29 Agustus 2008

Ambisi Kapal Induk India

All hands,
Seperti pernah ditulis sebelumnya, India mempunyai Indian Navy Vision 2022 sebagai acuan pembangunan kekuatan lautnya. Dalam visi itu, ada dua ambisi AL India yang perlu jadi hirauan kita, karena sangat mungkin berimplikasi kepada Indonesia dalam 10 tahun ke depan. Salah satunya adalah ambisi mempunyai kapal induk baru.
India ingin mempunyai tiga kapal induk yang akan disebarkan pada tiga perairan, yaitu Samudera India, Laut Arab dan Teluk Benggala. Tiga kapal induk artinya secara operasional India akan punya tiga carrier battle group. Carrier battle group itu main body-nya kapal induk yang dikawal sejumlah kapal perusak, penjelajah, fregat dan biasanya ada pula kapal replenishment untuk dukungan bekal ulang logistik.
Dari tiga kapal induk, yang sudah ada saat ini baru satu yaitu INS Vikramaditya yang eks kapal induk kelas Gorshkov milik Rusia. Kapal itu dibeli pada 2004 senilai US$ 1,5 milyar pada 2004 dan akan dilengkapi dengan pesawat tempur MiG-29K. Saat ini program overhauled INS Vikramaditya di Rusia yang dijadwalkan berlangsung dari 2004 sampai dengan 2008 mengalami sejumlah masalah dan berakibat pada pembengkakan biaya. Diperkirakan INS Vikramaditya baru bisa bergabung dengan armada India pada 2012, setelah pada 2010 akan menjalani sea trial selama 18 bulan.
Dua kapal induk lainnya dibangun di Chochin Shipyard, India dikenal sebagai Indigenous Aircraft Carrier (IAC). Menurut rencana, kapal induk pertama buatan India akan diluncurkan pada 2010, sedangkan kapal induk kedua akan diluncurkan tujuh tahun kemudian. Jadi ceritanya dua kapal induk lainnya merupakan hasil industri dalam negeri.
Sekarang India mempunyai satu kapal induk INS Viraat yang telah berusia lebih dari 50 tahun dengan daya jelajah 8.050 km (5.000 mil laut). INS Vikramaditya nantinya akan mampu beroperasi sejauh 22.530 km (14.000 mil laut), adapun dua kapal induk lainnya dirancang untuk beroperasi sejauh 12.070 km (7.500 mil laut).
Dengan daya jelajah yang sedemikian jauh itu, ketiga kapal induk akan mampu dikirim jauh dari Samudera India. Jadi meskipun dinyatakan bahwa ketiga kapal induk itu disebar di tiga perairan, namun potensi sebenarnya melebihi itu. Salah satu perairan yang probabilitasnya tinggi untuk dilayari kapal induk India adalah Laut Cina Selatan.
Kenapa Laut Cina Selatan? India mempunyai sejarah persaingan geopolitik dengan Cina. Ambisi blue water navy Cina yang ingin sebar kekuatan hingga ke Samudera India akan mati-matian dicegah oleh India. Antara lain dengan menyebarkan kapal induknya ke Laut Cina Selatan yang merupakan halaman belakang Cina.
Untuk ke Laut Cina Selatan, sudah pasti melewati perairan Indonesia. Khususnya Selat Malaka dan tidak menutup kemungkinan Selat Sunda/ALKI I. Menjadi menarik untuk me-reka kira-kira bagaimana pola interaksi antara AL kita dengan AL India nantinya yang telah berstatus blue water navy. Jangan-jangan dia seperti armada U.S. Navy sekarang, petantang-petenteng di perairan orang. Semua perairan diklaim sebagai perairan internasional, padahal jelas-jelas hukum internasional menyatakan sebagian perairan itu merupakan perairan teritorial.
Sebagai kekuatan laut yang naik status menjadi blue water navy, terdapat kekhawatiran bahwa suatu saat nanti AL India akan “tinggi hati” terhadap AL di kawasan yang statusnya di bawah blue water navy. Skenario seperti ini harus diantisipasi oleh Indonesia, antara lain dalam penyusunan postur AL.

28 Agustus 2008

Technological Awareness

All hands,
Angkatan Laut senantiasa diklaim sebagai angkatan yang sarat dengan teknologi. Klaim itu memang benar, karena begitu adanya. Setiap terjadi kemajuan teknologi di bidang munisi, informatika, elektronika, mesin dan lain sebagainya pasti punya impak terhadap sistem senjata Angkatan Laut. Kondisi demikian menuntut Angkatan Laut di seluruh dunia untuk technological awareness alias melek teknologi.
Technological awareness yang dimaksud bukan sekadar tahu teknologi pertahanan, tapi juga mengikuti perkembangannya secara terus menerus. Hal itu penting biar kita bisa membeli senjata yang kehandalannya tinggi dan sekaligus nggak dikibuli sama rekanan. Rekanan kan motivasinya cari untung dan segala cara dia tempuh untuk itu. Nggak peduli langkah yang dia tempuh justru merugikan Angkatan Laut dalam jangka beberapa waktu ke depan.
Masalahnya bagaimana soal technological awareness di AL kita? Apakah alutsista, khususnya kapal perang yang telah atau akan kita beli, secara teknologi handal dibandingkan dengan senjata sejenis? Ataukah teknologi urusan nomor dua, yang penting murah harganya?
Kalau soal kapal atas air, khususnya kombatan, kita nggak ragu dengan kualitas kapal buatan Belanda. Mereka punya rekam jejak soal penguasaan teknologi kapal atas air. Produk mereka bukan saja dipakai oleh Indonesia, tapi juga oleh negara-negara lain.
Bagaimana dengan kapal selam? Selama hampir 30 tahun, kita menggunakan kapal selam teknologi Jerman. Rekam jejak Jerman dalam soal kapal selam konvensional nggak usah diragukan. Dia punya pengalaman hampir satu abad soal itu, sejak sebelum Perang Dunia Pertama sampai kini.
Terus sekarang kita dihadapkan pada rencana pengadaan kapal selam diesel elektrik baru. Pilihan yang ada di depan mata ada dua, Rusia dan Korea Selatan? Pertanyaannya, apakah kedua negara punya rekam jejak soal kapal selam?
Kalau Rusia, sangat jelas. Mereka mempunyai rekam jejak soal itu sejak akhir Perang Dunia Kedua sampai sekarang. Kehandalan teknologi kapal selam dia nggak usah diragukan. Memang Barat suka merendahkan kehandalan kapal selam Rusia, tapi itu kan motifnya politis.
Bagaimana dengan Korea Selatan? Saya harus jujur mengatakan Negeri Ginseng itu nggak punya rekam jejak soal kapal selam. Kapal selam buatan dia itu kan fotocopy dari kelas U-209 Jerman.
Nggak ada Angkatan Laut lain yang pakai kapal kelas Changbogo buatan Korea Selatan, kecuali Angkatan Lautnya sendiri. Walaupun harganya murah, tapi beberapa tahun ke depan akan gerogoti anggaran kita. Untuk apa murah tapi hidupnya gerogoti anggaran dan nggak ciptakan deterrence.
Antara fotocopy dengan asli kira-kira lebih handal mana? Sudah pasti yang asli kan. Kalau memang kita ditekan terus oleh Washington agar nggak beli kapal selam kelas Kilo buatan Rusia dan kita nggak kuat hadapi tekanan itu, lebih baik berpaling ke Jerman saja.
Pertimbangannya antara lain Jerman sekutu Washington. Jerman dedengkot teknologi kapal selam. Kehandalan kapal selamnya teruji. Kalau Korea, belum teruji!!!

