28 Februari 2009

Kerjasama ASEAN Di Selat Malaka

All hands,
Dengan berlakunya Piagam ASEAN dan ASEAN Security Community, salah satu tantangan yang dihadapi oleh organisasi kawasan tersebut adalah bagaimana mengimplementasikan kerjasama maritim di dalam wadah ASEAN Maritime Forum. Kerjasama maritim yang sangat luas bisa diperkecil lingkupnya menjadi kerjasama keamanan maritim. Jadi kerjasama keamanan maritim merupakan turunan dari kerjasama maritim.
Sebelum melangkah jauh kepada kerjasama maritim maupun kerjasama keamanan maritim, langkah yang harus ditempuh adalah confidence building measures (CBM). Memang betul bahwa CBM sudah dilakukan sejak 1970-an. Namun hingga hari ini, bila kita mau jujur, belum ada kemajuan dari CBM.
Kalau ditanya soal contoh, banyak sekali. Antara Indonesia-Malaysia masih ada saling curiga, walaupun kerjasama jalan terus. Antara Malaysia-Singapura juga demikian. Hubungan Indonesia-Singapura juga demikian. Tak perlu ambil contoh bidang lain, dalam bidang keamanan maritim saja sikap curiga itu masih ada.
Sekarang negara-negara ASEAN dituntut untuk melaksanakan kerjasama maritim, lebih sempit lagi kerjasama keamanan maritim. Lalu kira-kira seperti apa nantinya realisasi kerjasama itu?
Kerjasama keamanan maritim ASEAN sepertinya akan terfokus di Selat Malaka, sebab di wilayah itulah yang paling rawan terhadap ancaman keamanan maritim. Selain itu, di perairan tersebut terdapat banyak kepentingan internasional, khususnya negara-negara maju. Dan Singapura sebagai kepanjangan tangan alias antek-antek dari negara-negara maju akan berupaya mengendalikan kerjasama keamanan maritim di Selat Malaka.
Pertanyaannya kini, apakah Malsindo Coorpat akan dimasukkan dalam kerangka kerjasama ASEAN atau tidak? Bagi Indonesia, perlu diantisipasi apa untung ruginya bila masuk dalam bingkai ASEAN, begitu pula bila tetap seperti saat ini.
Berikutnya, apakah Malsindo Coorpat akan ditingkatkan menjadi Malsindo Combined Patrol? Skenario ini perlu diantisipasi oleh Indonesia, sebab menurut hemat saya hal ini akan banyak merugikan Indonesia. Coba bandingkan luasan sektor patroli di Selat Malaka, negara mana yang mempunyai sektor patroli paling luas?
Sulit bagi kita membayangkan negara kecil, kaya, rakus dan licik yang luas perairannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luas perairan Indonesia, melakukan patroli di perairan Indonesia, khususnya di sektor patroli Selat Malaka. Kalau selama ini saja negeri itu melecehkan kita sedemikian rupa, lalu bagaimana bila ada combined patrol?
Pesan dari tulisan ini adalah hati-hati mengimplementasikan kerjasama keamanan maritim ASEAN. Indonesia dituntut harus punya usulan sendiri yang realistis dan berbasis pada kepentingan nasional, bukan usulan yang sangat cerdas namun tidak membumi, berpotensi menyenangkan orang lain dan merugikan kepentingan nasional, jangan pula Indonesia mengikuti usulan orang lain. Jangan sampai implementasi kerjasama keamanan maritim ASEAN disetujui oleh “Indonesia” dan merugikan Indonesia.

27 Februari 2009

“Indonesia” Dan Indonesia Versus ASEAN

All hands,
Kerjasama keamanan merupakan salah satu bagian dari kebijakan keamanan nasional di banyak negara. Tujuan dari kerjasama keamanan secara garis besar adalah mempromosikan keamanan kawasan dan sekaligus mempromosikan kepentingan nasional masing-masing negara yang terlibat kerjasama.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang tidak memiliki Strategi Keamanan Nasional. Tidak heran bila untuk manajemen keamanan maritim saja negeri ini sangat amburadul. Ada 13 instansi yang mempunyai kewenangan di laut dan sebagian besar dari instansi itu adalah instansi yang domainnya di daratan. Namun karena di laut menjanjikan uang, mereka berlomba-lomba untuk berpaling ke laut dengan tetap menggunakan paradigma darat.
Sebagai contoh, ada kapal kecelakaan di laut yang dipasangi garis polisi laksana TKP di darat. Ada pula pihak yang bersikeras mengamankan obyek vital yang berada di ZEE, padahal sangat jelas ZEE bukan wilayah kedaulatan Indonesia. Artinya KUHP tidak dapat diterapkan di ZEE dan pihak yang memegang KUHP tidak mempunyai landasan hukum untuk di ZEE. Yang bisa diterapkan di sana adalah beberapa konvensi internasional yang terkait dengan maritim, misalnya SUA dan SUA Protocol.
Kerjasama keamanan sejauh ini hanya diakomodasi dalam Strategi Pertahanan yang ditetapkan oleh Departemen Pertahanan. Penetapan kerjasama keamanan dalam Strategi Pertahanan merupakan langkah yang bagus, karena mustahil untuk mempertahankan negeri yang sangat luas ini dan didominasi oleh lautan tanpa kerjasama dengan negara-negara lain.
Pada domain maritim, kerjasama antar AL dengan negara-negara lain sudah berjalan sejak 1970-an. Apabila ditelusuri lebih jauh, sepertinya pola kerjasamanya dari abad ke-20 hingga abad ini masih begitu-begitu saja. Misalnya untuk patroli masih terus terikat pada bentuk patkor. Belum bisa melangkah ke combined patrol misalnya.
Di sisi lain, negeri ini telah mengadopsi Piagam ASEAN dan ASEAN Security Community (ASC). Salah satu ranah kerjasama dalam ASC adalah ASEAN Maritime Forum, yang digagas oleh “Indonesia”. “Indonesia” yang dimaksud di sini bukan semua instrumen kekuatan nasional Indonesia, tetapi hanya satu instrumen kekuatan nasional saja.
Gagasan ASEAN Maritime Forum ketika digodok pada 2003-2004 sepengetahuan saya tidak pernah didiskusikan secara resmi dengan AL kita sebagai ujung tombak keamanan maritim di negeri ini. Gagasan yang sesungguhnya cemerlang itu hanya digodok oleh pihak-pihak yang tidak pernah mabuk laut, tidak pernah merasakan tidak bersahabatnya perairan negeri ini pada musim-musim tertentu dan tidak pernah mengalami dinamika interaksi di laut secara nyata. Alih-alih mabuk laut, mereka lebih banyak habiskan waktu dari hotel ke hotel, dari seminar ke seminar dan sejenisnya. Namun tanpa sungkan merasa merasa paham dengan domain maritim dengan segala dinamikanya.
Lalu apa yang terjadi saat ini? Berkat inisiatif “Indonesia” tentang ASEAN Maritime Forum, yang mengisi agendanya adalah Singapura dan Malaysia. Mereka dari dulu sudah siap untuk mengisi agenda itu yang tentu saja tak lepas dari kepentingan nasional mereka. Sementara “Indonesia” akan selalu dikenang sejarah sebagai penggagas ASEAN Maritime Forum. That’s all !!!
Aneh bin ajaib memang, Indonesia yang mempunyai wilayah perairan terluas di Asia Tenggara, akan tetapi yang "mengatur" agenda kerjasama maritim ASEAN adalah negara-negara yang luas perairannya tidak ada apa-apa bila dibandingkan oleh Indonesia. Lebih aneh lagi, di masa lalu Indonesia membolehkan Singapura ikut serta mengurus Selat Malaka yang panjangnya 600 mil laut, padahal tidak ada wilayah perairan Singapura di Selat Malaka. Perairan Singapura yang terhubung dengan Selat Malaka cuma Selat Phillips yang panjangnya cuma 15 mil laut.
Sekarang Piagam ASEAN dan ASEAN Maritime Forum akan segera diimplementasikan. Sangat disayangkan Indonesia tidak bisa berbuat banyak, karena miskin gagasan yang berbasis pada kepentingan nasional. Dengan kata lain, “Indonesia” membuat ruang dansa, namun yang berdansa adalah orang lain. Indonesia yang sesungguhnya sendiri tidak bisa berdansa di situ, karena tidak siap ketika “Indonesia” membuat ruang dansa.
Singkat kata, instrumen kekuatan nasional Indonesia masih berjalan sendiri-sendiri sesuai kepentingan sektoral dan cenderung mengabaikan kepentingan nasional. Mungkin itu sudah sepantasnya diterima oleh Indonesia, sebab nenek moyang Indonesia memang seorang pelaut.

26 Februari 2009

Kalkulasi Resiko Di Perairan Indonesia Timur

All hands,
Dalam merancang strategy and force planning, salah satu variabel yang harus dihitung adalah threats and vulnerabilities. Adapun variabel lainnya adalah challenges and opportunities. Variabel-variabel tersebut harus di-assess untuk mendapatkan deficiencies and risks. Untuk meng-asses semua variabel itu, harus dikaitkan dengan variabel lain seperti allies, friendly nations, international institution dan non-state actors.
Indonesia yang merupakan barometer stabilitas kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara dituntut untuk selalu mengamankan kepentingan nasionalnya. Pada saat yang sama, negeri ini dituntut pula untuk mengamankan kepentingan internasional alias pihak-pihak asing yang berada wilayah Indonesia, khususnya di wilayah perairan.
Salah satu wilayah perairan Indonesia yang memiliki threats and vulnerabilities yang tinggi adalah perairan Indonesia Timur. Mencakup Laut Banda, Laut Timor, Laut Flores, Laut Seram, Laut Maluku hingga ke perairan Samudera Pasifik di utara Pulau Morotai hingga Pulau Biak.
Threats and vulnerabilities tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya eksistensi ALKI III yang terkait dengan kebebasan bernavigasi kapal perang asing, potensi konflik di Maluku dan Irian Jaya alias Papua serta kepentingan asing di kawasan Indonesia Timur secara umum.
Dari situ perlu dihitung seberapa besar risk yang akan timbul dikaitkan dengan faktor-faktor pemicu yang telah disebutkan sebelumnya. Apakah most likely, likely atau less likely. Ketiga pengkategorian tersebut meminjam dari kategori yang digunakan secara luas dalam perencanaan strategis di Amerika Serikat dan negara-negara NATO.
Apabila ALKI III terganggu, dalam arti jalur pelayaran utara-selatan dari dan ke Australia terganggu atau bahkan terancam, dapat dipastikan Australia akan turun tangan langsung. Wilayah Timor Timur akan menjadi pangkalan aju dalam mengamankan SLOC Australia yang berada di ALKI III.
Munculnya konflik di Maluku dan Papua juga akan mengundang intervensi asing, dalam hal ini Australia (dan FPDA) dan Amerika Serikat. Kepentingan Amerika Serikat di Papua tidak lain dan tidak bukan adalah tambang emas di Tembaga Pura. Sekitar 9 tahun lalu, seorang petinggi militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik pernah mengancam Menteri Luar Negeri Indonesia agar Indonesia “tidak macam-macam” dengan investasi Amerika Serikat di Timika dan sekitarnya. U.S. Pacom tidak akan ragu untuk menyebarkan kekuatan militer ke wilayah itu apabila kepentingan Washington terancam.
Berangkat dari situ, dapat diprediksi seberapa besar risk yang akan timbul dan dihadapi oleh Indonesia bila kawasan perairan Indonesia Timur stabilitasnya terancam. Pertanyaannya, apakah perencanaan kontinjensi kita sudah menghitung dengan benar semua variabel terkait risk di perairan Indonesia Timur? Mengingat bahwa dalam menangani isu keamanan nasional harus mengandalkan pada pendekatan komprehensif memakai semua instrumen kekuatan nasional, adakah perencanaan kontinjensi Indonesia yang multi aspek. Artinya bukan cuma bertumpu pada instrumen militer, tetapi juga instrumen lainnya.
Katakanlah ada skenario kekacauan di salah satu wilayah Indonesia Timur dalam pelaksanaan pemilu. Kekacauan itu segera direspon oleh pihak asing dengan menyebarkan kekuatan militernya, dengan alasan responsibility to protect. Lalu apa rencana kontinjensi kita menghadapi skenario demikian?
Dari skenario itu jelas bahwa TNI harus bersiap mengamankan pemilu. Mengamankan pemilu sangat keliru kalau diartikan menyebarkan kekuatan di sekitar TPS untuk mem-back up polisi. Menyebarkan kekuatan harus diartikan menempatkan kekuatan tempur pada wilayah-wilayah yang rawan akan munculnya kekacauan yang berpotensi besar mengundang intervensi asing.
Dalam konteks AL misalnya, harus ada arahan dari hirarki yang lebih tinggi dari AL untuk meningkatkan patroli di perairan Indonesia Timur. Dengan gelar kekuatan demikian, pihak asing akan paham dengan sinyal yang diberikan oleh Indonesia. Selama ini sangat disayangkan pengamanan pemilu lebih sering diartikan pengamanan TPS dan tempat-tempat lain yang terkait dengan rangkaian pemilu. Namun jarang dipersepsikan menjaga pintu-pintu tertentu yang dinilai rawan.
Konsekuensinya, anggaran pengamanan pemilu oleh TNI dipastikan akan lebih besar daripada yang jatuh pada polisi. Dengan tambahan anggaran tersebut, kehadiran kapal perang di laut dapat ditingkatkan, minimal pada rentang waktu dari Maret-Oktober 2009. Itu kalau kita cerdas melihat dan menangkap peluang yang berujung pada peningkatan kehadiran unsur di laut.
Ini baru contoh sederhana dengan mengambil kasus pemilu. Masih banyak skenario lain yang dapat mengundang intervensi asing di wilayah perairan Indonesia Timur. Skenario tersebut harus kita telaah dengan benar, sehingga strategi untuk meng-counter-nya juga benar.
Substansinya adalah mari berhitung risk dengan benar, tidak mengurangi dan juga tidak melebih-lebihkan. Dengan risk yang dapat kita rumuskan parameternya, hal itu akan menjadi alasan penguat yang rasional mengapa TNI membutuhkan tambahan anggaran operasional.

