30 April 2008

Sovereignity Without At All Cost and Risk???

All hands,
Bangsa ini suka sekali dengan kata kedaulatan. Mungkin karena latar belakang kita yang merdeka melalui pengorbanan jiwa dan benda. Sehingga nggak heran kalau kita berhadapan dengan kepentingan asing, cepat atau lambat kata kedaulatan pasti akan keluar. Apalagi ketika posisi kita terpojok, kata kedaulatan pasti akan segera keluar sebagai senjata pamungkas.
Di sini saya nggak akan bahas soal pergeseran makna kedaulatan dalam era globalisasi. Secara prinsip, saya menyadari sepenuhnya adanya pergeseran itu. Apalagi kalau kita membahas hukum di laut, tentu kita sama-sama tahu bahwa kedaulatan di laut tidak mutlak. Mau suka atau tidak suka, hukum nasional, termasuk KUHAP yang selalu dijadikan senjata pamungkas oleh salah satu aktor keamanan, harus menyesuaikan dengan hukum internasional. Tapi masalahnya bukan di situ.
Kalau kita bilang kedaulatan itu mahal, banyak pihak pasti akan setuju. Namun masalahnya adalah apakah bangsa ini sudah menempatkan nilai mahal itu pada posisi sebenarnya. Maksudnya, apakah kita punya guts atau will untuk menjaga kedaulatan itu at all cost and risk? Baik itu dalam konteks fisik maupun non fisik. Sebagai contoh, kalau kedaulatan itu memang kita junjung tinggi, kok selama ini kita nggak berani at all cost and risk bangun kemampuan pertahanan? Sebagai alasan pemaaf, kita pakai kesejahteraan rakyat sebagai tamengnya.
Pandangan demikian menurut saya mendikotomikan antara isu kesejahteraan vs keamanan. Kita butuh dua-duanya, tidak bisa menghilangkan atau menganaktirikan salah satunya. Okelah keterbatasan anggaran selalu alasan, tapi apa iya kita tak punya uang. Sebagai contoh, kalau kita butuh kapal selam empat, kan pembayarannya tidak kontan. Kita bisa pakai pembiayaan tahun jamak. Anggaran itu kan "ciptaan" kita juga, kok kita kalah sama "ciptaan" kita sendiri?
Menurut saya kendalanya kita ingin jadi anak manis di kawasan. Ada rasa ewuh pakewuh terhadap adik-adik di kawasan selama ini. Sekarang adik-adik itu udah kurang ajar sama abangnya. Tapi abangnya cenderung diam, nggak berani "nyentil". Sang abang terlalu naif dengan kemampuan diplomasinya. Seolah-olah diplomasi berdiri sendiri tanpa dukungan dari instrumen lain. Si abang terlalu percaya bahwa dengan diplomasi, tak ada pihak lain yang akan berani merugikan kepentingan nasionalnya. Apa iya begitu???
Sekarang beberapa petinggi kita senang berkoar soal soft power. Menurut pemahaman saya, soft diplomacy itu cuma terminologi manis dan indah saja. Karena pelaksanaannya juga didukung oleh hard power. Contohnya si uwak Sam itu. Dia datang ke kita dengan soft power untuk HADR/humanitarian assistance and disaster relief. Means-nya yah gugus tempur lautnya dia, seperti kapal induk dan segenap elemennya. Bukan tentara yang datang pake Hercules dan tanpa senjata. Mereka datang ke sini dengan rules of engagement yang robust, walaupun misinya adalah kemanusiaan. Jangan coba-coba dekati kapal mereka di tengah laut kalau nggak mau disiram peluru.
Kembali ke soal semula, sepatutnya kita bertanya pada diri sendiri, apakah betul kita sudah siap menanggung konsekuensi menempatkan kedaulatan di atas segalanya? Kedaulatan itu ada harganya lho, yaitu at all cost and risk. Are we ready to take it???

