02 Juni 2008

From Chief of Naval Staff to Chief of Naval Operations

All hands,
Pemahaman tentang operasi antar matra Angkatan di TNI berbeda-beda. Perbedaan itu sebenarnya sah-sah saja, karena memang nggak bisa dilepaskan dari karakteristik masing-masing Angkatan. Khususnya antara AD di satu sisi versus AL plus AU di sisi yang lain.
Dalam pemahaman AD, operasi itu digelar sebagai respon atas suatu kejadian. Secara umum begitu pemahaman AD. Jadi kalau nggak ada kejadian, AD nggak bisa sebar kekuatan untuk operasi.
Sedangkan AL (juga AU), melakukan operasi setiap saat. Ada atau tidak ada kejadian, AL selalu deploy alias sebar kekuatannya. Operasi bagi AL dilaksanakan sepanjang waktu atau kalau kita pinjam istilah di domain AL kita...operasi sepanjang tahun. Sebab ada tidaknya AL parameternya bukan dia punya berapa kapal, tapi naval presence alias kehadiran di laut.
Eksistensi AL diukur dari situ. Jadi misalnya ada AL yang punya kapal yang tidak sedikit, tapi nggak pernah hadir di laut, itu artinya AL-nya dianggap nggak ada. Naval presence adalah ukuran ada tidaknya AL. Bukan kapal, organisasi atau personel.
So...ketika Mabes TNI mau tarik semua operasi, termasuk pendanaannya di bawah dia, bagi AD nggak ada masalah. Bagi AL, itu jelas masalah. Kenapa? Karena pemahaman Mabes TNI soal operasi itu sebangun dengan pemahaman AD. Operasi bagi Mabes TNI itu yang bersandi. Misalnya Ops Sabang Jaya, Ops Natuna Jaya, Ops Balat Sakti dan lain-lain.
Operasi-operasi itu kan sifatnya tentatif alias sementara, dibatasi oleh ruang dan waktu. Ops Sabang Jaya misalnya, cuma digelar di perairan sekitar Pulau Sabang saja dengan jangka waktu tertentu.
Nah bagaimana dengan operasi laut sehari-hari yang tanpa sandi itu? Selama ini dukungan opsnya dari Mabesal. Kalau semua operasi ditarik ke Mabes TNI, berarti kehadiran AL kita di laut akan turun drastis. Dia hanya akan hadir kalau ada ops bersandi dari Mabes TNI. Nggak ada lagi Ops Pam ALKI. Juga operasi-operasi lain yang selama ini digelar sepanjang tahun sebagai bagian dari naval presence.
Menurut pendapat saya, masalah ini memang tak lepas dari organisasi TNI itu sendiri. Matra Angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf. Urusan pembinaan itu wewenang Kepala Staf, sedangkan urusan operasi wewenang Panglima TNI.
Mari kita bandingkan dengan di negara lain. Di negeri om Sam, nomenklatur pimpinan matra Angkatan nggak ada yang sama. AD sebutannya Chief of Staff of the Army. AU gelarnya Chief of Staff of the Air Force. U.S. Navy? Chief of Naval Operations (CNO).
Mengapa beda sendiri? Karena karakteristik AL memang beda dengan angkatan lain. Dan perbedaan itu diwadahi, kalau kita kan terkesan mau “dihilangkan”. CNO punya wewenang mengatur operasi AL, dengan tetap berkonsultasi kepada Menteri AL.
The CNO is a four-star admiral and is responsible to the Secretary of the Navy for the command, utilization of resources, and operating efficiency of the operating forces of the Navy and of the Navy shore activities assigned by the Secretary. A member of the Joint Chiefs of Staff, the CNO is the principal naval adviser to the President and to the Secretary of the Navy on the conduct of war, and is the principal adviser and naval executive to the Secretary on the conduct of activities of the Department of the Navy.
Itu yang membedakan kewenangan CNO dengan para Kepala Staf AD dan AU. Berangkat dari situ dan apa yang terjadi pada kita saat ini, menurut saya perlu dikaji kembali secara mendalam soal organisasi TNI. Apakah organisasi yang ada sekarang masih sesuai kebutuhan? Apakah organisasi itu masih akomodasi kekhasan tiap matra Angkatan?
Kata orang bijak, di dunia ini yang abadi cuma perubahan. Kita sebaiknya nggak usah alergi dengan ide-ide untuk perubahan sepanjang ide itu untuk kepentingan organisasi.

Tidak ada komentar: