28 Mei 2011

Ancaman Ranjau Di Choke Points

All hands,

Bagi negara-negara maju, salah satu ancaman yang diwaspadai pada wilayah choke points adalah ancaman peranjauan. Tidak sulit untuk menemukan kebenaran akan kewaspadaan itu, karena bisa dilacak pada beberapa latihan rutin Angkatan Laut negara-negara maju yang berfokus pada perburuan dan penyapuan ranjau di choke points. Negara-negara itu memang telah memiliki banyak pengalaman tentang ancaman peranjauan di perairan choke points, misalnya di Teluk Persia menjelang Selat Hormuz.

Seperti pernah ditulis sebelumnya, ranjau laut adalah senjata murah dengan daya rusak besar. Tak aneh bila banyak ahli strategi keamanan maritim berpendapat bahwa peperangan ranjau merupakan salah satu pilihan murah bagi aktor non negara untuk menghadapi aktor negara di laut. Oleh karena itu, kini kegiatan operasi perburuan dan penyapuan ranjau di perairan choke points, misalnya di perairan sekitar Eropa, menjadi menu rutin bagi Angkatan Laut negara-negara maju.

Indonesia hendaknya paham dengan isu tersebut. Isu itu sebenarnya juga ditakutkan oleh Negeri Penampung Koruptor, karena apabila terjadi maka kerugian yang harus ditanggung oleh negeri kecil itu berlipat-lipat ganda. Dalam konteks kepentingan nasional Indonesia, isu peperangan ranjau sesungguhnya dapat "dimainkan" oleh Indonesia terhadap beberapa negara di sekitar Indonesia.

27 Mei 2011

Pangkalan Militer Asing Dan Stabilitas Kawasan

All hands,

Apakah eksistensi sebuah pangkalan militer berpengaruh terhadap stabilitas kawasan? Kalau berpengaruh, apakah berpengaruh positif ataukah negatif? Jawaban atas dua pertanyaan itu pasti beragam, tergantung siapa yang ditanya dan bagaimana kepentingan pihak yang ditanya tersebut?

Isu pangkalan militer asing telah menjadi bahan perbedaan pendapat di Asia Tenggara sejak 1960-an. Soekarno yang menggelar politik Konfrontasi terhadap Negeri Tukang Klaim dan Negeri Penampung Koruptor antara lain menggemakan ketidaksukaannya terhadap eksistensi pangkalan militer asing di kawasan ini. Ketika ASEAN berdiri pada 1967, isu ini kembali mendapat perhatian meskipun beberapa negara anggota ASEAN resisten terhadap diangkatnya isu pangkalan militer asing oleh Indonesia.

Dari sisi kepentingan nasional Indonesia, eksistensi pangkalan militer asing di Asia Tenggara sebenarnya tidak sejalan dengan kepentingan nasional itu. Sebab kehadiran militer asing di kawasan "mengacaukan" arsitektur kawasan. Buktinya bisa dilihat dari ketidakberdayaan dan "ketidakberdaulatan" ASEAN di kawasan ini dalam mengurus keamanan kawasan tanpa campur tangan pihak lain.

Ketika ASEAN berkehendak mewujudkan ASEAN Community yang salah satu pilarnya adalah ASEAN Security Community, apakah wadah itu akan berhasil mencapai tujuannya untuk menata keamanan kawasan? Menurut hemat saya, selama beberapa negara ASEAN masih diakomodasi untuk menjadikan wilayahnya sebagai tuan rumah pangkalan militer asing, sulit untuk mencapai tujuan itu secara komprehensif. Eksistensi pangkalan militer asing menunjukkan pula betapa confidence building measures antar negara ASEAN belum tercapai, sehingga ada negara ASEAN tertentu yang lebih suka mengandalkan militer asing guna membantu keamanannya.

26 Mei 2011

Redefinisi Pengamanan Choke Points

All hands,

Selama ini salah satu energi Indonesia dipusatkan pada pengamanan choke points yang berada di wilayah perairan Indonesia. Tindakan demikian tidak keliru, justru sesuai dengan amanat konstitusi negeri ini. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, nampaknya perlu adanya redefinisi pengamanan choke points tersebut. Pertanyaannya, redefinisi seperti apa yang dimaksud?

Kepentingan Indonesia sebagai suatu negara bangsa tidak dapat dibatasi hanya sebatas wilayah yurisdiksi negeri ini saja. Negeri ini berkepentingan untuk melindungi jalur perdagangannya lewat laut yang berada di luar wilayah Indonesia. Jakarta berkepentingan pula untuk melindungi kapal-kapal berbendera Merah Putih beserta WNI yang mengawakinya yang berlayar di luar wilayah perairan Indonesia. Penting untuk dipahami bahwa laut adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi Indonesia, entah itu perairan Indonesia sendiri, perairan negara lain maupun perairan internasional.

Dikaitkan dengan choke points, kepentingan Indonesia dalam mengamankan choke points bukan sekedar empat choke points yang terletak di wilayah perairan negeri ini saja. Tidak dapat dibantah bahwa Jakarta berkepentingan pula untuk mengamankan choke points lainnya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari jalur perdagangan Indonesia dengan dunia internasional. Misalnya di Selat Hormuz, Selat Bab El Mandeb dan perairan sekitar Somalia. Singkatnya, Angkatan Laut negeri ini ke depan harus dibangun untuk mampu melaksanakan operasi ekspedisionari dalam rangka mengamankan kepentingan nasionalnya.

25 Mei 2011

Penyebaran Kapal Perang India Ke Samudera Pasifik

All hands,

Sebagai realisasi dari ambisi politiknya, India kini secara rutin telah menyebarkan kapal perangnya ke kawasan Samudera Pasifik. Penyebaran dalam rangka patroli sekaligus diplomasi Angkatan Laut tersebut biasanya terpusat di perairan sekitar Asia Timur, seperti Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, Laut Filipina dan Laut Jepang. Pesan dari penyebaran itu sangat jelas dan terang benderang, yakni New Delhi mendapuk dirinya sebagai aktor Samudera Pasifik.

Sudah lama India ingin memainkan peran strategis di kawasan Asia Pasifik, meskipun dirinya berada di Samudera India. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan ambisi itu. Terlebih lagi ekonomi India kini adalah salah satu kekuatan baru di dunia, di mana interaksi ekonomi New Delhi dengan ibukota-ibukota nasional di Asia Timur telah jauh meningkat dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.

Selain itu, New Delhi masih bermusuhan dengan Beijing, sehingga masuknya India ke Samudera Pasifik dimaksudkan sebagai peningkatan posisi tawar negeri itu terhadap Cina. Washington yang membutuhkan kawan dan sekutu guna membendung Beijing dengan senang hati menerima kehadiran New Delhi di Samudera Pasifik. Bahkan administrasi Presiden Obama dengan senang hati memfasilitasi pembangunan kekuatan militer India lewat pemberian akses terhadap produk-produk senjata buatan Amerika Serikat.

Pertanyaannya, bagaimana Indonesia menyikapi perkembangan demikian?

24 Mei 2011

Bahaya Ketergantungan GPS

All hands,

GPS kini menjadi salah satu andalan dalam sistem navigasi di dunia, termasuk navigasi bagi rudal jelajah. Rudal-rudal yang diluncurkan dari kapal perang Amerika Serikat untuk menggempur berbagai sasaran di Libya beberapa waktu lalu sepenuhnya dipandu oleh GPS. Akan tetapi, India adalah salah satu korban GPS milik Amerika Serikat dalam pengembangan rudal jelajah.

Rudal Brahmos yang merupakan hasil kolaborasi New Delhi-Moskow pada awalnya dirancang menggunakan GPS sebagai pemandunya. Namun dalam suatu uji coba sekitar Agustus 2010, rudal itu meleset 2 km dari sasaran seharusnya. Setelah diteliti, ditemukan adanya "masalah teknis" terkait dengan sistem panduan rudal itu yang mengandalkan pada GPS. Singkatnya, Amerika Serikat sebagai pemilik 24 satelit GPS mengelabui arah terbang rudal India.

Sebagai respon terhadap "masalah teknis" itu, pemerintah India memutuskan bahwa sistem pandu rudal Brahmos dialihkan pada Glonass. Meskipun jumlah satelit Glonal belum ideal di ruang angkasa, tetapi sistem itu masih lebih bisa diandalkan daripada sistem serupa buatan Washington.

Pesan dari kasus ini adalah hati-hati menggunakan GPS bagi aplikasi militer. Pesan ini juga berlaku bagi militer Indonesia, termasuk Angkatan Laut di dalamnya.

23 Mei 2011

Operasi Pengamanan Choke Points

All hands,

Selama ini untuk pengamanan choke points di Indonesia belum ada suatu operasi khusus, kecuali di Selat Malaka. Adapun pengamanan tiga choke points lainnya masih ditumpangkan dalam operasi lain, seperti Ops Pam ALKI maupun operasi laut sehari-hari. Dampaknya, situasi di choke points tidak dapat dipantau 24 jam.

Pada sisi lain, dinamika keamanan kawasan terus bersifat cair. Dikaitkan dengan choke points, perairan sempit namun strategis itu menjadi rebutan pihak-pihak lain untuk mengendalikannya. Dengan mengendalikan choke points berarti mampu mengontrol akses keluar masuk kapal perang negara lain. Kemampuan yang terakhir inilah yang seharusnya dipunyai oleh Indonesia.

Oleh karena itu, perlu dikaji secara matang agar ke depan pengamanan choke points merupakan suatu operasi yang berdiri sendiri dan tak lagi ditumpangkan pada operasi lainnya. Dengan demikian, kemampuan pengendalian laut oleh Indonesia di choke points lebih meningkat dibandingkan kondisi saat ini. Pengkajian secara matang dibutuhkan karena operasi itu harus didukung oleh kesiapan unsur, adapun kesiapan unsur harus didukung pula oleh kesiapan anggaran.

22 Mei 2011

Gelar Kekuatan Pertahanan Di Wilayah Choke Points

All hands,

Indonesia memiliki empat choke points strategis dalam navigasi internasional. Karena sifatnya yang strategis, banyak pihak asing yang berkepentingan terhadap keamanan di choke points tersebut. Mereka akan melakukan semua cara yang diperlukan untuk mengamankan choke points seandainya Indonesia sebagai tuan rumah tak mampu mengamankannya.

Terkait dengan hal tersebut, ke depan perlu diperhatikan bagaimana gelar kekuatan pertahanan di sekitar keempat choke points tersebut. Gelar kekuatan yang dimaksud di sini bukan saja kekuatan Angkatan Laut, tetapi juga kekuatan Angkatan Udara dan Angkatan Darat. Untuk kekuatan udara misalnya, harus dikaji tentang penggelaran skadron tempur di sekitar choke points. Adapun Angkatan Darat mesti dikaji penempatan satuan artileri, khususnya artileri pertahanan udara.

Sementara bagi Angkatan Laut, penggelaran kekuatan bukan semata unsur kapal perang, tetapi mencakup pula unsur pesawat udara dan Marinir. Untuk Marinir, ke depan nampaknya perlu dikaji penempatan batalyon artileri medan yang berfungsi sebagai batalyon pertahanan pantai di wilayah-wilayah choke points negeri ini. Bagi unsur pesawat udara, intensitas patroli di wilayah sekitar choke points perlu untuk ditingkatkan lagi.

Apalagi negeri ini menata ulang gelar kekuatan di sekitar empat choke points, dipastikan akan menimbulkan efek penangkalan yang tidak sedikit. Negeri Tukang Klaim, Negeri Penampung Koruptor maupun Negeri Penindas Aborigin pasti akan berkalkulasi ulang soal tingkah laku mereka terhadap Indonesia. Penataan gelar kekuatan itu sebenarnya tidak memerlukan anggaran yang besar apabila ada political willl dari pemerintah.

21 Mei 2011

Paradigma Pertahanan Maritim

All hands,

Selama ini banyak pihak di Indonesia tidak paham dengan definisi maritim, apalagi ketika menyentuh isu pertahanan maritim. Pertahanan maritim selalu diidentikkan dengan Angkatan Laut, padahal unsur kekuatan maritim tak semata Angkatan Laut saja. Singkatnya, paradigma tentang pertahanan maritim di Indonesia harus ditata ulang.

Pembangunan kekuatan pertahanan negeri ini harus mengacu pada paradigma pertahanan maritim. Artinya, kekuatan militer selain Angkatan Laut harus siap untuk beroperasi di laut dalam konteks operasi gabungan. Dalam hal ini, kekuatan yang akan menjadi mitra Angkatan Laut dalam operasi maritim gabungan adalah Angkatan Udara.

Kekuatan udara harus menurunkan ego sektoralnya untuk tidak mau beroperasi bersama Angkatan Laut dalam suatu operasi maritim gabungan. Sebab dalam operasi itu, unsur udara adalah unsur pendukung kekuatan laut dan bukan unsur utama. Peran dari unsur udara selain menyangkut pengintaian juga melakukan penyerangan terhadap sasaran-sasaran di permukaan laut, selain menjadi pelindung udara bagi kekuatan Angkatan Laut.

Terkait dengan hal tersebut, perlu ditinjau ulang tentang konsep dan doktrin operasi maritim gabungan yang ada selama ini. Sangat mungkin apa yang dianut selama ini tidak semuanya masih sesuai dengan dinamika zaman sehingga perlu diperbarui. Tak luput pula, intensitas latihan maritim gabungan yang melibatkan kekuatan laut dan udara perlu ditingkatkan agar kohesivitas kedua belah pihak lebih baik dan meningkat.

20 Mei 2011

Harmonisasi Perundang-undangan Tentang Maritim

All hands,

Salah satu pekerjaan rumah yang hingga kini belum tuntas di Indonesia adalah harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan maritim. Setidaknya ada belasan undang-undang yang terkait dengan maritim, belum lagi Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Selama harmonisasi tidak dilaksanakan, maka ego sektoral masih akan terus mewarnai pengaturan manajemen keamanan maritim di negeri ini.

Terjadinya disharmoni dalam berbagai peraturan perundang-undangan tak lepas dari kualitas pembuat undang-undang yang tidak sesuai standar. Penyebab lainnya, instansi-instansi teknis lebih mengedepankan kepentingan sektoralnya daripada kepentingan nasional. Berikutnya, demi kepentingan itu instansi-instansi teknis tutup mata atau bahkan "menabrak" hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Sangat disayangkan amanat pemimpin negeri ini untuk harmonisasi itu yang dititahkan beberapa tahun silam sampai kini tidak terlaksana. Padahal sudah jelas lembaga mana di negeri ini yang mempunyai tugas untuk melaksanakan harmonisasi itu. Bisa jadi tidak jalannya titah tersebut karena besarnya tekanan politik dari pihak-pihak yang berkepentingan. Belum lagi kenyataan bahwa harmonisasi itu berarti harus melewati pula parlemen, misalnya amandemen undang-undang, di mana logika berpikir yang mengacu pada kepentingan nasional pasti mengalami deviasi yang sangat tajam ketika sampai di tangan parlemen.

19 Mei 2011

Intervensi Dari Laut Dan Kapal Selam

All hands,

Dalam catatan sejarah kontemporer, intervensi suatu negara ke negara lain lebih banyak dilakukan lewat laut. Bentuk intervensi itu tidak harus selalu identik dengan invasi, tetapi seringkali melalui kehadiran kapal perang suatu negara di dekat perairan teritorial negara lainnya, baik memasuki perairan suatu negara dengan dalih lintas damai. Nyaris tak ada kasus politik yang melibatkan negara pantai atau bahkan negara yang terkunci oleh daratan tanpa pelibatan kekuatan Angkatan Laut suatu negara untuk menekan negara yang sedang menghadapi krisis politik. Lihat saja Afghanistan yang diintervensi dari laut, meskipun negeri kering kerontang itu tak mempunyai laut.

Untuk menghadapi atau merespon intervensi dari laut, suatu negara harus memiliki kekuatan Angkatan Laut yang mumpuni pula. Hanya dengan cara demikian maka pihak yang hobi menggelar intervensi akan berpikir keras untuk melancarkan aksinya. Terlebih jikalau negara yang rawan mengalami intervensi memiliki armada kapal selam, dapat dipastikan negara pelaku intervensi akan melakukan kalkulasi lebih cermat. Lihat saja aksi Australia ketika akan mengintervensi Timor Timur pada 1999.

Oleh karena itu, sebagian besara Angkatan Laut yang mengoperasikan kapal selam menghitung dengan cermat berapa kebutuhan minimal kapal selamnya. Perhitungan itu antara lain agar jangan sampai pada periode tertentu terjadi kekosongan kapal selam, dalam arti tak ada kapal selam yang siap operasional. Terkait dengan Indonesia, pendekatan dengan hanya mengandalkan dua kapal selam dalam armada Angkatan Laut perlu ditinjau kembali.

18 Mei 2011

Pola Pikir Kontinental

All hands,

Adalah suatu ironi ketika mayoritas penghuni negeri kepulauan terbesar di dunia ini masih

menganut pola pikir kontinental. Pola pikir itu memandang laut sebagai pemisah dan penghalang wilayah darat. Sangat jelas pola pikir demikian bertentangan dengan geopolitik Indonesia yaitu Wawasan Nusantara. Dalam Wawasan Nusantara jelas dinyatakan bahwa laut adalah pemersatu bangsa, meskipun secara fisik memisahkan pulau-pulau di Indonesia.

Gagasan jembatan antar pulau adalah cermin dari pola pikir kontinental. Kesalahan dalam mengelola perhubungan laut antar pulau, misalnya dalam kasus antrian kendaraan di lintas Merak-Bakauhuni, dilimpahkan kepada laut. Gelombang laut tinggi tidak jarang menjadi kambing hitam. Dari situ kemudian muncul gagasan untuk membangun jembatan yang menghubungkan dua pulau yang jaraknya cukup jauh.

Hal-hal seperti ini seringkali tidak dipandang penting oleh banyak kalangan, padahal bersifat krusial. Sebab hal demikian terkait dengan pandangan geopolitik bangsa Indonesia. Singkatnya, masih banyak pihak di Indonesia, termasuk penyelenggara pemerintahan, yang tak paham dengan pandangan geopolitik bangsanya sendiri.

Begitu pula dengan gagasan propinsi kepulauan yang celakanya disetujui oleh pemerintah. Sekali lagi ini menunjukkan betapa pola pikir kontinental masih kuat menghinggapi pola pikir dan pola tindak bangsa Indonesia. Artinya, Wawasan Nusantara perlu untuk disosialisasikan kembali kepada semua kalangan, tanpa harus meniru cara-cara pemerintahan di masa lalu yang terbukti kontraproduktif.

17 Mei 2011

Kepentingan Singapura Di Kepulauan Riau

All hands,

Sudah lebih dari 10 tahun terakhir Indonesia bersama Singapura menggelar ISBS alias The Indonesia-Singapore Bhakti Sosial. Kegiatan itu merupakan rangkaian dari Patkor Indosin yang digelar dua kali setahun. Yang menarik untuk diperhatikan adalah sebaran wilayah yang menjadi sasaran ISBS, yaitu pulau tertentu yang berbatasan langsung dengan Singapura.

Pulau-pulau itu mencakup Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Karimun. Singapura berfokus pada ketiga pulau tersebut, tentu saja dengan sasaran tertentu. Tak sulit untuk menebak bahwa fokus di ketiga pulau itu tidak lain adalah untuk "menetralisasi" penghuni ketiga pulau agar menjadi bumper bagi keamanan maritim di sekitar Singapura. Selain itu, juga untuk menanamkan pengaruh Negeri Penampung Koruptor di wilayah-wilayah tersebut. Singkat kata, Negeri Penampung Koruptor ingin menciptakan sphere of influence yang melampaui batas wilayah kedaulatannya.

Kondisi seperti ini belum terlambat untuk dicermati dan diwaspadai oleh Indonesia. Sebab bagaimanapun, dalam urusan keamanan maritim sesungguhnya tangan Negeri Penampung Koruptor itu berada di bawah, sedangkan tangan Indonesia berada di atas. Posisi demikian harus dipahami, jangan sampai realita di lapangan malah terbalik. Indonesia dibutuhkan oleh Singapura dalam keamanan maritim di Selat Malaka dan Selat Singapura, bukan sebaliknya.

16 Mei 2011

Blokade Angkatan Laut Sebagai Instrumen Politik Internasional

All hands,

Dalam dunia kontemporer, blokade laut oleh Angkatan Laut telah menjadi instrumen politik internasional. Misalnya dalam kasus penerapan sanksi Dewan Keamanan PBB, seperti di Irak. Blokade laut biasanya senantiasa dipasangkan dengan no fly zone. Penerapan no fly zone berdasarkan pengalaman selalu bernuansa koersif, seperti pengeboman terhadap sasaran-sasaran militer, sementara implementasi blokade laut cenderung menggunakan pendekatan yang lebih lunak.

Di masa lalu, blokade laut lebih banyak merupakan instrumen yang bersifat unilateral. Seiring dengan perubahan konstelasi dunia dimana multilateralisme lebih mengedepan, blokade laut kini telah berubah menjadi instrumen politik multilateral. Dalam konteks itu pula maka Angkatan Laut banyak negara kini beroperasi dalam bingkai koalisi, walaupun bingkai unilateral tetap bukan suatu bingkai yang ketinggalan zaman.

Perkembangan seperti itu merupakan tantangan bagi Indonesia dalam merumuskan kembali bingkai kerjasama Angkatan Laut ke depan. Perlu dikaji apakah Indonesia ke depan perlu bergabung dengan koalisi internasional untuk menegakkan resolusi Dewan Keamanan PBB atau tidak? Begitu pula dengan resolusi atau keputusan organisasi keamanan kawasan, misalnya ASEAN Security Community yang bukan tidak mungkin di masa depan akan bertransformasi menjadi organisasi yang mengacu pada Bab VIII Piagam PBB.

15 Mei 2011

Beyond ASEAN Region

All hands,

Selama ini pemikiran tradisional yang berkembang di Jakarta beranggapan bahwa kepentingan nasional Indonesia cuma sebatas wilayah ASEAN alias Asia Tenggara. Oleh karena itu, para diplomat Indonesia diarahkan untuk bekerja keras untuk merumuskan berbagai konsep tentang ASEAN yang tentu saja harus mengakomodasi kepentingan Indonesia. Pola pikir demikian sudah waktunya untuk diubah, karena dinamika keamanan internasional dewasa ini menunjukkan bahwa kepentingan nasional Indonesia ternyata tidak sebatas kawasan Asia Tenggara saja.

Indonesia harus mempersiapkan diri dari aspek politik, ekonomi dan militer untuk mengamankan kepentingan nasionalnya nun jauh dari Asia Tenggara. Misalnya di Teluk Persia, Selat Bab El Mandeb dan perairan Somalia/Samudera India. Kapal perang Angkatan Laut sudah waktunya untuk diproyeksikan ke sana.

Harus dipahami bahwa Indonesia kini statusnya adalah negeri importir minyak. Negeri ini tidak mempunyai cadangan energi strategis seperti halnya Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan lain-lain. Satu minggu saja pengiriman minyak dari Timur Tengah ke Indonesia terganggu, langsung akan menimbulkan gejolak politik internal yang diawali oleh antrian kendaraan bermotor di SPBU.

Hendaknya dipahami pula bahwa jumlah kapal berbendera Merah Putih makin meningkat. Artinya kewajiban Angkatan Laut Indonesia untuk mengamankan kapal-kapal itu semakin meningkat pula. Kapal-kapal itu trayeknya bukan semata di perairan Indonesia, tetapi pula di perairan internasional nun jauh dari Indonesia.

Penting untuk diketahui juga bahwa lebih dari 30.000 pemegang paspor Indonesia mencari penghidupan di luar negeri dengan berbagai profesi. Konstitusi negeri ini mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk melindungi mereka, kapan pun dan di mana pun. Untuk bisa melaksanakan amanat konstitusi itu, dibutuhkan suatu Angkatan Laut yang mampu diproyeksikan jauh dari wilayah Indonesia.