25 Februari 2009

Peningkatan Kemampuan Kapal Selam Australia

All hands,
Pada Januari 2009 para pakar kapal selam Australia bersama dengan Royal Australian Navy berkumpul dalam sebuah kegiatan yang diprakarsai oleh The Submarine Institute of Australia. Kegiatan tersebut berlangsung di tengah menurunnya kemampuan operasional kapal selam Collins karena beragam sebab dan juga beberapa kasus kecelakaan saat menyelam. Dalam lokakarya tersebut, para praktisi dan pakar membahas tentang peningkatan kemampuan peperangan bawah air negeri itu, khususnya kapal selam.
Salah satu yang dibahas adalah menyangkut Future Submarine yang direncanakan akan menjalani sea trial pada 2022. Untuk pengembangan Future Submarine, selain didasarkan pada pengalaman mengembangkan kelas Collins, Australia juga masih akan mengandalkan bantuan teknologi kapal selam dari Amerika Serikat dan Eropa.
Soal sampai tingkat apa teknologi yang akan diberikan oleh Amerika Serikat dan Eropa, masih menjadi tanda tanya. Sebab belajar dari kasus F-35 yang rencananya akan memperkuat Royal Australian Air Force, ternyata teknologi yang diberikan oleh Amerika Serikat adalah “versi ekspor”. Artinya sistem senjata dan kemampuan F-35 RAAF tidak akan sama dengan F-35 yang dioperasikan oleh U.S. Air Force.
Australia sudah merancang timescales untuk Future Submarine, yang dimulai pada 2008 dan akan “diakhiri” dengan penyerahan kapal selam pertama pada 2022. Sebab pada 2025 kapal selam Collins akan berusia 30 tahun dalam berdinas di susunan tempur RAN.
Sikap Australia yang berkeras untuk merancangkan kapal selam baru tidak dapat dilepaskan dari lingkungan keamanan kawasan yang sebagian didominasi oleh kapal selam buatan Rusia. Dan rata-rata negara-negara yang telah dan akan mengoperasikan kapal selam produksi Rusia mempunyai sikap politik yang kurang disukai oleh Australia.
Pada sisi lain, meskipun Australia mampu membeli kapal selam dari Eropa, namun keinginan untuk mempunyai kapal selam yang tidak dioperasikan oleh negara-negara lain lebih kuat. Hal serupa juga terjadi pada kelas Collins, yang tebusannya ternyata cukup mahal. Sebab rancang bangun kapal selam yang aslinya dikembangkan oleh Swedia tersebut dibongkar habis oleh Australia. Misalnya peningkatan dimensi kapal selam yang berakibat pada banyak hal, antara lain tingginya tingkat kebisingan kapal selam itu dibandingkan aslinya.
Meskipun sebuah media cetak terkemuka di Australia memprediksi bahwa pengembangan kapal selam baru oleh Australia akan menimbulkan major diplomatik consequences dengan Jakarta (dan Beijing), menurut hemat saya tidak banyak pihak yang peduli dengan soal itu di Indonesia. Jangan berharap Departemen Pertahanan akan memberikan perhatian layak terhadap isu pengembangan kapal selam Australia. Apalagi Departemen Luar misalnya. Paling yang “grundel” kita yang di AL, itu pun di bawah tangan. Sulit untuk bagi AL secara institusi untuk blak-blakan, soalnya nanti pasti ada yang sakit gigi di hirarki yang lebih atas dari AL.
Contohnya saja pengadaan kapal selam Kilo. Pengadaan kapal selam itu yang terkesan sangat sulit tersebut tidak lepas dari rantai birokrasi di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI. Belum lagi rantai birokrasi di Departemen Keuangan dan Bappenas. Dan tidak semua pihak di birokrasi tersebut setuju dan atau suka AL kita mengoperasikan Kilo. Apakah tidak setuju dan atau tidak suka murni karena pertimbangan teknis ataukah karena pesan sponsor dari seberang lautan, entahlah!!! Wallahu alam bissawab…

24 Februari 2009

Perjanjian (Tidak Suci) Lombok

All hands,
Siapapun yang menjadi Perdana Menteri Australia dan dari partai mana pun, tidak mengubah secara signifikan kebijakan pertahanan Australia. Kebijakan pertahanan Australia yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan keamanan nasionalnya mempunyai persepsi ancaman yang berasal dari utara. Meskipun selalu menyangkal bahwa yang dimaksud utara tidak identik dengan Indonesia, tetapi penyangkalan itu tetap sulit untuk dibantah. Sejak 2006, negeri yang didirikan oleh kaum kriminal tersebut terus mencermati rencana pengadaan kapal selam kelas Kilo oleh Indonesia, yang diyakini akan menggerus keunggulan mereka dalam peperangan bawah air.
Sehingga lahirnya Project SEA 1000 yang diharapkan akan terwujud pada sekitar 2025 bukanlah sesuatu yang mengherankan. Sebab dalam strategi pertahanan Australia, komponen maritim harus melakukan sea denial pada Sea-Air Gap di bagian utara benua. Selain sea denial, juga to protect Australia’s sea lanes of communication and support land forces as they deploy.
Soal sea denial dan sea control di perairan sebelah utara Australia merupakan bahasa yang wajib dalam kamus pertahanan Australia, siapapun yang menjadi Perdana Menteri di sana. Jangankan PM John Howard yang galak terhadap Indonesia, PM Kevin Rudd yang “santun” terhadap Indonesia juga berbicara dalam bahasa yang sama. Artinya apa?
Hanya satu, yaitu jangan pernah menganggap Australia adalah kawan Indonesia. Australia akan menikam Indonesia lagi cepat atau lambat. Kalau dulu menikam di Timor Timur, nanti dia akan menikam di Irian Jaya alias Papua.
Jangan terbuai dengan Perjanjian Lombok yang sepertinya diyakini oleh sebagian pihak di negeri ini yang pro perjanjian itu bagaikan kitab suci. Pihak-pihak yang pro perjanjian itu terkesan menganggap janji Australia dalam perjanjian tersebut soal keutuhan Republik Indonesia bagaikan janji Allah SWT kepada manusia akan datangnya hari kiamat. Maksudnya, Australia tidak akan pernah ingkar janji.
Jangan pernah lupa dengan AMS 1995 yang diteken PM Paul Keating dan diinjak-injak oleh PM John Howard pada 1999. Kemudian pada 2006 dengan tanpa dosa Howard yang keturunan narapidana tersebut membuat lagi perjanjian baru yaitu Perjanjian Lombok. Tunggu saja, cepat atau lambat Perjanjian Lombok akan diinjak-injak oleh Australia.
Berangkat dari situ, hendaknya pihak-pihak di Indonesia tidak usah terlalu bersemangat mewujudkan Perjanjian Lombok. Toh akan lebih banyak merugikan negeri ini di masa depan. Soal Perjanjian Lombok akan diinjak-injak hanyalah masalah waktu saja.
Sangat disayangkan ada pihak-pihak di negeri ini yang sangat antusias merealisasikan perjanjian tidak suci tersebut. Mungkin salah satu motivasinya karena berhutang budi kepada negeri keturunan para penjahat tersebut, sebab sudah dibantu materi untuk capacity building pada institusinya. Apalah artinya materi itu bila dibandingkan dengan martabat, harga diri, keutuhan dan kelangsungan hidup negeri ini di masa depan.

23 Februari 2009

ALKI II Di Masa Depan

All hands,
Dengan semakin meningkatnya tonase kapal niaga, khususnya kapal tanker yang kini sudah mencapai kategori ULCC, Selat Malaka akan semakin dihindari oleh kapal-kapal bertonase di atas 100.000 ton itu. Selain itu, pendangkalan Selat Malaka juga menjadi alasan lain mengapa perairan itu akan ditinggalkan oleh kapal bertonase besar. Lalu kemana kapal-kapal besar itu berpindah?
Kapal-kapal itu mengalihkan jalur pelayarannya ke Selat Lombok-Selat Makassar alias ALKI II. Dengan demikian dalam tahun-tahun mendatang nilai strategis ALKI II akan semakin meningkat. Tidak heran bila sejak 2006 U.S. Navy telah memberikan perhatian khusus terhadap alur itu. Contohnya banyak, di antaranya latihan bersama dengan AL kita di perairan sekitar Tarakan dan proyek IMSS Section 1207.
Beralihnya sebagian pelayaran niaga ke ALKI II pada dasarnya menguntungkan Indonesia dan merugikan Singapura. Tapi bukan tidak mungkin Singapura akan dengan segala cara melakukan “sabotase” agar Indonesia tidak diuntungkan. Misalnya melalui Departemen Perhubungan agar Indonesia tidak mengembangkan hub port di sekitar ALKI II.
Tantangan bagi Indonesia untuk meningkatkan peran strategisnya di ALKI II dalam konteks stabilitas kawasan antara lain masih adanya sengketa maritim di utara ALKI II dan adanya ketidaknyamanan negara di selatan ALKI II dengan kehadiran gelar kekuatan militer Indonesia di ALKI II. Seperti diketahui, selain oleh kehadiran patroli rutin kapal perang AL kita, di sekitar ALKI II juga ditempatkan satuan salah satu di antara sedikit pesawat tempur yang paling canggih di Indonesia dan dunia.
Dari segi strategis, nilai ALKI II akan meningkat drastis dan bukan tidak mungkin akan menyamai Selat Malaka apabila Indonesia bisa “memainkannya”. Pertanyaannya adalah apakah peran strategis ALKI II di tahun-tahun mendatang sudah diantisipasi oleh Indonesia sejak dini? Antisipasi yang dimaksud bukan saja terbatas pada aspek keamanan, tetapi juga meliputi aspek ekonomi.
Terkait dengan aspek pertahanan, bagaimana dengan perencanaan strategis pertahanan di ALKI II? Apakah yang ada saat ini sudah cukup ataukah belum? Selain harus mengantisipasi ancaman dan atau tantangan dari aktor negara, perlu pula disiapkan strategi untuk menghadapi ancaman dan atau tantangan dari aktor non negara di alur tersebut.
Di masa lalu, Jepang membangun pangkalan AL di Teluk Dondo untuk mengantisipasi masuknya kapal perang Sekutu dari arah utara. Sementara di bagian selatan yaitu di Selat Lombok juga dilakukan perkuatan untuk menghadapi ancaman dari selatan. Lalu Indonesia sendiri bagaimana?

22 Februari 2009

Mau Diapakan ALKI?