Bertahan Hidup Dengan 90 Persen

All hands,
Tahun ini mungkin salah satu tahun yang pahit buat kita yang ada di lingkungan Dephan dan TNI. Dikatakan pahit karena anggaran kita dipotong 10 persen sebagai akibat kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak naik, menurut sebagian analisis, merupakan bagian dari plot Washington untuk "menundukkan" Cina. Seperti kita sering baca di dokumen-dokumen strategis Amerika Serikat seperti The National Security Strategy, uwak Sam nggak ingin melihat tumbuhnya satu peer competitor pun di dunia. Oleh karena tidak, bukan sesuatu yang aneh bila sekarang Beijing digoyang dari segala macam lini menggunakan semua instrumen kekuatan nasional (kalau yang udah lulus dari Cipulir nggak tau apa itu instrumen kekuatan nasional...yah kebangetan. Ha...ha..ha..).
Pemotongan ini menurut saya sebenarnya ironi, karena kalau nggak salah waktu Rapim TNI 2008 pimpinan republik ini sudah komitmen tak akan potong anggaran pertahanan apapun kondisinya. Tapi sudahlah...sekarang yang harus kita hadapi di depan mata adalah bagaimana kita bisa survive dengan pengurangan 10 persen itu. Buat kita yang sehari-hari berhadapan dengan bermacam kapal di laut, termasuk kapal perang asing dan kapal ikan, tantangannya cukup berat. Yaitu bagaimana operasi kita tetap berjalan dan dampak dari kehadiran unsur di laut dirasakan oleh para pengguna laut.
Di sisi lain kita harus tetap menggunakan alutsista lama dalam operasi karena belum ada pengganti. Kata kuncinya adalah bagaimana kehadiran unsur di laut tetap dirasakan dampaknya oleh pihak lain di saat anggaran kita dikurangi. Pihak lain bolehlah "memaki" kita karena masih pakai alut lama, tapi seharusnya mereka lebih bijak. Kalo mau "memaki", yah ke pemerintah sana. Kapal-kapal kita kan yang punya negara, makanya namanya KRI....Kapal Perang Republik Indonesia.
Menurut saya, setidaknya ada tiga loss yang mungkin dihadapi AL dengan pengurangan anggaran. Pertama, loss pada fungsi militer yaitu terhambatnya pembinaan kekuatan unsur-unsur AL, yang dalam jangka pendek dan menengah akan mempengaruhi kapabilitas secara keseluruhan (sensing, mobility, fire power dan C4ISR). Kedua, loss pada fungsi konstabulari, yaitu terus meningkatnya kerugian negara dari berbagai kegiatan ilegal di laut. Ketiga, loss pada fungsi diplomasi yaitu kemungkinan terpengaruhnya kegiatan-kegiatan diplomasi AL, khususnya yang terkait dengan sengketa di Laut Sulawesi (Blok Ambalat), penerapan kerjasama keamanan maritim dengan Australia sebagai pelaksanaan dari Perjanjian Lombok dan pengamanan perairan Natuna dan sekitarnya untuk mencegah latihan-latihan ilegal oleh militer asing di sana pasca gagalnya Defense Cooperation Agreement dengan Singapura.
Pertanyaan, gimana kita bisa meminimalisasi loss itu? Pemikiran strategis yang berkembang di Barat memperkenalkan konsep effect-based operations. Secara definisi, effect-based operations serangkaian tindakan yang diarahkan untuk membentuk tingkah laku kawan, lawan dan pihak netral dalam kondisi damai, krisis dan perang. Kalau diterapkan di laut, bagaimana kehadiran unsur-unsur KRI di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkah laku pengguna laut. Misalnya di Laut Natuna, karena KRI hadir di sana maka Singapura pikir-pikir untuk gelar latihan laut ilegal. Jadi sebenarnya konsep itu sederhana secara substansi, walaupun kalau baca dokumen-dokumen yang bahas itu memang kelihatan rumit. Bayangkan, salah satu referensi ada yang hampir 500 halaman.
Tentu masalahnya kembali bagaimana kesiapan unsur-unsur kita. Kalau unsur kita siap, saya yakin kita masih bisa membuat orang lain pikir-pikir kalau mau main-main di perairan kita walaupun alutsista kita buatan 1980-an ke bawah. Artinya kembali ke masalah anggaran, khususnya pemeliharaan. Apakah dukungan pemeliharaan kita akan terkena dampak dari pemotongan itu? Kalau kena, pilihannya tentu kita semua sepakat yaitu prioritas pada unsur tertentu. Hanya dengan cara itu kita bisa bertahan hidup dengan 90 persen. It's difficult, but we should keep our presence at sea, anyway. Because we are Navy, right???

29 April 2008

Civis Pacem Parabelum


All hands,
On current uncertainties, every one should expect the unexpected.
Navies around us still build up their strength, while we are still facing the problem we'd face some 10-20 years ago. Some of you told me that we are going nowhere.
One of the challenges we should cope right before our front door is this kind of ship. As we know, our country record's on relation with the ship's owner are not good. It means we could not close a window of hostility in the future. So...we must prepare to paralyze this ship before she could paralyze ours. Civis Pacem Parabelum...
Well... I dont want to provoke you for a hostility, but better expect the unexpected.