14 Mei 2011

Ruang Udara Dan Operasi Maritim

All hands,
Dalam melaksanakan operasi maritim gabungan, salah satu titik kritis bagi Indonesia adalah soal pengendalian ruang udara di Kepulauan Riau oleh negeri penampung koruptor. Kebijakan pemerintah Indonesia yang terkesan "menikmati" penguasaan ruang udara tersebut. Buktinya, upaya modernisasi sistem navigasi udara sebagai modal penting untuk mengambil alih pengendalian ruang udara di Kepulauan Riau selama puluhan tahun kurang signifikan.
Kalau ada ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia di kawasan Kepulauan Riau dan memerlukan respon militer, sudah pasti dibutuhkan operasi maritim gabungan oleh militer Indonesia. Dalam konteks ini Angkatan Laut dan Angkatan Udara harus beroperasi bersama untuk menghancurkan dan menetralisasi sasaran yang telah ditetapkan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana pengaturan lalu lintas udara di kawasan ini. Rasanya tidak logis serta tak lucu bila operasi maritim gabungan di Kepulauan Riau harus meminta "persetujuan" dari pengendali udara Singapura, sementara pengendali udara itu bekerja di bawah bendera pemerintah negeri penampung koruptor itu. Seharusnya mereka yang harus patuh pada kehendak Indonesia yang dituangkan dalam rencana operasi, akan tetapi hal itu rasanya hal yang mustahil.
Masalah pengendalian ruang udara di Kepulauan Riau oleh pihak asing hendaknya segera dituntaskan. Harus diingat bahwa kepentingan nasional Indonesia yang strategis ada banyak di wilayah ini. Di sana ada Laut Cina Selatan, ada pula Laut Natuna, ada pula sumber minyak dan gas bumi. Sesuai dengan amanat konstitusi, semua itu harus bisa diamankan oleh penyelenggara negara.

13 Mei 2011

Ambisi Besar Minus Dukungan Anggaran

All hands,

Sesuai dengan letak geografis maupun luasan negaranya, Indonesia sangat amat pantas menjadi kekuatan kawasan. Ambisi itu sudah pernah diimplementasikan di masa lalu dan kini nampaknya akan kembali dilaksanakan. Hanya saja terkadang ambisi itu tidak realistis, karena ada keterputusan antara mimpi dan pelaksanaan.

Saat ini terdapat kesan bahwa ambisi untuk menjadi kekuatan kawasan kurang didukung oleh kebijakan politik anggaran. Singkatnya, ingin menjadi jagoan kawasan tetapi pelit untuk mengeluarkan uang. Untuk menjadi jagoan kawasan dibutuhkan uang yang tidak sedikit, tetapi Indonesia nampaknya ingin menjadi jagoan kawasan dengan pengorbanan uang sesedikit mungkin. Prinsip inilah yang keliru selama ini.

Kalau negeri ini ingin menjadi kekuatan kawasan, harus didukung pula oleh pengorbanan dalam hal anggaran pertahanan. Misalnya, Jakarta harus rela membelanjakan jutaan dolar per tahun untuk operasi Angkatan Laut di perairan Somalia. Jangan cuma mengirimkan kapal perang Angkatan Laut untuk beroperasi di bawah bendera PBB yang ada reimburst-nya. Harap dipahami bahwa tidak semua kepentingan nasional Indonesia bisa diamankan dengan biaya dari pihak lain, khususnya PBB.

11 Mei 2011

Agenda ARF Pada Non Proliferasi Dan Disarmament

All hands,

ASEAN Regional Forum (ARF) dalam sidangnya di Hanoi 2010 telah menghasilkan Hanoi Plan of Action. Satu di antara agenda itu adalah tentang non proliferasi dan disarmament. Agenda ARF ini menjadi isu menarik untuk dicermati, karena menjadi pertanyaan jenis senjata apa yang disasar dan siapa yang menjadi target.

Seperti diketahui, disarmament mempunyai dua cabang yaitu senjata nuklir dan senjata konvensional. Selalu terjadi tarik menarik antara negara pemilik senjata nuklir dan non senjata nuklir dalam membahas isu disarmament, karena negara nuklir bersikeras bahwa justru senjata konvensional-lah yang menjadi senjata pembunuh terbesar manusia. Sebaliknya negara berkembang berpendapat bahwa eksistensi senjata nuklir harus dihapus dari muka bumi, sebab dianggap membahayakan kelangsungan peradaban manusia. Mencermati agenda ARF dalam isu non proliferasi dan disarmament, isu yang mendominasi adalah senjata nuklir. Namun di situ disinggung pula soal illicit trade in small arms and light weapons. Karena yang mendominasi adalah isu senjata nuklir, dapat ditebak bahwa di situ terselip kepentingan negara mitra dialog ASEAN dalam ARF dibandingkan kepentingan ASEAN sendiri. Membahas tentang senjata nuklir di kawasan Asia Pasifik dalam ARF pasti menyasar pada negara tertentu di sudut Asia Timur.

Akan tetapi tak bisa diabaikan pula tentang illicit trade in small arms and light weapons, sebab jenis senjata ini yang menjadi alat dalam konflik internal di beberapa negara ASEAN. Indonesia memiliki pengalaman pahit dalam konflik di Aceh, Poso dan Maluku terkait jenis senjata terakhir. Luasnya wilayah perairan Indonesia dan bersifat terbuka membuat pengawasan terhadap penyelundupan senjata ringan belum optimal, meskipun secara politik pemerintah memiliki komitmen kuat untuk memberantasnya.

Terkait dengan Angkatan Laut, tugas mengawasi perairan Indonesia dari masuknya senjata ringan selundupan jelas tak ringan. Perlu peningkatan kinerja Angkatan Laut dalam urusan ini dengan bersinergi dengan pihak lain, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

10 Mei 2011

Parameter Ekspor Senjata

All hands,

Ekspor senjata adalah salah satu instrumen politik yang banyak digunakan oleh negara maju. Sangat sering negara berkembang menjadi korban dari instrumen politik itu, seperti melalui penjatuhan embargo. Negara-negara maju senantiasa mempunyai parameter sendiri dalam mengekspor senjata kepada negara-negara lain, termasuk negara-negara berkembang.

Amerika Serikat selalu mengaitkan ekspor senjata dengan keamanan nasionalnya. Apakah ekspor senjata itu berkontribusi positif atau tidak kepada kepentingan nasional tersebut. Apabila berkontribusi positif, maka izin akan diberikan.

Kepentingan nasional pun memiliki klasifikasi, ada yang major, important dan lain sebagainya. Sebagai contoh, penjualan senjata Washington ke Tel Aviv dipandang berkontribusi sangat positif terhadap keamanan nasional Amerika Serikat. Sehingga nyaris semua senjata buatan Amerika Serikat diizinkan untuk dijual kepada Israel. Bahkan tidak jarang kepentingan negara-negara NATO ditaruh di belakang oleh Amerika Serikat demi mengedepankan Israel.

