30 Juni 2008

Pengamanan ALKI

All hands,
Diakui atau tidak, kita masih ada masalah dalam pengamanan ALKI. Masalah ini bukan bersifat internal AL, namun lintas angkatan. Seperti diketahui, pengamanan ALKI selain dilaksanakan oleh AL, juga dilaksanakan oleh AU. Karena ruang udara di atas ALKI, sesuai dengan UNCLOS 1982, bebas untuk diterbangi oleh pesawat militer manapun, tanpa harus ada clearance dari Indonesia. Masalahnya adalah operasi Pam ALKI yang dilakukan oleh kedua angkatan masih berjalan independen alias sendiri-sendiri.
Dalam sebuah pertemuan yang saya hadiri belum lama ini, ada suara dari AU yang sepertinya kecewa karena waktu pembahasan draf Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002 mereka tidak dilibatkan. Secara tidak langsung, kekecewaan itu ditujukan kepada AL, sebab bagaimana pun persepsi umum tentang ALKI pasti terkait dengan AL.
Masalah ALKI memang bukan saja soal kapal perang asing yang melintas di sana (apakah mematuhi ketentuan tentang hak dan kewajiban dia selama melintas di ALKI), tetapi juga ruang udara di atasnya. Tetapi masalah yang sebenarnya sudah lama itu, sepertinya tidak pernah diputuskan bagaimana menanganinya. TNI tetap menganut operasi sendiri-sendiri alias operasi matra tunggal untuk pengamanan ALKI.
Sehingga nggak aneh bila AU yang menemukan sasaran mencurigakan di ALKI hanya bisa lapor ke komando atas, sementara hasil itu belum tentu diteruskan kepada AL. Bagi AL, operasi Pam ALKI merupakan operasi rutin setiap hari, 365 hari setahun. Sedangkan bagi AU, sepanjang pengetahuan saya, mereka tidak gelar operasi setiap hari atau sepanjang tahun di ALKI. Operasi mereka sifatnya periodik, makanya operasinya didukung oleh Mabes TNI.
Yang dimaksud didukung di sini adalah dari aspek logistik. Sementara operasi Pam ALKI yang digelar AL sepengetahuan saya tidak didukung oleh Mabes TNI. Alasan pastinya saya nggak tahu, tapi sepanjang yang saya pahami, bagi Mabes TNI operasi itu adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan di suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu.
Pemahaman demikian tentang operasi merupakan pemahaman matra darat. Nggak heran bila operasi Pam ALKI oleh AL tidak mendapat dukungan logistik dari Mabes TNI, karena Mabes TNI merasa aneh dengan operasi yang digelar 365 hari alias sepanjang tahun. Bagi AL, itu operasi yang wajar-wajar saja karena eksistensi AL diukur dari naval presence.
Kalau nggak ada naval presence, yah sama saja nggak ada AL. Naval presence itu harus dilakukan setiap saat, baik damai, krisis apalagi perang. Inilah yang membedakan dengan AD, di mana AD kekuatannya digelar di suatu wilayah bila terjadi krisis dan perang saja.
Kembali ke soal pam ALKI, mungkin sebaiknya ditinjau kembali operasi itu. Menurut saya, Mabes TNI perlu membentuk suatu komando gabungan yang bertugas melaksanakan Pam ALKI. Organisasi itu bersifat kerangka saya, di mana yang diisi secara tetap cuma eselon pimpinan dan pembantu pimpinan saja. Sedangkan satuan operasionalnya didatangkan dari Koarma dan Koopsau/Kohanudnas.
Dengan begitu, organisasinya kecil sehingga diharapkan ciptakan efisiensi. Jangan sampai organisasi ini menyerupai Koarma maupun Koopsau, karena itu justru menimbulkan inefisiensi. Bisa saja personel utama pada eselon pimpinan dan pembantu pimpinan isinya kurang dari 100 orang.
Tugas pokok dari organisasi ini adalah amankan ALKI. Sedangkan Koarma dan Koopsau/Kohanudnas bersifat mem-back up dengan berperan sebagai force provider. Bentuknya kira-kira sama dengan Koops TNI yang kita kenal selama ini.
Kalau kita berbicara mengenai organisasi, sudah jadi kebiasaan kita untuk nggak sabar tanya siapa yang akan pimpin komando itu. Mengingat karakteristik dari wilayah operasi, maka sebaiknya Panglimanya dari AL, wakilnya dari AU. Kenapa begitu? Karena peran AL dalam Pam ALKI jauh lebih besar daripada AU, sehingga wajar bila AL yang pimpin komando.
Pesan yang ingin disampaikan di sini, sudah saatnya kita berpikir dalam kerangka operasi gabungan. Kita waktunya kita tinggalkan kompartementasi matra ketika berbicara aspek operasi. Di sisi lain, dibutuhkan kedewasaan, ketulusan dari tiap matra yang terlibat dalam operasi gabungan untuk tahu menempatkan diri sesuai dengan karakteristik kawasan operasi.
Gagasan pembentukan komando gabungan Pam ALKI disertai catatan bahwa kita belum atau tidak memiliki komando kawasan alias kowilhan. Kalau ada kowilhan, pam ALKI sebaiknya dilaksanakan di bawah supervisi organisasi itu.

28 Juni 2008

Torpedo dan Strategi Anti Akses

All hands,
Untuk mengembangkan strategi anti akses, salah satu senjata pamungkas adalah torpedo. Kita punya kemampuan untuk kembangkan torpedo, sudah dilaksanakan oleh PT. DI melalui lisensi torpedo SUT. Cuma masalahnya sebagian besar komponen torpedo itu masih diimpor dari Eropa sebagai pemberi lisensi.
Itu tantangan nyata bagi kita. Memang ada keinginan untuk kembangkan torpedo sendiri. Keinginan demikian patut untuk dihargai, namun dibutuhkan waktu yang lama agar kita bisa menguasai teknologi torpedo secara mandiri. Karena ilmu-ilmu tentang pengembangan torpedo harus kita curi dan sangat keliru kalau harapkan orang lain akan sumbangkan ilmu itu kepada kita.
Pertanyaannya, apakah ada program pemerintah dan industri terkait untuk kembangkan torpedo secara mandiri? Kalau ada bagus. Tetapi tetap saja ada masa transisi ketika teknologi torpedo dicoba untuk dikuasai.
Dalam masa transisi itu, AL tetap butuh torpedo untuk kepentingan operasional. Itu kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda menunggu program torpedo nasional selesai. Artinya, kita tetap membutuhkan pasokan torpedo dari luar selama jangka waktu itu.
Masalahnya adalah tidak ada jaminan bahwa pasokan torpedo akan lancar sesuai kebutuhan kita. Masalah politik dapat mengalahkan soal uang. Meskipun kita punya uang, kalau penjual tidak mau jual kepada kita karena alasan politik, kita tidak bisa apa-apa.
Ingat, RI Matjan Tutul mandul hadapi kapal destroyer Belanda karena nggak punya torpedo. Kapalnya dijual oleh Jerman Barat ke Indonesia, tapi torpedonya tidak. Beberapa tahun lalu pun kita diembargo oleh Barat, akibatnya pengadaan senjata strategis kita dan suku cadangnya terhambat. Bukan nggak mungkin kasus serupa RI Matjan Tutul akan terjadi lagi di masa depan, dalam arti kapal diberikan tapi tanpa senjata.
Yang perlu kita antisipasi seandainya kita sepakat untuk mengembangkan strategi anti akses adalah upaya invisible hands hambat pengadaan torpedo untuk kita. Kecuali torpedo yang kita beli dari Rusia misalnya, itu pun tidak ada jaminan 100 persen. Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah kita harus mengembangkan strategi ini secara diam-diam dan tidak agresif.
Ini juga nggak gampang, karena negara-negara maju punya data berapa rata-rata Indonesia beli torpedo dalam jangka waktu tertentu. Dengan data itu, mereka bisa memperhitungkan berapa kira-kira torpedo yang tersedia di arsenal kita.

Kapal Selam dan Strategi Anti Akses

All hands,
Sudah menjadi pengetahuan kita bahwa kekuatan laut negara-negara maju memperhitungkan strategi anti akses sebagai salah satu tantangan yang mereka hadapi kini dan ke depan. Strategi anti akses merupakan salah satu bentuk naval asymmetric warfare yang dikembangkan oleh AL beberapa negara berkembang menghadapi kemungkinan engagement dengan kekuatan laut negara-negara maju.
Indonesia yang mempunyai selat-selat strategis dan focal points/chokepoints, sangat diperhitungkan oleh AL negara-negara maju sebagai tempat yang ideal untuk mengeksploitasi strategi anti akses. Di antara alutsista yang dipandang mempunyai daya pukul mematikan untuk strategi itu adalah kapal selam diesel elektrik.
Para pendahulu kita di AL sudah dari awal menyadari nilai strategis kapal selam sebagai kekuatan deterrence sekaligus pemukul. Nggak heran bila kita langsung mengoperasikan 12 kapal selam awal 1960-an, padahal sebelum itu kita nggak punya pengalaman operasional senjata itu sama sekali. Setelah kapal selam kelas Whiskey pensiun total pada awal 1980-an, eksistensinya digantikan oleh dua kapal selam kelas U-209 dari Jerman.
Pada 1996 kita berupaya membeli beberapa buah kapal selam kelas U-205 untuk melengkapi U-209/1300. Namun karena krisis ekonomi, rencana itu dibatalkan. Kelas U-205 merupakan kapal selam pantai, mampu beroperasi di perairan dangkal. Itu yang membedakannya dengan U-209 yang merupakan kapal selam ocean going.
Sejak beberapa tahun terakhir, di dalam AL kita muncul kembali wacana agar kita mengoperasikan juga kapal selam mini atau midget submarine. Seingat saya, pada pertengahan 1990-an ketika AL dipimpin oleh Laksamana Arief Kushariadi, sempat dikaji kemungkinan pengoperasian midget submarine. Antara lain dengan mengirimkan tim peninjau ke Pakistan yang dinilai berpengalaman mengoperasikan alutsista jenis itu.
Saat ini sepertinya ada arah untuk mengembangkan midget submarine secara mandiri. Ada beberapa pihak yang mengusulkan kepada AL untuk membantu pengembangan midget submarine itu. Bahkan, dulu salah seorang petinggi AL pernah melawat ke sebuah negara yang aktif mengembangkan midget submarine sebagai bagian dari strategi pertahanan nasionalnya, untuk menjajaki pengadaan alutsista itu di Indonesia.
Lepas dari semua itu, merupakan suatu keharusan bagi kita untuk mengeksploitasi peperangan kapal selam. Kita tidak perlu mempertentangkan antara kapal selam ”ukuran normal” dengan midget submarine, karena kita butuh dua-duanya. Artinya, cepat atau lambat kita harus segera tentukan pengganti U-209/1300.
Memperhatikan dinamika bahwa pengembangan kekuatan kapal selam kita akan selalu menghadapi tantangan dari invisible hands, ada baiknya bila berupaya untuk mengembangkan midget submarine secara mandiri. Memang akan ada proses trial and error, namun proses itu merupakan keharusan untuk mengetahui kekurangan dari produk kita. Tinggal yang perlu diatur lebih lanjut adalah bagaimana pendanaan program itu.
Sedangkan untuk kapal selam ”ukuran normal”, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita masih harus tergantung pada negara-negara Eropa, entah itu Jerman, Prancis atau Rusia. Tinggal kita hitung mana yang resiko politiknya lebih rendah bila kita beli kapal selam dari mereka. Resiko politik mempunyai kaitan langsung dengan dukungan logistik secara berkelanjutan.
Pertimbangan politik dalam pengadaan alutsista lebih mendominasi daripada pertimbangan teknis. Itu wajar saja, karena teknologi alutsista mempunyai keterkaitan langsung dengan unsur politik. Tinggal kita yang harus pandai-pandai “menakar” keduanya, agar setidaknya pertimbangan politik tidak terlalu banyak mengorbankan pertimbangan teknis.
Kata kuncinya adalah kita harus kembangkan kemampuan anti akses, salah satunya melalui eksploitasi kapal selam. Dengan catatan bahwa eksploitasi itu harus diimbangi pula dengan peningkatan kemampuan kita dalam mendeteksi pergerakan kapal selam di bawah air.
Sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa mendeteksi pergerakan kapal selam merupakan suatu hal yang tidak mudah. Tidak gampang buat seorang pelaut untuk menjadi spesialis sonar. Dia dituntut untuk mampu membedakan suatu ratusan atau ribuan ikan dengan suara kapal selam.
Oleh sebab itu, riset akustik harus dikembangkan lebih lanjut dan ini sebagian domainnya berada di luar domain AL. Artinya, pengembangan strategi anti akses oleh AL harus didukung pula oleh komponen-komponen terkait di luar AL. Pertanyaannya, sepakatkah kita untuk mengembangkan strategi anti akses?