27 Agustus 2008

Aspirasi Geopolitik Australia

All hands,
Kerjasama antar negara, termasuk dalam bidang keamanan, merupakan suatu keniscayaan. Apalagi saat ini terdapat interdependensi keamanan antar negara. Cuma masalahnya, sebelum melangkah ke situ, kita perlu pahami dulu apa aspirasi geopolitik calon negara mitra kerjasama kita.
Begitu pula dengan Australia. Kita harus paham bahwa Australia itu mempunyai aspirasi geopolitik untuk menjadi kekuatan regional di kawasan Asia Pasifik. Kaitannya dengan Indonesia, Australia ingin Indonesia ada di bawah kendali dia dan nggak macam-macam. Salah satu wilayah yang sangat vital bagi hidup matinya Australia adalah perairan Indonesia Timur dengan ALKI II dan III.
Australia ingin kawasan Indonesia Timur berada dalam sphere of influence-nya dia, bukan sphere of influence-nya Indonesia. Contohnya banyak, seperti porsi terbesar bantuan AusAid itu ke kawasan Indonesia Timur. Begitu pula pemberian beasiswa dari Australia, setengah dari jumlah kuota buat pelamar dari Indonesia Timur.
Dalam konteks dengan kepentingan maritim, dia ingin semua ancaman keamanan maritim menuju wilayah dia sudah dipatahkan dari wilayah Indonesia. Dia juga berkepentingan ALKI II dan III tetap terbuka dan tanpa gangguan. Segala cara akan dia tempuh untuk jamin kedua ALKI terbuka.
Sehubungan dengan adanya keinginan kita realisasikan kerjasama keamanan maritim melalui koneksi jaringan radar maritim dengan Australian Northern Command, pertanyaan yang mendasar adalah apakah para arsitek kerjasama itu paham akan aspirasi geopolitik Australia?

26 Agustus 2008

Bukan Satpam Australia

All hands,
Perjanjian Kerangka Kerjasama Keamanan Indonesia-Australia atau lebih dikenal sebagai perjanjian Lombok 2006, salah satu cakupannya adalah keamanan maritim. Kalau kita kaji lebih lanjut, sulit untuk menghilangkan kesan bahwa dalam kerjasama keamanan maritim, Australia adalah pihak yang lebih banyak diuntungkan dengan Indonesia. Kenapa begitu?
Karena negeri di selatan itu berkepentingan agar para imigran ilegal dan nelayan Indonesia dapat dicegah masuk Australia jauh sebelum mencapai perairan Australia. Dengan kata lain, Indonesia menjadi bumper bagi keamanan maritim Australia. Kita terkesan hanya menjadi satpam bagi Australia, sehingga mereka aman tenteram sementara aparat keamanan maritim kita, khususnya AL, capek-capek operasi di laut.
Terus keuntungan yang kita dapat juga tidak jelas. Apa imbal balik yang diberikan Australia soal itu? Sepengetahuan saya sampai saat ini nggak jelas, kalau nggak mau bilang nggak ada. Entah itu yang sifatnya aset kapal, jaringan komunikasi dan lain-lain atau capacity building AL kita dalam arti luas.
Dalam kondisi demikian, Indonesia akan mengembangkan jaringan radar maritim di perairan Laut Timor dan sekitar pintu masuk ALKI III di sekitar Selat Ombai-Wetar. Jadi jaringan radarnya akan serupa dengan program section 1206 integrated maritime surveillance system (IMSS) di Selat Malaka.
Masalahnya bukan soal pengembangan jaringan radar itu, karena jelas itu akan meningkatkan kemampuan AL kita untuk amankan perairan Indonesia. Masalahnya adalah ada keinginan jaringan itu akan terhubung atau terkoneksi dengan jaringan radar maritim Australian Northern Command yang berbasis di Darwin.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah siapa yang akan lebih diuntungkan dengan kerjasama itu? Australia akan dapat mengakses data-data pergerakan kapal yang menuju Australia dan ketika dia menangkap ada sasaran mencurigakan, dia akan suruh kita periksa. Masalahnya di situ.
Soal Australia mampu deteksi pergerakan kapal di perairan Indonesia yang dekat dengan perbatasan dia, itu bukan hal yang aneh. Yang jadi masalah adalah kita yang jadi boarding team periksa kapal yang dicurigai itu ketika masih jauh dari perairan Australia. Gamblangnya, sangat terkesan kita jadi satpam dia.
Dalam konteks tantangan keamanan asimetris, nyaris tak ada tantangan yang datang dari perairan Australia menuju Indonesia. Yang ada dari arah sebaliknya. Betul bahwa kita masih waspadai soal Papua dan Maluku (RMS) yang sebagaian berbasis di Australia, tapi gerakan mereka sekarang tidak lagi mengandalkan pada sayap militer. Para pemberontak itu fokusnya pada sayap politik.
Rencana menghubungkan jaringan radar maritim di Kupang dengan radar maritim Australian Northern Command kalau kita kaji lebih jauh sebenarnya merupakan realisasi dari perjanjian kerjasama keamanan Indonesia-Australia, khususnya keamanan maritim. Yang perlu kita hiraukan dengan sangat adalah siapa yang lebih diuntungkan dengan berbagai bentuk kerjasama keamanan maritim itu. Australia atau Indonesia?

25 Agustus 2008

Memahami Konsep Penangkalan

All hands,
Bagi kita yang di domain AL, sudah tidak asing lagi dengan istilah penangkalan (deterrence). Sayangnya sebagian dari kita, termasuk sebagian besar bangsa ini, belum paham betul penangkalan itu makhluk apa. Sehingga seringkali hanya sebatas pemahaman yang nggak bisa dioperasionalkan karena ketidakpahaman itu.
Penting untuk dipahami bahwa agar dampak penangkalan tercipta, ada empat persyaratan yang harus dipenuhi. Keempat persyaratan itu menyangkut kapabilitas, kredibilitas, komitmen dan komunikasi.
Kapabilitas terkait dengan kemampuan alat utama sistem senjata dan karenanya sangat terkait pula dengan komitmen pemerintah untuk membangun AL. Sejauh ini tidak jelas komitmen pemerintah untuk membangun AL.
Kredibilitas terkait dengan kemampuan personel AL dalam bidang tugasnya. Apabila dirasakan bahwa kemampuan personel AL belum sampai pada tingkat yang diharapkan, maka pembenahan di bidang personel adalah sebuah pilihan yang harus ditempuh dan hal itu butuh dukungan anggaran dari pemerintah dan DPR.
Komitmen adalah menyangkut keteguhan sikap, baik AL, pemerintah maupun bangsa untuk mencapai dan atau mempertahankan sesuatu. Agar dapat menimbulkan dampak penangkalan, maka kapabilitas, kredibilitas dan komitmen harus dapat dikomunikasikan dengan baik kepada pihak yang ingin ditangkal melalui berbagai jalur.
Untuk mengkomunikasikan hal tersebut, selain melalui jalur diplomasi, penggunaan jalur media massa juga sangat penting. Oleh karena itu, secara internal peran Dinas Penerangan AL sangat vital untuk mengkomunikasikan tindakan-tindakan di lapangan yang telah, sedang dan akan dilakukan. Selain Dinas Penerangan, peran satuan kerja yang terkait dengan psikologi juga vital karena hal-hal yang dikomunikasikan kepada target hendaknya dapat mempengaruhi psikologi lawan sehingga lawan bersikap dan bertindak sesuai dengan yang kita harapkan harapkan.

24 Agustus 2008

Penyakit Kronis AL Australia

All hands,
Salah satu penyakit kronis di Royal Australia Navy adalah ambisi mereka untuk miliki sistem senjata dengan kemampuan yang mumpuni. Menjadi penyakit karena saking besarnya ambisi, unsur filosofis dan perhitungan teknis dari desain awal suatu sistem senjata seringkali diabaikan. Contohnya banyak.
Kapal fregat kelas Anzac misalnya, desain awalnya adalah offshore patrol vessel kelas Meko buatan Jerman yang kemudian didesain ulang oleh Australia jadi fregat. Kemudian dia ingin kapal itu bisa muat heli ukuran sedang, khususnya SH-60 Sea Hawk. Karena Sea Hawk nggak muat, dia pilih heli tua SH-2G Super Sea Sprite. Celakanya lagi, Australia mau semua kemampuan ada di heli itu. Akibatnya sistem komputer yang ada di heli itu error dan programnya terancam gagal.
Kapal selam kelas Collin merupakan desain ulang dari kapal selam buatan Swedia. Badannya diperpanjang, akibatnya kapalnya berisik dan menimbulkan banyak masalah. Ujung-ujungnya pemerintah Australia harus keluarkan banyak uang untuk perbaiki masalah-masalah teknis itu. Sekarang kapal selam kelas Collin sudah ada yang dipersenjatai dengan torpedo MK 48 Mod 7 Common Broadband Advanced Sonar System (CBASS) yang diujicoba dalam RIMPAC 2008 Juli lalu.
Lalu apa pelajaran yang dapat ditarik dari penyakit kronis itu? Kalau kita ingin mempunyai sistem senjata yang bisa semua kemampuan, bisa semua tugas, platform-nya harus besar. Nggak bisa menggampangkan dengan memperpanjang dimensi platform yang sudah eksis. Karena itu akan pengaruhi perhitungan teknis dan kinerja sistem kapal secara keseluruhan. Dan ujung-ujungnya sedot anggaran yang tak perlu.

Program SEA 4000 Australia

All hands,
Kita sudah sama-sama tahu bahwa Australia adalah Deputi Sheriff-nya Om Sam. Nggak heran bila dalam pembangunan kekuatan pertahanannya, dia mengandalkan pada bantuan sang bos di Washington. Di antara program pembangunan kekuatan pertahanan yang mendapat bantuan teknis dari Amerika Serikat adalah Air Warfare Destroyer (program SEA 4000).
Sejarah program SEA 4000 berawal dari laporan Defence White Paper 2000: Our Future Defence Force yang mengidentifikasi kerentanan armada Royal Australian Navy akan pertahanan udara dalam operasi jarak jauh. Sebagai tindak lanjut, Australia merancang program SEA 4000 guna menggantikan fregat berpeluru kendali kelas Oliver Hazard Perry dengan setidaknya tiga kapal berkemampuan pertahanan udara yang jauh lebih besar dan lebih mampu.
Menurut rencana pembangunan kekuatan Royal Australian Navy yang dikenal sebagai The Three Fleets, pada tahun 2015 kekuatan lautnya akan diperkuat setidaknya oleh dua air warfare destroyer, selain fregat kelas Oliver Hazard Perry dan kelas Anzac yang telah di-upgrade. Program SEA 4000 dimulai tahun 2003 dengan membuka tender pengadaan kepada beberapa galangan multinasional.
Untuk menyukseskan program SEA 4000, Australia meminta Amerika Serikat untuk diberikan akses pada teknologi Aegis Combat System. Permintaan itu disetujui, menjadikan Australia negara kelima yang mendapatkan lisensi teknologi tersebut bagi Angkatan Laut-nya setelah Norwegia, Spanyol, Jepang dan Korea Selatan. Dukungan dari sekutunya membuat Australia berani mengumumkan pada 2004 bahwa program SEA 4000 akan menggunakan teknologi Aegis Combat System.
Ketiga kapal perusak kelas Hobart (Program SEA 4000) saat ini dibangun di galangan kapal ASC Pty Ltd, Adelaide. Proyek ini bernilai sekitar Aus$ 8 milyar dan kapalnya akan diserahkan pada tahun 2014, 2016 dan 2017. Kapal perusak yang digolongkan sebagai air warfare destroyer sebenarnya merupakan kapal multiguna, artinya mempunyai kemampuan peperangan atas air dan peperangan kapal selam. Meskipun dibangun atas dasar platform kapal fregat F-100 Spanyol, akan tetapi sistem sensornya mengadopsi teknologi Amerika Serikat, misalnya radar SPY-1 Aegis dan akan didukung dengan rudal permukaan ke udara RIM-66/67.
Kapal perusak kelas Hobart dirancang sepenuhnya interoperable dengan kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat, karena kesamaan sistem sensor dan senjatanya. Dari aspek teknis, dapat ditarik ke dalam aspek politik yaitu menunjukkan betapa eratnya hubungan Amerika Serikat-Australia. Dan sekaligus menggambarkan bahwa kini dan ke depan kedua negara akan terus beroperasi dalam bentuk koalisi menghadapi ancaman keamanan kawasan dan global.

22 Agustus 2008

Regenerasi Kapal Perang

All hands,
Beberapa waktu lalu beberapa kapal perang eks Jerman Timur kelas Frosch dan Parchim mengalami sejumlah masalah teknis, di antaranya KRI MES-380. Peristiwa itu secara kebetulan bersamaan waktunya dengan kita akan sedang susun Postur AL 2010-2029. Pesannya adalah kita sebaiknya melakukan pengadaan unsur kapal patroli lebih banyak daripada unsur kombatan untuk gantikan kapal kelas Parchim. Asal jangan kapal plastik alias fiberglass, karena kapal itu punya banyak kelemahan.
Soal regenerasi kapal perang sangat penting untuk kita perhatikan. Kapal kelas Parchim paling lama 15 tahun lagi sudah harus decommissioned. Begitu pula kelas Sibarau cs. Kalau kita pertahankan terus setelah 15 tahun mendatang, berapa biaya yang harus kita keluarkan.
Semakin berumur suatu kapal, maka biaya operasionalnya juga meningkat terus. Menurut teori, umur ekonomis kapal perang dirancang hanya sekitar 25 tahun. Lebih dari itu, dia akan membebani Angkatan Laut yang operasikan kapal itu.
Masalah regenerasi kapal perang merupakan pekerjaan rumah bagi AL kita hingga 15 tahun ke depan. Saat ini, kalau kita mau obyektif, barisan kapal perang yang antri untuk diregenerasi sudah panjang. Khususnya korvet kelas Parchim, fregat kelas Van Speijk dan PC kelas Sibarau.
Belum terhitung lagi LST eks Perang Dunia Kedua. Dalam 10 tahun ke depan, korvet kelas Fatahillah pun akan masuk antrian. Belum lagi kalau kita bicara kapal selam. Itu bukti pekerjaan rumah kita memang banyak.
Pertanyaannya, apakah kita akan mampu ganti kapal-kapal itu dalam kuantitas yang sama? Kalau kualitas, sudah pasti beda generasi kapal beda pula kualitasnya. Dalam soal kehadiran di laut, antara kuantitas dan kualitas harus berimbang.
Karena percuma kita punya 10 kapal patroli canggih, tapi luas wilayahnya dari Merauke sampai Sabang. Kalau luasnya cuma ciprit kayak Singapura, nggak masalah.
Ke depan, kita tetap akan lebih banyak membutuhkan kapal patroli daripada kapal fregat dan korvet. Soal perbandingan mungkin 3:1 atau 4:1. 3 atau 4 kapal patroli berbanding 1 kapal fregat atau korvet. Biarpun kapal fregat atau korvet lebih sedikit, yang penting senjatanya mutakhir dan siap operasi. Daripada punya banyak tapi yang siap cuma setengahnya, bahkan kurang.

21 Agustus 2008

ALKI Timur-Barat

All hands,
Merancang pertahanan maritim Nusantara bukan suatu hal yang gampang. Sebagai negara kepulauan, hukum internasional mewajibkan Indonesia untuk mengakomodasi kepentingan asing di wilayah perairan yurisdiksi. Ada tiga rezim yang harus kita akomodasi, yaitu lintas damai (innocent passage), lintas transit (transit passage) dan lintas alur laut kepulauan (archipelagic sea lane). Dengan ketiga rezim itu, yang bebas melintas di perairan yurisdiksi Indonesia bukan saja kapal sipil, tapi juga kapal perang.
Nah…yang kapal perang itu yang sering jadi masalah. Betul bahwa kita sediakan ALKI (alut laut kepulauan Indonesia) buat perlintasan kapal perang, yang sekarang ada 3 ALKI. Biarpun ada ALKI, tidak ada kekuatan memaksa buat kapal perang asing untuk nggak boleh lewat perairan di luar ALKI. Mereka bisa gunakan rezim lintas damai untuk lewat perairan Indonesia selain ALKI.
ALKI I dari Laut Cina Selatan ke Samudera India lewat Selat Sunda. ALKI II dari Laut Sulawesi ke Samudera India selatan Nusa Tenggara lewat Selat Makassar dan Selat Lombok dan ALKI III dari Samudera Pasifik ke Laut Timor atau Laut Aru.
Tapi ketiga ALKI itu hanya buat perlintasan dari utara ke selatan atau sebaliknya. Dari Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi, Laut Pasifik ke Samudera India sebelah selatan Jawa-Nusa Tenggara dan Laut Aru. Yang jadi masalah adalah tuntutan Amerika Serikat dan Australia yang tuntut ALKI Timur-Barat dari Laut Flores-Laut Jawa terus sambung ke ALKI I.
Kenapa mereka menuntut ALKI Timur-Barat? Pertama, kapal perang mereka sudah sering gunakan lintasan itu. Kedua, Indonesia tahun 1996 pernah bilang di depan sidang IMO di London bahwa penetapan ALKI Utara-Selatan merupakan partial designation. Artinya di masa mendatang akan ada lagi ALKI-ALKI lain.
Pernyataan soal partial designation itu yang dianggap janji oleh negara-negara lain, khususnya pengguna perairan yurisdiksi Indonesia. Sampai sekarang, mereka masih tuntut itu. Pertanyaan, bagaimana sikap kita? Kita akomodasi atau tetap bersikeras tolak ALKI Timur-Barat?