All hands,
Eksistensi ALKI merupakan konsekuensi dari tuntutan Indonesia agar statusnya diakui sebagai negara kepulauan dalam hukum laut internasional. Dengan kata lain, ada proses take and give antara pihak internasional, khususnya negara-negara pengguna perairan Indonesia dengan Indonesia menyangkut status negara kepulauan. Sebagai “balasan” dari diakomodasinya tuntutan Indonesia dalam hukum laut internasional, Indonesia harus merelakan sebagian wilayahnya dijadikan alur laut bagi kapal perang asing yang melintas. Persetujuan Indonesia mengenai penyediaan alur laut juga didorong oleh pendapat bahwa dengan menyediakan lintasan tersebut, akan lebih mudah mengawasi lalu lintas kapal perang yang melintas di perairan Indonesia.
Pendapat demikian memang benar adanya, tetapi dalam praktek Indonesia tidak bisa memaksa semua kapal perang yang melintas perairannya harus melalui ALKI. Sebab pada kenyataannya dalam hukum laut internasional masih ada dua rezim lain, yaitu lintas damai dan lintas transit.
Sampai sekarang Indonesia masih didesak oleh Amerika Serikat dan Australia untuk segera menetapkan ALKI Timur-Barat, karena mereka berpendapat bahwa perairan itu juga merupakan perlintasan kapal perang dari zaman dahulu (setidaknya sejak era Perang Dingin). Indonesia sampai kini masih bergeming soal itu, walaupun memang dalam Sidang IMO 1996 di London secara eksplisit Indonesia menyatakan masih akan ada penetapan ALKI lainnya selain ALKI Utara-Selatan.
ALKI Utara-Selatan secara hukum sudah eksis sejak beberapa tahun silam. Pertanyaannya adalah mau kita apakan ALKI yang sudah eksis tersebut? Selama ini dalam Strategi Pertahanan, ALKI terkesan hanya sebagai bahan latar belakang dan atau pertimbangan belaka, tetapi strategi yang dikembangkan tidak mengarah pada mau diapakan ALKI itu.
Sebagai contoh, apakah dislokasi kekuatan pertahanan juga mengacu pada ALKI? Seberapa banyak gelar kekuatan di sekitar ketiga ALKI? Gelar kekuatan yang dimaksud lebih pada gelar penindakan, bukan gelar permanen berupa kehadiran pangkalan AL dan AU. Kalau sekedar gelar permanen sih banyak, tetapi seberapa mampu pangkalan-pangkalan itu mengamankan ALKI?
Beberapa tahun lalu, usulan AL tentang validasi Armada yang salah satu pertimbangan obyektifnya adalah eksistensi ketiga ALKI belum disetujui oleh Mabes TNI. Alasannya macam-macam, antara lain harus disinkronisasikan dengan rencana pembuatan Kowilhan. Namun sampai sekarang ide Kowilhan itu tidak jelas kelanjutannya, sedangkan di sisi lain Departemen Pertahanan menetapkan kebijakan Tri Matra Terpadu.
Memang ada pendapat bahwa untuk gelar penindakan di ALKI saat ini kondisinya dihadapkan pada keterbatasan alutsista. Pendapat demikian bisa dibenarkan, tetapi apakah lantas tidak ada cara agar ALKI bisa lebih diawasi? Kalau memang untuk fire power kita masih terbatas, ada baiknya bila yang diperkuat adalah sensing.
Terkait dengan hal tersebut, seberapa banyak radar pengamatan maritim dan radar hanud di sekitar ALKI? Dari situ saja bisa terlihat bahwa strategi pertahanan negeri ini tidak menempatkan ALKI pada posisi yang sepantasnya. Bila strateginya saja demikian, tidak aneh bila dalam force planning-nya kurang memperhatikan soal ALKI.
Kenapa ALKI harus diperhatikan dan perlu perhatian khusus? ALKI membuat Indonesia terbagi atas empat wilayah. Kalau saja ALKI II diblokade oleh asing, jalur laut dan udara antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur dipastikan putus. Pernahkah dipikirkan skenario demikian dalam rencana kontinjensi kita?
Skenario demikian menurut saya lebih realistis daripada skenario invasi asing yang menduduki semua wilayah negeri ini. Kalau ditanya soal pemicu skenario pemutusan ALKI oleh pihak asing, sangat banyak. Misalnya pihak asing merasa Indonesia membatasi freedom of navigation mereka atau Indonesia tidak kooperatif dengan mereka dalam isu tertentu yang menyangkut kepentingan nasional mereka yang vital.
Bisa pula penyebabnya adalah gejolak politik di wilayah tertentu di Indonesia Timur yang membuat pihak asing merasa harus terlibat langsung secara militer.
Berbicara soal skenario harus think out of the box. Jangan pernah berpendapat, “Oh…itu tidak mungkin…ini tidak mungkin dan lain sebagainya”.
Kembali ke isu pokok, mau kita apakan ALKI? Kalau dengan tiga ALKI saja kita tidak tahu harus berbuat apa, lalu bagaimana bila ada ALKI keempat?

21 Februari 2009

Insiden Sukhoi dan Izin Lintas Kapal Perang

All hands,
Salah satu hal yang menarik dalam insiden terkuncinya Sukhoi Su-30 di sekitar Selat Makassar 20 Februari 2009 adalah pernyataan dari petinggi AU bahwa mereka telah melakukan konfirmasi ke Lantamal VI mengenai kapal perang asing yang mungkin melintas di ALKI. Menurut petinggi AU setempat, Lantamal VI telah memberikan jawaban bahwa tak ada izin kapal perang melintas saat itu di Selat Makassar.
Soal kapal perang asing yang melintas di perairan yurisdiksi Indonesia telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. Mari kita kaitkan antara PP tersebut dengan kasus Sukhoi Su-30.
PP No.36 Tahun 2002 mengatur soal lintas damai di perairan Indonesia. Dalam PP itu, dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 10 mengatur tentang Pelaksanaan Lintas Damai Di Laut Teritorial dan Perairan Indonesia. Di situ antara lain diatur tentang hak dan kewajiban kapal asing yang melaksanakan lintas damai, baik kapal perang maupun bukan kapal perang.
Dalam UNCLOS 1982, dikenal ada tiga rezim yaitu lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan. Apabila kita kaitkan dengan kasus Sukhoi di sekitar Selat Makassar, menurut pemahaman saya tidak dapat dikaitkan dengan lintas damai. Karena Selat Makassar adalah bagian ALKI yang terikat pada rezim lintas alur laut kepulauan.
Rezim lintas alur laut kepulauan di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan. Pasal 2 sampai dengan Pasal 10 mengatur soal hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan. Dari sekian pasal tersebut, tidak ada aturan yang secara eksplisit menyatakan bahwa kapal dan pesawat udara asing yang melintas wajib memberitahukan dan atau bahkan meminta izin kepada pemerintah Indonesia.
Soal izin kapal perang asing memang isu yang tak pernah selesai di Indonesia. Khusus pada ALKI, pada satu sisi tujuan ALKI disediakan adalah untuk mengakomodasi perlintasan kapal perang asing. Kalau sudah begitu, apa masih perlu menetapkan aturan bahwa setiap kapal perang yang melitanstas di sana harus izin? Inilah yang menjadi perdebatan di Indonesia sendiri dan antara Indonesia dengan beberapa negara pengguna ALKI.
Sepertinya ada aturan lain yang di luar PP No.36 dan No.37 Tahun 2002 yang mengatur soal izin bagi kapal perang asing yang akan melintas di perairan Indonesia. Namun pastinya aturan mana saya tidak tahu. Maklum, tidak membidangi bidang hukum. Mungkin peraturan itu adalah PP No.8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Laut Damai Kendaraan Air Asing dalam Perairan Indonesia yang dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 15 PP No.36 Tahun 2002 terhitung sejak PP No.36 dinyatakan berlaku.
Sementara dalam PP No.37 Tahun 2002, tidak ada pasal yang mengatur soal izin kapal perang melaksanakan lintas ALKI. Soal izin yang diatur dalam PP tersebut hanya soal survei hidrografi (Pasal 5).
Lalu dari mana dasar hukum yang dinyatakan oleh petinggi AU bahwa kapal perang asing harus izin lewat perairan Indonesia? Kalaupun ada, sepertinya tidak mungkin lebih rendah dari PP. Sementara PP sendiri sepanjang pengetahuan saya tidak mengatur soal izin melintas di ALKI. Kalau lebih rendah dari PP dan bertentangan dengan PP, tentu peraturan itu harus batal demi hukum.
So…???

20 Februari 2009

Mencermati Peningkatan Peran JMSDF (Bag-2)

All hands,
Dorongan Amerika Serikat serta atmosfir politik dalam negeri Jepang merupakan pintu masuk bagi JMSDF untuk secara proaktif menyebarkan kekuatannya ke kawasan Asia Pasifik untuk mengamankan kepentingan Jepang. Selain penyebaran kekuatan, secara internal Jepang membangun kekuatan JMSDF yang memiliki kemampuan pengendalian laut, khususnya peperangan anti kapal selam dan pertahanan anti rudal. Pembangunan tersebut mengambil kemampuan Cina sebagai patokan, karena negeri itu sepertinya dianggap potensial mengancam keamanan Jepang di masa depan.
Sejak zona 1.000 mil laut dicanangkan akhir 1970-an, JMSDF diarahkan untuk mempunyai naval expeditionary operations. Sehingga bukan sesuatu yang aneh bila pada 2001 JMSDF mampu menyebarkan kekuatannya ke Samudera India untuk mendukung perang global terhadap terorisme yang dicanangkan oleh Amerika Serikat, karena karakter itu telah dibangun hampir 30 tahun. Karakter operasi ekspedisionari juga terlihat dalam operasi HADR tsunami di Indonesia pada 2004, yang mengikutsertakan kapal LST kelas Osumi yang menyerupai kapal induk kecil.
Kiprah JMSDF di kawasan dapat dilihat pula dari partisipasinya dalam beberapa latihan multinasional, seperti RIMPAC dan MALABAR. Hal itu menunjukkan bahwa interaksi JMSDF dengan Angkatan Laut lain di kawasan makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Di samping kapal atas air, sebenarnya JMSDF sejak lama telah melakukan penyebaran kapal selamnya ke Samudera Pasifik dan Samudera India. Berbeda dengan kapal atas air yang mudah untuk dideteksi kehadirannya, penyebaran kapal selam Jepang kurang bergema di kawasan karena karakteristiknya yang tidak gampang dideteksi. Namun banyak laporan menunjukkan bahwa negeri itu aktif menyebarkan kapal selamnya ke kawasan, bahkan beberapa kali terdeteksi tengah melintas perairan yurisdiksi Indonesia.
Banyak pihak membahas tentang kiprah JMSDF di kawasan dengan fokus pada isu-isu yang terkait aliansi Amerika Serikat-Jepang. Yang belum banyak dikupas adalah hirauan JMSDF terhadap isu keamanan maritim yang merupakan kepentingan vital Jepang. Selama ini JMSDF terkesan berhati-hati dan low profile dengan isu tersebut dan tidak menonjolkan diri seperti halnya JCG. Tetapi dalam perkembangan belakangan ini, JMSDF mulai high profile dengan isu tersebut, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Aspirasi untuk berpartisipasi aktif dalam penanganan keamanan maritim di kawasan ini dapat dilihat dari kunjungan Kepala Staf JMSDF ke beberapa negara Asia Tenggara pada 2006 untuk menemui para sejawatnya. Dalam tur tersebut, Kepala Staf JMSDF bertukar pikiran dengan beberapa Kepala Staf Angkatan Laut menyangkut isu keamanan maritim, yang pada dasarnya ingin menangkap bagaimana respon kawasan Asia Tenggara terhadap (kemungkinan) perluasan peran JMSDF pada isu tersebut. Dari kacamata ke-Angkatan Laut-an, tidak ada yang keliru dari kunjungan pimpinan JMSDF, namun perspektif politik keamanan kawasan kadang kala melihatnya dari sisi yang berbeda.

19 Februari 2009

Mencermati Peningkatan Peran JMSDF (Bag-1)