27 Juni 2008

Transformasi, Bukan Reformasi

All hands,
Di republik ini, masih ada salah kaprah soal pembenahan pertahanan dan militer. Para politisi dan segenap pendukungnya menggunakan istilah reformasi militer untuk menata TNI. Menurut mereka, reformasi TNI belum berhasil karena ada hal-hal yang belum berubah di TNI, di antaranya doktrin.
Buat saya, itu pandang anak kemarin sore yang baru belajar soal militer. Maaf kalau saya harus mengatakan begitu. Mereka orang-orang yang nggak ngerti dapur militer, tapi menganggap diri paling tahu soal itu.
Sepanjang pemahaman saya, reformasi TNI itu ruang lingkupnya adalah dunia politik. Kalau TNI sudah tidak terlibat lagi dalam dunia politik, selesai!!! Reformasi militer udah beres!!! Tapi kalau ada pihak yang menyatakan bahwa reformasi TNI harus punya mencakup doktrin, organisasi dan lain-lain, itu orang yang nggak ngerti pertahanan dan militer.
Penting untuk dipahami bahwa perubahan doktrin, organisasi, operasi dan lain-lain harus ada faktor pendorongnya. Dan keluarnya TNI dari domain politik bukan merupakan pendorong bagi perubahan yang dimaksud. Kenapa begitu?
Memangnya doktrin itu dipengaruhi oleh politik? Yang saya maksud di sini adalah doktrin operasional. Sebagai contoh, kita di AL melaksanakan doktrin opsfib karena murni pertimbangan strategis, taktis dan teknis militer. Tidak ada kaitannya dengan domain politik.
Jadi apa yang menjadi faktor pendorong perubahan doktrin dan lain-lain itu? Jawabannya cuma satu, yaitu kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang diaplikasikan pada militer akan mempengaruhi doktrin, organisasi, operasi dan lain-lain itu. Kemajuan teknologi itu lebih dikenal sebagai revolution in military affairs (RMA).
Penerapan RMA dalam pertahanan dan militer dinamakan TRANFORMASI!!! Jadi bukan reformasi!!! Ingat, TRANFORMASI!!!
Sekarang kita tanya pada diri kita sendiri, TNI sudah transformasi belum? Kalau belum, yah wajar dong doktrin operasionalnya belum berubah. Gimana mau berubah kalau faktor pendorongnya nggak ada.
Masalah penerapan RMA dalam pertahanan dan militer mempunyai kaitan erat dengan visi strategis. Celakanya kita nggak punya visi strategis itu!!! Visi strategis itu harus dipunyai oleh para perencana pertahanan. Dalam konteks Indonesia, perencanaan pertahanan ada di kantor kawan-kawan kita di Merdeka Barat.
Selama visi strategis itu belum ada, penerapan RMA di TNI sepertinya akan masih jauh panggang dari api. Harus ada kekuatan memaksa dari Dephan untuk menerapkan RMA, nggak bisa harapkan inisiatif dari TNI.
Prerequisite untuk menerapkan RMA adalah perubahan paradigma. Perubahan paradigma bahwa perang sekarang di mana depan akan sudden and swift dengan mengandalkan pada effect-based operations. Dari buang munisi serang wilayah periperal, para perencana perang masa kini dan ke depan lebih mengutamakan serang langsung center of gravity lawan yaitu kepemimpinan nasional, selain pusat komando dan kendali militer.
Di masa kini dan masa depan tidak akan ada lagi Iwojima, Tarawa, Okinawa, Normandia jilid dua. Yang ada STOM, yang mana STOM nggak butuh tumpuan pantai. STOM adalah bentuk lain dari maneuver warfare dari laut yang dilaksanakan oleh AL dan Marinir. Perang masa kini dan ke depan akan lebih mengutamakan penggunaan kekuatan laut dan udara.
Paradigma yang berubah akan menuntun kita untuk melihat lagi persepsi terhadap ancaman. Apakah masih ada ancaman? Atau tingkatnya sudah turun menjadi sekarang tantangan?
Yang pasti, sudah menjadi kebijakan pemerintah untuk bangun kekuatan pertahanan dengan menggunakan pendekatan capability-based planning yang secara biaya lebih murah daripada threat-based planning. Tinggal sekarang yang dibutuhkan adalah visi strategis. Kalau kita setuju akan terapkan RMA, dengan sendirinya organisasi, doktrin, operasi dan lain-lain di TNI akan berubah karena itu merupakan konsekuensi.

26 Juni 2008

Konvoi Dalam Konteks Kekinian

All hands,
Membahas tentang operasi AL di masa Perang Dunia Kedua tidak akan melewatkan tema tentang konvoi. Konvoi yang merupakan bagian strategi pengendalian laut (sea control) di masa itu sasaran empuk bagi lawan, khususnya kapal selam. Selama perang itu, dikembangkan berbagai taktik untuk menghadapi serangan U-Boat Jerman yang biasanya menggunakan metode wolfpack terhadap konvoi Sekutu. Dalam perang konvoi di Samudera Atlantik, sebagian besar U-Boat ditenggelamkan di perairan sekeliling perimeter konvoi.
Konvoi sekutu di Samudera Atlantik biasanya memuat barang-barang untuk keperluan perang yang dikirim dari pantai timur Amerika Serikat. Sementara di kawasan Samudera Pasifik, konvoi sebagian besar didominasi oleh kapal perang yang melakukan pergerakan dari satu posisi ke posisi lain. Maksudnya, motif ekonomi dalam konvoi di Samudera Pasifik tidak sekental di Samudera Atlantik. Itu terjadi karena Imperial Japanese Navy menolak menggelar perlindungan konvoi terhadap kapal-kapal niaga dia yang muat barang-barang untuk keperluan perang.
Efektivitas konvoi sangat ditentukan oleh kuatnya kapal-kapal escort dan jumlah kapal escort tidak ditentukan oleh berapa kekuatan lawan, tetapi ditentukan oleh berapa jumlah kapal konvoi yang harus dilindungi. Secara teori, konvoi dapat menciptakan battle of annihilation pada skala kecil. Oleh karena itu, godaan untuk menghancurkan konvoi lawan dalam perang sulit untuk dihindari. Sebab keberhasilan menghancurkan akan menentukan jalannya perang ke depan. Sebaliknya, kegagalan menghancurkan juga berkonsekuensi terhadap jalannya perang pula.
Perang di masa itu menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara main fleet dengan convoy escort. Kehadiran main fleet di kawasan tertentu yang berada di sekitar wilayah konvoi dapat mempengaruhi cara bertindak lawan. Apabila main fleet berani menyerang konvoi, maka hal itu akan direspon lawan dengan menyebarkan main fleet-nya pula.
Hasilnya adalah decisive battle, yang mana dipastikan salah satu main fleet akan keluar sebagai pecundang. Kalau sampai main fleet dihancurkan, artinya AL negara yang main fleet-nya dihancurkan sudah tidak bisa apa-apa lagi. Itulah mengapa Jerman dalam perang waktu itu lebih suka mengandalkan penggunaan U-Boat dalam perang konvoi daripada mempertaruhkan main fleet-nya. Strategi ini untuk mengikat main fleet Inggris (The Home Fleet) sekaligus penerapan fleet-in-being.
Kondisi kekinian menggambarkan bahwa perang konvoi dalam skala besar seperti di era Perang Dunia Kedua kemungkinannya kecil. Perang masa kini, termasuk di laut, bersifat sudden and swift. Namun dari aspek strategi maritim, bukan berarti menghilangkan lagi konvoi. Tetap akan tetap ada, namun konteksnya mengalami pergeseran.
Penghancuran konvoi lawan tetap akan menjadi tujuan strategis dalam operasi AL. Namun dalam masa damai, mungkin yang akan lebih mengemuka adalah perlindungan terhadap kapal-kapal niaga yang memuat bahan bernilai strategis tinggi seperti minyak tanah. Dan yang menyerang konvoi lagi tidak lagi sebatas lawan sesama AL, tetapi bisa jadi teroris.
Kita mungkin masih ingat Operation Earnest Will tahun 1987-1988 di Teluk Persia. Dalam operasi ini, armada U.S. Navy mengawal konvoi kapal-kapal tanker Kuwait yang berbendera Amerika Serikat yang menghadapi ancaman dari AL Iran. Seperti diketahui, saat itu Iran aktif menyebar ranjau di perairan strategis itu dan beberapa kapal tanker sempat jadi korbannya. Untuk meng-counter langkah Iran, U.S. Navy juga menggelar Operation Praying Mantis untuk memburu ranjau-ranjau Iran.
Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Selama ini kita mempraktekkan perlindungan konvoi dalam latihan-latihan AL maupun gabungan. Entah itu AJ atau latgab TNI. Itu bagus, karena melatih keterampilan dalam naval warfare.
Namun dalam waktu yang lama sepertinya kita belum pernah berlatih dengan unsur-unsur pelayaran niaga. Siapa tahu suatu saat kita harus melaksanakan convoy protection terhadap kapal-kapal berbendera Merah Putih karena suatu kondisi politik keamanan yang berubah. Entah itu di dalam negeri ataupun di luar negeri.
Ada baiknya kita sekali-sekali gelar latihan bersama itu. Biar ada kesamaan pemahaman dan cara bertindak antara para pelaut AL kita dengan para pelaut niaga. Apalagi para pelaut niaga itu sebenarnya merupakan kekuatan cadangan bagi AL. Materi latihan perlindungan konvoi dengan melibatkan armada niaga bisa saja diselipkan dalam salah satu bagian skenario AJ yang kita gelar rutin tiap tahun.

25 Juni 2008

Piramida Angkatan Laut

All hands,
Di Inggris pada abad ke-16, hidup seorang pemilik stable yang bernama Thomas Hobson. Manusia yang satu ini unik. Kenapa unik? Karena setiap orang datang mencari kuda ke stable-nya di Cambridge, dikasih pilihan yaitu ambil kuda yang terdekat posisinya dengan pintu stable atau tidak sama sekali alias pulang dengan tangan kosong. Dari sini kemudian lahir idiom The Hobson’s Choice, yang artinya no choice at all.
Kalau The Hobson’s Choice kita tarik ke domain maritim di Nusantara, soal eksistensi AL menurut saya juga berlaku. Pilihannya cuma The Navy or nothing!!! Sebagai negeri kepulauan yang dikaruniakan Allah Swt, pilihan untuk mempertahankan eksistensi, martabat, harga diri kita adalah eksistensi AL.
Tentu suatu hal yang sangat aneh bila negeri dengan perairannya yang sangat luas justru mempunyai kekuatan laut yang lemah. Itu baru kekuatan laut, belum kekuatan maritim.
Mendalami kembali pemikiran Geoffrey Till, kekuatan maritim suatu bangsa antara lain harus ditunjang antara lain oleh preferensi masyarakat, preferensi pemerintah, geografis dan industri maritim. Tanpa itu, sekuat apapun AL yang dimiliki negeri itu menjadi tidak berarti. Karena eksistensi AL harus didukung oleh komponen-komponen itu.
Di Amerika Serikat dan Inggris, tradisi maritim mereka ibarat piramida. Di dasar piramid ada pelayaran niaga dan galangan kapal, sementara di puncak piramida adalah AL. Namun untuk negeri om Sam sekarang, piramidanya sudah terbalik. Pelayaran niaga dan galangan kapal mereka mengalami kemunduran, sementara AL-nya malah makin berjaya.
Bagaimana dengan kita? Industri pelayaran kita baru berupaya bangkit setelah ada Inpres No.5 Tahun 2005 tentang Cabotage. Asas cabotage mengharuskan semua kapal yang berlayar antar wilayah di Indonesia harus menggunakan bendera Merah Putih. Baik itu kapal penumpang maupun kapal kargo dan jenis kapal lainnya. Kapal asing tidak bisa masuk ke semua pelabuhan Indonesia, kecuali pelabuhan tertentu saja.
Asas cabotage kaitannya dengan kedaulatan!!! Titik!!! Gimana kita mau berdaulat, kalau kapal yang mengangkut barang dari Jakarta ke Ambon berbendera Singapura? Dan asas cabotage tidak bertentangan dengan prinsip WTO. Amerika Serikat saja terapkan asas ini.
Dulu asas cabotage sempat dicabut selama puluhan tahun karena kepentingan bisnis penguasa waktu itu. Kepentingan bisnis penguasa mengalahkan kepentingan nasional. Dan perlu perjuangan lama untuk kembalikan asas cabotage di Indonesia. Karena dapat penentangan dari Singapura yang dirugikan bila asas ini diterapkan kembali oleh Indonesia.
Galangan kapal? Galangan kapal kita pemain berdiri sendiri. Dia cuma bisa bikin platform, tapi sistem penggerak, elektronika dan lain-lain masih tergantung dari luar negeri. Itulah yang terjadi di PT PAL, misalnya. Dia bisa bikin FPB-57, tapi cuma platform-nya. Propulsi, sewaco dan lain-lain masih tergantung pada bule-bule Eropa.
Dengan kondisi begitu, AL kita sebenarnya berdiri atas piramida yang rapuh. Sewaktu-waktu piramida itu bisa runtuh. Lalu tanggung jawab siapa untuk perbaiki dasar piramida itu? Pemerintah!!!