Misalnya kapal perang littoral combat ship (LCS) yang sangat mungkin dalam beberapa waktu ke depan akan diekspor ke Negeri Zionis itu. Padahal negara-negara lain tidak ada yang bisa mendapatkan kapal terbaru Angkatan Laut Amerika Serikat itu. Dalam contoh lain, penjualan senjata ke Venezuela dipandang membahayakan kepentingan nasional Washington. Karena itu pula, Caracas gagal memperoleh pesawat angkut C-295 hanya karena di dalam wahana udara tersebut terdapat komponen buatan Amerika Serikat.

Indonesia dalam porsi yang kecil telah menjadi negara pengekspor senjata pula. Pertanyaannya, apakah parameter dampak penjualan senjata terhadap kepentingan keamanan nasional telah dirumuskan? Sebagai misalnya, apa kontribusi terhadap keamanan nasional Indonesia dengan penjualan pesawat udara kepada Korea Selatan? Jangan sampai Indonesia dalam urusan penjualan senjata terjadi adagium senjata makan tuan seperti yang terkadang dialami oleh Amerika Serikat sendiri. Kalau belum ada perumusan parameternya, belum terlambat untuk Indonesia untuk segera merumuskannya.

09 Mei 2011

Kerjasama Maritim ASEAN Yang Duplikatif

All hands,

Apabila dicermati, kerjasama maritim di Asia Tenggara terkesan duplikatif karena ada beberapa wadah kerjasama yang menggarap isu yang sama. Lihat saja Agenda ARF yang tertulis dalam Hanoi Plan of Action yang menetapkan keamanan maritim sebagai salah satu area kerjasama. Begitu pula dengan ADMM+ yang menetapkan pula agenda keamanan maritim sebagai satu di antar domain kerjasama yang disepakati. ASEAN Maritime Forum sesuai dengan namanya juga menggarap isu keamanan maritim.

Pertanyaannya, bagaimana realisasi dari kerjasama itu? Sejauh ini kerjasama maritim ASEAN, dari manapun wadahnya, masih lebih banyak berkutat pada hal-hal yang lunak dan belum memasuki domain yang keras. Memang untuk beberapa hal telah ada kemajuan, misalnya ARF yang memiliki agenda latihan keamanan maritim. Namun yang lainnya masih pada wilayah pertukaran-pertukaran gagasan yang operasionalisasinya masih sangat hati-hati.

Mengingat duplikasi yang ada, Indonesia perlu menyatukan sikap antar berbagai instansi terkait yang berbeda. Sebab implementasi kerjasama maritim pada ARF, ADMM+ dan AMF pada dasarnya "itu-itu saja". Jangan sampai implementasi pada satu wadah ASEAN berbeda dengan wadah ASEAN lainnya dalam isu yang sebenarnya sama.

08 Mei 2011

Strategi Energi Amerika Serikat

All hands,

Selama ini strategi energi Amerika Serikat sudah cukup banyak dikenal oleh berbagai pihak. Penggunaan kekuatan militer untuk mengamankan kepentingan energi Washington merupakan salah satu pendekatan yang cukup populer. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa petualangan militer Amerika Serikat di luar negeri antara lain demi mengamankan akses terhadap energi.

Namun demikian, ada satu pendekatan dalam strategi energi Amerika Serikat yang selama ini sepertinya belum begitu banyak dicermati. Irak zaman Saddam Hussein menjadi korban dari pendekatan itu. Pendekatan itu adalah melalui penerapan sanksi institusi internasional, dalam hal ini PBB, termasuk sanksi pembatasan sangat ketat terhadap ekspor minyak Irak.

Selama 1990-2003, praktis sumur minyak di Irak tidak berproduksi dalam jumlah besar karena sanksi PBB yang diprakarsai oleh Washington. Kondisi itu mencerminkan bahwa pasca invasi militer Amerika Serikat ke Irak, Washington diuntungkan dengan tak berproduksinya ladang minyak Irak selam 13 tahun. Sebab usia produksi sumur minyak di Negeri Seribu Satu Malam itu diperpanjang 13 tahun oleh Washington. Katakanlah dalam perhitungan normal bumi Irak masih akan menyemburkan minyak hingga 200 tahun, dengan adanya kevakuman 13 tahun berarti menambah usia sumur itu selama 13 tahun menjadi 200 tahun.

Sangat mungkin ada negeri penghasil minyak lainnya ke depan yang akan mendapat perlakuan serupa dari Washington.

07 Mei 2011

Transformasi Angkatan Laut Dan Personel

All hands,

Transformasi Angkatan Laut yang ditempuh oleh banyak negara, termasuk beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, tidak semata berfokus pada perubahan paradigma, doktrin, strategi, teknologi dan lain sebagainya. Transformasi tersebut juga memperhatikan aspek personel, sebab personel merupakan kunci dari transformasi. Tanpa penyiapan personel yang sesuai dengan kebutuhan transformasi, maka transformasi Angkatan Laut tak akan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Oleh karena itu, dengan mengambil contoh beberapa program transformasi Angkatan Laut di beberapa negara, transformasi Angkatan Laut menyentuh pula aspek personel. Substansi pada aspek personel adalah delivering the right skill to the right place in the fleet at the right time. Dari situ tergambar bahwa transformasi Angkatan Laut pada bidang personel pada akhirnya ditujukan untuk memperkuat armada, sebab armada adalah jantung dari setiap Angkatan Laut.

Bagi negara seperti Indonesia, transformasi di bidang personel merupakan tantangan tersendiri. Sebab personel yang masuk ke dalam Angkatan Laut berasal dari beberapa lembaga pendidikan umum yang standarnya belum sama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sangat sulit untuk menyamakan standar lulusan SMA atau perguruan tinggi di Indonesia Timur dengan lulusan yang sama dari Pulau Jawa. Kondisi itulah yang dihadapi Angkatan Laut negeri ini ketika merekrut personel.

Berikutnya adalah perubahan paradigma dalam organisasi Angkatan Laut sendiri. Dibutuhkan kesamaan cara pandang untuk menuju suatu Angkatan Laut yang diinginkan dalam suatu kerangka waktu. Kesamaan cara pandang itu akan menentukan warna personel yang akan disiapkan untuk kebutuhan Angkatan Laut ke depan. Singkatnya, pembinaan personel bukanlah suatu hal yang stagnan, melainkan dinamis.