Kapan Buku Putih Pertahanan Diterbitkan?

All hands,
Saat ini salah satu pertanyaan yang timbul di benak saya adalah kapan Buku Putih Pertahanan 2008 diterbitkan oleh Dephan? Secara konsep, naskahnya sudah siap awal Januari 2008. Karena kebetulan pada Desember 2007 saya dilibatkan oleh kawan di Dephan untuk mengedit buku itu. Saya ulangi, saya cuma mengedit. Tidak lebih dan tidak kurang!!! Penegasan ini penting, karena belajar dari kasus Buku Putih 2003, banyak orang yang mungkin karena ingin terkenal dan diakui mengklaim buku itu buatan dia. Padahal mereka cuma dilibatkan pada bagian tertentu dari buku itu. Maklum, namanya juga selebritis pertahanan. Kalau tanya ke Dephan, alasannya pencetakan buku itu agak terhambat. Entah kenapa terhambat, saya nggak tanya detail. Cuma yang pasti, buku tersebut sudah dipaparkan di Pentagon pada USIDBDD pertengahan April 2008 lalu. Mungkin ada yang penasaran, bagaimana isi Buku Putih Pertahanan 2008? Komentar saya singkat, lebih outward looking, but not enough yet. Sudah tergambar arah pembangunan TNI ke depan, termasuk AL. Itu yang tidak ada dalam buku serupa 2003. Komentar lain? Nanti saja, kurang etis kalau saya komentari sementara bukunya belum diterbitkan secara resmi. Sebenarnya saya sudah siapkan naskah tertulis menyangkut komentar itu, tapi rencana akan dipublikasikan di media cetak setelah Buku Putih terbit.
Apakah bulan Mei 2008 akan terbit??? Wallahu alam...

We Are (Not) Soldier of Fortune

All hands,
Kalau kita baca di dokumen-dokumen terbitan Dephan dan Mabes TNI, pasti kalau menyinggung soal peacekeeping isinya membangga-banggakan diri. Yang muncul pasti kalimat sejenis "peran kita sudah diakui oleh dunia internasional". Pertanyaannya, apa iya begitu?
Dari tahun 1957 sampe sekarang, berapa kali sih kita jadi force commander? Kalau nggak salah, cuma pas di FRY (Former Republic of Yugoslavia) aja kita pernah jadi force commander, yang sekarang jadi RI-1 itu. Kenapa begitu yah? Jangan-jangan kembali ke SDM juga, selain masalah kelihaian lobi di New York.
Selama ikut peacekeeping, pasukan kita kebanyakan dideploy di daerah merah atau hijau atau abu-abu? Menurut pengetahuan saya, kebanyakan di daerah merah. Negara-negara lain, khususnya negara-negara maju kalo kirim PKO "malas" pasukannya dideploy di daerah merah. Kenapa? Mereka sayang nyawa personelnya!!!
Terus, ada pikiran yang agak nakal. Jangan-jangan Indonesia sering ditawarin ikut peacekeeping karena status kita sudah disamakan dengan Bangladesh dan India. Dua negeri serumpun itu di dunia peacekeeping dikenal sebagai soldier of fortune. Cari makannya dari misi itu!!!
Ngomong-ngomong, kapan yah AL dikirim untuk peacekeeping dalam bentuk maritime task force yah? Sekarang kan sudah ada contoh di Lebanon dengan UNIFIL MTF. Yang isi MTF dari EUROMARFOR.
Sampai 2009 kan Indonesia akan terima empat kapal korvet Sigma dari Belanda (regardless our own opinion on that ships). Dengan kapal baru, sangat cocok buat MTF. Bagaimanapun, naval diplomacy kan harus pakai kapal yang benar-benar siap dan tergolong muda. Sebelum bisa kirim MTF, tugas utama kita adalah ubah paradigma tentang peacekeeping. Peacekeeping abad ke-21 bukan cuma libatkan AD, tapi juga AL.
That's the paradigm. And I'm absolutely agree with that. How about u?

We Are Sailor, Not (Only) Our Ancestor

All hands,
Dari sekian ratus juta bangsa Indonesia, berapa banyak yang terusik dengan kalimat "Nenek moyangku seorang pelaut..." pada sebuah lagu yang (mungkin lebih banyak) dinyanyikan oleh anak-anak sekolah. Saya mungkin dari sedikit orang yang terusik dengan kalimat itu. Tentu muncul pertanyaan, kenapa terusik?
Bagi saya, kalimat itu cuma membanggakan masa lalu. Artinya yang jadi pelaut itu cuma nenek moyang kita, sementara kita bisanya cuma membanggakan nenek moyang. Yah pantas kalau negeri kita sekarang cuma statusnya aja negara kepulauan, tapi sebenarnya belum meningkat jadi negara maritim. Negara maritim tidak harus punya laut!!! Lihatlah Swiss yang menjadi markas dari perusahaan pelayaran Mediterranean Shipping Company. Perusahaan ini punya 362 kapal alias 25 persen lebih banyak dari armada U.S Navy dari semua jenis kapal. "It reminds us that in today's globalized world, what constitutes a "maritime nation" is a lot fuzzier than it used to be", begitu kata Steve Carmel dalam artikelnya Commercial Shipping and The Maritime Strategy di U.S Naval War College Review, Spring 2008, Vol.61, No.2.
Kembali ke soal kalimat dalam lagu yang mungkin paling sering dinyanyikan oleh anak-anak TK itu (apalagi TK Hang Tuah), saya cukup prihatin dengan kenyataan sekarang bahwa banyak generasi muda sekarang yang kurang kenal dengan laut. Laut sepertinya sudah jadi halaman belakang buat mereka.
Pertanyaannya, gimana kita bisa bangkitkan lagi kesadaran maritim (maritime awareness) itu ke generasi muda? Saya juga masih muda, tapi lebih banyak lagi yang lebih muda dari saya. Anak-anak sekarang payah, nama geografis di daratan aja banyak yang nggak tau. Misal, di mana letak kota Sangatta? Belum lagi kalau kita tanya nama-nama pulau. Paling taunya pulau-pulau besar. Gimana kalau kita tanya pulau-pulau kecil kayak Pulau Jemaja, Pulau Tokongbelayar, Pulau Sopia Lucia (bukan Sophia Latjuba lho) dan lain-lain pulau kecil. Kadang saya jadi bertanya, dulu waktu mereka SD diajarin nggak sih geografi, khususnya peta buta? Saya yang lulus SD 1980-a masih diajarin tuh dan sampai sekarang masih melekat geographical awareness itu. Apakah anak-anak yang duduk di SD tahun 1990-an s/d sekarang sudah nggak diajarin lagi yah?
Nggak aneh dulu waktu Februari-Maret 2005 masalah Blok Ambalat memanas, tak sedikit wartawan media cetak dan khususnya elektronik yang sebut Ambalat itu pulau. Yok opo iki, rek??? Sampai Pangkostrad waktu itu dengan gagah berani deklarasi akan turunkan pasukan Linud di Ambalat. Hancuuuuuuuuuuur!!!!!!!!! Infanteri mau tempur di tengah laut sambil berenang? Marinir aja nggak pernah diajarin gitu kok!!!
Karena sebagian besar dari kita bangga dengan nenek moyang, akhirnya kita sekarang di laut kembang-kempis. Banyak yang complain terhadap keamanan maritim, ujung-ujungnya nyuruh AL kerja lebih keras. Dari pandangan saya, AL mau disuruh kerja lebih keras kayak apa lagi??? Masalah terbesar bukan kinerja AL kok, tapi anggaran pemerintah yang belum penuhi kebutuhan minimal buat AL. AL pakai alut lama "dimarahi". Tapi nggak ada penggantian alut baru. Alasannya klasik, tak ada anggaran!!! Masalah sebenarnya bukan soal ada atau tidak anggaran, tapi ada atau tidak kemauan politik pemerintah bangun AL menuju medium regional projected Navy. Kalau ada kemauan politik, anggaran tidak akan jadi masalah. Soal alut dari negara mana, urusan belakangan.
Saya nggak bangga dengan nenek moyang seorang pelaut. Namun saya bangga jadi pelaut (dalam arti luas)!!! Bagi saya pelaut itu ada baiknya tidak terbatas pada mereka yang mengawaki kapal, namun juga pada setiap individu yang concern dengan kemajuan maritim Indonesia. Masalah maritim kan bukan cuma pelayaran, bukan begitu??? Dan saya bangga menjadi bagian dari suatu komunitas yang menentukan maju mundurnya kejayaan Indonesia di laut!!!
Are u sailor too???