24 Juni 2008

Akses dan Selat-selat Strategis

All hands,
Satu dari empat komponen geopolitik kekuatan laut adalah access and strategic straits. Nggak usah diragukan, kita punya itu. Sekarang tantangannya bagaimana kita manfaatkan/eksploitasi komponen itu untuk kepentingan nasional melalui aplikasi strategi maritim. Bagaimana akses dan selat-selat strategis itu kita manfaatkan untuk kembangkan strategi anti akses. Soal strategi anti akses, seorang rekan saya sudah pernah ulas secara mendalam dalam taskapnya ketika “bertapa” sepuluh bulan di Cipulir beberapa tahun lalu.
Pertanyaan pertama, apa tujuan (ends) kita kembangkan strategi anti akses? Tujuannya sebagai counter terhadap pihak-pihak yang mengganggu kepentingan nasional kita, khususnya dalam bentuk kekuatan militer di laut. Jadi target strategi ini tidak ditujukan ke negara tertentu saja seperti yang mungkin dipersepsikan sebagian pihak, tapi terhadap semua negara yang punya kepentingan di perairan yurisdiksi Indonesia.
Kalau begitu, akan masuk ke pertanyaan kedua. Apa sarana (means) yang dibutuhkan untuk kembangkan strategi anti akses. Sarananya sebenarnya sudah ada semua kok. Kita punya ranjau, rudal jelajah, kapal selam dan kapal jenis KCR-KCT. Kecuali ranjau yang jumlahnya ribuan di arsenal, jumlah rudal jelajah, kapal selam dan KCR-KCT kita belum cukup.
Pertanyaan ketiga, di mana kekuatan itu akan digelar? Sesuai dengan namanya sebagai strategi anti akses, kita harus gelar itu di selat-selat strategis dan chokepoints. Tempat-tempatnya banyak dan sebagian nama tempatnya kurang familiar di telinga masyarakat Indonesia yang sebagian besar kontinentalis.
Soal strategi anti akses mendapat perhatian besar dari Amerika Serikat, juga Australia. Amerika Serikat cukup concern dengan penyebaran rudal jelajah seperti C-802, Yakhont, Sunburn dan sejenisnya. Itu baru rudal. Belum lagi ranjau laut yang penyebarannya lebih mudah. Washington juga concern dengan penyebaran kapal selam Kilo dan sekelasnya ke negara-negara berkembang yang tidak sejalan dengan dia secara politik.
Perlu diketahui bahwa U.S. Navy pernah beberapa kali jadi korban strategi anti akses. Sebagian besar di Teluk Persia (orang Barat mulai rajin sosialisasikan sebagai Teluk Arab/Arabian Gulf), misalnya USS Stark (FFG-31) yang dihantam Exocet Irak 17 Maret 1987, USS Tripoli (LPH-10) kena ranjau pada 18 Februari 1991, USS Princeton (CG-59) pada tanggal yang sama dengan insiden USS Tripoli, cuma waktu dan koordinat lokasi kejadiannya beda.
Mari sekarang kita kaitkan dengan pembangunan kekuatan AL kita. Sepanjang pengetahuan saya, upaya bangkuat AL kita terus mendapat perhatian dari negara-negara yang berkepentingan dengan akses terhadap perairan Indonesia. Rencana beli Kilo sempat bikin heboh kawasan. Rencana beli Yakhont mendapat perhatian cukup besar dari para pengguna. Kita beli C-802 melahirkan concern dari para pengguna juga.
Untuk menghalangi hal itu, dimainkanlah invisible hand. Invisible hand itu ada di mana-mana. Bisa di Lapangan Banteng, bisa di Merdeka Barat. Bisa juga di Merdeka Utara. Pergantian pimpinan AL beberapa waktu lalu juga karena invisible hand itu.
Pesannya adalah dibutuhkan komitmen seluruh bangsa untuk bangun AL kita. Percuma kita warga AL ingin bangun kekuatan, kalau tidak didukung oleh komponen lainnya dari bangsa ini. AL kita yang kuat di kawasan bukanlah keinginan pihak lain, karena itu skenario buruk buat mereka.

23 Juni 2008

Gaya Strategi Maritim

All hands,
Sejak 1915, antara U.S. Army dengan U.S. Navy terjadi perbedaan pandangan strategis soal bagaimana mempertahankan Filipina bila diserang Jepang. U.S. Army berpendapat bahwa solusinya adalah membentuk jaringan benteng di kepulauan itu dan mengisinya dengan jumlah personel AD yang cukup agar Jepang tak dapat mendudukinya. Pada pertengahan 1930-an, para perencana militer Amerika Serikat mengakui bahwa Filipina mungkin (probably) tidak dapat dipertahankan.
Tahun 1935, Kongres memutuskan memberikan kemerdekaan kepada kepulauan itu agar tidak dijadikan dalih perang oleh Jepang. Pada saat dimulainya Perang Pasifik, Panglima AD Filipina Jenderal Douglas MacArthur menjalankan strategi yang berbasis dari pemikiran bahwa Filipina dapat dan harus dipertahankan dengan segala biaya. MacArthur diangkat oleh Presiden Filipina jadi Panglima AD Filipina dengan seijin Presiden Roosevelt, setelah sebelumnya sang Jenderal dicopot dari jabatan Chief of Staff of the Army.
U.S. Navy mempunyai posisi yang berbeda dengan U.S. Army. Sejak awal 1915, U.S. Navy General Board berkesimpulan bahwa Filipina tidak dapat dipertahankan. Walaupun diberikan kemerdekaan, kepulauan itu tetap merupakan tanggung jawab Amerika Serikat dan mereka dapat menuntut perlindungan sang induk meskipun sudah merdeka. Oleh karena itu, dari sudut pandangan U.S. Navy, Jepang harus dikalahkan bila pecah perang di Pasifik.
Dengan mengalahkan Jepang sebagai ends perang, maka means-nya dapat ditanyakan. Mustahil bagi Amerika Serikat untuk membangun suatu kekuatan AD yang besar untuk menduduki Jepang. Dengan ketergantungan Jepang pada impor bahan baku, maka blokade AL dapat meruntuhkannya. Untuk menghadapi kemungkinan itu, Jepang sangat bergantung pada kekuatan AL-nya. Sehingga masalahnya menjadi bagaimana memproyeksikan kekuatan armada Amerika Serikat ke Pasifik Barat untuk mengalahkan Jepang dalam suatu decisive battle.
Dari kasus itu dapat diambil kesimpulan bahwa army concentrated, as armies do, on the occupation of particular territory as the goal in war. At sea there is no territory. Areas of sea cannot be occupied. Naval warfare is about the destruction of enemy forces as a prerequisite to mobile operations.
Kasus perbedaan pendapat antara U.S. Army dengan U.S. Navy soal mempertahankan Filipina menurut saya dapat kita bawa ke kondisi kekinian di Indonesia. Bagaimanakah kita mempertahankan Nusantara bila menghadapi serangan dari luar? Serangan dari luar itu tidak mesti invasi dan kemungkinan itu menurut pandangan saya memang kecil. Namun serangan yang dilakukan lebih pada surgical strike terhadap sasaran tertentu yang menyangkut center of gravity Indonesia.
Bagaimana pandangan AD dengan AL soal itu? Bagaimana pula dengan AU? Ini bukan soal adu domba atau persaingan kekuatan matra, namun murni pada urusan strategi. Memperhatikan pola surgical strike, serangan biasanya dilakukan menggunakan kapal perang dan pesawat pembom. Katakanlah sasarannya Jakarta sebagai center of gravity Indonesia.
Strategi pertahanan seperti apa yang akan kita terapkan? Pendekatan strategi menyatakan bahwa kita dituntut mampu untuk menghadapi kapal perang yang melancarkan surgical strike, dengan asumsi bahwa dia melancarkan serangan dari perairan kita. Ceritanya akan menjadi lain bila serangan dilancarkan dari laut lepas, karena alutsista kita yang mampu beroperasi penuh di laut lepas sangat terbatas.
Mengapa dari perairan kita? Mereka kan dapat menggunakan hak lintas damai atau lintas ALKI sambil ganggu kita. Jadi di sini asumsi strategi pertahanan berlapis dengan zona penyangga tidak berlaku. Kita harus ingat bahwa negara maju seperti Amerika Serikat mengembangkan littoral warfare. Mayoritas kota-kota penting di dunia berada dalam jarak 200 km dari pantai.
Di Indonesia, di Pulau Jawa saja kota penting yang “agak” jauh dari pantai cuma Bandung. Itu pun tidak ada jaminan rudal jelajah yang diluncurkan dari kapal perang tidak akan sampai ke kota yang juga identik dengan “pusatnya” AD itu. Kalau Jakarta, untuk menghantamnya tak perlu pakai rudal jelajah, tapi cukup dengan meriam 5 in/54 Mk 45 yang melengkapi kapal-kapal kombatan atas air U.S. Navy. Dengan menggunakan munisi ERGM (Extended Range Guided Munition), meriam itu bisa tembakkan peluru hingga jarak 140 km.
Dengan realita seperti itu, strategi pertahanan kita mau atau tidak mau, suka atua tidak suka, harus lebih bergaya maritim daripada bergaya kontinental. Perubahan gaya konsekuensinya juga harus berupa perubahan prioritas bangkuat postur. Kita harus membangun strategi anti akses (anti access strategy). Kecuali kalau kita tetap mau terus dilecehkan oleh bangsa lain. Pertanyaannya, apakah postur pertahanan 2010-2029 sudah mengarah ke situ?

22 Juni 2008

Hidros dan Kemampuan Sea Surveillance

All hands,
Sebentar lagi Janhidros (Jawatan Hidro-Oseanografi AL) akan kembali ke penamaan nama yaitu Dishidros. Itu sebagai konsekuensi penolakan Mabes TNI dua tahun lalu soal ganti nama lembaga itu. Namun karena masalah administrasi, baru sekarang akan dikembalikan ke nama lama.
Saya sebenarnya bukan orang Hidros, tapi jadi concern ke Hidros karena beberapa rekan berdinas dan atau pernah berdinas di sana. Dan mendengar cerita rekan-rekan itu soal Hidros, saya lebih banyak trenyuh. Kok begitu yah Hidros. Padahal Hidros adalah bagian penting dari AL khususnya untuk sea surveillance.
Tanpa peran rekan-rekan di Hidros yang seringkali mempertaruhkan nyawanya di masa damai untuk survei, kita nggak akan dapat data mutakhir mengenai lingkungan tempur laut kita. Istilah kerennya battlespace awareness. Entah sudah berapa personil Hidros yang kehilangan nyawa dalam melaksanakan tugasnya. We owe u all, guys.
Memang Hidros itu kedinasan yang unik di AL kita. Mungkin dia satu-satunya kedinasan yang dibentuk dengan Keputusan Presiden RI. Yaitu Keppres N0.164 Tahun 1960 yang menggabungkan BHJP dengan BHAL menjadi Janhidral (Jawatan Hidrografi AL). Bagian Hidrografi Jawatan Pelayaran (BHJP) di bawah naungan Kementerian Perhubungan dan Bagian Hidrografi AL (BHAL) di bawah Markas Besar ALRI sendiri dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1951.
Menurut PP itu, BHJP bertugas menerbitkan peta dan membuat publikasi nautis di perairan Indonesia untuk kepentingan keselamatan pelayaran, pengetahuan dan komersial, sementara BHAL melakukan hal yang sama di luar perairan Indonesia untuk kepentingan hankam. Yang dimaksud di luar perairan itu berdasarkan rezim hukum laut lama, karena di luar batas 3 mil dari setiap pulau-pulau di Indonesia adalah laut bebas.
Dengan melihat dasar hukum pembentukannya, nampak jelas bahwa Janhidros merupakan Lembaga Hidrografi Nasional di satu sisi dan sekaligus Jawatan Hidrografi AL di sisi lain. Eksistensi Janhidros sebagai lembaga hidrografi nasional dibuktikan oleh pengakuan internasional di mana Dishidros mewakili Indonesia dalam keanggotaan International Hidrographic Organization (IHO).
Masalahnya sekarang, Hidros sepertinya kesulitan menyeimbangkan antara fungsi hidrografi nasionalnya dengan hidrografi AL. Kita semua sama-sama sepakat bahwa Hidros harus benar-benar menjadi agensi atau lembaga hidrografi nasional seperti di India (National Hydrographic Office), UK (UKHO), Australia (AHO), dan lainnya.
Mengacu pada dua fungsi yang melekat, Hidros harus melaksanakan pemetaan dan publikasi nautis bagi kepentingan keselamatan pelayaran (peta navigasi atau nautical chart) dan bagi kepentingan pertahanan keamanan negara (peta peperangan laut seperti kemagnetan, profil kecepatan suara, kedalaman 3-D, biologi laut, kimia laut dan lain-lain). Keduanya adalah TUGAS POKOK, sementara survei dan penelitian di luar itu adalah TUGAS TAMBAHAN.
Sekarang Hidros itu lebih berat atau mungkin lebih asyik dengan survei penelitan di luar dua tugas pokok daripada tugas pokoknya, terlebih lagi survei untuk kepentingan AL. Inilah masalahnya. Sementara untuk meningkatkan kemampuan naval warfare kita, nggak cukup dengan pengadaan alutsista saja. Harus pula didukung dengan battlespace awareness, dalam hal ini data hidrografi dari Hidros. Sudah sering kapal perang kita “kecelakaan” karena peta laut mereka nggak mutakhir.
Sebenarnya dengan makin banyaknya negara-negara di sekitar yang operasikan kapal selam, tantangan bagi Hidros tambah berat. Hidros harus siapkan peta layer. Tapi sampai sekarang itu belum ada wujudnya. Terus gimana puan AKS kita mau meningkat tanpa didukung oleh peta layer. Walaupun bujuk soal penggunaan peta layer sudah disidangkan di Wanbangtik.
Memang peta layer hanya satu dari beberapa unsur pendukung AKS, tapi tetap saja itu penting. Dengan kondisi sekarang, kita nggak bisa awasi lalu lintas kapal selam asing di perairan kita. Kalau kita punya peta layer, minimal upaya tingkatkan puan AKS kita akan sedikit terbantu.
Tentu masih banyak hal-hal lain menyangkut fungsi AL Hidros yang perlu kita diskusikan. Namun di sini saya hanya membatasi soal AKS saja. Apakah perubahan nama akan diikuti juga oleh perubahan di dalam? Percuma kita yang berada di luar Hidros dorong Hidros maju, kalau yang di dalam sendiri sudah nyaman dengan establishment/kemapanan yang ada.

