18 Juni 2008

Ukur Diri: Latgab 2008 (Bag-10)

Allhands,
Tahap akhir dari sebuah latihan adalah evaluasi terhadap latihan yang sudah digelar. Begitu pula dengan Latgab TNI 2008. Di sini saya tidak berpretensi mengevaluasi latihan itu, karena saya tak terlibat langsung di lapangan. Namun kalau boleh mengambil pengalaman evaluasi terhadap latihan-latihan yang selama ini rutin digelar, pasti ada kesamaan-kesamaan temuan dari tim yang ditugaskan mengevalusi latihan. Mungkin saya keliru, tetapi berangkat dari pengalaman selama ini, salah satu kekurangan kita dalam latihan-latihan berskala besar adalah menyangkut kesiapan unsur.
Kalau sudah bicara soal kesiapan unsur, kadang timbul perdebatan yang kurang sehat. Kawan-kawan di kapal akan “tunjuk” satuan pemeliharaan. Satuan pemeliharaan akan ”tunjuk” ke depo logistik. Depo logistik akan ”tunjuk” ke satuan yang lebih atas. Satuan yang lebih atas akan “tunjuk” pada dukungan dana buat beli suku cadang. Jadinya kayak lingkaran setan.
Inilah masalah kita sebagai konsumen dalam bisnis senjata. Produsen senjatanya negara lain. Kita dapat senjata lewat rekanan. Rekanan sering cari keuntungan berlebihan karena faktor ”x”. Faktor ”x” itu nggak usah kita uraikan, sudah sama-sama tahu kok. Ha..ha..ha..
Dari 140-an KRI kita, yang ikut Latgab sekitar 40-an kapal. Itu nggak sampai 1/3 kekuatan kita. Sisanya ops sehari-hari, sebagian lagi pemeliharaan di pangkalan. JOP-JOG 30%:30%:30% sepertinya susah untuk dicapai. Bahkan ada yang bilang mustahil mencapai persentase JOP-JOG itu.
Apa yang tercermin dari kesiapan unsur kita yang ikut latgab mencerminkan kondisi nyata sehari-hari. Itu pun dengan catatan bahwa guna sukseskan latgab, ada prioritas lebih pada pemeliharaan unsur-unsur kapal yang akan terlibat. Kalau nggak ada prioritas, mungkin jumlah unsur yang terlibat lebih sedikit lagi.
Hal lain yang perlu dievalusi tentu saja soal jointness kita. Bagaimana kinerja jointness kita selama latgab kemarin? Kalau ada yang masih kurang, di mana? Apakah kita perlu revisi kembali bujukpur soal opsgab yang ada selama ini? Evaluasi dan revisi terhadap perangkat lunak TNI menurut saya sangat mendesak untuk dilakukan. Perangkat lunak itu kan bagian dari pusat gravitasi TNI. Mengapa perlu evaluasi? Karena sepengetahuan saya, perubahan pada perangkat lunak TNI pasca reformasi baru pada doktrin TNI yang merupakan doktrin dasar. Sementara turunan-turunan dari doktrin dasar belum dievaluasi, khususnya yang terkait dengan aspek operasional.
Adanya revolution in military affairs yang ciptakan network-centric warfare, effect-based operations, capability-based planning dan lain sebagainya secara langsung maupun tidak akan pengaruhi validitas perangkat lunak itu. Kita sama-sama tahu bahwa perangkat lunak yang bersifat operasional tidak murni buatan kita. Kita juga mengadopsi dari NATO, misalnya ATP di AL yang kita curi. Kalau kita nggak curi, gimana kita bisa punya? Kita kan bukan sekutunya Washington. Itu pun entah yang change berapa. Konon sekarang change-nya sudah hampir capai change-20.
Secara operasional, rasanya kita masih jauh untuk mencapai dominant maneuver, precision engagement, focused logistic dan full dimensional protection. Tetapi alangkah bijaksananya bila kita perlahan-lahan menuju ke sana. Saya berasumsi bahwa dalam latgab kemarin, kemampuan kita untuk dominant maneuver, precision engagement, focused logistic dan full dimensional protection masih sangat jauh. Masalahnya adalah bakal lawan kita akan menerapkan keempat elemen itu bila mereka menggunakan kekuatan militer terhadap kita.
Artinya, suka atau nggak suka, ada keharusan bagi kita untuk berbenah di dalam. Yang saya maksud di dalam ini utamanya TNI. Namun pembenahan di dalam TNI tidak akan berarti banyak bila di tingkat yang lebih atas tak ada pembenahan pula.
Ingat, sejarah mengingatkan bahwa dalam perang apabila terjadi disconnected atau mismatch antara ends dan means akan mengakibatkan kekalahan. Sebagus apapun kinerja militer pada tingkatan taktis dan operational arts, namun nggak ditunjang oleh level politik-strategi, hasilnya akan berupa kekalahan. Itulah yang dialami Jerman dalam Perang Dunia II. Sampai pada tingkat operational art, Jerman jauh lebih unggul daripada Sekutu. Bliztkrieg adalah contoh keunggulan operational art Jerman. Kemampuan dia hambat kemajuan Sekutu di Prancis setelah pendaratan Normandia selama delapan minggu ‘hanya’ dengan kekuatan sekitar satu divisi yang menjaga garis depan sepanjang ratusan kilometer merupakan contoh lain kehebatan operational art Jerman dibandingkan Sekutu.
Sayang di tingkat politik-strategi ada kelemahan karena pemimpin nasionalnya terlalu mementingkan pencapaian politik tanpa mempertimbangkan kesiapan militer dan segenap unsur pendukungnya, sehingga tercipta disconnected atau mismatch antara ends dan means.

Tidak ada komentar: