depan Indonesia harus mengantisipasi kemungkinan campur tangan Cina dalam pengamanan perairan teritorial Indonesia, khususnya pengamanan choke points seperti Selat Malaka dan Selat Lombok. Sebab meskipun secara politik Cina selalu mendengungkan tak akan campur tangan urusan dalam negeri lain berdasarkan prinsip non intervensi, akan tetapi dalam prakteknya tidak demikian. Secara halus Cina mulai berupaya melanggar prinsip yang selama ini didengung-dengungkannya seperti bisa dilihat dari kejadian pada 2010.
Dari situlah pentingnya Indonesia bersiap menghadapi kondisi demikian. Indonesia, khususnya Angkatan Laut negeri ini, harus siap dengan konsep untuk menghadapi kemungkinan campur tangan Cina. Bukan suatu hal yang mustahil bila suatu saat nanti Cina secara halus meminta turut dilibatkan dalam pengamanan Selat Lombok, misalnya dengan meminta Indonesia berkonsultasi dengannya. Permintaan Beijing pasti ditindaklanjuti dengan menyebarkan gugus tugas Angkatan Lautnya ke sini dengan berbagai macam kedok seperti singgah dalam perjalanan pergi dan pulang dari operasi di perairan Somalia.
Mustahil Cina dengan Angkatan Laut yang makin kuat tidak akan cawe-cawe di perairan Indonesia, sebab hal itu merupakan karakter kekuatan besar. Cawe-cawe itu akan mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia yang terkait dengan domain maritim. Terlebih lagi urusan choke points bukan hanya Beijing yang hirau, Washington dan Canberra jauh lebih hirau.
Dari gambaran singkat ini tergambar bahwa kebijakan Jakarta yang menyerahkan focal point keamanan maritim dalam ADMM+ kepada Australia dan Negeri Tukang Klaim merupakan kebijakan yang salah besar. Sebab situasi ini pasti akan merumitkan situasi keamanan maritim di kawasan karena sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan antara Canberra-Beijing tidak selalu mesra walaupun Beijing tergantung pula pada biji besi dari Canberra. Seandainya Jakarta yang menjadi focal point keamanan maritim dalam ADMM+, tentu situasinya akan lain. Alasannya sederhana, Beijing masih lebih in favour of Jakarta daripada Canberra.

19 Februari 2011

Latihan Perang Di Wilayah Potensi Konflik

All hands,
Dalam rangka mencegah konflik, banyak pendekatan dapat ditempuh. Pendekatan tersebut bukan sekedar diplomasi di dalam ruangan yang sejuk, tetapi bisa pula lewat latihan perang di tengah suhu udara yang tidak sejuk. Banyak negara yang menempuh pendekatan yang terakhir tanpa menutup pendekatan pertama. Indonesia hendaknya menempuh pula pendekatan yang demikian sebagai bagian dari upaya mendukung diplomasi di ruangan yang sejuk dan aneka makanan yang mengundang selera.
Sebagai contoh adalah potensi konflik di Laut Cina Selatan. Jakarta hendaknya tidak menghabiskan energi untuk mencegah konflik di perairan itu hanya lewat pendekatan diplomatik. Karena Jakarta juga memiliki kepentingan di perairan tersebut, Jakarta hendaknya juga menempuh pendekatan latihan militer di sekitar Kepulauan Natuna. Latihan yang digelar mirip yang dilaksanakan pada 1996, namun skenarionya harus lebih realistis. Misalnya, apakah masih patut skenario "membiarkan" musuh merebut wilayah Natuna terlebih dahulu baru kemudian melakukan pukulan balik?
Latihan perang di perairan Kepulauan Natuna dan sekitarnya tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan eskalasi konflik di kawasan. Sebab latihan itu digelar dalam konteks untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia, baik yang di wilayah perairan teritorial maupun ZEE. Sebaliknya, latihan tersebut bukan kedok untuk menginvasi pulau atau wilayah tertentu di Laut Cina Selatan.
Latihan peran di sekitar Kepulauan Natuna, menurut hemat saya, perlu untuk digelar agar kekuatan Angkatan Bersenjata Indonesia tidak terlena atau terbuai hanya dengan "skenario Ambalat". Jangan sampai pintu depan dijaga, namun musuh masuk dengan pergerakan melambung.

18 Februari 2011

Mempertimbangkan Kapal Munisi

All hands,
Dalam jajaran kapal bantu Angkatan Laut, salah satu sub jenisnya adalah kapal munisi. Sesuai dengan namanya, kapal munisi berfungsi sebagai arsenal berjalan bagi Gugus Tugas kapal perang. Berbagai jenis munisi tersedia di kapal tersebut, seperti munisi meriam berbagai kaliber, peluru suar hingga rudal dan torpedo. Dengan adanya kapal munisi, maka bekal ulang bagi kapal perang jenis kombatan akan lebih mudah dan hemat waktu, sebab RAS dapat dilaksanakan di tengah laut sambil berlayar.
Di Indonesia, di masa lalu terdapat kapal munisi dengan fungsi terbatas dalam susunan tempur Angkatan Laut. Misalnya adalah RI Ratulangi yang merupakan kapal tender kapal selam, di mana kapal selam kelas Whiskey didukung operasionalnya oleh kapal perang itu. Sesuai dengan fungsinya, RI Ratulangi antara lain dapat melaksanakan bekal ulang torpedo bagi kapal selam kelas Whiskey, di samping bisa pula mendukung ketersediaan suku cadang yang diperlukan oleh kapal selam buatan Uni Soviet ketika sedang beroperasi. Karena fungsinya tersebut, RI Ratulangi merupakan satu dari sedikit kapal permukaan yang tergabung dalam Komando Djenis Kapal Selam alias Kodjenkasel yang sekarang dikenal sebagai Satuan Kapal Selam atau Satsel.
Saat ini boleh dikatakan tak ada kapal bantu di jajaran Angkatan Laut Indonesia yang mempunyai fungsi khusus yaitu sebagai kapal munisi. Memperhatikan tantangan operasional di laut ke depan, perlu dipertimbangkan kehadiran kembali kapal munisi dalam susunan tempur armada negeri ini. Kapal munisi itu lebih bersifat umum daripada RI Ratulangi di masa lalu, artinya muatan munisinya harus berbagai jenis sistem senjata dan tak hanya untuk satu sistem senjata tertentu. Dengan adanya kapal munisi, maka bekal ulang munisi bagi kapal perang tidak harus menunggu kembali ke pangkalan yang jelas tidak hemat waktu dan jarak.
Bisa dibayangkan apabila rudal Exocet yang terdiri dari empat tabung dari suatu kapal perang habis ditembakkan semua, tentu tidak efisien apabila kapal itu harus kembali ke garis belakang dahulu untuk mengisi ulang munisinya. Dengan kehadiran kapal munisi, bekal ulang dapat dilakukan di lapangan alias di tempat kapal perang permukaan bertugas. Begitu pula dengan kebutuhan munisi bagi berbagai jenis meriam, termasuk di dalamnya meriam serbaguna 76 mm.