Rudal dan Kemampuan Sea Surveillance

All hands,
Dalam naval warfare, salah satu kesulitan yang dihadapi unsur-unsur kapal perang adalah mencari dan mengindentifikasi sasaran di laut terbuka. Apalagi kapal-kapal yang ada di laut lebih banyak kapal sipil/kapal niaga daripada kapal perang. Serangan terhadap sasaran yang salah/sasaran kapal sipil bisa menimbulkan komplikasi politik.
Karena negara pemilik kapal dan flag of convenience akan protes. Bahkan lebih jauh terlibat dalam konflik. Itulah yang terjadi dengan serangan torpedo kapal selam Jerman terhadap RMS Lusitania (bukan Lusitanio Expresso lho) pada Perang Dunia Pertama sebagai bagian dari kebijakan unresticted U-Boats offensive. RMS Lusitania itu kapal penumpang milik Inggris yang ditorpedo U-20 pada 20 Mei 1915 di lepas pantai Irlandia, menewaskan 1.198 orang di atasnya. Washington terpicu ikut perang di Eropa salah satu pemicunya kasus itu, meskipun baru pada 6 April 1917 menyatakan terlibat langsung.
Dalam Latgab TNI kemarin, salah satu kemampuan yang diuji adalah ASUW melalui penembakan rudal anti kapal C-802. Penembakan itu merupakan kali ketiga, setelah dua kali sebelumnya dicoba di Selat Bali. Percobaan pertama nggak kena sasaran, percobaan kedua kena sasaran dari jarak 60 km pada 28 Maret 2008. Mengacu pada spesifikasi dari pabriknya, C-802 punya kemampuan jelajah sampai 120 km.
Rudal buatan om Mao ini populer dua tahun lalu, tepatnya saat 14 Juli 2006 malam. Waktu itu satu dari dua rudal C-802 versi darat yang diluncurkan kelompok Hizbullah Lebanon sukses menghantam INS Ahi Hanit punya AL Israel yang diklaim sebagai korvet termodern di dunia. Kapal perang buatan galangan Northrop Grumman Ship Systems itu posisinya tengah berada di Laut Mediterania meronda perairan Lebanon. Akibatnya bagian buritan kapal terkena rudal dan empat awak kapal tewas.
Setelah punya C-802 dalam arsenal, kita juga merencanakan miliki rudal Yakhont buatan NPO Mashinostroyeniya, Rusia. Dibandingkan dengan C-802, rudal jelajah anti kapal ini punya daya jelajah sampai 300 km. Keunggulan rudal ini bukan sekedar pada kemampuan hindari atau lawan jamming, tapi adanya kemampuan artificial intelligence yang dikembangkan oleh NPO Mashinostroyeniya.
Dikaitkan dengan sea surveillance, salah satu critical vulnerability yang harus kita antisipasi kalau Yakhont jadi dibeli adalah kemampuan sea surveillance kita. Dengan kemampuan jelajah hingga 300 km, rudal ini harus didukung oleh sistem surveillance yang memadai pada unsur-unsur kapal atas air. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah surveillance radar, karena kemampuan pesawat udara nggak bisa kita harapkan. Selain daya jelajah pesud-pesud di Pusnerbal terbatas, mereka akan jadi sasaran empuk lawan.
Pertanyaannya sekarang, itu sudah kita programkan belum pengadaannya? Dari mana sumbernya? Kalau kita beli dari negara-negara NATO, saya nggak yakin mereka akan kasih. Kecuali di-acc oleh Washington. Pilihan paling realistis adalah beli dari Rusia juga. Jadi klop antara rudal dan surveillance radar-nya.
Kalau beli dari non Rusia, interface-nya lumayan ”berat” juga. Jangankan antar blok produsen senjata yang berbeda, untuk interface antara surveillance radar dan fire control buatan Thales Netherland dengan meriam Oto Melara buatan Italia saja lumayan “sulit”. Padahal itu sama-sama buatan NATO. Apalagi antara produk NATO dan non NATO.
Masalah sea surveillance ini sudah dihadapi oleh AL India. Negeri itu kan beli banyak kapal selam dan kapal atas air yang dilengkapi rudal anti kapal permukaan berdaya jelajah di atas 300 mil. Celakanya pengadaan itu nggak didukung oleh surveillance system mereka. Apakah masalah itu akan juga menghinggapi AL kita dalam beberapa waktu ke depan?

20 Juni 2008

CARAT-SEACAT: Koalisi Taktis

Allhands,
Sejak 26 Mei 2008 rangkaian CARAT telah dimulai di Filipina. Saat ini CARAT telah selesai fase latihan di Thailand. Mengutip penjelasan resmi di situs COMLOG WESTPAC yang berbasis di dermaga Sembawang, Singapura, CARAT is an annual series of bilateral maritime training exercise between the United States and six Southeast Asia nations designed to build relationships and enhance the operational readiness of the participating forces.
Setelah rangkaian CARAT selesai, akan dilanjutkan dengan SEACAT. Karakter CARAT yang sifatnya bilateral kemudian berubah menjadi multilateral ketika menjadi SEACAT. AL kita terlibat dalam latihan itu sejak lama, meskipun sebelum 2005 sempat terputus karena masalah embargo Kongres. Sejak 2005 kita selalu partisipasi dalam CARAT. Namun sejak 2007, kita menamakan fase CARAT di tempat kita sebagai NEA (Naval Engagement Activity).
Ada banyak alasan kenapa begitu. Ada yang bilang keterbatasan anggaran dan unsur, sehingga kita nggak gelar lagi manuver di laut seperti CARAT 2005. Tetapi menurut saya ada faktor lain, yaitu sensitivitas latihan dengan Amerika Serikat. Ini faktor di luar AL, karena di negeri ini ada kantong-kantong anti Amerika Serikat. Anehnya pula, kantong-kantong itu ternyata ada pula di pemerintahan, dalam hal ini Departemen Luar Negeri.
Departemen yang sering diplesetkan jadi Departemen Di Luar Negeri ini (karena agenda yang dibawa ke forum internasional seringkali tidak terkait langsung dengan kebutuhan di dalam negeri) sering protes kalau TNI latihan dengan mitranya di Amerika Serikat. Ini kan aneh!!! Militer latihan kok diprotes!!! Gimana mau profesional militer kita kalau latihan sama negara lain diprotes.
Anehnya, Deplu seringkali pakai standar ganda soal ini. Dengan U.S. PACOM diprotes, tapi kalau kita latihan dengan Singapura, Malaysia dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan Amerika Serikat, Deplu diam aja. Seolah-olah setuju-setuju aja. Kalau latihan militer dengan Amerika Serikat nggak boleh, kenapa Deplu nggak larang saja Dephan dan TNI kirim perwira pendidikan ke negeri uwak Sam. Kan intinya bagi Deplu kerjasama militer dengan Amerika Serikat mudarat alias lebih banyak tidak manfaatnya daripada manfaatnya.
Dalam SEACAT, kita selalu hanya jadi observer. Alasannya sih karena kita nggak mau ada latihan militer asing di ZEE kita di Laut Cina Selatan. Sikap itu betul, tetapi saya yakin ada alasan lain. Yaitu ada pihak-pihak di Indonesia yang nggak suka TNI terlibat latihan multinasional yang bersifat engagement. Sebagai contoh, Cobra Gold 2007 dan 2008 kita hanya terlibat pada fase HADR. Yang engagement kita nggak mau terlibat.
Inilah paradigma lama di negeri ini dalam memahami kerjasama pertahanan dan militer. Kita ikut latihan multinasional tidak berarti kita harus deklarasi bahwa kita jadi aliansi atau kawan salah satu pihak. Itu cuma koalisi taktis tingkat bawah. Tingkat atas ---level politik--- bisa beda. Itu sebenarnya masalah di balik CARAT dan SEACAT.
Mestinya ada arahan kepada TNI agar bermain pada koalisi taktis. Sikap politik nasional boleh beda, tapi harusnya TNI dibolehkan bermain pada tingkat taktis. Itu yang dilakukan oleh Malaysia. Dia menentang Amerika Serikat di tingkat politik atas, tapi di bawah militernya jalin koalisi taktis. Harusnya TNI juga bisa begitu. Masalahnya, apakah pimpinan TNI mengerti dengan permainan seperti ini?

19 Juni 2008

Kesinambungan Antar Generasi

Allhands,
Dalam sebuah rapat yang saya ikuti beberapa waktu lalu, seorang rekan perwira menyatakan dalam forum bahwa salah satu masalah yang kita hadapi dalam pembangunan AL adalah kesinambungan antar generasi. Selama ini, menurut sang perwira, tidak ada kesinambungan kebijakan ketika pimpinan kita ganti dari bapak yang satu ke bapak yang lain. Pinjam istilah yang popular di lingkungan kita, ganti pimpinan ganti kebijakan.
Saya setuju 100 persen dengan rekan perwira itu. Itu memang masalah kita selama ini, yang mungkin selama bertahun-tahun kita tak berani ungkapkan secara terbuka dalam forum resmi. Namun karena kondisi sudah berubah, mengungkapkan hal itu bukan sesuatu yang tabu lagi kini.
Terus pertanyaannya, bagaimana dong biar ke depan pola demikian tak terjadi lagi? Ada beberapa alternatif. Pertama, harus ada kesamaan visi dan komitmen di dalam komunitas AL soal postur kita ke depan. Ke depan ini katakanlah hingga 2025. Kenapa 2025? Yah karena mengacu pada RPJP Bappenas itu. Hingga 2025, kita mau kemana?
Memang ini sulit bagi kita yang belum terbiasa. Tapi kondisi memaksa kita harus begitu, apalagi kondisi keuangan negara tahun-tahun ke depan belum akan menggembirakan. Kita nggak bisa lagi atur diri sendiri semau kita seperti di masa lalu, sekarang kita harus mengacu sepenuhnya pada kebijakan pemerintah. Yang punya uang kan pemerintah, kita tahunya cuma terima dan pakai.
Bisa nggak kita sama persepsi antar generasi? Baik antar generasi yang jaraknya dekat (beda lichting nggak jauh) maupun dengan yang jaraknya jauh. Jangankan dengan yang beda lichtingnya jauh, yang beda lichtingnya dekat saja sepertinya masih susah. Apalagi dengan yang lichtingnya jauh, yang 10-15 tahun ke depan generasi ini akan pimpin AL.
Pekerjaan rumah pertama kita adalah sama persepsi itu. Kalau itu, baru kita bisa melangkah ke depan. Sebaliknya, kita akan jalan di tempat tanpa itu. Dan kita akan berdosa kepada generasi mendatang bangsa ini bila tak mampu satukan visi itu. Karena yang akan rasakan dampak dari apa yang kita lakukan di masa kini adalah generasi mendatang, termasuk anak-anak kita, bahkan cucu kita nanti.
Kedua, adanya postur. Postur seperti apa yang kita mau bangun? Itu pertanyaan yang harus kita jawab dulu. Kalau sudah ada postur ke depan, maka akan lebih gampang untuk bangun AL. Dengan catatan bahwa kita mampu laksanakan hal pertama tadi, yaitu kesamaan visi dan komitmen antar generasi di AL. Sebab bila nggak ada itu, postur sangat mungkin akan jadi dokumen resmi yang tidak dilaksanakan. Bagaimana pun kita harus akui bahwa postur bukanlah dokumen sakti, apalagi kitab suci, yang tak dapat diubah.
Bisa saja postur AL itu diubah, walaupun postur induknya yaitu postur pertahanan tidak berubah. Cuma ketika berubah, akan timbul ”korsleting” dengan Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan dan Bappenas. Karena yang mereka pegang adalah postur pertahanan, itu acuan mereka. Sementara postur TNI dan postur angkatan harus mengacu pada postur pertahanan.
Menurut saya dua hal itu merupakan salah satu alternatif agar ada kesinambungan antar generasi di AL. Jangan lagilah AL itu ---pinjam istilah seorang senior yang sangat saya respek--- diplesetkan jadi Agak Lain. Ha..ha..ha..

18 Juni 2008

Ukur Diri: Latgab 2008 (Bag-10)

Allhands,
Tahap akhir dari sebuah latihan adalah evaluasi terhadap latihan yang sudah digelar. Begitu pula dengan Latgab TNI 2008. Di sini saya tidak berpretensi mengevaluasi latihan itu, karena saya tak terlibat langsung di lapangan. Namun kalau boleh mengambil pengalaman evaluasi terhadap latihan-latihan yang selama ini rutin digelar, pasti ada kesamaan-kesamaan temuan dari tim yang ditugaskan mengevalusi latihan. Mungkin saya keliru, tetapi berangkat dari pengalaman selama ini, salah satu kekurangan kita dalam latihan-latihan berskala besar adalah menyangkut kesiapan unsur.
Kalau sudah bicara soal kesiapan unsur, kadang timbul perdebatan yang kurang sehat. Kawan-kawan di kapal akan “tunjuk” satuan pemeliharaan. Satuan pemeliharaan akan ”tunjuk” ke depo logistik. Depo logistik akan ”tunjuk” ke satuan yang lebih atas. Satuan yang lebih atas akan “tunjuk” pada dukungan dana buat beli suku cadang. Jadinya kayak lingkaran setan.
Inilah masalah kita sebagai konsumen dalam bisnis senjata. Produsen senjatanya negara lain. Kita dapat senjata lewat rekanan. Rekanan sering cari keuntungan berlebihan karena faktor ”x”. Faktor ”x” itu nggak usah kita uraikan, sudah sama-sama tahu kok. Ha..ha..ha..
Dari 140-an KRI kita, yang ikut Latgab sekitar 40-an kapal. Itu nggak sampai 1/3 kekuatan kita. Sisanya ops sehari-hari, sebagian lagi pemeliharaan di pangkalan. JOP-JOG 30%:30%:30% sepertinya susah untuk dicapai. Bahkan ada yang bilang mustahil mencapai persentase JOP-JOG itu.
Apa yang tercermin dari kesiapan unsur kita yang ikut latgab mencerminkan kondisi nyata sehari-hari. Itu pun dengan catatan bahwa guna sukseskan latgab, ada prioritas lebih pada pemeliharaan unsur-unsur kapal yang akan terlibat. Kalau nggak ada prioritas, mungkin jumlah unsur yang terlibat lebih sedikit lagi.
Hal lain yang perlu dievalusi tentu saja soal jointness kita. Bagaimana kinerja jointness kita selama latgab kemarin? Kalau ada yang masih kurang, di mana? Apakah kita perlu revisi kembali bujukpur soal opsgab yang ada selama ini? Evaluasi dan revisi terhadap perangkat lunak TNI menurut saya sangat mendesak untuk dilakukan. Perangkat lunak itu kan bagian dari pusat gravitasi TNI. Mengapa perlu evaluasi? Karena sepengetahuan saya, perubahan pada perangkat lunak TNI pasca reformasi baru pada doktrin TNI yang merupakan doktrin dasar. Sementara turunan-turunan dari doktrin dasar belum dievaluasi, khususnya yang terkait dengan aspek operasional.
Adanya revolution in military affairs yang ciptakan network-centric warfare, effect-based operations, capability-based planning dan lain sebagainya secara langsung maupun tidak akan pengaruhi validitas perangkat lunak itu. Kita sama-sama tahu bahwa perangkat lunak yang bersifat operasional tidak murni buatan kita. Kita juga mengadopsi dari NATO, misalnya ATP di AL yang kita curi. Kalau kita nggak curi, gimana kita bisa punya? Kita kan bukan sekutunya Washington. Itu pun entah yang change berapa. Konon sekarang change-nya sudah hampir capai change-20.
Secara operasional, rasanya kita masih jauh untuk mencapai dominant maneuver, precision engagement, focused logistic dan full dimensional protection. Tetapi alangkah bijaksananya bila kita perlahan-lahan menuju ke sana. Saya berasumsi bahwa dalam latgab kemarin, kemampuan kita untuk dominant maneuver, precision engagement, focused logistic dan full dimensional protection masih sangat jauh. Masalahnya adalah bakal lawan kita akan menerapkan keempat elemen itu bila mereka menggunakan kekuatan militer terhadap kita.
Artinya, suka atau nggak suka, ada keharusan bagi kita untuk berbenah di dalam. Yang saya maksud di dalam ini utamanya TNI. Namun pembenahan di dalam TNI tidak akan berarti banyak bila di tingkat yang lebih atas tak ada pembenahan pula.
Ingat, sejarah mengingatkan bahwa dalam perang apabila terjadi disconnected atau mismatch antara ends dan means akan mengakibatkan kekalahan. Sebagus apapun kinerja militer pada tingkatan taktis dan operational arts, namun nggak ditunjang oleh level politik-strategi, hasilnya akan berupa kekalahan. Itulah yang dialami Jerman dalam Perang Dunia II. Sampai pada tingkat operational art, Jerman jauh lebih unggul daripada Sekutu. Bliztkrieg adalah contoh keunggulan operational art Jerman. Kemampuan dia hambat kemajuan Sekutu di Prancis setelah pendaratan Normandia selama delapan minggu ‘hanya’ dengan kekuatan sekitar satu divisi yang menjaga garis depan sepanjang ratusan kilometer merupakan contoh lain kehebatan operational art Jerman dibandingkan Sekutu.
Sayang di tingkat politik-strategi ada kelemahan karena pemimpin nasionalnya terlalu mementingkan pencapaian politik tanpa mempertimbangkan kesiapan militer dan segenap unsur pendukungnya, sehingga tercipta disconnected atau mismatch antara ends dan means.