20 Tahun Ke Depan Tak Ada Perang?

All hands,
Sebagian pihak di negeri ini, termasuk di dalamnya sebagian para perencana pertahanan, dengan berani memprediksi bahwa 20 tahun ke depan kita nggak akan perang dengan siapa pun. Pernyataan itu sangat patut untuk dianalisis lebih jauh, nggak bisa kita telan mentah-mentah. Kalau ditelan mentah-mentah, kita yang berada di domain maritim/AL akan terbuai dan akan terkejut ketika terjadi pendadakan yang berbeda dengan prediksi itu.
Sebagai individu yang bidangnya terkait dengan perkembangan lingkungan strategis, jujur saya harus bilang bahwa untuk memprediksi lingkungan strategis lebih dari lima tahun dari sekarang merupakan hal yang sangat sulit. Kalau cuma sampai lima tahun, probabilitas prediksi di atas 75 persen. Lewat dari lima tahun, probabilitasnya paling tinggi 50 persen. Dengan 20 tahun, probabilitasnya menurut saya cuma 10 persen.
Pernyataan bahwa Indonesia 20 tahun ke depan nggak akan berperang dengan pihak lain merupakan pernyataan ceroboh. Sekaligus menandakan bahwa pihak yang buat pernyataan itu nggak mengerti perkembangan lingkungan strategis terkini. Perang bukanlah sesuatu yang terjadi dengan eskalasi seperti menurut teori yang diajarkan di Seskoal. Perang masa kini bisa terjadi sewaktu-waktu dan tidak terikat pada eskalasi sebagaimana digambarkan oleh teori itu.
Bahwa di masa depan tidak akan ada perang besar, saya setuju. Tapi harap diingat bahwa konflik dan perang masa kini skalanya selalu kecil, namun bersifat swift and sudden. Siapa yang prediksi akan muncul kasus Ambalat misalnya? Perang masa kini bersifat swift and sudden menggunakan hasil revolution in military affairs/RMA.
Bukan tidak mungkin dalam 4-7 tahun ke depan kita akan konflik militer dengan Singapura hanya karena masalah penggunaan laut di sekitar Natuna. Siapa yang bisa prediksi. Memang konflik itu terbatas pada waktu dan tempat tertentu saja.
Prediksi konyol bahwa dalam 20 tahun ke depan kita nggak akan ada perang bisa kontra produktif buat AL kita. Dengan menggunakan prediksi itu, para perencana pertahanan bisa jadikan alasan bahwa kita nggak perlu bangun AL karena nggak akan hadapi perang. Kan bahaya sekali itu!!! Sekarang AL kita sedang deteriorating, harus di-recover. Bukannya dibiarkan nggak dibangun dengan alasan nggak akan ada perang.
Kita harus ingat civis pacem para belum. Orang nggak akan menyerang kita kalau tahu kita kuat. Pandangan kaum realis itu yang berlaku di alam nyata. Kalau di dunia akademik, mungkin lain lagi. Karena kita hidup di alam nyata, kita harus anut pandangan alam nyata/realis.

19 Agustus 2008

Angkatan Laut dan Geopolitik

All hands,
Pemahaman terhadap pentingnya eksistensi Angkatan Laut tidak dapat muncul begitu saja tanpa pemahaman terhadap geopolitik. Dalam hal ini geopolitik negara di mana Angkatan Laut itu berada. Strategi dan doktrin Angkatan Laut atau maritim pun mempunyai keterkaitan dengan geopolitik.
Banyak pihak di luar negeri yang sangat paham akan pentingnya posisi geopolitik Indonesia yang mempunyai beberapa SLOC dan chokepoints. Namun kalau hal itu kita tarik ke dalam negeri, kita sebagai bangsa belum mempunyai pemahaman yang sama soal gepolitik kita. Hanya generasi lalu dari bangsa Indonesia yang paham akan arti strategis geopolitik Indonesia dan kemudian mereka implementasikan ke alam nyata.
Contohnya adalah Deklarasi Djuanda, begitu juga kebijakan Presiden Soekarno perkuat AL kita. Semua itu muncul dari pemahaman geopolitik. Karena paham akan geopoliti, para pendahulu kita mempunyai aspirasi untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama di kawasan Asia Pasifik. Tidak aneh bila di masa lalu AL dan AU kita merupakan salah satu yang terkuat di kawasan ini.
Semenjak era Orde Baru, pemahaman geopolitik lebih bersifat indoktrinatif. Yah Wawasan Nusantara itu, yang ditanamkan kepada kita lewat Penataran P-4 45 jam, 100 jam dan entah berapa jam lagi. Tapi hasilnya di alam nyata nggak ada tuh.
Hasil pemahaman geopolitik tidak cukup hanya yang intangible, tapi juga harus tangible. Sebagai contoh, setelah prinsip negara kepulauan diterima dalam UNCLOS 1982, kemajuan dan keuntungan apa yang diterima oleh Indonesia? Wilayah laut kita memang tambah luas, tapi nggak diikuti dengan pembangunan kekuatan laut untuk imbangi perluasan itu. Hasilnya, justru di laut kita rugi.
Sebagai penganjur dan penyokong imperatifnya pembangunan kekuatan laut apabila Indonesia ingin diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik, saya harus jujur mengatakan bahwa selama pemahaman terhadap geopolitik Indonesia masih begini-begini saja, sulit untuk mengharapkan dukungan dari komponen bangsa Indonesia untuk bangun kekuatan laut kita. Angkatan Laut adalah milik bangsa, sehingga besar kecilnya, jaya tidaknya Angkatan Laut ditentukan oleh bangsa Indonesia.
Sampai kapan pemahaman geopolitik itu akan berubah? Sampai kapan bangsa Indonesia, khususnya yang mempunyai kapasitas untuk pengambilan keputusan, berhenti beretorika tentang pentingnya eksistensi Angkatan Laut yang kuat? Saat ini kita nggak butuh retorika dari para pengambil keputusan di negeri ini. Yang dibutuhkan aksi nyata, implementasi.