17 Februari 2011

Minimum Essential Force Tidak Fokus

All hands,
Minimum essential force merupakan kebijakan pembangunan kekuatan yang harus dipatuhi oleh semua pihak terkait, lepas dari pro kontra terhadap hal-hal teknis operasional dalam perumusan kebijakan itu. Namun demikian, dalam prakteknya terkesan bahwa belum semua pihak merasa terikat dengan kebijakan tersebut. Misalnya dalam soal pembangunan kekuatan yang dilaksanakan dikaitkan dengan kawasan pelibatan yang telah ditetapkan.
Seperti diketahui, kawasan pelibatan yang telah ditetapkan adalah kawasan X. Artinya, pembangunan kekuatan sebagian besar matra militer difokuskan pada sekitar kawasan X tersebut. Sebagian besar sumber daya diarahkan pada kawasan X itu, misalnya pengembangan pangkalan baru, pembentukan satuan tempur baru, perkuatan kekuatan dan atau pangkalan yang saat ini sudah eksis dan lain sebagainya.
Akan tetapi karena persepsi dan pemahaman yang belum merata terhadap esensi dari MEF, tak aneh dan tidak heran kalau belum semua pihak terkait mengerahkan sebagian besar fokus pembangunan kekuatannya ke kawasan X. Sebagai contoh, masih ada pengembangan organisasi yang tidak difokuskan di kawasan X, justru di luar kawasan X. Padahal kawasan di luar kawasan X sesungguhnya bukan prioritas. Hal semacam inilah yang menjadi tantangan untuk dibenahi dari aspek kebijakan, khususnya dari Departemen Pertahanan sebagai pembuat kebijakan pertahanan.

16 Februari 2011

Intelijen Dan Pengambilan Keputusan

All hands,
Dalam dunia pertahanan dan militer, pengambilan keputusan pada tingkat kebijakan, strategis dan taktis harus senantiasa didukung oleh masukan dari komunitas intelijen. Bila tidak, dipastikan keputusan yang diambil "tidak sempurna" dan sangat mungkin akan "berantakan" pada tingkat operasional di lapangan. Namun demikian, sangat disayangkan tidak jarang pada tingkat kebijakan pertahanan pengambilan keputusan belum ditunjang oleh masukan dari komunitas intelijen secara optimal.
Sebagai contoh, seberapa besar kontribusi komunitas intelijen dalam penyusunan kebijakan-kebijakan strategis yang terkait dengan pertahanan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa Departemen Pertahanan tidak mempunyai satuan kerja intelijen strategis yang berfungsi memberikan asupan dalam proses pengambilan keputusan. Sebaliknya, masukan intelijen masih bertumpu pada Bais yang merupakan lembaga intelijen Angkatan Bersenjata negeri ini. Tentu saja "lahan" Bais berbeda dengan domain bisnis Departemen Pertahanan, sebab user Bais adalah Panglima TNI.
Pada sisi lain, tidak dapat dipungkiri pula terkadang masukan dari komunitas intelijen tidak selaras dengan kebutuhan pengambil kebijakan. Hal seperti ini sudah seringkali terjadi, namun sayangnya belum ada upaya untuk memperbaiki kesenjangan yang terjadi. Keluaran dari semua itu adalah kebijakan yang "tidak membumi".
Inilah satu di antara beberapa tantangan yang dihadapi dalam proses pengambilan keputusan. Pertanyaannya, apakah kondisi ini akan terus dibiarkan? Kalau hendak dibenahi, perlu ada langkah perbaikan. Pada tingkat pengambil keputusan, hendaknya lebih mengoptimalkan peran intelijen dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Sedangkan pada komunitas intelijen sendiri, perlu mengubah paradigma menjadi outward looking sehingga tidak terkontaminasi dengan penitikberatan pada tugas pengamanan yang sesungguhnya bersifat internal, sebab bagi sebagian pihak ada perbedaan signifikan antara komunitas intelijen dengan komunitas pengamanan.