06 Mei 2011

Perang Yang Bertumpu Pada Teknologi

All hands,

Barang siapa yang mempelajari sejarah militer Amerika Serikat dari masa lalu hingga saat ini, akan sampai pada salah satu kesimpulan bahwa Angkatan Bersenjata negeri itu bertumpu pada teknologi untuk memenangkan pertempuran dan perang. Menjadi suatu hal yang wajar bila program riset terus dilaksanakan di negeri tersebut untuk mengembangkan senjata yang lebih modern dan baru agar tidak dapat dikejar dan disaingi oleh negara-negara lainnya. Tak aneh pula bila harga sistem senjata buatan Washington dalam satu dekade meningkat ribuan persen dibandingkan dekade sebelumnya. Lihat saja pengembangan sistem senjata seperti kapal induk, kapal selam dan juga pesawat udara seperti F-35.

Karakter militer Amerika Serikat yang bertumpu pada teknologi mengandung konsekuensi pula. Dalam Perang Vietnam, kecanggihan dan kemodernan teknologi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat mampu memenangkan beragam pertempuran selama bertahun-tahun di sana. Akan tetapi kecanggihan dan kemodernan teknologi itu tidak membawa pada kemenangan militer bagi Washington. Bahkan Amerika Serikat kalah dalam perang itu sehingga harus menarik mundur kekuatannya berdasarkan Perjanjian Paris.

Eksploitasi teknologi oleh Amerika Serikat antara lain bertujuan untuk meminimalkan jumlah korban pihak sendiri. Sebab di negara-negara maju, jumlah korban militer bukan sekedar angka atau statistik, namun bernilai politis yang dapat menentukan hidup matinya karir politik pejabat publik yang dipilih lewat pemilihan umum maupun partai politiknya. Lihat saja petualangan militer Amerika Serikat di Irak sejak 2003 yang memakan korban di pihak sendiri yang melebihi 4.000 personel. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah korban serupa di Vietnam, tetapi tetap saja ada protes yang kuat dari masyarakat Amerika Serikat.

Contoh kasus di sini adalah perang darat, di mana militer Amerika Serikat mengeksploitasi teknologi untuk mencapai tujuan militer dan tujuan politiknya. Teknologi yang canggih dan modern itu ternyata seringkali tidak berdaya ketika lawan yang dihadapi adalah kekuatan asimetris. Vietcong, gerilyawan Somalia, Irak, Taliban dan kelompok Al Qaeda merupakan kekuatan bersenjata yang secara teknologi asimetris dihadapkan pada kekuatan militer Amerika Serikat.

Ceritanya berbeda ketika membuka lembaran sejarah perang laut yang dilakukan oleh Amerika Serikat, di mana Amerika Serikat sampai kini tidak memiliki lembaran sejarah hitam soal eksploitasi teknologi. Sejak Perang Dunia Kedua, kedigdayaan teknologi Angkatan Laut Amerika Serikat belum pernah terkalahkan. Hal ini antara lain karena karakter perang di darat dan di laut yang berbeda. Di laut tak dikenal medan tinjau, medan lindung dan lain sebagainya sebab semuanya terbuka, tak ada pula penduduk di sini. Di sini tergambar bahwa eksploitasi teknologi militer secara optimal dalam perang peluangnya untuk sukses lebih terbuka dalam perang di laut daripada di darat.

05 Mei 2011

ReCAAP Dan Kepentingan Negara-negara Kawasan

All hands,

ReCAAP merupakan salah satu isu yang memecah sikap negara-negara Asia Tenggara di bidang keamanan maritim. Negeri Penampung Koruptor adalah pendukung kuat inisiatif yang dimunculkan oleh Negeri Geisha. Adapun Jakarta dan Negeri Tukang Klaim hingga kini tetap bersikukuh menentang wadah yang dirancang oleh Tokyo tersebut.

Mengapa Jakarta menentang ReCAAP? Wilayah operasional ReCAAP (sebagian besar) adalah di wilayah Asia Tenggara. Semestinya segala sesuatu yang menyangkut Asia Tenggara berada dalam payung ASEAN. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ReCAAP berada di luar bingkai itu.

Negara di kawasan yang mendukung ReCAAP adalah Singapura, Australia dan tentu saja Jepang. Negeri-negeri itu merasa diuntungkan dengan eksistensi ReCAAP. Keuntungan demikian tentu saja dalam konteks keamanan maritim. Pada sisi lain, ReCAAP tidak banyak memberikan kontribusi positif terhadap keamanan maritim di Asia Tenggara, setidaknya demikian pandangan Jakarta.

Pertanyaannya, bagaimana ReCAAP ke depan? Semua itu tergantung dari Jepang dan pemangku kepentingan lainnya. Termasuk pula bagaimana sikap ASEAN sebagai organisasi.

04 Mei 2011

Kepentingan Korea Selatan Di Asia Tenggara

All hands,

Kini Korea Selatan dalam kebijakan pertahanannya telah melirik kawasan yang jauh dari wilayah kedaulatannya. Penyebabnya tak lain karena telah menyebarnya kepentingan ekonomi Korea Selatan ke berbagai kawasan dunia. Ketika pada awal 2011 kapal niaga Korea Selatan dibajak di Somalia, Angkatan Laut negeri itu segera memberikan respon dengan cepat dan mematikan.

Mengacu pada kasus di Somalia, Seoul menghendaki agar kasus serupa tidak terjadi pada SLOC-nya di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Negeri Ginseng terkesan bersikeras untuk terlibat dalam urusan keamanan maritim di kawasan ini. Terlibat di sini tidak selalu harus dipahami sebagai intervensi Angkatan Laut, tetapi dalam bentuk luas yang lebih lunak secara politik.

Kebutuhan Seoul akan keamanan maritim di perairan Asia Tenggara harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Bentuknya luas, antara lain dengan pertukaran informasi. capacity building kekuatan laut Indonesia dan lain sebagainya. Jadi tidak semata hanya soal urusan jual beli sistem senjata seperti kapal perang belaka.

Peluang ini harus dimanfaatkan dengan cerdik dan cepat oleh Jakarta. Jangan sampai peluang itu justru direbut oleh Negeri Tukang Klaim maupun Negeri Penampung Koruptor. Sebab kedua negeri luas perairannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luas perairan yang dipunyai oleh Jakarta.