18 Agustus 2008

Posse Comitatus

All hands,
Mungkin bagi sebagian besar dari kita, masih belum paham apa itu Posse Comitatus. Posse Comitatus adalah aturan yang berlaku di negara-negara Barat yang melarang militer terlibat penegakan hukum (law enforcement) di dalam negeri. Penegakan hukum di dalam negeri hanya boleh dilakukan oleh instansi selain militer. Di Amerika Serikat, ada Posse Comitatus Act tahun 1878.
Makanya waktu ada Badai Katrina di negara-negara bagian Selatan Amerika Serikat sekitar Sungai Mississipi, militer Amerika Serikat nggak dapat berbuat maksimal. Saat itu ada keluhan dari para korban Katrina soal keamanan, tapi militer nggak bisa berbuat apa-apa karena Posse Comitatus Act. Di Amerika Serikat, satu-satunya dinas militer yang dikecualikan dari Posse Comitatus Act adalah U.S. Coast Guard.
U.S. Navy yang punya peran konstabulari tidak bisa melaksanakan peran itu di wilayah perairan Amerika Serikat. Dia hanya bisa melaksanakan di perairan internasional. Untuk menyiasati itu, ketika beroperasi di sekitar perairannya sendiri, di kapal perang U.S. Navy disertakan personel U.S. Coast Guard. Tapi secara umum, U.S. Navy lebih banyak diproyeksikan di luar Amerika Serikat, sementara keamanan perairan Amerika Serikat merupakan tanggung jawab U.S. Coast Guard.
Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita juga menganut Posse Comitatus? Kalau dalam konteks Angkatan Laut, Posse Comitatus nggak dianut. Itulah alasan mengapa AL kita bisa laksanakan peran konstabulari.
Sementara kalau dikaitkan dengan AD dan AU, mereka dalam prakteknya terikat Posse Comitatus. Makanya mereka nggak pernah terlibat penegakan hukum. Secara nasional, Indonesia nggak punya undang-undang yang atur Posse Comitatus. Tapi dalam prakteknya menerapkan itu secara terbatas, kecuali bagi AL.

Mengenang MV Levina

All hands,
Pada 22 Februari 2007, MV Levina terbakar di Laut Jawa di utara perairan Kepulauan Seribu dalam pelayaran dari Tanjung Priok menuju Bangka Belitung. Kasus itu bukan saja menunjukkan masih cerobohnya petugas Departemen Perhubungan dalam menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran, tapi juga menunjukkan bahwa betapa polisi memang nggak berkompeten untuk keamanan dan keselamatan pelayaran. Keamanan dan keselamatan pelayaran, sesuai hukum nasional dan internasional, adalah kompetensi Departemen Perhubungan, dalam hal ini Coast Guard yang di Indonesia dikenal sebagai Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP).
Kapal yang terbakar itu ditarik ke perairan Muara Gembong di utara Bekasi. Dan kemudian dengan gagahnya tim Puslabfor polisi naik ke kapal untuk kemudian pasang police line dan kemudian selidik sana sini. Kapal kok dipasang police line???
Ketika sedang mempraktekkan kepintarannya olah TKP, tiba-tiba MV Levina tenggelam dan memakan beberapa korban. Kapal itu tenggelam most probably karena platnya bocor karena panas akibat kebakaran. Pertanyaannya, siapa yang harus tanggung jawab? POLISI!!! Sebab dia yang tanpa dasar ilmu tentang kapal nyatakan kapal aman untuk dinaiki. Juga tanpa kewenangan yang jelas nyatakan kapal aman dinaiki!!!
Padahal kalau kita mengacu pada peraturan keselamatan pelayaran internasional, kapal yang habis terbakar baru boleh dinaiki dalam waktu 3x24 jam. Yang boleh naik pun petugas badan sertifikasi kapal, yang di Indonesia adalah Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). BKI akan selidiki bangunan kapal secara detail, sebelum nyatakan aman atau tidak dinaiki. Kalau BKI sudah nyatakan kapal aman untuk dinaiki, baru pihak lain boleh naik ke kapal.
Kita sama-sama tahu Puslabfor bukan BKI. Entah dari mana ilmunya dia bisa bilang kapal aman dinaiki. Seandainya yang kasih clearance MV Levina aman dinaiki itu instansi sipil selain polisi (ingat, polisi itu sipil bersenjata, bukan militer), pasti sudah dipidanakan sama dia. Karena ini yang kasih clearance polisi, yah mana ada jeruk makan jeruk.
Pesan dari kasus MV Levina adalah biarkan instansi berbasis laut menjalankan kewenangannya dan instansi berbasis darat nggak usah ke laut. Itu bukan habitatnya. Kalau bukan habitatnya terus memaksa masuk, tenggelamnya MV Levina itu hasilnya.

Skenario Latihan Di Lokasi Fiktif

All hands,
Dalam skenario latihan yang dilaksanakan selama ini, baik sebatas Oyu/Olah Yudha (war games) maupun pada gladi posko (command post exercise) maupun gladi lapang (field training exercise), selalu saja lokasi geografis wilayah latihan adalah wilayah nyata di negeri kita. Contoh yang paling kasat mata adalah Latgab TNI 2008, yang jelas-jelas dalam skenarionya menyatakan bahwa wilayah operasinya adalah di Kalimantan Timur. Saya nggak mau gunakan istilah mandala, karena mandala yang dalam terminologi militer asing padanannya adalah theater merupakan suatu wilayah operasi yang sangat luas. Sebagai contoh adalah waktu pembebasan Irian Barat, wilayah mandalanya mencakup seluruh Indonesia Timur mulai dari Pulau Sulawesi.
Padahal kalau kita bandingkan dengan skenario latihan militer negara-negara lain, selalu saja mereka membuat lokasi fiktif. Misalnya dalam Cobra Gold 2008, negara wilayah sasaran latihan adalah suatu wilayah fiktif di sebelah tenggara Jepang yang dinamai Kepulauan Pasifica. Kepulauan Pasifica ini terdiri dari enam negara yaitu Sonora, Tierra Del Oro, Mojave, Kuhistan, Arcadia dan Isla Del Sol.
Lokasi fiktif ini dalam istilah di Angkatan Laut sering disebut dengan pulau timbul. Tantangannya dalam membuat pulau timbul adalah data-data geografis. Misalnya topografi dan hidrografinya seperti apa. Pantainya seperti apa, di bagian mana yang landai, di bagian mana yang curam dan lain sebagainya, dalam perairannya di tiap bagian pulau berapa, arus pasang surutnya bagaimana dan lain-lain.
Namun sebenarnya itu nggak sulit kok untuk membuatnya. Cara yang paling gampangkan adalah gabungkan saja data-data hidrografi dan topografi kita dari beberapa wilayah yang berbeda. Soal wilayah mana saja yang datanya diambil, itu rahasia para perencana latihan. Itu sekaligus dalam perencanaan latihan, mesti melibatkan rekan-rekan dari hidrografi dan topografi.
Bahkan mereka harus ditantang buat peta laut dan peta topografi wilayah fiktif itu. Mereka pasti bisa soal itu, karena memang mereka ahlinya. Kalau bikin PTG (peta tempur gabungan) untuk Pulau Natuna Besar saja bisa, yang ini juga bisa dong. Dengan punya lokasi fiktif/pulau timbul, kita nggak perlu lagi obral data-data hidrografi dan topografi kita dalam latihan.

15 Agustus 2008

Kapal Induk Cina

All hands,
Sudah menjadi rahasia umum bahwa PLA Navy alias Angkatan Laut Cina berambisi untuk menjadi blue water navy. Hal itu semakin diperkuat dengan pernyataan seorang pejabat Cina bahwa dalam beberapa tahun mendatang, negeri itu akan mempunyai 4-6 kapal induk. Menurut sang sumber, tahunnnya sekitar 2010. Namun para analis baru memperkirakan itu baru akan terwujud dalam 2015-2020.
Adanya kapal induk dalam armada Angkatan Laut menandakan bahwa negara itu siap melakukan proyeksi kekuatan. Proyeksi kekuatan senantiasa dilakukan di luar negeri. Ini yang selama ini salah dipahami oleh sebagian rekan-rekan di AL kita, di mana proyeksi kekuatan dipahami dilakukan di dalam negeri. Mungkin karena skenario latihan kita selama ini begitu, kekuatan AL dan Marinir diproyeksikan ke wilayah kita sendiri.
Kemampuan Cina untuk proyeksikan kekuatan dalam 6-7 tahun ke depan harus kita antisipasi. Sebab tingkah lakunya akan beda dengan saat ini. Kalau sekarang dia low profile, sopan...bisa jadi nanti dia akan seperti om Sam. Main injak kaki orang.
Proyeksi kekuatan laut Cina nantinya, dengan kapal induknya, sudah pasti bertujuan untuk amankan String of Pearls atau First and Second Island Chain. Apa sih itu? Itu perimeter pertahanan maritim Cina. Dia bentuk perimeter itu antara lain untuk amankan pasokan minyak dia yang 80 persen lewat Selat Malaka.
Dari situ nggak bisa dibantah bahwa posisi Indonesia sangat strategis bagi Cina. Pertanyaannnya, apa yang bisa kita lakukan? Apakah posisi strategis ini kita jadikan kartu truf terhadap Cina atau jadi kartu mati? Kalau kita jadikan kartu truf, kita bisa jadikan itu sebagai bargaining dalam berbagai aspek, termasuk militer. Jangan sampai dengan kapal induknya, Cina main injak kaki kita seperti yang dilakukan om Sam sekarang, seolah-olah kita nggak punya bargaining power di hadapan dia.
Kita bisa bangun AL yang antara lain pasokan teknologi dan senjatanya sebagian dari Cina. Sekali lagi, itu dengan catatan kita paham arti penting geopolitik Indonesia. Kalau nggak paham yah kayak selama ini, nggak tahu kekuatan diri sendiri apa.

Optimalisasi RAS

All hands,
Kegiatan bekal ulang antar kapal perang di tengah laut dikenal sebagai replenishment at sea (RAS). Banyak Angkatan Laut di dunia yang menggunakan istilah itu. Yang agak beda adalah U.S. Navy yang memakai istilah underway replenishment. Aslinya sih underway replenishment at sea.
Dalam RAS biasanya dilaksanakan suplai berbagai jenis logistik (basah, kering, cair), juga pemindahan/transfer personel. Misalnya karena personel bersangkutan sakit atau sudah harus mengakhiri tugas operasinya. Termasuk pula dalam RAS pemindahan logistik berupa munisi. Karena itu kapal logistik itu jenisnya macam-macam, selain tanker, juga ada kapal munisi.
Pada dasarnya, RAS dilaksanakan setiap saat untuk mendukung operasi Angkatan Laut. RAS dilaksanakan di semua masa, baik masa damai, krisis maupun perang. Kalau kita kunjungi situs Angkatan Laut asing seperti Royal Navy dan U.S. Navy, nggak sulit kita temukan foto-foto kegiatan RAS mereka.
Di Indonesia, RAS juga dilaksanakan oleh AL. Cuma sepertinya intensitasnya belum setinggi di negara-negara lain. Seringkali RAS dilaksanakan ketika ada latihan, khususnya suplai BBM dari kapal tanker ke kapal perang lainnya. Sedangkan dalam operasi laut sehari-hari (regular operations), RAS kurang sering dilaksanakan.
Padahal tingkat kehadiran kapal kita di laut cukup tinggi, walaupun tidak setiap saat dapat menjangkau semua wilayah perairan yurisdiksi. Sayangnya kapal-kapal itu harus merapat ke pangkalan AL terdekat untuk bekal ulang. Kondisi ini ada baiknya kita benahi, sehingga kapal-kapal bantu yang berkualifikasi RAS lebih banyak diberdayakan.
Daripada kapal-kapal perang yang patroli harus merapat ke pangkalan terdekat untuk bekal ulang, mengapa tidak kita optimalkan RAS. Kapal-kapal bantu yang punya kualifikasi RAS harus disebar ke perairan di mana kapal-kapal kita berpatroli. Ketika kapal-kapal itu butuh bekal ulang, dia tinggal RV dengan kapal bantu untuk RAS.
Dengan demikian, itu lebih efisien daripada dia harus merapat dulu ke pangkalan terdekat. Di sisi lain, keterampilan personel untuk melaksanakan RAS tetap terjaga. Meskipun L-1 sampai L-4 rutin dilaksanakan, tapi akan lebih baik bila dipraktekkan dalam operasi di laut, di alam nyata.

13 Agustus 2008

Visi Angkatan Laut

All hands,
Kita percaya bahwa apa yang ingin kita capai di masa depan harus disiapkan dari sekarang. Untuk mencapai apa yang diinginkan di masa mendatang, harus dimulai dari sebuah visi. Visi itu bisa saja dikatakan angan-angan atau mungkin mimpi, namun sepanjang itu realistis, pencapaiannya bukan sebuah kemustahilan. Visi bukan hil yang mustahal untuk dicapai.
Begitu pula dengan Angkatan Laut. Banyak Angkatan Laut di dunia yang membangun kekuatannya yang dimulai dari visi. Angkatan Laut India misalnya, punya Naval Vision 2022. Di tahun itu, dia ingin mempunyai lebih dari 160 kapal perang, termasuk tiga kapal induk, 60 kapal kombatan atas air dan bawah air dan hampir 400 pesawat udara. Kekuatan itu akan didukung oleh kekuatan tiga dimensi dengan satelit pengamatan dan jaringan untuk menciptakan force multiplication.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kita? Secara garis besar, kita sudah punya ancang-ancang berapa kekuatan yang kita miliki hingga 2024. Bahkan Departemen Pertahanan sudah tetapkan Postur Pertahanan 2010-2029, yang termasuk di dalamnya besar kekuatan AL kita.
Namun alangkah baiknya bila itu semua didukung oleh sebuah visi. Apa visi kita ke depan? Kita ingin menjadi kekuatan Angkatan Laut yang seperti apa?
Apakah kita ingin menjadi kekuatan yang diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik? Atau kita ingin begini-begini saja?

12 Agustus 2008

The Indian Navy Vision 2022

All hands,
Kita sudah nggak aneh lagi mendengar ambisi India untuk menjadi penguasa Samudera India. India berpandangan bahwa Samudera India harus tunduk pada sistem politik India. Maksudnya, apa yang terjadi di Samudera India harus berada dalam bingkai kepentingan nasional India. Hal itu dikenal luas sebagai The Indian Monroe Doctrine.
Jadi India mengadopsi The Monroe Doctrine yang diluncurkan oleh Amerika Serikat pada abad ke-19. The Monroe Doctrine menegaskan sikap Presiden James Monroe yang tidak menghendaki negara-negara Eropa ikut campur persoalan di negara-negara benua Amerika. India nggak suka ada aktor asing yang “berkuasa” di perairan itu dan hal itu merupakan visi India sejak era Jawaharlal Nehru sampai sekarang dan mendatang.
Itulah salah satu penjelasan mengapa pada 14-28 Februari 2008 India mengadakan Indian Ocean Naval Symposium (IONS), yang pertama kalinya dilaksanakan. Seperti yang pernah saya tulis, IONS merupakan tiruan dari Western Pacific Naval Symposium (WPNS) yang digagas oleh Amerika Serikat bagi Angkatan Laut negara-negara Samudera Pasifik. IONS diperuntukkan bagi Angkatan Laut negara-negara Samudera India. Indonesia karena mempunyai wilayah di kedua perairan, terlibat dalam kedua forum itu.
Pada Mei 2006 AL India mengeluarkan The India Navy’s Vision Document. Kemudian 2007 luncurkan Maritime Military Strategy. Kalau The India Navy’s Vision Document gampang untuk diakses, beda halnya dengan Maritime Military Strategy. India pelit soal itu, meskipun sebenarnya kita bisa dapatkan lewat jalan belakang.
Dalam perkembangan terbaru, Kasal India Laksamana Sureesh Mehta meluncurkan lagi The Indian Navy Vision 2022. Apa isinya? India wanted to create and sustain a three-dimensional, technology-enabled and networked force capable of safeguarding maritime interests in the high seas and projecting combat power across the littoral. Mehta bilang, ensuring a secure and peaceful environment in the Indian Ocean Region and to further India's political, economic, diplomatic and military objectives are Navy's responsibilities. We will deter conflict through conventional and non-conventional strength. But if this fails, we will fight to achieve decisive victory over our adversaries.
Bagi kita yang di AL, sangat paham maksud dari pernyataan itu dan apa implikasinya buat kawasan. Pada dasarnya kalimat safeguarding maritime interests in the high seas and projecting combat power across the littoral berada dalam bingkai The Indian Monroe Doctrine.
Untuk to create and sustain a three-dimensional, technology-enabled and networked force capable of safeguarding maritime interests in the high seas and projecting combat power across the littoral, salah satu kebijakan pembangunan kekuatan laut India adalah pengadaan kapal selam nuklir kelas Akula dari Rusia. Februari lalu kapal selam Akula sudah diujicoba untuk pertama kalinya dan akan berlangsung hingga tiga tahun hingga siap operasional. Saat ini AL India tengah membangun kapal selam Akula secara rahasia di Mazagaon Docks, Mumbai alias Bombay.
Ke depan, AL kita akan lebih sering berinteraksi di laut dengan kapal-kapal India. AL India akan diproyeksikan hingga ke Asia Tenggara, karena Selat Malaka merupakan salah satu area of India’s legitimate interests. Pertanyaannya, apakah Indonesia tidak mempunyai kepentingan di Samudera India? Kemudian, dalam interaksi AL kita dengan AL India, apa bentuknya? Cooperation, engagement atau hostility?

11 Agustus 2008

Bukan Sekedar Komitmen

All hands,
Dalam sebuah kegiatan yang saya ikuti di sebuah kota yang identik dengan AL, beberapa senior kita mengungkapkan bahwa dukungan terhadap pembangunan kekuatan AL merupakan hal yang sering diungkapkan, namun realisasinya berbanding terbalik dengan dukungan itu. Singkat kata, komitmen politik belum diterjemahkan dalam bentuk program nyata pembangunan kekuatan AL.
Ungkapan mereka itu memang benar, nggak bisa dibantah. Selama ini yang kita rasakan memang demikian. Pemerintah baru bisa sebatas komitmen politik mau bangun AL, tapi kenyataannya jauh dari harapan. Sebagai contoh yang bikin sebagian dari kita kecewa adalah soal pasokan BBM dari Pertamina.
Bagi kita, Pertamina dianggap nggak peduli soal pentingnya keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia. Pertamina juga dianggap nggak peduli soal kerugian negara dan bangsa yang makin besar bila unsur kapal nggak hadir di laut gara-gara dia stop pasokan BBM. Pertamina dalam persepsi kita hanya pikirkan profit saja.
Lepas dari Departemen Pertahanan-TNI punya utang kepada Pertamina, tapi itu kan utang pemerintah. Sementara Pertamina juga punya pemerintah. Apa tidak ada cara lain yang lebih elok untuk selesaikan masalah ini tanpa harus rugikan TNI, khususnya AL?
Kembali ke soal bangkuat AL, memang kendala kita yah di situ. Komitmen politik belum diimplementasikan secara nyata. Akibatnya yah banyak, termasuk anggaran pertahanan yang kecil. Tapi itu salah pemerintah juga. Siapa suruh masukkan alokasi gaji pegawai dalam anggaran pertahanan, yang akibatnya 55-60 persen anggaran itu hanya buat gaji saja. Semestinya alokasi gaji pegawai nggak boleh masuk dalam dalam anggaran pertahanan.
AL itu bukan punya kita yang ada di dalam AL, tapi milik bangsa. Sayangnya pemahaman demikian belum tumbuh di bangsa ini. Akibatnya AL susah untuk berkembang dan maju. Pemerintah baru berani mengklaim diri Indonesia sebagai negara kepulauan, tapi belum berani melangkah bagaimana mengamankan negara kepulauan itu. Sampai kapan kita yang di AL akan terus bermimpi mengawaki AL yang mempunyai deterrence dan diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik?

06 Agustus 2008

Paradigma Lloyd

All hands,
Berdiskusi tentang pembangunan kekuatan laut, kita harus senantiasa harus mengacu pada Paradigma Lloyd. Disebut Paradigma Lloyd karena yang cetuskan pemikiran itu adalah Richmond M. Lloyd, profesor di U.S. Naval War College bersama Lorenzini dari U.S. Air Force. Kemudian oleh Lloyd dikembangkan lagi bersama dengan P.H. Liota. Di Indonesia, Paradigma Lloyd hanya diajarkan di AL, khususnya Seskoal. Sebagian besar dari kita pasti sudah pernah baca bukunya Lloyd yang spektakuler itu (dan tebal banget) yang berjudul Fundamental Force Planning.
Paradigma Lloyd mengajarkan bahwa teknologi, sekutu, sahabat, organisasi internasional, keterbatasan sumber daya dan lain sebagainya sangat penting untuk diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pembangunan kekuatan. Karena faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi seperti apa wujud available forces yang akan dimiliki nantinya. Singkatnya, karena pembangunan kekuatan dipengaruhi oleh berbagai faktor, pendekatan dengan hanya memfokuskan pada satu faktor seringkali gagal ketika dikaitkan dengan lingkungan strategis.
Salah satu kata kunci Paradigma Lloyd dalam pembangunan kekuatan, yaitu suatu negara tidak bisa sendiri tanpa bantuan negara lain. Indonesia butuh kawan dan sekutu yang bersedia pasok senjata dan teknologinya, sebab kita belum bisa mandiri soal itu. Kalau bicara soal itu, ujung-ujungnya akan menyentuh soal kebijakan luar negeri. Dengan kebijakan luar negeri bebas aktif yang diperlakukan laksana wahyu dari Tuhan oleh sebagian kalangan di Indonesia, negara mana yang akan membantu menyediakan teknologi untuk membangun kekuatan laut Indonesia ke depan?
Pertanyaan ini makin relevan ketika dikaitkan dengan salah satu hasil pertemuan ARF di Singapura 24 Juli 2008, yaitu agenda disarmament. Sadar atau tidak sadar, nampaknya terdapat agenda naval disarmament terhadap Indonesia oleh negara-negara maju dalam bentuk pembatasan penjualan alutsista. Dampak naval disarmament itu besar sekali buat kita.
Martabat dan wibawa kita sebagai bangsa dilecehkan orang lain. Pertanyaannya, sampai kapan kita relakan martabat dan wibawa kita akan terus dilecehkan oleh pihak lain? Pahami Paradigma Lloyd, karena dalam Paradigma Lloyd hirarki paling tinggi adalah national interests. Pembangunan kekuatan dilaksanakan untuk mengamankan kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri juga harus mengacu pada kepentingan nasional.

05 Agustus 2008

Kepentingan Maritim Dalam ASEAN Security Community

All hands,
Salah satu Rencana Aksi ASEAN Security Community adalah di bidang keamanan maritim, dalam bentuk ASEAN Maritime Security Cooperation. Berdasarkan rencana aksi ASEAN Maritime Security Cooperation, bentuk kerjasamanya adalah (i) mendirikan ASEAN Maritime Forum dan (ii) membentuk ASEAN Joint Maritime Safety and Surveillance Mechanism. Adapun isu-isu yang akan menjadi materi kerjasama dalam FASEAN Maritime Forum adalah sebagai berikut: (i) Cooperation on Security Matters, (ii) Cooperation on Safety of Navigation and Sea Lanes of Communication, (iii) Cooperation on Maritime Environmental Protection, (iv) cooperation on marine resources management.
Kalau kita cermati agenda-agenda kerjasama maritim ASEAN yang tercantum dalam Rencana Aksi, khususnya isu keamanan, terkesan bahwa penanganan keamanan maritim di Asia Tenggara dikaitkan dengan isu kejahatan lintas negara (transnational crime). Pada sisi lain, beberapa aktor ekstra kawasan menggunakan pendekatan militer dalam menghadapi isu keamanan maritim di Asia Tenggara.
Secara makro, dari perspektif kepentingan nasional Indonesia, ada isu krusial dalam mengisi agenda ASEAN Security Community, yaitu menyangkut formula ASEAN Security Community. Formula tersebut antara lain meliputi values dan shaping and sharing of norms. Indonesia harus berada di depan untuk mengisi formula ASEAN Security Community, sehingga diharapkan selaras dengan kepentingan nasional Indonesia.
Sedangkan secara mikro, sebenarnya ada peluang bagi AL kita untuk mengisi dan mewarnai kerjasama keamanan maritim ASEAN. Untuk itu, sangat tepat bila AL kita bersiap dengan sejumlah agenda yang pada dasarnya dirancang selaras dengan kepentingan nasional di laut. Sebagai Angkatan Laut yang mengawal dua pertiga perairan Asia Tenggara, sudah sewajarnya bila AL kita lebih siap dengan agenda untuk keamanan maritim kawasan.
Isu krusial berikutnya adalah bagaimana kinerja ASEAN Security Community dalam penataan keamanan kawasan sebagaimana diamanatkan dalam Chapter VIII Piagam PBB. Sebagaimana diketahui, di Asia Tenggara telah eksis beberapa kekuatan ekstra kawasan yang menata keamanan wilayah ini. Pertanyaan krusialnya adalah apakah agenda ASEAN Security Community nantinya tidak akan “dihalangi” implementasinya oleh pihak lain yang sudah lebih dahulu eksis, misalnya FPDA dan Pacific Protector?
Sudah sewajarnya bila Indonesia yang mempunyai perairan terluas di Asia Tenggara mempunyai peran menonjol dari ASEAN Security Community, termasuk dalam kerjasama bidang maritim. Tetapi masalahnya adalah apakah kita mempunyai sikap nasional yang sama soal ASEAN Security Community? Apakah kita mempunyai sikap nasional yang sama soal agenda maritim?
Selama ini Departemen Luar Negeri pandai lahirkan beragam inisiatif di ASEAN, tapi tanpa konsultasi dulu dengan stakeholder di dalam negeri. Jadi deh Departemen Di Luar Negeri.