AAll hands,
Sebelum berkunjung ke Indonesia, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary R. Clinton terlebih dulu bertamu ke Jepang. Salah satu agenda di negeri Matahari Terbit tersebut adalah penandatanganan kesepakatan relokasi pangkalan USMC dari Okinawa ke Guam. Relokasi tersebut secara tidak langsung merupakan kesempatan yang diberikan oleh Amerika Serikat agar Jepang lebih banyak berperan dalam keamanan kawasan Asia Pasifik. Dengan kata lain, Washington ingin agar Tokyo juga menanggung beban keamanan kawasan, sebab sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua hingga kini Jepang selalu berada di bawah payung perlindungan Amerika Serikat sesuai The U.S.-Japan Treaty of Mutual Cooperation and Security alias Perjanjian San Francisco 1951.
Selain dorongan dari Amerika Serikat, Jepang sendiri memang mempunyai keinginan untuk kembali aktif dalam keamanan kawasan yang bentuknya hard power. Sebagai realisasi dari hal tersebut, hampir dalam 10 tahun terakhir JMSDF pro aktif beroperasi jauh dari wilayah Jepang. Ada dua hal yang mendorong mengapa JMSDF kini proaktif.
Pertama adalah bingkai aliansi Amerika Serikat-Jepang, yang di masa lampau JMSDF sebagai bagian dari JSDF mempunyai peran terbatas yaitu mempertahankan wilayah Jepang dari agresi, sebagaimana diatur dalam perjanjian The U.S.-Japan Treaty of Mutual Cooperation and Security. Namun seiring perubahan konteks strategis, kedua negara memperbarui The Guideline for U.S.-Japan Defense Cooperation pada 1997, khususnya pada butir Cooperation In Situations In Areas Surrounding Japan That Will Have An Important Influence On Japan's Peace And Security.
Pada butir tersebut, secara politik Jepang diberikan hak untuk mendukung aktivitas militer Amerika Serikat, baik penggunaan fasilitas seperti pangkalan di Jepang maupun peran JSDF di garis belakang, termasuk di perairan internasional dan laut bebas. Jepang juga berhak menggunakan kekuatan militernya dalam bentuk U.S.-Japan Operational Cooperation, seperti aktivitas intelijen, pengamatan, pengintaian, perlindungan warga negara dan properti Jepang serta menjamin keselamatan navigasi.
Secara politik, pendefinisian kalimat “areas surrounding Japan” dalam panduan kerjasama pertahanan kedua negara tidak ditetapkan secara kaku batas wilayahnya. Dengan demikian, peran proaktif kekuatan militer Jepang ke luar wilayah dapat dilakukan secara fleksibel yang mengacu pada kepentingan nasional Jepang. Sebagai negara industri maju, salah satu kepentingan nasional Jepang yang tidak dapat dikompromikan adalah terjaminnya pasokan energi dari luar negara tanpa gangguan apapun.
Dalam Joint Statement on United States-Japan Security Consultative Committee pada 1 Mei 2006, dinyatakan bahwa JSDF diharapkan memainkan peran yang lebih nyata pada tingkat regional dan global melalui partisipasi dalam program pertahanan rudal, operasi keamanan maritim, operasi bantuan kemanusiaan dan inisiatif lainnya. Sebelumnya pada Desember 2004 negeri itu menerbitkan dokumen berjudul The National Defense Program Guideliness (NDPG), yang berisikan antara lain visi bagi peran keamanan dan kemampuan pertahanan JSDF di masa depan. Dalam dokumen tersebut, disebutkan beragam ancaman terhadap Jepang seperti rudal balistik dan proliferasi nuklir, terorisme internasional dan instabilitas di Semenanjung Korea. Menghadapi dinamika keamanan internasional yang demikian, peran proaktif Jepang dalam keamanan kawasan dan internasional didorong oleh Amerika Serikat.
Kedua, aspirasi politik internal. Dalam perkembangan terkini, ada aspirasi yang berkembang di dalam negeri yang didukung oleh sekitar 40 persen penduduk Jepang, menghendaki peran negeri itu yang lebih luas dalam keamanan kawasan dan internasional, termasuk di dalamnya peran JSDF. Selama ini, aspirasi tersebut “dihalangi” oleh Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 yang berbunyi, ”aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as a means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerence by the state will not be recognized”.
Untuk menghadapi halangan tersebut, sebagian politisi Jepang mencoba menerjemahkan ulang pasal itu. Terkesan bahwa mereka menginterpretasikan bahwa penyebaran kekuatan militer Jepang, khususnya JMSDF, selama masuk dalam kategori military operations other than war atau benign, tidak bertentangan dengan Pasal 9. Mengutip pendapat Geoffrey Till, JMSDF “…focus on the interface between land and sea rather than on conventional conceptions of battle and sea control”. Terkait dengan isu konstitusi, beberapa pemimpin Jepang berpendapat bahwa kepentingan nasional suatu ketika dapat saja berada jauh dari wilayah Jepang dan tabu konstitusional untuk pengiriman pasukan ke luar negeri dapat dilanggar. (Bersambung)

18 Februari 2009

Interoperability Dalam Operasi Maritim

All hands,
Operasi gabungan merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari lagi saat ini, sebab telah menjadi kecenderungan umum, baik dalam bentuk joint operation maupun combined operation. Dalam operasi tersebut, interoperability antar unsur-unsur yang terlibat merupakan suatu hal yang tidak dapat dikompromikan. Seperti disaksikan bersama dalam berbagai operasi yang dilaksanakan oleh negara-negara lain, termasuk di dalamnya unsur-unsur Angkatan Laut, interoperability bukan saja pada operasi militer perang, tetapi juga mencakup operasi militer selain perang.
Ditarik ke alam Indonesia, operasi gabungan merupakan salah satu pilihan yang realistis dihadapkan pada kondisi negeri Nusantara yang didominasi oleh wilayah perairan. Selain itu, keterbatasan anggaran pertahanan yang disediakan oleh pemerintah menuntut adanya efisiensi dalam aspek operasi TNI, yang salah satunya dapat dicapai melalui operasi gabungan. Operasi gabungan selain dapat meningkatkan sensing, fire power dan mobility pihak sendiri, secara ekonomis juga mampu menghemat anggaran dibandingkan apabila operasi dilaksanakan sendiri-sendiri.
Dalam kebijakan pertahanan yang ditetapkan oleh pemerintah, salah satu penekanan diberikan pada keterpaduan operasional antar matra TNI atau lebih dikenal sebagai Tri Matra Terpadu. Secara garis besar, Tri Matra Terpadu dapat diartikan sebagai amanat kepada TNI untuk melaksanakan operasi gabungan menghadapi berbagai tantangan tugas, baik perang maupun non perang. Selain itu, Tri Matra Terpadu juga mencakup pada penyiapan infrastruktur pertahanan bagi ketiga matra TNI, dengan memperhatikan perkembangan lingkungan strategis.
Kebijakan Tri Matra Terpadu yang digagas oleh Departemen Pertahanan sampai saat ini belum diejawantahkan dalam sebuah konsep yang baku. Sehingga seringkali belum ada kesamaan persepsi antar berbagai pihak terkait tentang bagaimana mengimplementasikan kebijakan tersebut ke dalam bentuk pelaksanaan. Namun secara garis besar kebijakan itu patut untuk dihargai, sebab diharapkan dapat menjadi pendorong bagi TNI khususnya untuk melaksanakan Tri Matra Terpadu pada bidang-bidang terkait.
Guna mengamankan perairan yurisdiksi Indonesia, sudah sebaiknya bila dilaksanakan oleh TNI secara gabungan di bawah suatu organisasi gabungan TNI. Di sini, yang dimaksud dengan operasi pengamanan yang dilakukan tidak mencakup kegiatan yang dilakukan oleh instansi lain seperti Bakorkamla. Seperti diketahui, AL mempunyai operasi sendiri untuk mengamankan perairan Indonesia, begitu juga dengan AU.
Tentu akan lebih baik bila dua operasi berbeda pada domain yang sama disatukan pelaksanaannya. Sehingga tidak ada lagi sasaran yang dicurigai oleh pesawat udara AU yang tidak dapat ditindak disebabkan tak ada kapal perang AL yang tengah patroli di sektor yang dimaksud. Dengan demikian operasi pengamanan laut menjadi lebih efektif, seperti halnya di Australia yang menempatkan pesawat intai maritim P-3 Orion milik AU di bawah kodal organisasi gabungan.
Untuk bisa mewujudkan hal tersebut, salah satu yang harus diubah adalah paradigma. Kesadaran bahwa operasi gabungan merupakan suatu keharusan di masa kini dan masa depan hendaknya ditindaklanjuti dengan perubahan paradigma dalam organisasi militer, termasuk TNI secara keseluruhan. Perubahan paradigma itu tidak cukup dalam bentuk perubahan perangkat lunak seperti Bujuk Opsgab, tetapi juga harus menyentuh paradigma personel TNI, khususnya para perwira. Tanpa itu sulit untuk melaksanakan interoperability, walaupun hal demikian sudah ditetapkan oleh Departemen Pertahanan.

17 Februari 2009

Perencanaan Kekuatan Dan Ruang Geografis

All hands,
Force planning masa kini menggunakan capability-based approach dan hal itu telah menjadi pengetahuan umum di kalangan perencana pertahanan dan militer. Dalam force planning, salah satu pertanyaan yang harus dijawab yaitu how much is enough? Terkait dengan hal tersebut, terdapat hubungan langsung antara how much is enough dengan capability-based approach.
Capability-based approach bukan sekedar membangun kekuatan dengan kemampuan-kemampuan yang telah ditentukan, namun harus dikaitkan dengan alam nyata. Karena strategi tidak bekerja di ruang vakum. Alam nyata yang dimaksud adalah ruang geografis di mana suatu mandala atau kawasan pelibatan berada serta rencana perang.
Capability-based approach harus mempertimbangkan dengan matang soal ruang geografis tersebut, sebab ruang geografis yang berbeda memerlukan capability yang tidak sama pula. Begitu pula dengan rencana perang dan atau rencana kontinjensi. Hanya dengan pendekatan demikian maka kekuatan yang dibangun akan mampu menghadapi ancaman dan atau tantangan di dunia nyata. Dengan demikian, pertanyaan how much is enough? lebih mudah untuk dijawab. Sekaligus menerapkan terminologi tailored forces for specific mission.
Pemahaman seperti ini sudah saatnya dipahami pula oleh para perencana pertahanan di Indonesia. Ruang geografis Indonesia sangat luas dan setiap ruang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Dari sekian banyak ruang tersebut, terdapat beberapa ruang yang potensial untuk terjadinya krisis atau perang (terbatas) dengan negara-negara tertentu.
Terkait dengan hal tersebut, sudah sepantasnya bila ada pendekatan berbeda terhadap setiap ruang yang tidak sama dalam perencanaan pertahanan. Pendekatan itu menyangkut rencana kontinjensi yang akan berujung pada capability seperti apa yang dibutuhkan oleh kekuatan militer gabungan yang akan beroperasi di wilayah tersebut, serta berapa banyak kekuatan yang diperlukan. Artinya rencana kontinjensi, besar kekuatan dan capability yang dibutuhkan di Laut Sulawesi berbeda dengan di Natuna atau wilayah lainnya.

16 Februari 2009

Tyranny of Distance

All hands,
Bagi sejumlah Angkatan Laut yang menerapkan forward presence, masalah jarak antara negara induk dengan kawasan di mana digelar forward presence memperoleh perhatian tersendiri. Tyranny of distance akan mengemuka ketika muncul krisis, yang mana krisis tersebut harus direspon dengan cepat. Antara lain dalam bentuk penyebaran kekuatan militer guna memperkuat kekuatan laut yang tengah melaksanakan forward presence.
Sebagai contoh, apabila timbul krisis di Teluk Persia, kekuatan U.S. Navy yang bertanggungjawab atas wilayah tersebut (Armada Kelima) harus diperkuat dengan kekuatan lainnya yang biasanya didatangkan dari Armada Ketujuh atau armada yang berada di Samudera Atlantik dan Laut Mediterania. Tentu saja untuk menyebarkan kekuatan tersebut butuh waktu beberapa hari, padahal di sisi lain krisis yang terjadi biasanya berkembang dalam hitungan jam.
Indonesia sebenarnya juga menghadapi tyranny of distance, meskipun jarang disorot atau kurang disadari. Sebab meskipun AL kita tidak melaksanakan forward presence, akan tetapi untuk merespon krisis di suatu wilayah rata-rata membutuhkan waktu beberapa hari. Sebab kekuatan utama AL terpusat di Pulau Jawa, sementara wilayah yang sering terkena krisis adalah di luar Jawa.
Krisis yang dimaksud tidak mesti krisis politik saja, tetapi mencakup pula bencana alam. Sebagai contoh, waktu tsunami 26 Desember 2004 di Aceh, berapa hari yang diperlukan oleh kapal perang yang berangkat dari pangkalan di Pulau Jawa untuk sampai di lokasi bencana. Itulah tyranny of distance.
Contoh tersebut baru pada masalah bencana alam. Belum lagi bila krisis yang terjadi adalah krisis militer antar negara, entah itu serangan terbatas dan lain sebagainya. Hal demikian merupakan tantangan yang harus dipecahkan dalam perencanaan pertahanan.
Sebab respon pertama terhadap krisis akan menentukan course of action dari krisis itu. Apakah course of action-nya in favor of kepentingan kita atau sebaliknya merugikan kita. Tidak aneh bila dalam strategi pertahanan di banyak negara, kemampuan Angkatan Laut untuk merespon krisis merupakan sesuatu yang wajib untuk dimiliki.
Bahkan boleh dikatakan bahwa Angkatan Laut dirancang sebagai crisis responder, yang berkonsekuensi pada tingginya kesiapan operasional unsur-unsur Angkatan Laut. Dikaitkan dengan tyranny of distance, biasanya dalam perencanaan strategis telah diidentifikan wilayah mana saja yang probabilitasnya besar untuk pecahnya krisis. Sehingga penyebaran kekuatan laut diprioritaskan pada wilayah-wilayah terdekat, agar dapat segera merespon saat krisis muncul. Dengan demikian tyranny of distance dapat diminimalisasi.

15 Februari 2009

How Much Is Enough?