17 Juni 2008

Menguji Pusat Gravitasi: Latgab 2008 (Bag-9)

All hands,
Tanpa banyak disadari oleh banyak pihak, Latgab TNI 2008 merupakan ajang untuk menguji pusat gravitasi TNI. Sebelum lebih jauh berdiskusi tentang itu, ada baiknya kita samakan dulu pemahaman tentang pusat gravitasi (center of gravity/COG). Center of gravity is that source of massed strength---physical or moral, or a source of leverage---whose serious degradation, dislocation, neutralization, or destruction would have the most decisive impact on the enemy’s or one’s own ability to accomplish a given military objective.
Pusat gravitasi terdiri dari dua elemen, yaitu tangible dan intangible. Yang tangible, di AL pusat gravitasinya bisa berupa kapal-kapal tabir dalam konvoi, surface strike group, carrier battle group atau bagian utama dari surface fleet yang dikonsentrasikan pada kawasan laut tertentu. Adapun yang intangible mencakup kepemimpinan nasional/politik, para Panglima militer dan stafnya, doktrin, motivasi tempur, kohesi unsur, jointness/combinedness dan moral dan disiplin.
Di tulisan sebelumnya saya mengupas betapa perang masa kini menjadikan penghancuran pusat gravitasi, yang sasarannya tidak lagi terbatas pada kekuatan militer, tetapi sudah mengarah kepada kepemimpinan nasional. Hancur atau lumpuhnya pusat gravitasi lawan diharapkan akan pengaruhi behavior mereka.
Bagaimana kaitannya dengan Latgab TNI 2008? Latgab ini salah satunya untuk menguji masalah doktrin dan jointness TNI. Soal doktrin, yang saya maksud di sini adalah doktrin pelaksanaan(environmental doctrine), bukan doktrin dasar (fundamental doctrine). Yang dimaksud dengan doktrin pelaksanaan di sini bukan semata doktrin matra, tapi sudah menyentuh doktrin operasi gabungan.
Kalau kita berdiskusi masalah opsgab, masalah utamanya menyangkut budaya. Bujukpur tentang opsgab sih TNI lengkap. Tapi itu kan jadi kurang berarti kalau budayanya masih kedepankan operasi matra tunggal (independent operation). Diakui atau tidak, penyakit kita di situ.
Tiap angkatan pengen punya peran menonjol dalam satu kampanye. Padahal soal itu kita kan harus mengacu pada space. Pada space mana kita menggelar kampanye. Dari tiga space, mana space yang lebih dominan.
Dalam Latgab TNI 2008 misalnya, AU nggak mau unsur-unsur dia yang lancarkan serangan udara terhadap tumpuan pantai lawan berada di bawah komando dan kendali AL. Padahal itu konteksnya opsfib, yang mana on scene commander-nya harus dan pasti dari AL. Hal-hal yang kayak gini belum bisa dituntaskan hingga sekarang walaupun kita punya bujukpur soal opsgab.
Jadi selain doktrin, kohesi antar unsur dalam Latgab TNI 2008 juga diuji. Di atas permukaan kelihatan mereka tampil sebagai orkestrasi. Namun di balik itu masih ada ego matra yang berlebihan. Ketidakbijakan AU melihat konteks operasi misalnya, membuat kohesivitas antar unsur dipertanyakan. Kohesivitas yang tercipta sifatnya semu.
Tantangan kita ke depan tetap sama, yaitu bagaimana kita bangun budaya gabungan yang kokoh dan bukan semu. Itu sangat penting karena merupakan salah satu sub elemen dalam pusat gravitasi. Kalau dalam internal saja kita tidak kokoh dan padu, bagaimana kita harapkan pusat gravitasi kita yang intangible menjadi sesuatu yang kokoh? Hancur atau lumpuhnya pusat gravitasi ---tangible maupun intangible--- merupakan awal dari kekalahan perang.

16 Juni 2008

STOM dan GKK Lintas Heli: Latgab 2008 (Bag-8)

All hands,
Opsfib di pantai lawan merupakan satu dari sembilan jenis major naval operations. Tujuan opsfib itu sendiri banyak, bisa berupa menduduki kawasan pantai lawan untuk mendukung operasi darat lanjutan, mendorong kemajuan pasukan kawan di sepantai pantai atau bahkan mempercepat berakhirnya perang itu sendiri. Masih banyak lainnya, seperti mencegah musuh melaksanakan evakuasi lewat laut.
Seiring dengan perkembangan teknologi, opsfib dalam skala besar pada perairan tertutup atau semi tertutup menjadi lebih sulit apabila pihak yang bertahan menggunakan kombinasi ASUW, peperangan kapal selam dan serangan udara terhadap pihak penyerang. Menghadapi kondisi itu, beberapa negara yang dipelopori Amerika Serikat melakukan inovasi baru melalui STOM. Apa itu STOM?
Yaitu ship to objective maneuver. Dalam konsep STOM, tak perlu lagi tumpuan pantai. Pasukan amfibi akan diterjunkan langsung ke sasaran dari kapal amfibi/kapal serang amfibi menggunakan helikopter. Kalau di AL kita dikenal sebagai GKK Lintas Heli. Operasi STOM terjauh yang pernah dilaksanakan adalah saat USMC sebarkan pasukan dari Samudera India ke Kandahar Oktober 2001 saat serang Taliban Afghanistan. Jadi opsfib masa kini tidak lagi memutlakkan penguasaan tumpuan pantai.
Bagaimana kaitannya dengan Latgab TNI 2008? Secara konseptual, konsep STOM sebenarnya sudah diadopsi dalam aplikasi operasi gabungan TNI. Di bujukpur atau sejenisnya, menyangkut opsfib proyeksi kekuatan dari laut ke darat dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu GKK Lintas Permukaan dan GKK Lintas Heli. Pertanyaannya, GKK Lintas Heli diujicobakan nggak di Latgab?
Karena bagaimana pun, kondisi pantai di wilayah Nusantara yang demikian beragam, nggak semuanya sesuai untuk melaksanakan GKK Lintas Permukaan. Sehingga kemampuan untuk melaksanakan GKK Lintas Heli juga perlu untuk diperhatikan.
Kalau sudah menyangkut GKK Lintas Heli, ujung-ujungnya pasti pada ketersediaan heli di Pusnerbal. Ngomong-ngomong soal Pusnerbal, ada kesan bahwa sayap udara kita belum diprioritaskan pengembangannya? Pusnerbal seperti jalan di tempat. Nomad sudah harus diganti, tapi penggantinya belum ada.
Bahkan konon belum diputuskan ganti jenis apa. Padahal kita memposisikan dia sebagai mata dan telinga armada. Mata dan telinga itu sebenarnya baru tingkat awal. Tingkat lanjutnya kan sebagai pemukul. Tapi tak apalah, yang penting kita harus punya komitmen yang sama bangun Naval Air Wing kita.
Lepas dari belum memadainya jumlah heli untuk GKK Lintas Heli, ada baiknya bila GKK Lintas Heli diujicobakan dalam Latgab. Walaupun heli yang bisa dipakai buat GKK cuma 4 atau 5 misalnya, yang penting diujicobakan konsep itu. Kan platform pendukung sudah ada buat heli, itu LPD KRI Makassar-590 dan KRI Surabaya-591.
Memang dalam Latgab kecenderungan kita untuk cari lokasi pantai ideal untuk opsfib, biar bisa GKK Lintas Permukaan. Tapi dalam realita tidak bisa seperti itu. Nggak semua pantai bisa buat GKK Lintas Permukaan. Kalau sudah begitu bagaimana? Pilihan satu-satunya adalah GKK Lintas Heli.

Hancurkan Pusat Gravitasi: Latgab 2008 (Bag-7)

All hands,
Dalam perang masa kini, sejak detik pertama perang dilancarkan maka salah satu sasaran utama yang diincar adalah pusat gravitasi (center of gravity) lawan. Pusat gravitasi lawan bukan sekedar kekuatan militer, tapi sudah mengarah pada kepemimpinan nasional. Teorinya, kemampuan melumpuhkan kepemimpinan nasional lawan akan menimbulkan efek terhadap komando dan kendali (kodal) militer yang bertempur. Jadi di sini ada kaitan erat antara pusat gravitasi dengan effect-based operations (EBO).
Sebagai contoh dapat kita lihat ketika Amerika Serikat menginvasi Irak 19 Maret 2003. Sasaran utama kampanye udara sejak perang dideklarasikan adalah kepemimpinan nasional Irak. Yang dibom bukan saja istana-istana kepresidenan di mana Saddam Hussein diduga berada, tetapi juga tempat-tempat yang punya kaitan dengan sang Presiden dan keluarganya.
Militer Amerika Serikat di bawah Jenderal Tommy Frank (Commander, U.S. CENTCOM) berasumsi bahwa bila Saddam Hussein berhasil dilumpuhkan, akan menimbulkan efek besar terhadap pasukan yang loyal sama Saddam yaitu Pengawal Republik. Bila Saddam terbunuh, diharapkan perlawanan militer Irak akan kacau balau karena pusat gravitasi sudah dikacaukan dan pada akhirnya militer Irak akan menyerah. Bagi Amerika Serikat, Pengawal Republik adalah critical capability Irak yang harus diperhitungkan, karena kesetiaan pasukan ini terhadap Saddam lebih tinggi dibandingkan dengan pasukan reguler.
Kata kuncinya adalah effect-based operations. Pertanyaannya, apa sih EBO? Effect-based operations are coordinated sets of actions directed at shaping the behavior of friends, foes, and neutrals in peace, crisis, and war. Itu definisi yang dirumuskan oleh The Command and Control Research Program, lembaga think-tank milik Pentagon.
Dari definisi EBO, cukup jelas bahwa EBO dimaksudkan untuk mempengaruhi behavior lawan, selain kawan dan pihak netral dalam kondisi damai, krisis dan perang. Dalam konteks perang, EBO yang ditujukan kepada lawan diharapkan pengaruhi behavior lawan. Lumpuhnya pusat gravitasi lawan diharapkan akan pengaruhi behavior pasukan di lapangan.
Kalau kita kaitkan dengan skenario Latgab TNI 2008, menjadi aneh bin lucu bin ajaib ketika lawan dengan begitu konyolnya melakukan serangan pertama ke wilayah periperal alias pinggiran, bukan ke pusat gravitasi Indonesia. Serangan terhadap pusat gravitasi Indonesia diprioritaskan pada tahap berikutnya setelah serangan terhadap wilayah periperal berhasil mencapai tujuan. Realistiskah skenario itu dengan karakteristik perang masa kini yang menomorsatukan penghancuran dan atau pelumpuhan terhadap pusat gravitasi lawan?