15 Februari 2011

Peluang Kerjasama Di Laut Cina Selatan

All hands,
Dalam era kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2011, Jakarta berupaya mencari cara untuk membangun kerjasama pertahanan antara ASEAN-Cina dalam isu Laut Cina Selatan. Upaya Jakarta itu bertolak dari DOC On The South China Sea yang ditandatangani pada 1992 yang hingga kini masih berlaku tetapi terkesan mandul. Pertanyaannya, adakah peluang kerjasama ASEAN-Cina di Laut Cina Selatan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami dulu bagaimana posisi Cina dalam isu perairan tersebut? Beijing berpendapat bahwa Laut Cina Selatan merupakan core interest sebagaimana halnya Tibet, Taiwan dan Xinjiang. Artinya, tak ada kompromi bagi Beijing di perairan itu soal kedaulatan. Adapun soal kerjasama, sejak dahulu Beijing tidak menentang selama tak menyangkut isu kedaulatan di sana.
Terkait dengan hal tersebut, upaya Indonesia mencari cara kerjasama pertahanan ASEAN-Cina di perairan tersebut harus dimulai dari isu yang less sensitive. Soal itu, nampaknya kerjasama di bidang SAR yang paling realistis dibandingkan isu safety. Kenapa SAR? Sebab isu SAR mengikat semua negara pantai di dunia, tidak peduli apakah antara pihak yang ditolong dan pihak yang menolong sesungguhnya secara politik bermusuhan.
Kalau mengacu pada isu safety, isu tersebut tidak akan pernah lepas dari survei hidrografi. Sebab keselamatan pelayaran tak bisa hanya dibatasi soal alur yang layak untuk dilayari karena dilengkapi dengan berbagai rambu, tetapi harus pula menyentuh isu survei hidrografi. Karena mustahil untuk menetapkan bahwa suatu segmen perairan layak dan aman bagi kepentingan pelayaran bila tak disurvei secara rutin.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Cina menolak adanya survei hidrografi oleh pihak asing di Laut Cina Selatan sebagaimana terlihat dari kasus USS Impecabble (T-AGOS 23) pada 8 Maret 2009. Hal ini harus dipahami oleh Jakarta, agar inisiatif kerjasama pertahanan ASEAN-Cina di Laut Cina Selatan tidak mendapat resistensi dari Beijing. Jangan sampai Jakarta kehilangan muka di hadapan ibukota ASEAN lainnya gara-gara gagasannya ditolak oleh Beijing.

14 Februari 2011

Kontribusi Angkatan Laut Terhadap Industri Pertahanan

All hands,
Industri pertahanan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari militer, termasuk di dalamnya Angkatan Laut. Hal ini bukan semata karena Angkatan Bersenjata adalah konsumen tunggal dari industri pertahanan tersebut, tetapi juga karena modal awal industri pertahanan tersebut disumbangkan oleh militer. Dalam konteks industri perkapalan, galangan perkapalan utama Indonesia yang berada di Surabaya merupakan sumbangan dari Angkatan Laut negeri ini kepada pemerintah.
Dahulu cikal bakal industri itu adalah galangan fasilitas pemeliharaan kapal perang Angkatan Laut yang dibangun oleh Belanda. Setelah Indonesia merdeka, khususnya pasca pengakuan kedaulatan, galangan tersebut diserahkan kepada Angkatan Laut negeri ini sebagai bagian dari penyerahan Pangkalan Angkatan Laut Ujung. Selanjutnya galangan itu menjadi tulang punggung perbaikan berbagai kapal perang Angkatan Laut dan pada suatu ketika sempat bernama Penataran Angkatan Laut yang disingkat PAL.
Ketika pemerintah berniat mengembangkan industri pertahanan, galangan PAL diserahterimakan dari Angkatan Laut kepada pemerintah. Terhitung sejak itu galangan di ujung Kali Mas tersebut tidak hanya memperbaiki dan memproduksi kapal bagi Angkatan Laut saja, tetapi merambah pula pada pembuatan kapal niaga berbagai jenis dan ukuran. Bahkan pendapatan yang diraih oleh galangan tersebut sebagian besar disumbangkan oleh pesanan kapal niaga, sedangkan kontribusi Divisi Kapal Perang tak terlalu besar karena pesanan yang tidak rutin dan berlanjut sepanjang waktu.
Kini pemerintah berniat meningkatkan kemampuan galangan itu dalam memproduksi kapal perang. Niat tersebut yang beberapa di antaranya telah direalisasikan hendaknya diimbangi oleh galangan tersebut. Sekarang giliran galangan itu harus membalas kontribusi Angkatan Laut di masa lalu berupa pemberian fasilitas produksi beserta sarana pendukungnya.
Bagaimana bentuk balasannya? Kapal perang yang diproduksi di galangan tersebut bagi Angkatan Laut kualitasnya harus sesuai dengan kontrak, waktu pengerjaannya juga harus sesuai kontrak, penyerahan pun harus sesuai kontrak, baik after sales service pun harus sesuai kontrak pula. Harapan ini meleset pada beberapa kapal perang yang pernah diproduksi, akan tetapi diharapkan ke depan tidak meleset lagi.

13 Februari 2011

Sistem Beladiri Kapal Amfibi

All hands,
Apabila diperhatikan lebih jauh, kapal amfibi buatan Rusia dan negara-negara eks Blok Timur memiliki sistem beladiri yang lengkap dan mematikan, tidak kalah mematikan dibandingkan kapal kombatannya. Lihat saja persenjataan yang melengkapi kapal amfibi Rusia, begitu pula persenjataan asli LST kelas Frosch Jerman Timur sebelum dialihkan kepada Indonesia. Kapal-kapal itu dilengkapi rudal anti kapal permukaan dan udara yang memadai, di samping meriam serbaguna.
Adapun kapal amfibi buatan Amerika Serikat seperti LHD, LSD dan LHA dilengkapi dengan sistem senjata beladiri yang memadai pula, meskipun tak seberat buatan Rusia. Kapal amfibi buatan Uwak Sam biasanya dilengkapi dengan CIWS Phalanx, adapun meriam boleh dikatakan tak dipasang di kapal tersebut. Adapun rudal anti kapal boleh dikatakan tidak melengkapi kapal tersebut. Meskipun demikian, keandalan CIWS Phalanx tak perlu diragukan lagi.
Sistem beladiri kapal amfibi pada dasarnya untuk berjaga-jaga seandainya tabir perlindungan yang diberikan oleh kapal kombatan mampu ditembus oleh sistem senjata lawan. Di samping kapal kombatan, perlindungan terhadap kapal amfibi diberikan pula oleh pesawat udara, khususnya pesawat udara yang berpangkalan di atas kapal perang. Sistem beladiri pada kapal amfibi juga bermanfaat bagi ancaman di kawasan littoral, misalnya rudal anti kapal permukaan yang ditembakkan oleh musuh.
Di Indonesia, sistem beladiri kapal amfibi perlu ditinjau ulang. Sebab sistem senjata yang melengkapi kapal amfibi sudah tidak langi memadai untuk menjawab ancaman teknologi senjata yang berkembang, baik pesawat udara maupun rudal anti kapal. Senapan mesin 12.7 mm maupun meriam 40 mm jelas bukan lawan bagi pesawat udara maupun rudal anti kapal. Selain itu, perlu pula dikembangkan asumsi bahwa perlindungan yang diberikan oleh kapal tabir mampu ditembus oleh lawan, sehingga kapal amfibi perlu diperkuat dengan sistem beladiri yang memadai pula.

12 Februari 2011

Belajar Dari Taiwan

All hands,
Taiwan sejak tahun 1970-an posisinya terdesak oleh Cina, khususnya sejak Taipei ditendang dari kedudukannya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan digantikan oleh Beijing yang merupakan musuh bebuyutannya. Sejak saat itu, pembangunan kekuatan militer Taiwan, termasuk Angkatan Laut, mengalami sejumlah hambatan. Hambatan semakin kuat sejak akhir 1990-an ketika posisi Cina dalam pergaulan internasional semakin kuat seiring dengan semakin kuatnya ekonomi Beijing. Beijing tanpa ragu menggunakan posisi dan pengaruhnya untuk mengasingkan Taipei dari pergaulan antar bangsa, termasuk menghalangi pembangunan kekuatan laut Taiwan.
Misalnya soal rencana Taiwan untuk membeli kapal selam baru guna menggantikan kapal selam kelas Guppy II yang eks Perang Dunia Kedua. Rencana Taipei tersebut selama ini belum terlaksana karena diblokade oleh Beijing, di mana Cina menekan negara-negara Eropa yang akan bekerjasama dengan Taiwan. Seperti diketahui, negara produsen kapal selam konvensional di Barat cuma Eropa, sedangkan Amerika Serikat hanya memproduksi kapal selam nuklir.
Beruntung negeri ini didukung oleh Amerika Serikat yang memiliki Taiwan Relations Act 1979. Dalam TRA, dinyatakan bahwa Amerika Serikat wajib membantu Taiwan dari serangan asing. Lewat TRA juga diotorisasi penjulan senjata buatan Amerika Serikat ke negara pulau itu bagi kepentingan defensif. Berdasarkan TRA tersebut, Taipei pada Agustus 2010 diperbolehkan oleh Washington untuk mengakuisisi dua kapal fregat kelas Oliver Hazard Perry eks U.S. Navy.
Memang mengingat pengalaman operasional fregat kelas Oliver Hazard Perry oleh U.S. Navy maupun RAN, ada sejumlah masalah teknis yang menghinggapi kapal perang tersebut. Angkatan Laut Taiwan sadar akan hal itu, tetapi mereka membutuhkan kapal fregat itu guna menggantikan fregat kelas Knox yang telah berumur empat puluh tahun dan sakit-sakitan. Washington dengan memperhatikan sensitivitas Beijing hanya bersedia menjual fregat kelas Oliver Hazard Perry kepada Taiwan, itu pun cuma dua buah dari delapan permintaan Taiwan.
Taipei mengharapkan pula agar Washington sudi memberikan akses pada teknologi Aegis yang akan dipasang pada kapal perangnya. Kebutuhan Angkatan Laut Taiwan akan teknologi Aegis terkait dengan meningkatnya ancaman udara dari pesawat tempur Cina. Sejauh ini, belum ada lampu hijau dari Washington tentang ekspor teknologi Aegis kepada Taipei.
Belajar dari kasus Taiwan, meskipun negara itu menghadapi tantangan berat dalam rangka membangun kekuatan lautnya, tetapi mereka tetap gigih untuk mencapai tujuan. Indonesia yang nasibnya tidak sama dengan Taiwan semestinya bisa lebih gigih dalam membangun kekuatan lautnya. Perbedaan antara Taiwan dengan Indonesia memang ada beberapa. Pertama, nasib Indonesia lebih baik daripada Taiwan karena tak ada musuh yang memblokade pembangunan Angkatan Lautnya. Kedua, kebijakan politik di Taipei lebih berpihak kepada pembangunan kekuatan Angkatan Laut daripada di Jakarta.