All hands,
Dalam force planning, pertanyaan how much is enough? mempunyai keterkaitan dengan size of the force yang ingin dibangun. Size of the force merupakan turunan terhadap requirement dari strategi yang ditetapkan.
Pertanyaan how much is enough? merupakan pertanyaan klasik yang biasanya sulit untuk dijawab. Sebenarnya parameter untuk menjawab pertanyaan itu sudah tersedia. Size of the force pasti kaitannya dengan requirement dari strategi. Requirement dari strategi misalnya mampu melakukan deterrence, mempertahankan tanah air, mempertahankan SLOC, proyeksi kekuatan dan lain sebagainya. Size of the force harus mengacu pada requirement tersebut.
Pertanyaan how much is enough? juga berlaku di Indonesia selama ini. Sebagai contoh dalam konteks AL, penentuan kebutuhan jumlah kapal perang yang minimal maupun standar selalu menjadi perdebatan. Belum pernah suatu angka kebutuhan mampu bertahan hingga lima tahun, pasti selalu berubah.
Mengenai size of the force yang terkait dengan pertanyaan klasik yaitu how much is enough?, menurut hemat saya, sebaiknya dikaitkan dengan skenario-skenario yang probabilitasnya besar untuk dihadapi dalam jangka waktu 20-25 tahun ke depan. Berangkat dari skenario-skenario tersebut, dilakukan risk analysis terhadap kepentingan nasional. Selain risk analysis, dilaksanakan pula fiscal analysis.
Risk analysis penting untuk dilakukan dalam merancang strategi dan arsitektur pertahanan, sebab dari sana dapat diprediksi seberapa besar risk yang muncul terhadap kepentingan nasional. Dari risk analysis pula bisa ditetapkan seberapa besar kekuatan yang perlu dibangun untuk menghadapi risk tersebut.
Soal fiscal analysis kaitannya sangat jelas, yaitu kemampuan dukungan fiskal pemerintah terhadap kekuatan pertahanan yang dibutuhkan. Di sinilah titik temu antara aspek pertahanan dengan aspek ekonomi, yang mana seringkali memaksa aspek pertahanan untuk berkompromi sebagai akibat dari keterbatasan sumber daya.
Masalahnya di Indonesia, kita tak pernah berhitung dengan benar soal risk analysis dan fiscal analysis. Tidak aneh bila pertanyaan how much is enough? lebih sulit dijawab dibandingkan dengan di negara-negara lain yang mempraktekkan dengan betul strategy and force planning.

14 Februari 2009

Logistik Dan Durasi Perang

All hands,
Logistik tidak menentukan kemenangan, tetapi kemenangan tidak dapat dicapai tanpa dukungan logistik merupakan adagium yang sudah tidak asing lagi di militer, termasuk Angkatan Laut. Dukungan logistik akan menentukan jalannya perang atau major operations. Salah satu faktor yang bisa mengubah course of action dari perang atau major operations adalah logistik. Sehingga sudah merupakan hal yang wajar dari zaman dahulu salah satu sasaran yang harus dihancurkan sejak mulai pecahnya perang adalah fasilitas logistik lawan.
Salah satu jenis dari logistik adalah munisi sistem senjata. Dalam konteks Angkatan Laut, bentuknya bisa berupa rudal, torpedo, bom laut, ranjau laut maupun MKB untuk meriam kapal perang dan MKK. Menurut saya, ketersediaan logistik jenis tersebut merupakan critical vulnerabilities bagi AL kita dalam melaksanakan major naval operations, apalagi perang.
Alasannya sudah jelas, yaitu munisi-munisi tersebut mayoritas dipasok oleh pabrikan asing, khususnya negara-negara Barat. Dan secara tidak langsung mereka mengendalikan isi depo arsenal kita, dengan membatasi pengadaan jenis senjata seperti rudal, torpedo, bom laut, ranjau dan MKB. Jumlah munisi khususnya rudal dan torpedo yang ada di arsenal akan menentukan seberapa lama durasi kita untuk berkonflik secara terbuka dengan pihak lain.
Mungkin untuk jenis ranjau laut kita tak pusing, karena jumlahnya di arsenal konon ribuan buah sebagai hasil dari pengadaan era Trikora. Tapi ranjau laut sifatnya senjata defensif, sementara senjata ofensif kita mayoritas dipasok oleh negara-negara Barat. Sehingga bukan sesuatu yang berlebihan bila soal munisi merupakan critical vulnerabilitas bagi AL kita.
Lalu apakah ada solusi terhadap masalah itu? Solusi jangka pendeknya adalah mengurangi ketergantungan sistem senjata terhadap negara-negara Barat. Selama kebijakan luar negeri Indonesia masih membiarkan diri terombang-ambing di samudera yang luas, kita tidak bisa mengharapkan ada kawan saat negeri tercinta berkonflik dengan negara-negara lain.
Sedangkan solusi jangka panjangnya adalah pengembangan alutsista melalui kerjasama dengan negara-negara tertentu. Jalan lainnya adalah mencuri teknologi dari negara-negara yang menguasai teknologi sistem senjata. Membuat sistem senjata Angkatan Laut tidak mudah, sebab tidak dapat disamakan dengan membuat panser. Sebab sistem senjata Angkatan Laut bukan sekedar platform kapal perang saja.

13 Februari 2009

Strategi Dan Anggaran Pertahanan

All hands,
Hubungan antara strategi dengan anggaran pertahanan sangat jelas. Untuk dapat menjabarkan strategi, diperlukan dukungan anggaran pertahanan yang memadai dengan strategi yang dianut. Pada sisi lain, di negara mana pun di dunia anggaran pertahanan selalu terbatas. Strategi dituntut untuk mampu berkompromi dengan keterbatasan sumber daya, termasuk anggaran pertahanan.
Penting untuk dipahami bahwa sumber daya, baik manusia, anggaran pertahanan dan lain sebagainya, belum dapat dikategorikan sebagai means. Means dalam strategi militer adalah alutsista, yang di Angkatan Laut berbentuk kapal selam, kapal atas air, pesawat udara dan lain sebagainya. Sumber daya tersebut baru bisa dikelompokkan sebagai means apabila belum diorganisasikan dan dikerahkan sesuai dengan strategi yang dianut.
Dengan kata lain, anggaran pertahanan harus “diolah” terlebih dahulu agar berubah menjadi means. Di situ strategi berfungsi mengonseptualisasi sumber daya sebagai means untuk mendukung kebijakan.
Jikalau pemahaman demikian hendak diterapkan dengan betul di negeri ini, sepertinya pihak yang harus paham tentang strategy and force planning bukan cuma terbatas pada sumber daya manusia di Departemen Pertahanan dan TNI, tetapi juga di departemen atau lembaga pemerintah yang terkait. Bahkan termasuk pula DPR sebagai lembaga yang mempunyai hak anggaran.
Untuk menuju ke situ jalannya masih panjang. Mungkin ada pihak yang berpendapat justru karena itulah maka akan dibentuk Indonesian NDU. Pendapat demikian mungkin ada benarnya, tetapi tidak akan memecahkan masalah yang ada. Sebab kita bisa lihat siapa saja yang akan belajar di lembaga pendidikan itu.
Pemahaman soal strategy and force planning menurut saya sangat penting, sebab dengan demikian kita akan bisa membangun kekuatan dengan benar. Diharapkan tidak akan lagi terjadi keterputusan antara strategi yang dianut dengan pembangunan kekuatan yang dilaksanakan. Juga anggaran pertahanan tak akan selalu menjadi kambing hitam. Selain itu, kita bisa menentukan mana yang prioritas dan mana yang tidak dalam pembangunan kekuatan.
Bukan sesuatu yang berlebihan untuk mengatakan bahwa banyak individu-individu di Departemen Pertahanan dan TNI yang tugasnya terkait dengan strategy and force planning justru belum paham dengan betul soal strategy and force planning itu sendiri. Contoh sederhana, banyak dari kita yang belum paham dengan capability-based planning. Nyaris setiap perwira memiliki pemahaman sendiri soal itu.
Padahal itu boleh dapat dikatakan sudah menjadi menu wajib bagi setiap perwira yang tugas-tugasnya terkait pembangunan kekuatan. Sebab pembangunan kekuatan saat ini dan ke depan harus menganut konsep tersebut. Capability-based planning memberikan alternatif bagi para perencana pertahanan untuk membangun kekuatan di tengah keterbatasan sumber daya, termasuk anggaran pertahanan.

12 Februari 2009

Strategi Dan Pendekatan Ekonomis

All hands,
Terdapat beberapa definisi mengenai strategi. Namun apapun definisi itu, strategi mempunyai tiga elemen yaitu ends, means dan ways. Dalam konteks pertahanan, strategi merupakan instrumen kebijakan baik di masa damai maupun perang. Apabila dipersempit lagi ke dalam konteks militer, strategi akan mendeskripsikan bagaimana means (baca: militer) akan diterapkan untuk mencapai national ends.
Strategi dan pembangunan kekuatan merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Menyangkut keduanya, tidak dapat dipisahkan pula dari pendekatan ekonomis, sebab baik strategi maupun ekonomi pada dasarnya menekankan pada penggunaan sumber daya yang terbatas untuk mencapai ends yang telah ditentukan.
Para ahli strategi berulang kali menekankan bahwa tanpa menetapkan prioritas di antara semua ends yang bersaing, semua kepentingan dan semua ancaman akan appears sama. Dengan kata lain, tidak ada strategi yang ditetapkan. Dampaknya adalah seperti yang dikatakan oleh Frederick the Great: “He who attempts to defend too much defends nothing”.
Dalam konteks Indonesia, saat ini sepertinya terjadi keterputusan antara strategi dan pembangunan kekuatan. Strategi pertahanan yang ada tidak fokus hendak kemana, sementara strategi militernya belum ada. Sulit bagi saya untuk optimis bahwa strategi militer nantinya kalau sudah ada akan fokus pada isu tertentu. Alasannya sederhana, paradigma pengambilan keputusan di militer mayoritas masih bernostalgia dengan tahun 1945, yang pada tahun itu pun sebenarnya para pengambil keputusan sendiri belum lahir.
Pembangunan kekuatan di sisi lain memang sudah mempunyai roadmap, dengan catatan tidak diganggu lagi oleh pergantian pemerintahan dan pergantian generasi di militer. Roadmap itu pun sebenarnya juga tidak fokus hendak dibawa kemana militer negeri ini, sebab roadmap tersebut tidak match dengan strategi yang dianut.
Mengapa strategi pertahanan saya nilai tidak fokus? Setidaknya hingga sepuluh tahun ke depan, ancaman dan atau tantangan militer yang dihadapi oleh Indonesia antara lain adalah di Laut Sulawesi (Blok Ambalat). Tetapi hal itu tidak menjadi fokus dari strategi pertahanan saat ini. Kalau strateginya saja demikian, lalu bagaimana dengan pembangunan kekuatannya?
Memang kalau kita mau menyusun daftar belanja, ancaman dan atau tantangan terhadap republik ini banyak. Tapi dari sekian banyak tersebut, tentu harus dipilah mana yang masuk kategori vital, major dan lain sebagainya. Kalau semua ancaman dan atau tantangan diprioritaskan, anggaran pertahanan Rp.1.000 trilyun pun masih kurang. Dari pemilahan itu, militer difokuskan untuk menghadapi kategori vital dan major saja.
Selama ini dalam dokumen militer senantiasa ditekankan bahwa militer harus mampu menghadapi dua trouble spot secara simultan? Tetapi tak pernah diidentifikasi di mana dua trouble spot tersebut. Apakah di Laut Natuna, Laut Sulawesi atau di Samudera Pasifik? Semuanya tidak pernah jelas.
Ketidakjelasan ini setelah saya telusuri ternyata warisan dari tahun 1980-an. Dokumen di masa itu juga sudah bicara dua trouble spot, tetapi entah di mana. Rupanya sampai sekarang masih diwariskan juga kepada kita ketidakjelasan itu. Dan kita sebagai penerima warisan lebih sering menerima begitu saja tanpa mencoba mengkritisi konsep itu.
Dengan kondisi demikian, lalu bagaimana kita bisa tailored forces for specific mission? Mengapa tailored forces for specific mission penting? Sebab kekuatan yang akan dikerahkan untuk menangani krisis di Irian berbeda dengan di Laut Sulawesi.
Dan untuk bisa melaksanakan tailored forces for specific mission, pembangunan kekuatan yang menekankan pada pendekatan ekonomis harus dijalankan. Hanya dengan cara demikian maka strategi dapat dilaksanakan, dengan catatan strateginya eksis dan jelas fokusnya.