14 Juni 2008

Pengamanan ALKI: Latgab 2008 (Bag-6)

All hands,
Mencermati latgab (joint exercise maupun combined exercise) yang dilaksanakan oleh negara-negara di sekitar Indonesia, salah satu skenario yang sering dirancang adalah pengamanan SLOC. Mereka fokus ke situ karena gangguan terhadap SLOC berdampak terhadap politik, ekonomi dan keamanan mereka. Skenario demikian antara lain selalu dimainkan dalam Talisman Sabre, Combined Exercise dua tahunan Australia-Amerika Serikat.
Berangkat dari situ, sebaiknya setiap Latgab TNI, Latgab tahunan AL-AU dan AJ, ada skenario pengamanan ALKI. Baik itu menghadapi ancaman dan tantangan simetris maupun asimetris. Ancaman dan tantangan simetris terhadap ALKI dapat muncul dari negara-negara pengguna ALKI, misalnya mereka melakukan kegiatan yang tidak seharusnya di ALKI. Dalam kondisi itu, kita harus merespon dengan menggelar kekuatan di ALKI untuk peringatkan mereka.
Skenario terburuknya adalah mereka ignore peringatan kita, sehingga kita harus to engage. Ketika engage, unsur-unsur pertahanan di sekitar ALKI juga harus bersiap. Jadi bukan AL saja. Bukan tidak mungkin kapal perang pengguna ALKI akan serang pula kota di sekitar ALKI.
Skenario lainnya terkait ancaman dan tantangan simetris di ALKI adalah pemutusan garis perhubungan laut lawan. Kapan kita laksanakan pemutusan itu? Menurut saya salah satunya ketika kita konflik dengan negara di sekitar, meskipun probabilitasnya tidak imminent.
Dengan skenario bahwa negara itu selalu menggunakan ALKI dan perairan Indonesia lainnya, maka ketika konflik salah satu aksi di laut adalah putus GPL lawan. Bagaimana kita laksanakan itu di ALKI? Kemampuan itulah yang harus senantiasa kita uji di berbagai latihan, baik latihan matra, antar matra (lat antar matra kan sebenarnya sudah masuk dalam definisi latgab juga) maupun TNI secara gabungan.
Sedangkan ancaman asimetris bisa muncul dari aktor non negara yang gunakan ALKI untuk kepentingan mereka. Misalnya serang kapal perang asing yang lewat ALKI. ALKI kan pada hakekatnya disediakan untuk lalu lintas kapal perang. Kalau sampai aktor non negara lakukan itu, Indonesia dalam hal ini AL harus segera bereaksi dengan rencana kontinjensi. Cuma masalahnya, apakah sekarang kita sudah rencana kontinjensi untuk ALKI???
Reaksi dan respon itu sangat penting, jangan sampai didahului oleh unsur kapal perang asing yang diserang. Kalau unsur itu yang bereaksi langsung, batasan antara bela diri dengan penyerangan sangat mungkin menjadi kabur. Anggaplah aktor non negara itu berbasis di salah satu kota di sekitar ALKI. Hal itu dapat menjadi alasan buat unsur kapal perang mereka untuk serang kota dimaksud, dengan alasan bela diri. Padahal bela diri itu kan harus pertimbangkan pula unsur proporsionalitas.
Apakah masih proporsional menyerang kota di mana aktor non negara berbasis? Itu kan jadi debat kusir pastinya. Tapi itu tugas para diplomatlah untuk debat kusir. Tugas AL adalah to engage. Titik!!!
Menurut hemat saya, skenario pengamanan ALKI harus kita latih terus di berbagai latihan. Karena ALKI sangat penting bagi Indonesia, soal hidup matinya GPL antar wilayah kita. Ingat, adanya ALKI membelah Indonesia jadi empat bagian/kompartemen.

13 Juni 2008

Dislokasi Kekuatan: Latgab 2008 (Bag-5)

All hands,
Dalam setiap latgab yang digelar TNI, yang jarak antara satu latgab ke latgab lainnya bisa 10 tahun lebih, salah satu di antara banyak kesamaan adalah adanya Balahanpus (Bala Pertahanan Pusat) dan Balahanwil (Bala Pertahanan Wilayah). Yang dimaksud Balahanpus singkatnya kekuatan yang ada di Pulau Jawa. Sedangkan Balahanwil kekuatan yang ada di luar Pulau Jawa, yang identik dengan kekuatan AD.
Kaitannya dengan skenario latgab, selalu diskenariokan ada invasi terhadap pulau-pulau di luar Pulau Jawa. Terus Balahanwil di sana nggak sanggup hadapi, sehingga Balahanpus disebarkan. Skenario di Latgab TNI 2008 juga begitu.
Kondisi demikian, dalam alam nyata menurut saya berbahaya. Bukannya saatnya lagi semua kekuatan pusat (Armada, Kostrad) dikonsentrasikan di Pulau Jawa. Kenapa? Yah riskan sekali ketika movement dari Pulau Jawa ke wilayah hot spot di luar Jawa.
Movement-nya kan sebagian besar pakai kapal perang. Artinya dalam konvoi. Perlindungan konvoi (convoy protection) adalah pekerjaan yang tidak gampang, apalagi di jaman sekarang. Ancaman terhadap konvoi datang setidaknya dari tiga dimensi, atas air, bawah air dan serangan udara. Belum lagi kalau kita perhitungkan ruang elektromagnetik.
Sekarang ada baiknya kita hitung kemampuan kita dalam perlindungan konvoi. Nggak perlu jauh-jauh soal kemampuan AKS kita, kecepatan rata-rata antara kapal tabir dengan kapal angkut saja nggak sama. Sebagian kapal angkut kita rata-rata kecepatan ekonomisnya antara 6-8 knots. Sementara kapal tabir sekitar 12-15 knots. Bahkan kalau yang baru bisa 18-20 knot.
Dengan kondisi seperti itu, bisa dibayangkan berapa lama perjalanan dari Pulau Jawa ke pulau lain. Ambillah lokasinya di Kalimantan Timur. Sementara semakin lama perjalanan, berarti ancaman semakin mengintai. Khususnya ancaman kapal selam yang dapat muncul setiap saat.
Kalau kekuatan utama terpusat di Pulau Jawa semua, critical vulnerability kita cukup besar. Sementara critical capability kita lemah. Critical vulnerability antara lain mencakup kemampuan perlindungan konvoi, selain kemampuan hanud(nas). Sedangkan critical capability kita seperti kekuatan armada dan pesawat tempur.
Kenapa critical capability kita lemah? Karena sebagian besar kekuatan itu terpusat di Pulau Jawa. Kalau musuh serang pulau ini, sebagian besar kekuatan itu most probably akan lumpuh. Musuh yang pintar tidak akan sebarkan sebagian besar kekuatannya untuk serang daerah luar Jawa untuk lumpuhkan atau permalukan Indonesia. Yang akan jadi prioritas utama serangan yah di Pulau Jawa, khususnya pangkalan Armatim, arsenal Batu Poron, Lanud Iswahyudi, Lanud Abdurahman Saleh serta fasilitas militer di Jakarta tentunya. Kalau kekuatan di Jawa lumpuh, gimana bisa sebarkan ke luar Jawa sebagai Balahanpus?
Oleh karena itu, penataan ulang dislokasi kekuatan pusat perlu segera dilakukan. Gagasan di lingkungan AL kita beberapa waktu lalu agar sebagian kekuatan armada dan Marinir dipindahkan ke luar Pulau Jawa sebagai bagian dari pembentukan Kowilla sebenarnya sangat relevan dengan kebutuhan jaman. Dengan catatan bahwa pembentukan Kowilla satu paket dengan modernisasi alutsista, khususnya kapal perang.

12 Juni 2008

Alternatif Skenario: Latgab 2008 (Bag-4)

All hands,
Bukan sesuatu yang bijak bila kita hanya pandai mengkritik skenario Latgab TNI 2008. Tentu kita juga harus mengajukan alternatif skenario seperti apa yang dinilai sesuai dengan ancaman dan atau tantangan masa kini. Di sini saya hanya akan mengajukan alternatif skenario dari perspektif Angkatan Laut dan maritim. Soal udara dan darat, ada pihak lain yang berkompeten. Saya nggak tahu banyak soal dua matra itu.
Alternatif skenario yang mungkin dapat diujikan di Latgab maupun AJ adalah:

1. Serangan terorisme maritim ala Al Qaeda terhadap USS Cole dan MV Limburg.
Kita ada baiknya berlatih gimana kalau tiba-tiba unsur KRI diserang teroris kayak USS Cole pas lagi sandar di pelabuhan. Apa tindakan yang harus kita lakukan? Juga serangan terhadap tanker di Selat Malaka misalnya. MV Limburg kan diserang ”cuma” pakai RPG. Kalau itu terjadi di Selat Malaka, geger dunia. Perompak di sekitar Selat Malaka kan punya RPG, itu lho GAM.
Unsur-unsur yang dimainkan bukan cuma Denjaka dan Kopaska, tapi juga Satran. Kenapa Satran? Teroris kan pasti pintar. Untuk lumpuhkan Selat Malaka, sebar satu ranjau kan udah cukup. Singapura takut sekali lho dengan itu!!! Nah...gimana aksi Satran hadapi itu? Itulah pentingnya Satran terlibat dengan unsur kapal BR-nya. Jangan kita sapu ranjau andalkan manusia saja. Ha..ha..ha..
Soal lokasi main, nggak perlu di Selat Malaka. Di Selat Lombok aja cukup kok. Itu bisa bikin bule di selatan sana melotot sama kita. Tapi biarin ajalah. Dulu juga waktu Pangab Benny Moerdani kita berani tutup Selat Lombok seminggu buat lat Angkatan Laut kok.

2. Skenario pertempuran laut konvensional.
Misalnya gimana kita hadapi hostility di laut dari Malaysia, Australia atau Singapura. Ambil contoh di Ambalat. Jadi asumsinya mereka serang kita bukan untuk duduki wilayah, tapi lebih pada surgical strike untuk permalukan kita di dunia internasional. Anggap mereka surgical strike ke Balikpapan atau Makassar, serang fasilitas militer dan logistik (depo Pertamina). Terus apa reaksi kita hadapi itu? Untuk unsur-unsur Angkatan Laut di Ambalat, apa rencana kontinjensi yang dilaksanakan? Katakanlah kita harus lumpuhkan armada dia yang ada di Ambalat. Tentu di sini kemampuan peperangan atas air, bawah air dan lain-lain diuji.

Setidaknya itu yang terlintas dalam pemikiran saya soal skenario-skenario yang mungkin patut diuji. Kalau soal opsfib, bisa saja dilakukan. Mungkin mengikuti skenario kegentingan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur misalnya.
Yang jelas, gagasan tentang skenario ini berdiri di atas dasar bahwa kita tak lagi hadapi invasi yang duduki wilayah. Yang kita hadapi ancaman asimetris seperti terorisme dan ancaman simetris berupa surgical strike yang bertujuan melecehkan kita di dunia internasional. Sehingga harus direspon dengan penggunaan kekuatan militer.

11 Juni 2008

Perbandingan Skenario: Latgab 2008 (Bag-3)

All hands,
Soal skenario Latgab TNI 2008, ada baiknya kita bandingkan dengan latihan serupa yang dilakukan oleh negara lain. Sebagai perbandingan, saya ambil skenario Kakadu Exercise 2007 dan Talisman Sabre 2007.

Skenario Latgab TNI 2008:
Angkatan Bersenjata ”Sonora” merencanakan invasi militer dengan mengerahkan 3 Divisi Infanteri dibantu kekuatan laut dan udara dengan formasi 2 Divisi di depan dan 1 Divisi sebagai cadangan.
Divisi-I ”Sonora” yang terdiri dari Brigade 4, 7 dan 8 melaksanakan invasi sesuai rencana dan berhasil menguasai negara penyangga. Selanjutnya melaksanakan konsolidasi dan reorganisasi setelah bertempur selama 2 minggu dengan membentuk 1 Divisi yang diperkuat pasukan cadangan untuk melakukan invasi ke Indonesia.
Divisi-III ”Sonora” melaksanakan invasi sesuai rencana dan berhasil pula menguasai negara penyangga serta 1 Batalyon berusaha menyerang Indonesia untuk menguasai Kepulauan Natuna. Setelah mendapat perlawanan dari Kompi 134 dan Satuan Wilayah, mereka berhasil menguasai Natuna dengan sisa kekuatannya 1 Kompi di Markas Batalyon yang berkedudukan di Ranai dan 1 Kompi di Pantai Sengiap.
Brigade 1 Divisi-III ”Sonora” melaksanakan invasi ke Batam. Setelah mendapat perlawanan dari Yonif-134 dan Satuan Wilayah, mereka berhasil menguasai Batam dengan kekuatan terakhir 1 Kompi yang tersebar di Tangki Pertamina dan Bandara Hang Nadim.
Sementara Brigade 4 Divisi-I ”Sonora” yang melaksanakan invasi ke Singkawang setelah mendapat perlawanan dari Batalyon-641 dan Satuan Wilayah, berhasil menembus dan menempati posisi terakhir di Singkawang dengan kekuatan 1 Batalyon.
Demikian juga Brigade 8 Divisi-I ”Sonora” yang melaksanakan invasi ke Balikpapan berhasil menembus kekuatan Yonif-613 dan Satuan Kewilayahan. Posisi terakhir Batalyon-18 berada di Kaliorang ditambah Markas Brigade, di Sepaso Batalyon-218 dan di Pantai Sekerat Batalyon-318.

Skenario Kakadu Exercise 2007:
* Intelligence reports indicate that a terrorist group has infiltrated a refugee boat which departed from Kamaria and is heading down to Australia through the PNG archipelago
What do we know about the terrorists?
* Religious extremist group
* While they have been well supported in the past they are slowly loosing that support and as such are planning incidents to gain media attention and lift their profile
* They are known to have alliances with middle eastern religious terrorists groups although there is no evidence of joint operations They have indicated a desire to target both Australian and PNG
Dalam skenario Kakadu Exercise, ada empat negara fiktif yaitu Kamaria, Karu, Legais dan Baykara. Di mana letak keempat negara fiktif itu:
* Negara Kamaria terletak di sebelah utara Irian
* Negara Karu berada di sebelah tenggara Pulau Sumba, NTT dan Barat Daya Pulau Rote
* Negara Legais terletak di sebelah tenggara Papua Nugini dan di sebelah timur Australia
* Negara Baykara di sebelah timur Kepulauan Tanimbar
Skenario Talisman Sabre Exercise 2007:
* Having dealt with terrorism, military uprisings, humanitarian crises, ethnic clashes and coups, the strategists in Talisman Sabre are now creating war games where the economy is at risk.
* Former archipelago of Kamaria along with its lesser island of Karu, and the now-independent nations of Baykara, Legais and Tropicana, where Kamaria is said to have been interfering in recent years.
* Kamaria - which in reality would overlap the US-administered Mariana Islands - had announced Maritime Exclusion Zones around Baykara, east of Timor, and Legais, southeast of Papua New Guinea, to limit support for the Legais freedom fighters.
* Kamaria naval vessels had seized several merchant ships, including some US-owned and Bahamian-flagged vessels, leading to merchant ships and even international aircraft refusing to enter the MEZs.
* Kamaria sank Liberian-flagged merchant ships near Australia, claiming they were carrying arms for Legais rebels.
* Troops played the role of a US-Australian coalition, backed by the UN Security Council, seeking to restore peace in the Timor, Arafura, Coral and Philippine seas.