11 Februari 2011

Operasi Angkatan Laut Dan Pengaruh Politik

All hands,
Kini Cina merupakan salah satu negara yang berupaya memperluas operasi Angkatan Lautnya, antara lain dengan ikut beroperasi di perairan Somalia. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa mewaspadai kemampuan operasional Angkatan Laut Cina bukan karena soal taktik pepeprangan laut, tetapi disebabkan oleh perluasan pengaruh politik Cina. Seperti diketahui, Cina tidak dapat mengandalkan sepenuhnya pengisian bekal ulang Gugus Tugas kapal perangnya di perairan Somalia dengan bertumpu pada RAS, tetapi masih memerlukan pengisian ulang di pelabuhan milik negara-negara lain di sekitar Somalia.
Melalui pengisian bekal ulang di pelabuhan beberapa negara itulah Cina dapat memanfaatkan perluasan pengaruh politiknya. Beberapa negara yang selama ini menjadi tempat bekal ulang kapal perang Cina adalah Oman, Yaman, Jibouti dan Pakistan. Dibandingkan di Pakistan, Oman dan Yaman, di Jibouti Cina tak dapat bergerak bebas, sebab di sana telah berdiri pangkalan militer Amerika Serikat, Prancis dan Jepang. Sulit bagi Cina untuk head to head di Jibouti dengan kekuatan negara-negara lain.
Pilihannya adalah tinggal di Oman, Yaman dan Pakistan, tempat di mana Beijing masih mempunyai ruang untuk meluaskan pengaruh geopolitiknya. Itu pun masih di bawah bayang-bayang Amerika Serikat dan sekutunya, karena selama ini ketiga negara telah dirangkul oleh Washington dengan tingkat yang berbeda-beda.
Indonesia sejak beberapa tahun silam telah mengirimkan kapal perang untuk beroperasi di Lebanon di bawah panji PBB. Pertanyaannya kini, apakah ada arahan politik dari pemerintah untuk meluaskan pengaruh Indonesia di Lebanon dan sekitarnya? Kehadiran suatu kapal perang di suati negara berbeda nilainya dengan kehadiran pasukan darat, sebab nilai politik dan strategis kapal perang berkali-kali lipat dibandingkan kekuatan darat. Artinya, terbuka jendela kesempatan bagi Indonesia untuk memperluas pengaruh politiknya lewat kehadiran kapal perang Indonesia di Laut Mediterania.
Perluasan pengaruh politik itu bukan untuk menandingi kekuatan laut yang puluhan tahun eksis di perairan itu, tetapi lebih pada upaya untuk memperkuat pengaruh Indonesia di sana. Sebab selama ini meskipun negara-negara di sekitar Laut Tengah telah mengenal Indonesia, akan tetapi baru sebatas tahap itu saja. Pengaruh Indonesia belum mereka rasakan secara signifikan. Padahal apabila pengaruh Indonesia mereka rasakan, pasti akan memberikan keuntungan politik, ekonomi dan militer kepada Indonesia di masa depan.

10 Februari 2011

Paradigma Organisasi Gabungan TNI

All hands,
Operasi gabungan merupakan tuntutan masa kini dan masa depan yang tak bisa dihindari oleh Angkatan Bersenjata manapun. Sifat gabungan sekarang merupakan tuntutan kultural pada organisasi militer negara manapun. Untuk bisa menuju ke operasi gabungan, tentunya harus didukung oleh sifat organisasi dan manajerial yang gabungan pula. Inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia untuk membenahi organisasi militernya.
Belum terlambat bagi militer Indonesia untuk mentransformasikan dirinya menjadi organisasi gabungan. Sebagai organisasi gabungan, dibutuhkan pola pikir dan pola tindak yang bersifat gabungan pula. Sifat gabungan masa kini tidak lagi terbatas pada aspek operasional seperti operasi tempur, namun menyentuh pula aspek organisasi. Aspek yang terakhir inilah yang hingga sekarang belum tersentuh.
Misalnya untuk pasukan khusus, sudah saatnya militer Indonesia mempunyai organisasi semacam Joint Special Operation Command. JSOCOM membawahi unit-unit pasukan khusus pada ketiga matra yang ada. JSOCOM merupakan organisasi operasional dan tidak terlibat pada unsur pembinaan. Kewenangan pembinaan tetap terletak pada tiap-tiap Kepala Staf matra.
Dengan adanya JSOCOM, penggelaran kekuatan untuk melaksanakan operasi gabungan lebih mudah daripada saat ini. Staf Operasi tinggal mengatur di mana dan kapan pasukan akan melaksanakan operasi dan bagaimana dukungan administrasi dan logistiknya, sementara badan intelijen milik militer tidak perlu lagi terlalu banyak berkutat dengan pasukan ini. Kalaupun badan intelijen itu membutuhkan perkuatan personel, dapat langsung memintanya ke JSOCOM.
Adanya JSOCOM akan memberikan keuntungan pula pada penyiapan unsur-unsur operasional dengan bekerjasama dengan "pemilik" masing-masing pasukan khusus. Secara politik, pengorganisasian pasukan khusus dalam suatu organisasi gabungan akan memberikan pesan tersendiri bagi negara-negara di sekitar Indonesia.

09 Februari 2011

Pelajaran Dari Perang Malvinas

All hands,
Hingga saat ini, Perang Malvinas 1982 merupakan perang terakhir yang menghadapkan dua kekuatan maritim secara berimbang. Kekuatan maritim Inggris disebarkan ke sasaran yang berjarak 8.000 mil laut dari wilayahnya untuk merebut kembali Kepulauan Malvinas alias Kepulauan Falkland dan Kepulauan Georgia Selatan dari tangan kekuatan maritim Argentina. Pasca Perang Malvinas, belum ada lagi preseden tentang pertempuran laut mutakhir sampai akhir dekade pertama abad ke-21.
Ada banyak pelajaran yang dapat ditarik Angkatan Laut di dunia, termasuk Angkatan Laut Indonesia dari kasus Perang Malvinas. Satu di antaranya adalah kecepatan respon kekuatan maritim Inggris dengan Royal Navy sebagai ujung tombaknya. Hanya tiga hari sejak Kepulauan Malvinas direbut dan diduduki oleh Argentina serta wilayah perairan dan udaranya berada dalma kendali Buenos Aires, kekuatan maritim Inggris sudah berangkat meninggalkan pangkalannya di Inggris dan beberapa kawasan dunia lainnya. Artinya, cuma perlu tiga hari untuk menyusun suatu kekuatan siap tempur guna merespon kontinjensi.
Kecepatan menyusun kekuatan itu sebenarnya dirancang untuk menghadapi perang dengan Uni Soviet. Namun ternyata lawan yang dihadapi bukanlah kekuatan maritim yang dipersenjatai dengan ribuan senjata nuklir, tetapi kekuatan maritim konvensional milik Argentina.
Pertanyaannya, andaikata terjadi kontinjensi di Indonesia dengan kasus mirip Kepulauan Malvinas, berapa hari yang dibutuhkan untuk menyusun kekuatan maritim guna disebarkan dan digunakan di wilayah kontinjensi? Kekuatan maritim yang dimaksud di sini mencakup kekuatan Angkatan Laut sendiri, kekuatan Angkatan Darat, kekuatan Angkatan Udara dan kekuatan armada pelayaran niaga nasional. Sekali lagi pertanyaannya, berapa hari yang dibutuhkan untuk menyusun kekuatan tersebut? Penting untuk diingat bahwa kecepatan merespon kontinjensi akan menentukan pula keluaran atau hasil akhir dari kontinjensi tersebut, apakah menjadi pihak pemenang atau pecundang.