11 Februari 2009

Strategi Dan Pembangunan Kekuatan

All hands,
Strategi yang dianut oleh Angkatan Laut akan menentukan pembangunan kekuatan yang dilakukan. Strategi akan mendikte sistem senjata apa saja yang dibutuhkan. Pembangunan kekuatan merupakan penjabaran dari strategi, yang mana salah satu means-nya adalah senjata dan sistem pendukungnya. Agar strategi dapat terwujud, dibutuhkan konsisten dalam pembangunan kekuatan.
Sampai saat ini kita masih menganut SPLN. Lepas dari banyak pendapat soal SPLN, strategi itu masih berlaku hingga kini. Berangkat dari situ, perlu direnungkan kembali apakah pembangunan kekuatan selama ini mengacu pada SPLN. Sebagai contoh, dalam SPLN mengenal forward strategy melalui forward defense. Lalu apakah pembangunan kekuatan kita selama ini salah satunya mengarah pada forward defense?
Untuk dapat mewujudkan forward defense, diperlukan alutsista kapal perang kelas fregat ke atas, (minimal) kapal angkut helikopter, kapal selam ocean going serta pesawat patroli maritim yang endurance-nya paling tidak delapan jam. Sebab kapal perang itu akan beroperasi di wilayah perairan dengan sea state di atas 3.
Mengacu pada Postur Pertahanan 2010-2029, sepertinya arah pembangunan kekuatan laut masih jauh dari upaya mewujudkan SPLN. Apa penyebabnya? Kalau ada pihak yang beranggapan bahwa hal itu terkait dengan ketersediaan anggaran, mungkin ada benarnya. Tetapi ada hal yang melampaui itu, yah tidak match-nya antara strategi Angkatan Laut dengan strategi pertahanan yang dipegang oleh Departemen Pertahanan.
Dalam Strategi Pertahanan yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, tidak sedikit pun disinggung tentang SPLN. Hanya disebutkan bahwa “Tindakan militer untuk menghadang serangan atau agresi negara lain dalam rangka preemptive dilaksanakan dengan mengerahkan kekuatan TNI sejauh mungkin sebelum musuh memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia”. Menurut saya itu bukan SPLN, itu hanya soal forward defense. Forward defense tidak identik dengan SPLN, tetapi dalam SPLN terdapat forward defense.
Meskipun dalam Strategi Pertahanan terdapat keinginan untuk bertempur di luar ZEE (entah siapa musuhnya), namun dalam Postur Pertahanan 2010-2029 tidak tampak jelas pembangunan kekuatan diarahkan ke situ bagi AL. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ada keterputusan antara strategi dengan pembangunan kekuatan. Itu kesimpulan saya yang selama ini menekuni bidang strategi dan pembangunan kekuatan, entah kalau ada pihak lain yang berpendapat lain.
So what? Sebaiknya para perencana pertahanan, baik di TNI maupun Departemen Pertahanan, memahami kembali soal strategi dan pembangunan kekuatan. Sehingga missing link antara keduanya yang selama ini sering terjadi tidak terulang lagi di masa depan.

10 Februari 2009

Menakar Daya Rusak Rudal Permukaan Ke Permukaan

All hands,
Proliferasi rudal permukaan ke permukaan saat ini nyaris tidak bisa dibendung, meskipun negara-negara Barat berupaya membatasinya. Bagi negara-negara berkembang, mereka memiliki sejumlah alternatif untuk mempersenjatai kapal perang Angkatan Laut dengan rudal anti kapal permukaan selain dari sumber di Barat. Rusia dan Cina merupakan dua sumber alternatif, di samping ada negara yang mengembangkan sendiri atau bekerja dengan dua negara yang disebut sebelumnya, misalnya Iran.
Apabila kita mempelajari sejumlah kapal perang Angkatan Laut beberapa negara yang pernah dihajar rudal permukaan ke permukaan, baik dalam latihan maupun operasi sesungguhnya, sungguh sulit menemukan kapal itu langsung tenggelam beberapa saat setelah terkena rudal. Kapal atas air yang tenggelam beberapa saat setelah dihantam senjata lawan justru bukan karena hantaman rudal, tetapi torpedo. Biasanya torpedo di-set untuk meledak tepat di bawah propeler kapal atas air, sehingga menimbulkan daya ledak yang merusak struktur kapal secara keseluruhan yang dimulai dari bangunan kapal di bawah garis air.
Sedangkan rudal permukaan ke permukaan lebih sering menghantam bangunan kapal di atas garis air, sehingga kapal tidak langsung tenggelam. Hal itu juga tidak lepas dari kemajuan dalam desain kapal atas air, yang mana para perancang kapal telah melokalisasi bagian-bagian kapal yang kemungkinan besar terkena hantaman rudal. Sehingga dalam banyak kasus, kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan rudal dapat dilokalisasi dan kapal masih mampu untuk mengambang.
Semakin besar ukuran suatu kapal perang, semakin kecil pula kapal itu dapat ditenggelamkan atau dihancurkan oleh rudal. Di samping itu, kapal perang tersebut dapat melakukan duplikasi pada sistem peralatannya yang vital dan mendistribusikannya ke bagian lain apabila salah satu bangunan kapal terkena sengatan rudal. Contoh soal kasus ini cukup banyak dalam 30 tahun belakangan.
Berangkat dari situ, harus diperhitungkan dengan matang rudal permukaan ke permukaan yang akan digunakan dengan sasarannya. Rudal seperti C-802 atau Exocet MM-40 mungkin masih ampuh untuk kapal sampai kelas fregat. Tetapi apakah rudal itu ampuh pula untuk kelas di atas fregat, seperti destroyer atau cruiser?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan sejumlah kajian dan eksperimen secara mendalam. Dan mungkin perlu dibandingkan probabilitas kinerja daya rusak rudal itu terhadap sasaran kapal atas air sekelas destroyer dengan probabilitas kinerja daya rusak HWT terhadap sasaran yang sama. Selain dengan HWT, dapat pula dibandingkan dengan kinerja daya rusak Yakhont yang dirancang untuk menghadapi kapal perang berukuran lebih besar daripada fregat.

09 Februari 2009

Memahami Forward Strategy

All hands,
Bagi setiap individu yang mendalami strategi maritim, tentu saja sudah tidak asing lagi dengan forward strategy. Forward strategy adalah bagian dari power projection. Secara singkat, forward strategy adalah penyebaran kekuatan laut jauh dari negara induk sebagai bagian dari strategi pertahanan. Dengan forward strategy, maka sebisa mungkin perang dijauhkan dari negara induk alias memukul kekuatan laut musuh jauh sebelum mencapai negara kita.
Forward strategy dipraktekkan oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia Kedua untuk menghadapi Uni Soviet. Karena pintu keluar masuk Uni Soviet lewat laut mayoritas dikendalikan oleh negara-negara Sekutu seperti GIUK, Selat Bosporus dan Laut Jepang, maka Amerika Serikat melakukan forward deploy di wilayah-wilayah sekitar perairan itu. Itulah alasan mengapa hingga kini masih banyak pangkalan U.S Navy di wilayah tersebut, meskipun Perang Dingin sudah berakhir.
Pada masa Laksamana Elmo Zumwalt menjadi CNO, forward strategy mendapat tinjauan kritis dari sang Laksamana ulang karena pengalaman kegagalan di Perang Vietnam dan terbatasnya anggaran pertahanan. Laksamana Zumwalt berpendapat bahwa lebih baik memfokuskan diri pada sea control daripada forward strategy. Pendapat Laksamana Zumwalt kemudian diikuti dengan perintah Presiden Jimmy Carter pada 1976 untuk mengkaji ulang power projection.
Presiden Carter berpendapat bahwa armada serang dapat menggunakan teknologi untuk melaksanakan pengendalian laut dengan menghancurkan armada Uni Soviet di pangkalannya atau melalui decisive battle. Teknologi yang dimaksud Presiden Carter selain rudal nuklir antar benua, juga berupa Aegis antiaircraft system yang kini sudah melengkapi semua kapal kombatan U.S. Navy.
Di Indonesia, sepertinya terdapat kesalahan dalam memahami forward strategy. Dalam SPLN, terdapat fase penyebaran kekuatan di ZEE. Oleh sebagian pihak, hal itu dipahami sebagai forward deploy.
Menurut pemahaman saya, penyebaran kekuatan di ZEE belum bisa dikategorikan forward strategy. Sebab penyebaran itu sifatnya yang tidak terus menerus, melainkan tergantung pada kemampuan kapal perang dan juga kondisi alam. Selain itu, forward strategy harus didukung oleh pangkalan yang memadai di luar negeri dan tidak dapat mengandalkan pada pangkalan di dalam negeri.
Penyebaran kekuatan ke ZEE juga tidak jelas siapa lawan yang akan dihadapi. Calon lawan belum didefinisikan dengan jelas. Padahal untuk forward deploy, sudah pasti harus ditentukan siapa calon lawan yang akan dihadapi.
Untuk membangun kemampuan forward strategy, jalannya masih panjang bagi AL. Pembangunan kekuatan laut ke depan harus cermin arah ke sana bila memang ada keinginan untuk melaksanakan forward deploy.

08 Februari 2009

Siapa Yang Peduli Dengan Angkatan Laut?

All hands,
Pembangunan kekuatan laut tidak dapat dilepaskan dari aspek ekonomi, sebab terdapat hubungan langsung antara keduanya. Dalam ekonomi nasional terdapat porsi ekonomi pertahanan. Adanya relasi tersebut menggambarkan bahwa pembangunan kekuatan laut senantiasa harus memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi.
Salah satu diktum dalam ekonomi adalah sumber daya yang tersedia terbatas. Oleh karena itu, harus dibuat pilihan di antara sejumlah alternatif yang semuanya “tidak enak”. Angkatan Laut di seluruh dunia dihadapkan pada kondisi demikian, termasuk pula U.S. Navy yang dalam sembilan tahun terakhir dipaksa berkompromi dengan aspek ekonomi dalam pembangunan kekuatannya.
Sebagai contoh adalah program LCS yang maju mundur dan dalam perkembangan terakhir jumlah kapal perang yang dipesan dikurangi dari rencana awal. Begitu pula dengan program DDX yang mengalami tarik ulur dari rencana semula. Semua itu karena dipengaruhi oleh aspek ekonomi Negeri Om Sam.
Di Indonesia pun demikian, bahkan mungkin kondisinya lebih parah daripada di Amerika Serikat. Bila di Amerika Serikat suatu program pembangunan kekuatan laut, katakanlah pengadaan kapal perang baru, hanya dikurangi jumlahnya dari desain awal, di negeri ini suatu pengadaan kapal perang baru bisa dibatalkan sama sekali. Dan bila ada suatu program yang dibatalkan, suara keberatan paling cuma datang dari AL. Bandingkan dengan di Amerika Serikat, yang protesnya keras justru datang dari para Senator dan Representative yang di negara bagian mereka ada industri kapal atau vendor industri tersebut.
Memang kondisi antara Indonesia dengan Amerika Serikat berbeda, sebab Washington sudah swasembada dalam pengadaan kapal perang. Tapi minimal di Indonesia juga sudah ada galangan kapal yang mampu membangun kapal perang secara terbatas. Dikatakan secara terbatas karena senjata dan sewaco-nya masih harus diimpor dari Eropa.
Sebagai contoh adalah program FPB-57, LPD ke-3 dan 4 dan kemungkinan pembangunan korvet atau fregat di PT PAL. Kalau kita berhitung secara ekonomis, wilayah yang diuntungkan dengan program AL tersebut adalah Jawa Timur yang merupakan tempat berdomisilinya PT PAL. Namun adakah kepedulian anggota DPR dan Senator asal Jawa Timur terhadap program AL tersebut?
Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah ada semacam Kaukus anggota DPR dan Senator asal Jawa Timur yang mempertanyakan kelanjutan program pembangunan kapal perang di PT PAL kepada AL. Sebagai contoh soal kelanjutan FPB-57, apakah akan dilanjutkan ataukah membeli produk generasi baru dari perusahaan galangan kapal yang cikal bakalnya adalah galangan Angkatan Laut tersebut.
Kalau daerah yang diuntungkan saja dengan kehadiran industri kapal perang saja tidak peduli dengan AL, lalu bagaimana daerah lain? Misalnya daerah-daerah yang secara ekonomis diuntungkan dengan kehadiran Lantamal, Lanal, Fasharkan dan lain sebagainya. Untuk menghitung keuntungan ekonomis tidak usah muluk-muluk, cukup hitung berapa kepala keluarga AL yang memperkuat suatu pangkalan.
Dengan asumsi tiap kepala keluarga terdiri atas empat orang, berapa kontribusi mereka terhadap bergeraknya ekonomi lokal seperti pasar dan lain-lain. Belum lagi bila ada kapal perang yang merapat di sana untuk bekal ulang. Di masa lalu, kehadiran kapal cruiser di Tanjung Pinang bisa ‘merusak’ ekonomi lokal, sebab hampir semua isi pasar diborong oleh kapal perang.