Dari tiga skenario itu, kita bisa bandingkan cara berpikir mereka dan kita. Mereka tidak berpikir lagi soal invasi dari suatu negara ke negara lain, karena memang bukan jamannya lagi. Mereka berpikir skenario yang lebih realistis, yaitu terorisme, krisis kemanusiaan, pertikaian etnis dan gangguan terhadap alur pelayaran/SLOC yang menyebabkan ekonomi terganggu.
Kalau kita masih terobsesi dengan Okinawa, Normandia, Guadalcanal, Laut Koral.
So...siapa yang lebih pintar baca perkembangan lingkungan strategis? Para perencana mereka atau TNI?

10 Juni 2008

Cuma Beking Kotor Kita Pe Celana: Latgab 2008 (Bag-2)

All hands,
Sebenarnya dari bulan Mei 2008 lalu saya sudah gatal sekaligus geli baca skenario Latgab TNI 2008. Bikin gatal dan geli karena skenarionya tidak realistis. Ulasan lengkapnya sebenarnya ada, tapi itu buat konsumsi media cetak saja. Yang di sini saya ulas bagian per bagian secara berseri.
Kemarin 9 Juni 2008 seorang perwira penerangan Latgab di Natuna umumkan dengan bangga bahwa pasukan TNI sudah hancurkan kekuatan lawan di Natuna yang berkuatan satu batalyon minus di Natuna. Justru itu membuat saya makin geli. Ha..ha..ha..
Gimana nggak geli, kok berani-beraninya musuh yang serang dan duduki Natuna (dari negara Sonora yang entah di mana itu) hanya dengan kekuatan satu batalyon minus!!! Skenarionya (dan realitanya memang begitu) di Pulau Natuna Besar ada satu batalyon infanteri AD. Terus lawan serang kekuatan itu dengan kekuatan satu batalyon minus.
Sepengetahuan saya, dalam teori perang jika kekuatan kita tiga kali kekuatan lawan, baru kita akan berperang/serang lawan. Berangkat dari teori itu, dengan asumsi bahwa kekuatan kita di Pulau Natuna Besar satu batalyon infanteri, maka lawan setidaknya akan sebarkan tiga batalyon untuk hancurkan kekuatan kita. Lho kok dalam skenario latgab nggak begitu? Skenario sih boleh saja dibuat macam-macam, tapi harus mendekati realisme dong. Jangan bikin skenario nggak realistis.
Tapi itulah penyakit yang hingga kita selama ini. Di mana-mana kita latihan, skenario kebanyakan tidak realistis. Padahal ketika kita operasi benaran, skenarionya realistis. Mau contoh? Lihat berapa kekuatan ABRI yang diterjun di Timor Timur waktu hari-H serangan ke Dili Desember 1975? Satu batalyon? Atau dua batalyon? Sepengetahuan saya kekuatan pas hari-H itu beberapa brigade, gabungan dari AD dan Marinir.
Begitu juga Mei 2003 waktu hadapi GAM. Saat itu kita pernah terjunkan kekuatan 40 ribu personel dari ketiga matra angkatan. Padahal berapa sih kekuatan ril GAM? Kenapa kita tidak turunkan kekuatan setara GAM? Yah karena kita pegang teori 3:1 itu.
Kalau begitu, kenapa di Latgab kita masih bikin skenario yang kebanyakan nggak realistis? Anggota yang terlibat itu sudah cape persiapan berbulan-bulan, tapi kok disuguhi skenario yang nggak atau setidak-tidaknya kurang realistis. Kalau begitu adanya, Latgab itu ---pinjam orang Manado pe istilah--- CUMA BEKING KOTOR KITA PE CELANA. Ha..ha..ha..

Invasi Simultan Sonora: Latgab 2008 (Bag-1)

All hands,
Skenario Latgab TNI 2008 dimulai dari adanya invasi dari negara Sonora (entah di mana itu) ke kawasan Asia Tenggara secara simultan. Di Indonesia, jurusan serangan dia ke kawasan Natuna dan Kalimantan Timur. Gitu skenarionya.
Jujur saja, saya gatal dan geli dengan skenario itu. Yah karena nggak realistis saja. Mana ada sih negara di jaman sekarang ---pasca Perang Dingin--- yang mampu dan berani invasi beberapa negara sekaligus secara simultan. Sekarang ini bukan jamannya lagi invasi, dengan Afghanistan dan Irak sebagai perkecualian. Kenapa bukan jamannya? Biayanya terlalu besar, baik itu fiskal maupun non fiskal.
Invasi ke Afghanistan dan Irak perkecualian karena Washington tak mampu singkirkan para pemimpin negeri itu lewat “jalan biasa”. Makanya dia invasi dan di balik invasi itu ada kepentingan minyak. Lalu Indonesia bagaimana?
Kita tak punya minyak. Kalau Washington nggak sreg dengan penguasa di Jakarta, masih banyak cara lain untuk jatuhkan sang penguasa. Di sini kan anteknya banyak...dari birokrat sampe LSM. Lihat saja nasib Soeharto yang dijatuhkan Washington tanpa perlu invasi Indonesia.
Dari segi luas negara, Afghanistan dan Irak itu nggak ada seberapanya Indonesia. Kalau pun ada negara yang mampu invasi Indonesia, dia nggak akan mampu duduki segenap wilayah dari Merauke sampai Sabang. Paling banter sasaran utamanya Pulau Jawa. Adapun luar Jawa, diserahkan ke sekutunya. Tengoklah sejarah Indonesia saat baru merdeka, Belanda invasi Jawa sementara Indonesia Timur diduduki oleh Australia.
Singkat kata, skenario adanya kekuatan besar yang akan invasi dan duduki Indonesia tidak realistis atau setidak-tidaknya kurang realistis. Yang justru harus kita waspadai karena realistis adalah surgical strike atau sejenisnya. Atau mungkin serangan pelecehan.
Sepengetahuan saya, TNI belum siap hadapi skenario itu. Buktinya apa? Lihat saja, TNI belum ada aturan pelibatan soal itu. Aturan pelibatan yang ada pun ---aturan pelibatan di masa damai--- tidak tegas. Apa-apa lapor ke komando atas dan koordinasi ke satuan samping. Gimana kalau lawan udah tembak kapal kita? Apa kita harus lapor dulu ke atas? Jangan-jangan perintah balas tembakan sampai ke kapal kita ketika kapal kita sudah sentuh dasar laut!!!
Terus apa gunanya aturan pelibatan dong kalau dikit-dikit lapor ke komando atas. Sepemahaman saya, aturan pelibatan itu disiapkan untuk menghadapi situasi yang gawat dan dibutuhkan tindakan segera.
So...kembali ke skenario latgab, kenapa kita nggak uji dengan yang lebih realistis. Contoh, apa tindakan unsur-unsur TNI bila hadapi tindakan pelecehan oleh Malaysia di Ambalat? Apa tindakan TNI bila kasus Bawean Juli 2003 terulang kembali? Sudah kita bersiap dengan skenario itu?
Skenario demikian tantangan yang kita hadapi di lapangan sehari-hari, khususnya di laut. Jadi bukan invasi seperti dirancang dalam latgab!!!

09 Juni 2008

Resolusi DK PBB N0.1816

All hands,
Suatu preseden baru soal keamanan maritim sudah tercipta 2 Juni 2008 lalu di New York. Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi S/Res/1816 (2008), isinya membahas tentang situasi di Somalia dengan fokus pada keamanan maritim di negeri itu. Dalam resolusi itu, Dewan Keamanan menekankan pentingnya kerjasama semua negara, termasuk dengan IMO, dengan Pemerintahan Transisi Federal Somalia untuk menghadapi masalah pembajakan dan perompakan bersenjata di Somalia.
Resolusi S/Res/1816 memberikan kuasa selama periode enam bulan sejak resolusi dikeluarkan, kepada negara-negara yang terlibat dalam perang terhadap pembajakan dan perompakan bersenjata di perairan Somalia, dengan pemberitahuan terlebih dahulu dari Pemerintahan Transisi kepada Sekretaris Jenderal PBB, untuk:

· memasuki perairan teritorial Somalia dengan tujuan menindas pembajakan dan perompakan bersenjata di laut
· menggunakan segala sumber daya yang tersedia untuk menindas pembajakan dan perompakan bersenjata

Pertanyaannya, kenapa resolusi itu sampai bisa keluar? Menurut saya, setidaknya ada dua alasan mengapa Dewan Keamanan getol menggolkan resolusi itu.
Pertama, terbitnya resolusi S/Res/1816 (2008) menunjukkan terganggunya kepentingan negara-negara besar, khususnya uwak Sam dan sekutunya. Terbitnya resolusi Dewan Keamanan PBB kali ini merupakan preseden pertama dalam hal keamanan maritim, sebab sebelumnya masalah keamanan maritim biasanya dibahas di sidang IMO saja. Sepengetahan saya, sebelum ini belum pernah ada masalah tentang keamanan maritim yang dibawa ke Dewan Keamanan.
Adanya resolusi tentang pembajakan dan perompakan di laut di perairan Somalia menandakan bahwa kepentingan negara-negara besar terganggu di sana. Perairan Somalia merupakan penghubung antara kawasan Timur Tengah/Mediterania dengan negara-negara pantai timur Afrika. Om Sam dan negara-negara Eropa punya kekhawatiran besar dari akan terjadinya pertemuan kepentingan antara kelompok pembajak dan perompak di laut dengan kelompok Al Qaidah. Nggak aneh bila sejak awal tahun 2000-an AL negara-negara tersebut menyebarkan kekuatan di sekitar perairan Tanduk Afrika hingga pantai timur Afrika untuk menjamin keamanan maritim.
Kedua, soal failed state. Somalia sejak awal 1990-an tergolong sebagai failed state setelah rezim Mohammad Siad Barre jatuh. Setelah itu nggak ada pemerintahan yang mampu menyatukan semua golongan dan wilayah di sana, yang ada adalah para warlords yang berkuasa di wilayah kesukuan masing-masing. Salah satu warlord yang terkenal adalah Mohammad Farah Aidid yang mampu pecundangi U.S. Delta Force dan U.S. Rangers di bawah pimpinan Mayor Jenderal William F. Garrison Oktober 1993 di pasar Bakhara, Mogadishu.
Sekarang secara de facto memang ada Pemerintahan Transisi Federal Somalia yang berkuasa di Mogadishu. Tapi basis pemerintahan itu lemah, sebab mereka dapat berkuasa karena dibantu secara militer oleh beberapa negara di sekitar Somalia, khususnya Ethiopia dan didukung oleh uwak Sam.
Om Sam mendukung Pemerintahan Transisi karena dia ingin menghancurkan basis Al Qaidah yang berlindung di Somalia. Menurut beberapa sumber intelijen, selama beberapa tahun terakhir satuan pasukan khusus om Sam disebarkan ke dalam wilayah Somalia untuk mencari dan menghancurkan kelompok Al Qaidah dan afiliasinya.
Karena nggak ada pemerintahan yang efektif, tidak ada pihak yang dapat menjamin keamanan di Somalia, termasuk di laut. Akibatnya, kelompok-kelompok bersenjata di Somalia dengan mudahnya melakukan segala kegiatan untuk mencari dana bagi perjuangannya, termasuk melalui pembajakan dan perompakan di laut. Nggak aneh bila kini perairan Somalia merupakan perairan paling tidak aman di dunia menurut IMO dan organisasi maritim swasta lainnya.
So…terbitnya resolusi S/Res/1816 (2008) merupakan preseden bahwa cakupan Dewan Keamanan kini telah menjangkau isu keamanan maritim. Hal itu merupakan peringatan bagi Indonesia, karena kasus Somalia sangat mungkin terjadi di perairan yurisdiksi kita yang mempunyai beberapa chokepoints strategis, bila negeri ini gagal menjamin keamanan maritim bagi penggunanya.
Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan sebagai failed state, namun bibit untuk mengarah ke sana bersifat laten. Memang kondisi di Aceh yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka relatif aman, tapi siapa yang bisa jamin kondisi ke depan. Begitu pula stabilitas di Papua yang volatile, yang perairannya berada di jalur pelayaran antara Asia Timur-Australia.