08 Februari 2011

Menjaga Fasilitas Latihan

All hands,
Dalam menjaga dan meningkatkan profesionalisme militer, kekuatan Angkatan Bersenjata Indonesia dihadapkan pada beragam masalah. Satu dari berbagai masalah tersebut adalah ketersediaan fasilitas latihan tempur, khususnya daerah latihan tempur yang cukup luas untuk latihan satuan-satuan tingkat brigade ke atas. Termasuk pula di dalamnya latihan BTK maupun pendaratan pantai oleh BTP Marinir. Keterbatasan lahan yang terjadi selama ini membuat tidak semua materi-materi latihan dapat diujicoba secara leluasa dan mendekati kondisi ril dalam pertempuran.
Bagi Angkatan Laut, kalau hanya untuk latihan tempur melalui manuver di laut dapat dikatakan tidak ada masalah. Sebab di laut tidak ada penduduk seperti halnya di daratan, yang ada hanya aktivitas perkapalan dan atau nelayan. Untuk mengatur hal itu pun mudah seandainya Angkatan Laut hendak menggelar latihan tingkat L-4, misalnya dengan mengumumkan penutupan suatu perairan yang koordinatnya telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
Yang menjadi masalah adalah fasilitas latihan Angkatan Laut di daratan, khususnya untuk manuver lapangan pasukan Marinir (termasuk pendaratan amfibi) maupun sasaran BTK dari kapal perang. Seiring dengan makin bertambahnya jumlah penduduk plus kurang ditanganinya suatu fasilitas latihan yang luasnya ribuan hektar dengan baik, sangat sering terjadi penyerobotan lahan fasilitas tersebut oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Kondisi ini kemudian menimbulkan konflik nyata, sebagaimana terjadi di Grati beberapa tahun silam dengan segala konsekuensinya.
Dalam perkembangan terkini, telah tersedia fasilitas latihan gabungan di wilayah Sangatta yang juga bisa dimanfaatkan bagi latihan pendaratan amfibi maupun BTK. Tantangannya adalah bagaimana kebijakan kekuatan militer Indonesia mempertahankan fasilitas latihan tersebut dari "ancaman penyakit klasik" yang ada selama ini. Misalnya, apakah dalam 10 atau 20 tahun ke depan luasan daerah latihan itu masih sama seperti saat ini.
Mengingat luasnya wilayah Indonesia, ada baiknya apabila fasilitas latihan militer tidak hanya terpusat di satu tempat, tetapi harus tersebar di beberapa tempat sekaligus. Sebagai contoh, harus ada fasilitas serupa di kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Dengan demikian, dapat diuji berbagai manuver yang harus dilaksanakan dalam kondisi medan yang berbeda-beda.

07 Februari 2011

Partisipasi Dalam Latihan Angkatan Laut Multinasional

All hands,
Kekuatan laut Indonesia dalam Februari 2011 akan berpartisipasi dalam AMAN Exercise yang digelar oleh Angkatan Laut Pakistan dengan menyebarkan sebuah kapal perang. AMAN Exercise merupakan latihan Angkatan Laut multinasional yang diselenggarakan oleh Pakistan. Sebagian peserta latihan adalah Angkatan Laut negara-negara NATO yang tengah menggelar operasi di Samudera India, Laut Arab dan Teluk Persia. Partisipasi kekuatan laut Indonesia dalam AMAN Exercise adalah yang pertama kalinya.
Dalam kondisi saat ini, sebaiknya memang kekuatan laut Indonesia aktif berpartisipasi dalam latihan Angkatan Laut multinasional. Sebab interaksi itu akan membantu meningkatkan keterampilan personel Angkatan Laut dalam mengawaki sistem senjatanya. Dengan kondisi internal saat ini yang diwarnai oleh ketidakmerataan kesiapan sistem senjata, berpartisipasi dalam latihan multinasional merupakan pilihan cerdas dan bagus.
Melalui latihan itu, bisa diukur kemampuan Angkatan Laut negeri ini sekarang. Apabila ada kemampuan yang tertinggal dibandingkan Angkatan Laut negara lain, perlu dievaluasi seberapa jauh ketertinggalannya. Faktor apa saja yang menyebabkan hal itu terjadi. Bagaimanapun, awak kapal perang harus senantiasa berlatih untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya.
Selain AMAN Exercise, Indonesia juga terlibat dalam COBRA GOLD dan RIMPAC. Kedua latihan terakhir juga merupakan latihan Angkatan Laut multinasional. Ke depan, perlu dikaji kemungkinan Indonesia untuk menyebarkan pula kapal perangnya dalam dua latihan terakhir. Latihan-latihan demikian merupakan kesempatan emas bagi Angkatan Laut Indonesia untuk mengukur diri. Kekurangan yang ada menjadi pekerjaan rumah untuk diperbaiki.

06 Februari 2011

Operasi Angkatan Laut Di Bawah Panji ASEAN?

All hands,
Dengan segala kekurangannya, negara-negara ASEAN telah bertekad mewujudkan ASEAN Community yang salah satu pilarnya adalah ASEAN Security Community (ASC). Tantangannya adalah bisakah ASC diwujudkan layaknya organisasi serupa di Uni Eropa, meskipun latar belakang ASEAN tidak dapat disamakan dengan Uni Eropa? Pertanyaan demikian menarik untuk didalami, antara lain karena tahun ini Indonesia memimpin organisasi ASEAN.
Sebenarnya moda operasi gabungan Angkatan Laut ASEAN di bawah panji ASEAN terbuka lebar. Ruangnya sudah disediakan dalam ASEAN Maritime Forum (AMF), di mana beberapa poin kerjasama sesungguhnya terbuka bagi pelaksanaan operasi gabungan Angkatan Laut. Dikatakan terbuka di sini dari aspek penafsiran terhadap beberapa poin dalam AMF, sebab tidak ada satu pun kalimat yang eksplisit mengatur soal operasi gabungan Angkatan Laut di bawah panji ASEAN.
Karena peluang itu terbuka, perlu dicapai kesepakatan antar negara ASEAN tentang apa tujuan operasi gabungan dan di mana wilayah operasi tersebut. Hal semacam ini bisa dicapai apabila secara politik ada kemauan ASEAN untuk menjadi penata keamanan kawasan Asia Tenggara. Tentang wilayah operasi memang isu sensitif, sebab beberapa negara ASEAN masih bersikukuh soal kedaulatan. Singkatnya, soal operasi gabungan Angkatan Laut ASEAN merupakan keniscayaan, tetapi perlu dikaji lebih lanjut antar negara ASEAN sendiri.

05 Februari 2011

Pilihan Kebijakan Personel

All hands,
Salah satu tantangan masa kini yang dihadapi oleh militer Indonesia adalah banyaknya jumlah personel yang tidak diimbangi dengan struktur organisasi. Selama 10 tahun terakhir, praktis tidak ada perubahan signifikan dalam struktur organisasi militer Indonesia. Tetapi dalam jangka waktu yang sama pula, usia dinas aktif personel khususnya perwira diperpanjang dari 55 menjadi 58. Dampaknya, pada tingkat kolonel selalu terjadi penumpukan personel.
Untuk menghadapi masalah ini, salah satu jawaban yang mungkin dapat dijadikan solusi bukanlah menciptakan satuan-satuan kerja baru guna mengurangi penumpukan tersebut. Sebab solusi itu tidak menjawab permasalahan di masa mendatang. Solusi yang lebih baik adalah menerapkan standar kompetensi perwira secara obyektif dan konsisten mulai dari jenjang Letnan Dua dan memperpendek masa dinas pangkat (MDP) perwira sebelum bisa mengajukan diri untuk pensiun dini.
Selama ini, seorang perwira mininal harus memiliki MDP 19 tahun sebelum bisa mengajukan pensiun dini. Aturan ini berlaku untuk perwira sumber akademi, milwa dan PK. Artinya, seorang perwira paling tidak harus berpangkat Ltk sebelum bisa pensiun dini, sebab dalam masa dinas 19 tahun normalnya seorang perwira sudah bisa meraih pangkat Ltk.
Kalau aturan MDP untuk bisa mengajukan pensiun dini diubah, begitu pula penerapan standar kompetensi perwira diterapkan secara obyektif dan konsisten, secara alamiah akan mencegah penumpukan perwira pada jenjang kepangkatan Kolonel. Misalnya, MDP untuk pensiun dini diubah 10 tahun, maka perwira yang dinilai oleh dinas dan atau perwira yang merasa dirinya berat untuk bersaing lebih lanjut dengan rekan-rekannya, pada tahun ke-10 dapat mengajukan pensiun dini untuk beralih pada karir di dunia sipil. MDP 10 tahun bagi perwira sumber akademi berarti pada pangkat Kapten dengan usia sekitar 31-32, sedangkan untuk perwira sumber PK juga pada pangkat Kapten pada usia sekitar 35-36 tahun.
Pada usia tersebut, mereka masih punya peluang untuk membangun karir di dunia sipil. Tidak usah dikhawatirkan mereka tidak akan mampu bersaing di dunia sipil, sebab preseden selama ini menunjukkan bahwa para perwira militer yang memutuskan pensiun dini (dengan usia yang sudah di atas 40 tahun) mampu bersaing dan sukses di dunia barunya.
Pola seperti ini sudah banyak dianut oleh militer negara-negara lain. Sebagai contoh, di U.S. Navy hanya sekitar hampir separuh perwira lulusan Annapolis dalam satu lichting/angkatan kelulusan yang bertahan di karir militer hingga pensiun. Selebihnya secara teratur mengundurkan diri ketika telah berkarir antara 10-20 tahun. Padahal di U.S. Navy tidak ada perbedaan perlakuan dalam jenjang antara perwira asal Annapolis dan ROTC, sehingga persaingannya jauh lebih keras dibandingkan di Indonesia.

04 Februari 2011

Operasi Angkatan Laut: Sekedar Di Bawah Panji PBB?

All hands,
Pasca Perang Dingin, operasi Angkatan Laut multinasional telah menjadi kecenderungan utama di dunia. Tonggak pertamanya adalah Perang Teluk 1990 dengan Operasi Desert Storm yang dimotori oleh Angkatan Laut Amerika Serikat dan melibatkan Angkatan Laut negara-negara lain. Operasi Enduring Freedom dan Operasi Iraqi Freedom kembali menjadi ajang berikutnya operasi Angkatan Laut multinasional. Sebelumnya pada era 1990-an untuk memblokade eks Yugoslavia, digelar Operasi Sharp Guard dan Operasi Maritime Guard.
Adapula Operasi Allied Force untuk memblokade eks Yoguslavia terkait Perang Kosovo. Tidak dapat dilewatkan pula CTF-150 di sekitar perairan Tanduk Afrikan dan Laut Arab dalam rangka mendukung Operasi Enduring Freedom. Begitu juga dengan Operasi Atalanta guna merespon aksi pembajakan dan perompakan di perairan sekitar Somalia.
Benang merah dari semua itu adalah mengedepannya operasi Angkatan Laut multinasional. Hal serupa dirasakan pula di kawasan Asia Pasifik. Lihat saja berbagai pertemuan dan latihan rutin antar Angkatan Laut kawasan, salah satu topik yang dibahas dan diujicoba/dilatihkan di lapangan adalah operasi Angkatan Laut multinasional. Entah itu di WPNS, CARAT, SEACAT, COBRA GOLD, IONS dan lain sebagainya.
Terkait dengan operasi Angkatan Laut multinasional ini, menjadi pertanyaan yaitu apakah masih relevan sikap Indonesia untuk hanya menggelar operasi multinasional yang berada di bawah panji PBB? Sebab yang menjadi arus utama di kawasan Asia Pasifik bukan operasi di bawah panji PBB, tetapi operasi di bawah bendera multinasional dengan Amerika Serikat sebagai penjurunya.