07 Februari 2009

Reaktualisasi SPLN

All hands,
Konsep SPLN yang hingga kini masih dianut merupakan buah pemikiran strategis AL di era 1970-an hingga 1980-an. Paradigma yang memberi warna pada SPLN tidak dapat dilepaskan dari lingkungan strategis saat itu. Sehingga bukan sesuatu yang aneh bila dalam SPLN dikenal adanya zona pertahanan di ZEE, yang menuntut AL negeri ini untuk mampu bertempur di perairan dengan sea state di atas 3 tersebut.
Situasi lingkungan keamanan di dekade pertama abad ke-21 dan kita akan segera menyongsong dekade kedua abad ini sudah sangat jauh berbeda dari kondisi ketika SPLN dirumuskan. Yang tidak berubah cuma satu, yaitu kepentingan nasional masing-masing bangsa di kawasan ini, termasuk bangsa Indonesia. Dihadapkan pada kondisi demikian, menurut hemat saya sudah sepantasnya bila SPLN direaktualisasi agar sesuai dengan situasi kekinian.
Adapun hal-hal yang mesti direaktualisasi ada beberapa. Soal opsgab merupakan hal pertama. Sudah menjadi persyaratan bahwa major naval operations dan atau kampanye Angkatan Laut masa kini tidak akan pernah mencapai desired strategic objective bila dilakukan sendirian. Operasi Angkatan Laut masa kini dan masa depan harus senantiasa berada dalam bingkai opsgab. SPLN yang saat ini berlaku sepertinya tidak berangkat dari cara berpikir demikian.
Persepsi terhadap ancaman adalah hal berikutnya. Ancaman dan atau tantangan masa kini datangnya tak terbatas dari aktor negara, tetapi sangat mungkin pula dari aktor non negara. Di samping itu, ancaman terhadap republik ini kecil kemungkinannya berupa invasi militer asing untuk menduduki wilayah. Sebaliknya, probabilitas ancaman datang dari isu seperti kebebasan bernavigasi, klaim maritim, keamanan maritim, keamanan energi yang lain sebagainya.
Probabilitas ancaman demikian kecil kemungkinannya muncul ketika SPLN yang saat ini berlaku disusun. Di masa itu persepsi terhadap ancaman nampaknya antara lain masih menekankan pada invasi militer asing, terlebih lagi saat itu secara politik Cina adalah musuh negeri ini. Sehingga bukan suatu hal yang keliru bila para pemikir strategi AL di masa itu menempatkan kemampuan bertempur di ZEE sebagai salah satu prioritas.
Perkembangan teknologi juga tidak boleh dilupakan dalam mereaktualisasi SPLN. Sebab teknologi militer masa kini dan masa depan makin mematikan dengan mengandalkan pada NCW serta makin berperannya wahana tak berawak dalam major naval operations dan atau kampanye Angkatan Laut. Semua itu adalah hasil dari RMA yang ketika SPLN dirumuskan, RMA baru pada tahap awal pengembangan yang dipelopori oleh Angkatan Bersenjata Uni Soviet.
Setidaknya tiga pertimbangan tersebut menjadi alasan mengapa SPLN menurut hemat saya perlu direaktualisasikan. Dalam SPLN salah satu penekanan adalah kemampuan untuk bertempur di ZEE. Keinginan tersebut hingga saat ini belum tercapai, karena pengadaan kapal perang baru sebagian besar opsreq-nya tidak dirancang untuk mampu beroperasi di ZEE.
Berangkat dari kondisi seperti itu, dengan kemampuan yang ada saat ini dan mungkin hingga akhir dekade kedua abad ke-21, sebaiknya kemampuan untuk bertempur di ZEE tidak terlalu diprioritaskan. Sebab baik dalam Renstra 2005-2009 maupun 2010-2014 saja pengadaan alutsista yang mampu beroperasi di ZEE jumlahnya tidak banyak. Keinginan untuk beroperasi di ZEE tetap harus kita idamkan, tetapi perwujudannya harus bertahap. Ancaman dan atau tantangan yang ada saat ini sebagian besar bukan datang dari ZEE, tetapi dari perairan yurisdiksi kita yang menjadi perlintasan kapal asing, baik kapal perang maupun kapal niaga. Begitu pula dengan konflik maritim, seperti di Laut Sulawesi atau pelanggaran-pelanggaran batas wilayah lainnya yang disengaja.
Apabila kapal-kapal itu tidak mampu kita awasi ketika melintas di perairan yurisdiksi, bukan suatu hal yang mustahil mereka akan melakuan pelecahan. Itulah yang terjadi dalam kasus Laut Jawa (Bawean) Juli 2003. Itu pula yang terjadi dengan pelanggaran berulang kali dari negeri tukang klaim terhadap wilayah perairan Indonesia. Hal serupa juga dilakukan oleh patroli negeri kecil yang kaya, licik, rakus dan menjadi tempat penampungan uang hasil korupsi di perairan Kepulauan Riau dan sekitarnya.

06 Februari 2009

Strategi Dan Cost

All hands,
Dalam menyusun strategi pertahanan, salah satu variabel yang harus diperhitungkan dengan cermat adalah cost. Sekali lagi, cost di sini mencakup aspek moneter dan non moneter. Yang termasuk non moneter di antaranya adalah personel, teknologi, organisasi dan aliansi atau kerjasama dengan negara-negara lain. Adapun menyangkut moneter sudah pasti terkait dengan sumber daya yang diperlukan sebagai konsekuensi dari strategi yang dipilih.
Dengan pengantar singkat demikian, mari kita bawa alam berpikir itu kepada kondisi Indonesia kekinian. Pernahkah kita mencoba menghitung antara strategi yang saat ini digunakan dengan cost yang harus ditanggung? Untuk bisa menghitung hal tersebut, kita harus berangkat dari paradigma bahwa cost mengikuti strategi, bukan strategi mengikuti cost.
Kalau kita mencoba menghitung strategi pertahanan saat ini dengan TNI sebagai ujung tombaknya, sulit untuk menemukan cost yang pasti. Abaikan dahulu menghitung cost komponen non moneter, cukup hitung saja cost komponen moneter. Mengapa sulit menemukan cost yang dibutuhkan? Karena ketiga matra TNI mempunyai strategi masing-masing yang tidak akan pernah match untuk interoperability dalam opsgab.
AD masih yakin dengan pertahanan pulau besar, AL masih memegang SPLN, sementara AU juga punya strategi sendiri yang entah namanya apa. Adanya mismatch dalam strategi pertahanan sudah pasti berpotensi menimbulkan pemborosan. Dengan tiga strategi pertahanan, berarti ada satu ends yang sama dengan tiga strategi yang berbeda, sehingga membuat cost pun harus dibagi tiga.
Berangkat dari kondisi demikian, wajar saja bila ada yang berpendapat bahwa materi Defense Resources Management yang dianut di Amerika Serikat apabila diterapkan di negeri ini akan membuat “ambruk” manajemen pertahanan Indonesia. Sebab cost yang untuk komponen moneter saja tidak akan pernah match dengan strategi.
Strategi merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Reduksi terhadap suatu strategi berarti membuka pintu kesempatan kepada pihak lawan untuk lebih banyak mengeksploitasi kelemahan kita. Bertolak dari persepsi demikian, maka tidak ada pilihan lain kecuali anggaran harus mengikuti strategi.
Mari kita jujur pada diri sendiri, apakah SPLN yang selama ini dianut secara resmi mendapat pendanaan yang cukup dari pemerintah untuk mewujudkannya? Jawaban atas pertanyaan itu kita sudah ketahui bersama. Artinya unsur-unsur di pemerintahan yang bertanggungjawab soal pertahanan dan keuangan sebagian besar tidak paham apa itu strategi dan bagaimana hubungannya dengan cost.
Juga merupakan suatu kesalahan sangat fatal bila memperlakukan cost di bidang pertahanan sebagai pemborosan. Sebab di mana pun di dunia, bidang pertahanan bukan penghasil keuntungan seperti BUMN. Investasi di bidang pertahanan hanya bisa dilihat hasilnya ketika muncul perang atau konflik.
Kalau dalam perang atau konflik militer gagal mengamankan kepentingan nasional, baru dari situ bisa diusut apa saja yang salah. Jangan selalu langsung menyalahkan para Laksamana, Marsekal dan Jenderal, sebab mereka pada dasarnya adalah pelaksana dari strategi pertahanan yang dianut. Artinya ada yang menyusun strategi tersebut dan secara politik dan hukum, penyusunan strategi pertahanan bukan domain militer.

05 Februari 2009

Strategic Objective Tidak Dapat Dicapai Bermodalkan Semangat

All hands,
Satu di antara paradigma perang atau konflik masa kini adalah meraih kemenangan dengan biaya minimum (to gain victory at minimum cost). Paradigma ini merupakan antites terhadap attrition warfare yang di Indonesia masih memiliki banyak pengikut. Untuk meraih kemenangan dengan biaya minimum, salah satu cara yang ditempuh adalah memaksimalkan efek dari major operations dan atau kampanye militer. Dari situlah kemudian lahir konsep effect-based operations (EBO).
EBO dapat dipastikan mempunyai keterkaitan dengan revolution in military affairs (RMA). Sebab untuk bisa melaksanakan EBO, diperlukan penggunaan beragam sistem senjata berteknologi maju dan daya rusak yang lebih mematikan yang merupakan buah dari RMA. EBO juga harus ditunjang oleh network-centric warfare, sebab perang atau konflik masa kini sudah berubah dari battlefield menjadi battlespace.
Sasaran yang harus dihancurkan atau dinetralisasi dalam perang atau konflik masa kini sangat banyak, sebab center of gravity (COG) lawan sudah meluas dan tidak terbatas pada organisasi militer atau infrastruktur semata, tetapi juga pada kepemimpinan nasional. Dengan dihancurkannya atau dinetralisasinya COG lawan, diharapkan akan mempengaruhi cara bertindak lawan selanjutnya. Apabila cara bertindak lawan sesuai dengan yang kita harapkan, berarti tujuan dari EBO tercapai.
Dalam kasus Perang Irak, Amerika Serikat sempat merevisi EBO yang dilaksanakan. Sebab kemampuan militer negeri itu mendongkel kekuasaan Presiden Saadam Hussein ternyata tidak diikuti dengan berakhirnya perlawanan militer di negeri Seribu Satu Malam. Bahkan muncul perlawanan baru yang tidak pernah diprediksi oleh analis intelijen di CIA maupun DIA, karena ketika menyerbu Irak para pasukan Amerika Serikat sudah dibekali oleh laporan intelijen CIA bahwa rakyat negeri Abu Nawas akan menyambut mereka di pinggir-pinggir jalan sebagai pembebas dengan mengibarkan bendera Stars and Stripes dan memberikan bunga.
Munculnya gerakan perlawanan di Irak yang tidak sesuai dengan prediksi intelijen memaksa militer Amerika Serikat merevisi konsep EBO agar sesuai dengan desired strategic objective dalam Operasi Stabilisasi. Dari situlah kemudian muncul Surge Operations yang dikomandoi oleh Jenderal David Petraeus. Pada 2008 hasil dari Surge Operations menunjukkan bahwa desired strategic objective tercapai dengan parameter antara lain menurunnya serangan bom dan jumlah korban.
Artinya EBO yang dirancang berhasil mencapai tujuan pula. Irak adalah contoh keberhasilan EBO, sedangkan Afghanistan adalah contoh kegagalan EBO. Kenapa di Afghanistan gagal? Menurut saya karena EBO yang dirancang tidak sesuai dengan kebutuhan di sana. Hal ini terkait dengan masalah sosiologis, antropologi dan lain sebagainya yang berbeda dengan di Irak. Sistem senjata canggih dan modern milik Amerika Serikat belum mampu melahirkan efek yang diharapkan.
Kalau kita kembali ke alam Indonesia, apakah attrition warfare melalui protracted warfare akan berhasil mencapai tujuannya? Perang atau konflik masa kini, suka atau tidak suka, harus menggunakan EBO sebagai salah satu alat bantu untuk mencapai strategic objective. Strategi perang yang didukung oleh sistem senjata yang canggih dan modern saja tanpa EBO tidak akan membantu menuju tercapainya strategic objective.
Pihak yang menggunakan EBO adalah yang bertempur dengan salah satu andalannya yaitu senjata yang lebih mematikan. Sedangkan pihak yang bertempur cuma mengandalkan gerilya dengan senjata terbatas (tanpa aset kekuatan laut dan udara) dapat dipastikan tidak akan pernah bisa menerapkan EBO. EBO hanya bisa di-exercise oleh pihak yang bertempur menggunakan senjata konvensional lengkap, bukan oleh pihak yang hanya menggunakan senjata terbatas dan senjata utamanya adalah semangat. Percayalah, semangat bukan alat utama untuk mencapai desired strategic objective.