07 Juni 2008

ALKI dan Postur Angkatan Laut

All hands,
Salah satu perkembangan lingkungan strategis yang harus kita pertimbangkan dalam menyusun postur AL adalah soal ALKI. Sebab makin kuat tuntutan dari Washington agar Indonesia segera tetapkan ALKI Timur-Barat yang membentang dari Laut Arafuru sampai Laut Jawa. Menghadapi tekanan itu kita berada pada posisi yang dilematis.
Kalau kita tak akomodasi, pada kenyataannya kapal perang dia bebas melintas di alur Timur-Barat tanpa mampu kita awasi. Siapa yang bisa tandingi kekuatan U.S. Navy. Aturan pelibatan dia benarkan penggunaan kekerasan terhadap setiap ancaman yang berada di jalur konvoi dia. Singkatnya…siapa yang macam-macam sama konvoinya akan dikipas!!!
Sementara kalau kita akomodasi, berdampak terhadap pertahanan kita. Selain Indonesia akan “terbagi” jadi delapan kompartemen, dia juga bebas lalu lalang di depan Pulau Jawa. Masalahnya, Pulau Jawa masih jadi center of gravity kita. Lihat saja kebijakan pertahanan kita yang masih konsentrasikan kekuatan utama di pulau ini. (Soal itu, akan diulas nanti ketika bahas soal Latgab TNI 2008).
Dikaitkan dengan postur, isu ALKI akan pengaruhi gelar kekuatan AL kita. Soal kekuatan dan kemampuan tak perlu kita diskusikan, karena kuat dan puan yang harus dimiliki pada dasarnya bersifat umum dan tak terkait langsung dengan keberadaan ALKI.
Gelar kekuatan AL kalau ALKI Timur-Barat ditetapkan harus ditinjau ulang. Selama ini gelar kekuatan, khususnya pangkalan, lebih banyak dipengaruhi oleh isu kamla/keamanan laut alias peran konstabulari. Bukan untuk peran militer. Makanya nggak aneh bila hanya pangkalan tertentu yang bisa dukung operasi kapal perang secara keseluruhan.
Apabila ALKI Timur-Barat jadi ditetapkan, tugas AL makin berat. Kita harus mampu awasi ALKI itu, selain ALKI Utara-Selatan. Itu bukan hal yang mudah, karena keterbatasan unsur selama ini. Keterbatasan unsur ujung-ujungnya yah keterbatasan anggaran. Padahal Pam ALKI bukan satu-satunya operasi yang haru kita laksanakan, masih banyak operasi lain yang juga nggak kalah penting.
Menjadi tantangan bagi kita yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan postur untuk menjawab perkembangan itu.

06 Juni 2008

Kombinasi Rudal Permukaan-Torpedo

All hands,
Di tengah keterbatasan anggaran pertahanan, kita dituntut untuk bangun postur AL yang membuat pihak lain berpikir untuk main-main dengan kita. Mungkin ada rekan-rekan yang lebih suka gunakan istilah AL yang timbulkan deterrence. Lalu bagaimana caranya?
Untuk kapal-kapal kombatan, menurut saya kita perlu bagi dalam tiga golongan, yaitu (i) fregat dan korvet, (ii) kapal selam dan (iii) KCR/KCT. Kalau kemampuan dan keunggulan masing-masing kapal itu bisa kita eksploitasi maksimal, saya yakin AL kita akan kembali diperhitungkan orang di kawasan Asia Pasifik, minimal di Asia Tenggara.
Kita tetap butuh fregat dan korvet untuk kepentingan patroli di Laut Arafuru, Samudera Pasifik utara Irian, Laut Sulawesi dan beberapa perairan lainnya yang berhadapan dengan laut lepas. Kapal itu juga akan sangat bermanfaat bagi pelaksanaan peran diplomasi AL. Kan nggak lucu diplomasi AL pake kapal fiberglass. Ha..ha..ha..
Soal kapal selam, kita jelas sangat butuh. Nilai strategisnya kuat sekali. Waktu operasi di Timor Timur menjelang masuknya Interfet pimpinan om Kangguru, kapal selam kita jadi buruan utama kapal atas air dan heli AKS Australia dan sekutunya. Bahkan kasus itu dijadikan salah satu contoh betapa energi Royal Australian Navy (RAN) sebagian dihabiskan untuk AKS waktu itu dalam bukunya Geoffrey Till Sea Power: A Guide to the 21st Century.
Kapal cepat roket (KCR) dan kapal cepat torpedo (KCT) akan sangat berguna di chokepoints dan perairan dangkal lainnya, misalnya di wilayah barat. Untuk tenggelamkan fregat La Fayette-nya Singapura atau korvet kelas Kedah-nya Malaysia, sangat mungkin. Kombinasi KCR dengan KCT merupakan senjata yang ampuh. Mungkin rudal yang diluncurkan KCR bisa dia tangkis pake senjata close in weapon system/CIWS atau peperangan elektronika/pernika, tapi dijamin tidak dengan serangan torpedo KCT.
Sampai saat ini, belum ditemukan teknologi yang bisa ”jamming” torpedo. Torpedo masih tetap senjata ampuh yang ditakuti AL mana pun di dunia. Nggak aneh bila Rusia kembangkan torpedo yang dikombinasikan dengan roket.
So...dari tiga golongan kapal kombatan itu, perlu kita bagi jumlahnya untuk masing-masing. Fregat dan korvet menurut saya tidak perlu banyak-banyak, 6-10 sudah cukup. Yang penting teknologinya mutakhir dan siap operasi. Untuk kapal selam, mungkin kita butuh 4 saja. Sama dengan fregat dan korvet, teknologinya harus mutakhir dan siap operasi.
Nah...yang perlu diperbanyak itu KCR dan KCT. Dari segi biaya, KCR dan KCT jelas lebih murah daripada fregat, korvet dan kapal selam. Apalagi PAL sudah bisa bikin platformnya dan di masa lalu pernah bikin KCT. Dan sekarang AL kita sedang modifikasi FPB-57 yang awalnya untuk patroli menjadi KCR.
Itu langkah yang bagus. Dan akan lebih bagus lagi bila ada kontrak baru pengadaan FPB-57 KCR. Setelah FPB-57 Nav 5 selesai (KRI Lemadang cs), belum ada lagi kontrak FPB baru. Konon kabarnya kita mau yang FPB-60.
Pada dasarnya nggak ada masalah, yang penting kapal itu platformnya harus cocok untuk jadi KCR dan KCT. Bahkan kalau kita lihat di Jerman, FPB buatan Lurssen itu jenis KCR. FPB Lurssen kan yang jadi dasar FPB-57, PAL kan beli lisensinya.
Daripada bikin korvet nasional yang nggak jelas itu, lebih bagus PAL kembangkan FPB untuk KCR. Dalam hal ini, tentu Departemen Pertahanan harus bikin kontrak baru bagi pengadaan itu. Biar usaha PAL nggak sia-sia, coba konsep dan prototipe tapi nggak ada yang minat beli.

05 Juni 2008

Kemampuan Dalam Postur

All hands,
Setelah mengikuti brain storming di lingkungan internal AL kita soal postur, salah satu kesimpulan yang bisa saya tarik adalah soal belum samanya persepsi kita mengenai elemen kemampuan dalam postur. Yaitu apa saja elemen kemampuan yang mengisi postur. Ada beberapa pandangan mengenai itu.
Pertama, yang berpendapat elemen itu terdiri dari peperangan atas air, bawah air dan proyeksi kekuatan. Ini dasarnya dari kemampuan tempur yang harus dimiliki oleh setiap AL di dunia.
Kedua, yang berpandangan elemen itu harus mengacu pada kemampuan yang digariskan oleh Mabes TNI. Menurut Mabes TNI, kemampuan AL itu meliputi puan intelijen maritim, puan pertahanan, puan keamanan, puan pemberdayaan wilayah pertahanan dan puan dukungan.
Ketiga, yang berpendapat elemen itu terdiri puan di bidang militer, diplomasi dan konstabulari. Pendapat seperti ini acuannya adalah tiga peran universal AL. Dari tiga pendapat soal elemen yang akan isi kemampuan, sebaiknya kita diskusikan.
Pendapat pertama menurut saya fokusnya pada tempur laut/naval warfare. Pendekatan ini tepat kalau kita mau berhadapan dengan musuh yang berasal dari aktor negara. Masalahnya, sekarang kita juga menghadapi tantangan dari aktor non negara seperti terorisme maritim, perompakan, pembajakan dan lain-lain. Lalu apa bisa kemampuan itu kita terapkan untuk hadapi aktor non negara?
Pendapat kedua menurut saya terlalu kaku/rigid dan terkesan hitam putih. Misalnya soal puan pertahanan dengan keamanan. Kok dipisah yah? Di masa sekarang, susah untuk memisahkan pertahanan dengan keamanan, apalagi konteksnya di laut. Puan intel juga berdiri sendiri, karena memang selama ini intelijen adalah unsur masukan nomor satu dalam rencana operasi.
Soal pendapat kedua dalam beberapa hal saya bisa pahami, namun sisanya saya masih belum paham betul kenapa dibagi begitu. Perkiraan saya itu turunan dari amanat Undang-undang No.34 tentang TNI.
Ketiga, elemen kemampuan yang berangkat dari tiga peran universal AL. Pendapat ini ada benarnya juga, bahwa AL harus punya kemampuan yang mencakup tiga itu. Apalagi dalam kondisi sekarang di mana tantangan asimetris sama kuatnya atau bahkan lebih mendominasi dengan tantangan simetris. Akibatnya AL di mana-mana dituntut untuk menyesuaikan kemampuannya dan tidak semata-mata berfokus pada peran militer.
Mana yang benar? Saya susah menjawabnya, karena ini ilmu sosial. Tapi saya rasa antara pendapat kedua dan ketiga layak untuk dikaji lebih dalam. Dari kedua pendapat itu, mana yang lebih relevan dengan kondisi kekinian.

04 Juni 2008

Sakit Gigi

All hands,
Apa yang pernah saya kritisi tahun 2004 silam dan sampai membuat saya nggak disenangi oleh “pihak tertentu” di domain AL, rupanya kini telah menjadi kesadaran bersama. Utamanya dari rekan-rekan/senior yang berada pada middle level. Yaitu soal naval warfare vs keamanan laut (kamla). Bila beberapa tahun lalu sulit membayangkan “keluhan” soal mendominasinya kamla daripada naval warfare akan termuat secara tertulis dalam dokumen dan disampaikan pada forum resmi, kini hal itu sudah terjadi.
Bagi saya itu kejutan, karena ketika tahun 2004 saya mengkritisi itu, ada “pihak tertentu” yang langsung “sakit gigi”. Sejujurnya, saya mengkritisi itu juga karena dorongan seorang rekan yang sangat concern dengan AL kita (nggak perlu sebut nama-lah). Dalam hal ini, saya sama sekali tidak merasa besar kepala soal kritik terhadap kamla, karena juga banyak rekan-rekan/senior lain yang lakukan hal serupa dengan cara lain saat itu. Sekarang situasi sudah berubah, sehingga rekan-rekan/senior berani sampaikan kritik itu dalam forum resmi tanpa harus khawatir ada yang “sakit gigi”.
Soal naval warfare vs kamla, ada baiknya kita melihat kembali apa tugas pokok AL dan apa peran AL. Tugas pokok AL yah berperang di laut alias tugas pertahanan. Itu tercantum jelas, tegas dan terang dalam Pasal 9 (a) Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Tugas di bidang pertahanan itu nomor satu. Sedangkan peran AL adalah militer, diplomasi dan konstabulari.
Artinya, tugas pokok maupun peran AL yang nomor satu itu adalah di bidang militer, berperang. Tugas-tugas dan peran lain sifatnya mengikuti saja yang nomor satu. AL ada untuk disiapkan berperang di laut. Titik!!!
Jadi, menurut saya ke depan salah satu prioritas kita adalah pulihkan kembali kemampuan dan keterampilan di bidang naval warfare. Karena suka atau tidak suka kita harus akui bahwa tugas kamla selama puluhan tahun secara tidak langsung timbulkan erosi pada kemampuan dan keterampilan kita di bidang naval warfare. Betul bahwa tiap tahun kita gelar AJ/Armada Jaya sebagai latihan puncak AL, tapi masalahnya dalam keseharian lebih dari 90 persen operasi kita selama ini adalah opskamla. Akibatnya, nggak aneh bila beberapa senior pelaut mengeluh bahwa ada junior mereka yang tak hafal di luar kepala sebagian materi naval warfare.
Yang lebih celaka lagi, mulai ada ketergantungan kita terhadap GPS yang diikuti dengan penurunan keterampilan operasikan kompas. Padahal GPS itu kan satelitnya punya pihak lain, yang selain keakuratannya diragukan, juga dapat sewaktu-waktu dimatikan. Keakuratan yang kurang itu sebab GPS komersial presisinya dibedakan dengan GPS militer yang dipakai oleh militer Amerika Serikat.
Kalo GPS dimatikan, kita masih punya kompas sebagai alat bantu navigasi. Tapi kalau sampe nggak bisa operasikan kompas secara terampil, yah keterlaluan!!! Navigasi itu kan ilmu dasar buat pelaut. Gimana mau berlayar kalau nggak tahu arah.
Kemampuan dan keterampilan di bidang naval warfare harus kita pulihkan kembali. Konsekuensinya adalah kita harus mulai seimbangkan antara opskamla dengan opspurla/operasi tempur laut. Selama ini memang ada opspurla, tapi kok kebanyakan opskamla juga materinya, cuma beda nama aja.
Guspurla dalam tugas-tugasnya juga mayoritas kamla. Hanya dalam kesempatan tertentu murni purla, seperti di Ambalat misalnya. Upaya untuk seimbangkan antara naval warfare dengan kamla didukung oleh situasi yang kondusif, sebab sebentar lagi akan ada Coast Guard.
Dengan adanya Coast Guard, sebagian beban konstabulari dapat diback up oleh lembaga itu. Tapi jangan dipahami bahwa dengan itu maka peran konstabulari AL hilang. Nggak seperti itu!!! Peran konstabulari akan terus melekat pada AL, ada atau nggak ada Coast Guard.
Cara lain untuk seimbangkan naval warfare dengan kamla adalah kembalikan kapal perang pada fungsi asasinya. Jadi kalau kapal perang fungsi asasinya buru ranjau atau angkut pasukan, yah jangan difungsikan lagi untuk konstabulari. Begitu juga kapal kelas fregat dan korvet, fungsi asasinya kan bukan buat itu. Yang fungsi asasinya untuk opskamla kan yang jenis FPB itu, selain PC seperti KRI Sibarau, KRI Siliman, KRI Silea cs.
Cuma masalahnya buat fregat dan korvet, ketika kita beli dulu tidak ditegaskan secara tegas apa fungsi asasinya. Maunya kita semua kapal jenis itu bisa lakukan peperangan atas air, bawah air dan anti serangan udara sekaligus. Itu yang susah, karena ada keterbatasan platform juga.
So...tantangan ke depan buat kita adalah wujudkan keluhan soal naval warfare vs kamla dalam bentuk perubahan. Tentu bukan sesuatu yang elok bila kita hanya bisa mengeluh.