03 Februari 2011

Menyeimbangkan Profesionalisme

All hands,
Profesionalisme kekuatan militer setidaknya ditentukan oleh dua aspek. Yakni tingkat kesejahteraan personel yang mengawaki militer dan ketersediaan sistem senjata yang modern dan mutakhir. Profesionalisme kekuatan militer tidak akan tercapai apabila hanya berfokus pada peningkatan kesejahteraan personel, sementara di sisi sistem senjata yang tersedia tidak memadai untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan pengawaknya. Misalnya sonar yang kinerjanya sudah tak memenuhi standar akan membuat operator sonar kemampuan dan keterampilannya terus menurun.
Oleh karena itu, perlu tercipta keseimbangan antara kesejahteraan personel di satu sisi dan kesiapan sistem senjata di sisi lain. Tuntutan modernisasi sistem senjata bukan tuntutan yang berlebihan, tetapi suatu keharusan yang harus dipenuhi. Hanya dengan sistem senjata yang modern dan canggih maka keterampilan dan kemampuan pengawak senjata dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
Tantangan seperti inilah yang dihadapi oleh kekuatan laut Indonesia. Solusi dari tantangan ini adalah solusi politik, yaitu bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap modernisasi Angkatan Laut. Untuk memecahkan tantangan yang ada bukan merupakan tugas dan domain Angkatan Laut, tetapi domain pemerintah dalam hal ini Departemen Pertahanan.

02 Februari 2011

Gejolak Politik Dan Keamanan Maritim

All hands,
Dalam beberapa minggu terakhir, Mesir dilanda oleh gejolak politik yang menuntut pergantian rezim. Pergolakan politik itu mempunyai magnet yang besar, karena banyak negara asing yang berkepentingan dengan negeri piramida tersebut. Dibandingkan dengan Tunisia yang telah lebih dahulu mengalami revolusi, nilai strategis Mesir jauh lebih besar.
Salah satu nilai strategis yang kurang diungkap oleh media massa adalah nilai strategis Terusan Suez yang merupakan salah satu choke point dunia. Siapa pun yang nantinya akan menjadi penguasa baru di Kairo andaikan pemimpin saat ini turun dengan cara apapun, akan menentukan pula bagaimana soal pengendalian Terusan Suez. Negara-negara Barat plus Israel tentu tak ingin pemerintahan baru nantinya di Kairo memiliki sikap politik yang kurang bersahabat dengan mereka. Termasuk dalam isu Terusan Suez yang di masa lalu dijadikan kartu truf oleh Gamal Abdel Nasser yang tak bersahabat dengan Barat dan Israel.
Indonesia sudah mempunyai pengalaman soal pergolakan politik yang terjadi pada 1998. Ketika itu, negara-negara yang berkepentingan dengan choke point negeri ini juga mengawasi dengan seksama. Mereka tak ingin penguasa baru di Jakarta tak bersahabat dengannya. Dari kasus pergolakan politik di Mesir dan Indonesia menunjukkan bahwa ada korelasi antara gejolak politik dengan keamanan maritim pada negara-negara yang memiliki choke point.

01 Februari 2011

India Kalah Di Asia Tenggara

All hands,
India kini bersaing dengan Cina dalam perebutan pengaruh geopolitik di kawasan Asia Tenggara. Perebutan pengaruh tersebut menggunakan berbagai instrumen, seperti politik, ekonomi dan militer. Dalam perebutan pengaruh tersebut, nampak jelas bahwa India kalah bersaing dengan Cina. Ada beberapa alasan soal kekalahan India itu.
Pertama, politik. Dari aspek politik, India kalah agresif dalam merangkul negara-negara Asia Tenggara, baik secara bilateral maupun multilateral ASEAN. Cina jauh lebih agresif dalam merangkul negara-negara Asia Tenggara, meskipun Beijing sebenarnya memiliki beberapa masalah teritorial dengan beberapa ibukota Asia Tenggara. Agresivitas Cina bisa dilihat dari kunjungan intensif pada pejabat Cina ke Asia Tenggara, selain kerjasama politik yang telah disepakati.
Kedua, ekonomi. Cina mempunyai perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN yang dikenal sebagai ACFTA. Beijing merupakan pula salah satu investor utama di Asia Tenggara dalam berbagai bidang. Sebaliknya, India belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN. Begitu pula ekspansi bisnis India ke Asia Tenggara agresivitas dan ekspansinya sangat kurang dibandingkan dengan Cina.
Ketiga, militer. Cina sejak beberapa tahun lalu meningkatkan interaksi militernya dengan militer Asia Tenggara. Bentuk interaksi hingga kini berupa penjualan sistem senjata, selain pertemuan rutin antar para pejabat militer Cina dan mitranya di Asia Tenggara. Keunggulan India dibandingkan Cina hanya sebatas adanya latihan militer bersama, termasuk latihan Angkatan Laut, dengan Angkatan Bersenjata di kawasan ini. Kini Beijing tengah merintas ke arah penggelaran latihan bersama dengan militer Asia Tenggara, sementara New Delhi kurang agresif memasarkan produk sistem senjatanya ke negara-negara di kawasan.
Dari ketiga instrumen sangat jelas betapa pengaruh geopolitik Cina dapat dilihat dan dirasakan di Asia Tenggara dibandingkan India. Pertanyaannya adalah apa kebijakan India merespon ketertinggalan tersebut?