04 Februari 2009

Anggaran Versus Prestise Bangsa

All hands,
Seandainya sistem manajemen pertahanan negeri ini menerapkan manajemen pertahanan ala Amerika Serikat yang biasanya dipelajari oleh para perwira AL kita di Naval Postgraduate School, Monterey, dapat dipastikan akan segera terlihat betapa buruknya manajemen pertahanan saat ini. Dengan kata lain, manajemen pertahanan yang dianut saat ini akan langsung “ambruk”, karena tidak akan pernah match dengan perhitungan ekonomis. Materi itu pula yang dipelajari oleh beberapa rekan perwira yang mengikuti Defense Resources Management System Course, diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan bekerjasama dengan Departemen Pertahanan Amerika Serikat.
Bahkan sebenarnya bukan saja manajemen pertahanan saja yang “ambruk”, tetapi juga manajemen pemerintahan di republik ini. Mau dicoba? Silakan saja terapkan materi-materi Defense Management yang didapatkan di NPS ke manajemen keuangan Departemen Keuangan. Saya yakin manajemen keuangan yang selama ini diyakini andal akan langsung “ambruk”.
Salah satu contoh betapa mismatch terjadi dalam manajemen pertahanan negeri ini adalah soal pengadaan alutsista. Pengadaan alutsista sebagian di antaranya dibiayai oleh anggaran non APBN. Secara logika, apabila alutsista baru masuk ke dalam susunan tempur AL, mestinya anggaran pemeliharaan bertambah. Tapi logika demikian tidak berlaku dalam manajemen pertahanan negeri ini.
Yang berlaku, alutsista baru masuk susunan tempur, alokasi anggaran pemeliharaan tidak akan naik drastis mengiringi alutsista itu. Kenaikan alokasi anggaran pertahanan tidak signifikan terhadap masuknya alutsista baru. Itulah yang terjadi dengan pengadaan sejumlah kapal perang baru di AL kita dalam beberapa tahun terakhir.
Tahun ini pemerintah kembali melaksanakan kegemaran barunya, yaitu memotong anggaran pertahanan. Kalau sudah begini, mungkin sebaiknya bangsa ini tidak berharap banyak sama AL.
Mengapa demikian? Sulit untuk mengharapkan AL akan optimal kalau anggarannya dipotong. Jangankan untuk berlayar, untuk memelihara kapal perang saja anggarannya terbatas. Kondisi demikian mungkin akan menempatkan AL kita pada garis naval existence saja, sementara naval presence-nya kurang.
Memang untuk menyiasati masalah ini akhirnya naval presence diprioritaskan pada perairan terpilih yang dinilai rawan. Istilah teknisnya perairan rawan selektif. Masalahnya adalah tidak ada jaminan bahwa perairan yang selama ini dikategorikan tidak rawan akan selalu demikian. Tetapi itulah resiko yang harus ditanggung oleh negara ini, bukan resiko yang harus ditanggung AL.
Kehadiran di perairan rawan selektif seperti Selat Malaka dan Laut Sulawesi terkait dengan prestise nasional dan hal tersebut tidak bisa ditawar-tawar. Di sisi lain, sebenarnya masih banyak perairan lain yang membutuhkan naval presence, misalnya pulau-pulau yang berbatasan dengan negara-negara di sekitar Indonesia. Penempatan satuan Marinir di beberapa pulau tersebut hanyalah satu langkah yang tetap tidak dapat menutupi atau menghilangkan pentingnya naval presence.
Lalu bagaimana untuk keluar dari lingkaran setan seperti ini? Jawabannya ada pada pemerintah yang mempunyai otoritas terhadap TNI dan juga terhadap pengelolaan keuangan negara.

03 Februari 2009

Antara Naval Existence Versus Naval Presence

All hands,
Dalam teori strategi maritim, niscaya akan kita temukan dua istilah yang mirip, yaitu naval existence dan naval presence. Kedua istilah tersebut memang mirip kalau kita tidak memahami makna sebenarnya. Oleh sebab itu, memahami makna keduanya sangat penting agar tidak salah dalam penerapannya.
Naval existence berhubungan dengan keberadaan atau eksistensi Angkatan Laut dalam suatu negara. Soal berapa jumlah kapal perangnya, personel dan lain sebagainya, tidak menjadi masalah. Yang penting bahwa ada bukti untuk menyatakan bahwa suatu negara mempunyai Angkatan Laut.
Sedang naval presence menyangkut tentang kehadiran kapal perang di laut. Mengenai yang satu ini sudah banyak pihak yang paham. Pertanyaannya, bagaimana hubungan antara naval existence dengan naval presence?
Pertanyaan itu merupakan suatu hal yang bagus sekali bila dikaitkan dengan kondisi Indonesia kekinian. Mengenai naval existence di Indonesia tidak perlu diragukan lagi, sebab AL adalah salah satu cabang dalam Angkatan Bersenjata. Kapal perang dan personelnya pun tak usah dipertanyakan juga, karena dapat dilihat dengan jelas.
Namun bila dikaitkan dengan naval presence, itu hal yang berbeda. Jumlah kapal perang yang banyak dan awak kapal yang memadai tidak mempunyai korelasi langsung dengan naval presence. Kondisi nyata saat ini menunjukkan betapa naval presence kita rendah, walaupun secara kuantitas jumlah kapal perang negeri ini cukup banyak.
Mengapa demikian? Kalau pertanyaan demikian diajukan kepada perwira teknik yang mengurusi kesiapan teknis kapal perang, mungkin jawabannya karena ketidaksiapan unsur (kapal perang). Jawabannya mungkin akan berbeda bila yang menjawab pertanyaan itu adalah perwira operasi dan atau perwira perencanaan dan anggaran. Mereka akan memberi jawaban bahwa anggaran operasi terbatas yang pada akhirnya mempengaruhi naval presence.
Dengan mengacu pada jawaban terakhir, siapa yang patut bertanggungjawab? Menurut hemat saya, para perencana keuangan negeri ini. Para perencana keuangan negeri ini masih memandang militer, termasuk AL, dalam prioritas yang tidak prioritas. Itulah mengapa para perencana keuangan dengan gampangnya memotong anggaran pertahanan, suatu kegemaran baru dalam dua tahun terakhir.
Pada sisi lain, para pejabat pemerintah di bidang politik dan keamanan masih belum puas dengan kinerja pengamanan laut negeri ini. Meskipun pernyataan itu bersifat umum, tetapi secara tidak langsung mengarah kepada AL kita. Sebab cuma AL di negeri ini yang memiliki kemampuan memadai mengamankan laut dari beragam ancaman dan tantangan, baik dari eksternal maupun internal, baik dari aktor negara maupun non negara.
Apabila AL masih dipandang belum memuaskan kinerjanya mengamankan laut negeri Nusantara, lalu apa alasan rasional AL? Sudah pasti mengarah kepada keterbatasan anggaran yang dikucurkan kepada AL untuk operasi di laut. Soal alokasi anggaran kewenangan siapa di negeri ini?
Dari situ bisa dijawab bahwa ada ketidaksamaan persepsi atau pandangan antara para pengambil keputusan di bidang politik dan keamanan dengan para perencana keuangan? Dari situ pula terlihat bahwa tidak ada skala prioritas dalam manajemen pemerintahan negeri ini. Tidak bisa dibedakan mana kepentingan nasional yang vital, major, peripheral dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana mengatasinya? Menurut hemat saya, salah satu cara adalah mengubah persepsi pada pejabat tingkat menengah di pemerintahan. Salah satu caranya, kita harus membuka pintu Sesko bagi siswa-siswa sipil yang berasal dari pejabat pemerintahan. Tentunya ada penyamaan atau penyetaraan pangkat antara jabatan di sipil dengan di militer. Prioritas pejabat pemerintah tingkat menengah yang harus masuk Sesko adalah dari Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, Bappenas dan tentu saja Departemen Pertahanan (personel sipil).
Tujuannya biar mereka paham apa itu kepentingan nasional dan tidak berpikir sektoral. Itulah yang sudah lama diterapkan di negara-negara maju. Menurut saya kendalanya tak ada yang berarti, paling soal oyu. Yah kalau soal oyu, mereka tak usah diikutkan sebab bukan domain mereka. Kecuali oyu anggaran, harus diikutkan. Ha…ha…ha…

02 Februari 2009

Pelajari Karakter (Calon) Lawan

All hands,
Dalam operational art, salah satu bagiannya adalah karakter kepemimpinan dari para Komandan atau Panglima yang merancang operasi atau kampanye militer. Hal itu seringkali disebut sebagai operational leadership. Terdapat beberapa karakter yang harus dimiliki oleh setiap Komandan atau Panglima agar sukses dalam melaksanakan operational art.
Salah satu karakter tersebut adalah professional knowledge. Setiap Komandan atau Panglima harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang operational art. Begitu pula hubungan antara strategi dengan kebijakan di satu sisi dan operational art dengan strategi di sisi lain.
Sejarah mencatat bahwa para Jenderal atau Laksamana yang namanya masuk dalam catatan sejarah mempunyai pengetahuan yang detail tentang geografi di mana kekuatannya beroperasi dan sekaligus memiliki pengetahuan tentang karakter negara musuh. Mereka adalah individu-individu yang sangat paham akan arti Diktum Sun Tzu yang terkenal itu.
Sebagai ilustrasi, Jenderal George Patton sudah mempelajari secara mendalam militer Jerman sejak Perang Dunia Pertama berakhir, jauh sebelum Jerman melancarkan Blitzkrieg pada 1939. Patton bukan saja mempelajari organisasi militer Jerman dari era Prusia hingga Jerman modern, tetapi juga mempelajari memoir para perwira Jerman seperti Field Marshall von Moltke Sr, Field Marshall Erich von Falkenhayn, serta mendalami pemikiran para ahli strategi negeri itu seperti Jenderal Hans von Seeck. Lebih dari itu, Patton juga mempelajari memoir para politisi Jerman dan hasil karya para filosof negeri itu.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Adakah para pemimpin negeri ini, termasuk di organisasi militer, mempelajari secara serius karakter calon lawan negeri ini? Berdasarkan konteks strategis saat ini, sebenarnya tidak sulit untuk memperkirakan siapa yang akan menjadi lawan Indonesia suatu saat ke depan.
Siapakah di antara para perwira militer yang mendalami tentang beberapa negeri di sekitar Indonesia? Baik dari aspek politik, ekonomi, militer, sosial budaya dan lain sebagainya. Seberapa banyak yang pernah membaca memoir Mahathir Muhammad, Tun Hussein On, Tengku Abdurrachman, Lee Kuan Yew atau para eks pemimpin negeri di sebelah selatan Indonesia?
Begitu pula dengan memoir para mantan pemimpin militer negeri-negeri itu. Dan tak ketinggalan juga military and strategic thought yang berkembang di sana. Military and strategic thought suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari karakteristik bangsa tersebut, sehingga mempelajari hal itu penting agar kita dapat memahami pemikiran strategis mereka.
Seberapa dalam kita mendalami pembangunan kekuatan militer negeri-negeri di sekitar Nusantara secara detail dari hari ke hari atau minimal dari minggu ke minggu? Seberapa banyak dari kita yang mendalami masalah-masalah yang dialami oleh kapal selam kelas Collins? Dan bagaimana perkembangan terakhir atas kemampuan pengoperasian kapal selam kelas Scorpene? Atau kelas Anzac, kelas Kedah dan kelas Formidable?
Seberapa jauh sumbangsih komunitas intelijen terhadap pengetahuan seperti itu? Dapatkah laporan intelijen diandalkan, khususnya dalam isu terkait pembangunan kekuatan laut. Sumbangsih komunitas intelijen penting, namun hendaknya kita juga menggali informasi dari sumber-sumber lain yang tersedia.
Kita harus mempunyai picture yang komprehensif tentang calon lawan jauh sebelum konflik atau perang pecah. Sebab konflik atau perang di masa kini datang sewaktu-waktu dan dengan cepat pula berakhir dengan hasil yang signifikan, baik secara politik maupun militer. Dengan picture yang kita punyai, kita bisa memprediksi bagaimana cara bertindak lawan dan tindakan apa yang harus kita lakukan sebagai counter.

01 Februari 2009

Mencegah Perang Melalui Penangkalan

All hands,
Untuk mengamankan kepentingan nasional, memenangkan perang atau konflik bukanlah satu-satunya cara yang tersedia. Masih ada cara lain yang tersedia, yaitu melalui penangkalan alias deterring potential adversaries. Untuk bisa melakukan hal tersebut, dalam konteks Indonesia terdapat beberapa hal yang mesti dibenahi.
Penangkalan bukan saja berbentuk unilateral, namun juga bisa berwujud bilateral, multilateral, bahkan regional. Pemahaman seperti itu penting karena selama ini pemahaman terhadap penangkalan di Indonesia masih sepotong-sepotong. Dan yang lebih celaka lagi, sepertinya yang paham dengan penangkalan hanya milliter.
Aktor pelaku penangkalan tidak dapat mengandalkan pada militer saja, melainkan harus bersandar pada semua instrumen kekuatan nasional. Pertanyaannya, apakah instrumen kekuatan nasional selain militer selama ini sudah melakukan penangkalan?
Tentu saja untuk melakukan penangkalan pemerintah harus menetapkan siapa yang more likely mengancam kepentingan nasional sehingga harus ditangkal? Sasaran yang harus ditangkal bisa berupa aktor negara, bisa pula aktor non negara.
Selama pemerintah belum berani menetapkan siapa yang harus ditangkal, bagaimana instrumen kekuatan nasional, termasuk militer, harus melakukan penangkalan? Untuk merumuskan siapa yang more likely, dibutuhkan keberanian untuk menghilangkan "rasa tidak enak" terhadap negara lain, apalagi aktor lain. Selama ini masalah psikologis “rasa tidak enak” itu yang menjadi penghalang penentuan ancaman terhadap Indonesia, suatu hal yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang kepemimpinan nasional yang berlatar belakang nilai-nilai etnis tertentu di Nusantara.
Melaksanakan penangkalan bukan berarti suatu negara tidak siap untuk melakukan perang. Penangkalan dengan perang sama pentingnya dalam strategi keamanan nasional suatu bangsa. Kalau untuk penangkalan saja Indonesia tidak siap, lalu bagaimana untuk memenangkan perang atau konflik?
Cost penangkalan memang lebih murah daripada perang, sehingga upaya itu sudah sepantasnya ditempuh. Tetapi pada sisi lain kita harus bersiap dengan cost untuk perang atau konflik, dengan catatan cost-nya terdefinisi. Bukan dengan cost tak terhingga nilainya melalui attrition warfare.