03 Mei 2011

Cara Berperang Amerika Serikat

All hands,

Amerika Serikat merupakan bangsa yang gemar melakukan perang di luar negeri untuk mengamankan kepentingan nasionalnya. Pihak yang sinis terhadap negeri ini mungkin lebih suka menyebutnya sebagai petualangan militer. Perang di luar negeri merupakan salah satu doktrin yang selalu dipegang teguh sejak akhir abad ke-19 sampai detik ini. Doktrin ini sesuai pula dengan salah satu tesis dalam strategi, yaitu membawa perang ke halaman musuh.

Perang di luar negeri yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan bagaimana bangsa ini berperang telah diulas dengan baik oleh Russel F. Weigley dalam The American Way of War: A History of United States Military Strategy and Policy. Buku ini diterbitkan 38 tahun silam dan hingga sekarang masih menjadi acuan berbagai pihak untuk memahami karakter perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat.

Soal karakteristik Amerika Serikat dalam berpikir juga telah ditulis dengan baik oleh Collin S. Gray pada 2005, di mana sang ahli strategi asal Eropa ini mengidentifikasi 12 karakter spesifik Amerika Serikat dalam berperang. Pemikiran Gray kini juga didalami di berbagai lembaga pendidikan militer di luar Amerika Serikat, namun nampaknya belum menjalar ke lembaga serupa di Indonesia.

Amerika Serikat adalah kekuatan global, sehingga sebagai kekuatan global Indonesia semestinya mempelajari dan memahami karakter Amerika Serikat. Termasuk dalam soal perang di luar negeri atau petualangan militer di negeri orang lain. Sebab Indonesia akan selalu berinteraksi dengan Amerika Serikat, di mana tidak ada jaminan interaksi tersebut akan selalu mulus tanpa gesekan kepentingan.

Oleh sebab itu, belum terlambat apabila lembaga pendidikan militer di Indonesia untuk mempelajari secara khusus karakter dan cara berperang Amerika Serikat. Sebagaimana belum terlambat pula bagi lembaga yang sama guna mempelajari karakter dan cara perang beberapa negara di sekitar Indonesia, seperti Australia, Jepang, Singapura, India dan Negeri Tukang Klaim. Dari mempelajari karakter dan cara berperang tersebut, akan dapat diidentifikasi apa kekuatan dan apa pula kelemahan masing-masing pihak. Dari sana bisa dikembangkan strategi khusus untuk menghadapi lawan yang berbeda.

02 Mei 2011

Kerjasama Kesehatan Angkatan Laut

All hands,

Dewasa ini, cakupan kerjasama Angkatan Laut sudah meluas daripada sebelumnya. Bila sebelumnya kerjasama Angkatan Laut lebih banyak berfokus pada hard issues seperti latihan bersama, patroli bersama, pertukaran informasi dan lain sebagainya, kini kerjasama Angkatan Laut telah mencapai pula ranah soft issues seperti kerjasama bidang kesehatan. Kerjasama bidang kesehatan misalnya pertukaran tenaga dokter dan paramedis antar Angkatan Laut dalam suatu operasi bakti kesehatan. Dalam istilah internasional, operasi bakti kesehatan lebih dikenal sebagai operasi HADR.

Pola kerjasama seperti ini telah ditempuh oleh Amerika Serikat dengan Cina. Seperti diketahui, kedua negara seringkali berbeda pendapat dalam isu-isu keras. Misalnya soal aktivitas militer Amerika Serikat di perairan internasional sekitar Cina. Untuk membangun CBM kedua negara, kedua Angkatan Laut sejak beberapa tahun silam telah sepakat menjalin kerjasama pada isu-isu lunak.

Pertukaran tenaga dokter dan paramedis Angkatan Laut perlu dirintis pula oleh Indonesia. Selama ini kerjasama di bidang kesehatan antar Angkatan Laut yang telah terjalin adalah diikutkannya tenaga dokter dan paramedis dari Angkatan Laut negara lain untuk berpartisipasi dalam Operasi Surya Bhaskara Jaya (SBJ). Ke depan, akan lebih baik bila tenaga dokter dan paramedis Angkatan Laut negeri ini ikut berpartisipasi dalam operasi yang serupa dengan SBJ yang digelar oleh negara lain, seperti Pacific Partnership yang rutin dilaksanakan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat.

01 Mei 2011

Kesehatan Sistem Global

All hands,

Terdapat kesepakatan antara para ahli dan para praktisi di bidang keamanan global bahwa kesehatan sistem global tergantung pada jalur laut yang aman dan stabil. Kesepakatan itu sebenarnya bukan hal yang aneh, sebab globalisasi berawal dari laut. Dalam era globalisasi masa kini, laut menjadi tumpuan pergerakan arus barang dan jasa antar negara dan bangsa. Apabila ada ancaman terhadap keamanan maritim, dengan sendirinya hal demikian praktis merupakan ancaman terhadap globalisasi.

Dengan kondisi strategis Indonesia dalam globalisasi, isu kesehatan sistem global yang tergantung pada laut yang aman dan stabil harus dipahami dengan betul. Yang harus paham bukan sekedar insan Angkatan Laut belaka, tetapi juga pengambil keputusan di negeri ini. Kalau selama ini negara-negara lain "berteriak" soal keamanan maritim di Indonesia, harus dipandang dari cara berpikir yang menempatkan laut sebagai bagian dari sistem global.

Sangat disayangkan hingga kini pemahaman soal vital dan strategisnya perairan Indonesia dalam sistem global baru sekedar pada Angkatan Laut belaka. Adapun pada tingkat nasional belum berpikir demikian. Kalaupun ada "perhatian" terhadap keamanan maritim, kondisi itu lebih sebagai reaksi terhadap suatu aksi. Akan tetapi belum menjadi sikap nasional yang diimplementasikan dalam bentuk kebijakan.

Lihat saja sudah berapa kali digemakan pandangan akan pentingnya Indonesia mempunyai strategi keamanan maritim. Suara demikian seakan hilang begitu saja ditelan angin. Diskusi, seminar dan lokakarya yang terkait dengan pengelolaan keamanan maritim akan senantiasa menemukan "penyakit" yang itu-itu saja tanpa ada tindak "pengobatan". Resep untuk mengobati "penyakit" sudah diberikan, tetapi tetap tak ada aksi lanjut.

Kalau dalam era globalisasi saat ini Indonesia mungkin lebih banyak menjadi penonton merangkap korban, seharusnya tidak pula menjadi pesakitan dalam isu keamanan maritim.