Penyebaran LCS-1

All hands,
Saat ini U.S. Navy sedang melakukan sea trial terhadap USS Freedom (LCS-1). LCS (littoral combat ship) dikembangkan untuk merespon perkembangan asimetris seperti strategi anti akses yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut yang lebih lemah dari U.S. Navy. Kapal ini antara lain dirancang untuk menghadapi peperangan ranjau, kapal selam diesel dan kapal cepat torpedo maupun rudal. Diharapkan akhir tahun ini USS Freedom sudah beroperasi.
Yang menarik dari USS Freedom adalah penyebarannya. Kapal ini akan ditempatkan di San Diego, California. Artinya berada di bawah U.S. Pacific Fleet, yaitu U.S. 3rd Fleet. Melihat lokasi penyebarannya di Pasifik, berarti kapal ini akan diproyeksikan di kawasan Asia Pasifik.
Hal itu sebenarnya tidak aneh, karena dibandingkan dengan kawasan Samudera Atlantik, tantangan terhadap kepentingan nasional Amerika Serikat di Pasifik lebih besar. Di kawasan ini terdapat beragam tantangan keamanan, dari tradisional sampai non tradisional. Di wilayah ini juga terdapat beberapa negara yang berani berkata tidak terhadap Washington.
Itu merupakan tantangan bagi Indonesia. Wilayah perairan kita termasuk rawan terhadap instabilitas, dan apabila terjadi instabilitas maka akan berpengaruh terhadap stabilitas kawasan. Sudah seringkali skenario latihan militer multinasional di sekitar Indonesia mengasumsikan adanya instabilitas di negara X di kawasan ini. Dan dalam latihan itu Indonesia terlibat aktif, bukan sekedar observer.

Angkatan Laut dan Ways of Life

All hands,
Sadar atau tidak, bagi Angkatan Laut negara-negara maju, proyeksi kekuatan mereka bukan sekedar mengamankan kepentingan nasional, tapi juga ways of life. Mengamankan gaya hidup!!! Gaya hidup seperti apa?
Kalau kita mengacu pada Amerika Serikat, gaya hidup boros. Gaya hidup boros itu bisa kita lihat dari besaran kapasitas cc mobil-mobil buatan om Sam. Mobil-mobil keluaran Detroit itu pasti boros bahan bakar, dia konsumsi bahan bakar lebih besar daripada buatan Jepang misalnya.
Untuk itu, om Sam perlu amankan akses ke ladang minyak. Om Sam juga perlu amankan SLOC minyak itu. Itulah salah satu alasan mengapa U.S. Navy diproyeksikan ke kawasan SLOC dunia. Selain Amerika Serikat nggak mau berperang di wilayah kedaulatannya, dia juga mau hancurkan ancaman ketika masih jauh dari wilayahnya.
Pertanyaannya buat kita di Indonesia, apakah AL kita sudah dipandang sebagai instrumen untuk bukan saja mengamankan kepentingan nasional, tapi juga ways of life? Ways of life seperti apa? Kita negara kepulauan, otomatis transportasi antar pulau adalah vital. Para pedagang kita borong barang dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain. Sebaliknya pasok barang-barang juga ke Pulau Jawa.
Artinya, ways of life kita tergantung pada laut. Tanpa laut, kita bisa setengah hidup. Karena itu gangguan terhadap keamanan maritim bagi sama sebenarnya sama artinya dengan gangguan terhadap ways of life kita. Berapa banyak pedagang dari segala tingkatan yang akan menanggung rugi bila transportasi laut dari Sulawesi misalnya ke kawasan Indonesia Timur lainnya terputus karena ancaman keamanan maritim. Berapa banyak nelayan yang nggak bisa melaut karena itu? Semua itu akan menciptakan kemiskinan dalam waktu singkat.
Kembali ke pertanyaan tadi, apakah AL kita sudah dipandang sebagai instrumen untuk mengamankan ways of life kita?

Masih Inward Looking

All hands,
Bila kita perhatikan persepsi terhadap ancaman, sangat jelas bahwa kita yang ada di lingkungan pertahanan dan militer masih inward looking. Kita nggak terlalu peduli dengan perkembangan lingkungan strategis. Perkembangan itu belum dijadikan konsideran utama dalam pembangunan kekuatan kita. Sebagai contoh, Angkatan Laut negara lain di sekitar kita beli kapal selam, masih saja ada di kita yang nggak peduli.
Menurut saya, itulah hasil dari didikan masa lalu. Di masa lalu, intelijen dididik untuk inward looking. Gamblangnya, untuk amankan kekuasaan pemerintah. Jadi dia didoktrin untuk cari musuh dari dalam dan kurang perhatikan perkembangan lingkungan strategis.
Celakanya, sampai sekarang juga masih begitu. Laporan intelijen kita, sebagian berasal dari koran. Rekan-rekan di intelijen bilang itu intel koran. Ha...ha...ha...
Angkatan Laut yang lebih banyak berinteraksi dengan pihak asing di laut dituntut untuk selalu outward looking. Itu nggak mudah, karena kita harus ubah paradigma sebagai personel yang dulu didoktrin untuk inward looking. Akibat inward looking yah itu tadi...masa bodoh dengan perkembangan di luar.
Kondisi ini harus kita akhiri. Bagaimana pun, musuh kita dari luar. Bukan dari dalam. Sehari-hari kapal perang kita kan berinteraksi dengan kapal perang asing. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut asing di sekitar kita, sudah pasti akan mempunyai dampak terhadap kita. Dampak itu harus kita minimalisasi, dan bukan dengan kita bersikap masa bodoh.

Dukungan Logistik

All hands,
Kasus yang terjadi saat ini antara Departemen Pertahanan-TNI dengan Pertamina soal dukungan BBM mencerminkan bahwa ada yang salah dalam dukungan logistik kita. Yang salah itu tidak dapat dibatasi pada tataran bawah, tapi lebih pada tataran strategis. Pertamina lebih berpikiran bisnis ketika menghadapi Departemen Pertahanan-TNI, seolah-olah Departemen Pertahanan-TNI itu profit maker.
Itu artinya, yang paham soal vitalnya dukungan BBM buat kegiatan pertahanan cuma Departemen Pertahanan-TNI saja. Pertamina, walaupun dia BUMN, nggak mau ambil pusing. Dia berpikirnya profit maker.
Dia nggak mikir kalau dia hentikan dukungan BBM, kapal perang kita nggak bisa patroli di laut. Dia nggak mikir bahwa akibat tindakan dia, implikasi politiknya di laut sangat besar. Negeri ini bisa “dikeroyok” negara-negara lain di kawasan gara-gara dianggap nggak bisa amankan perairannya. Pertamina nggak mikir, kalau laut kita nggak aman, kapal-kapal tanker dia juga berpotensi besar untuk dibajak pihak lain.
Apapun alasannya, Pertamina sebagai BUMN mestinya tetap memasok BBM kepada Departemen Pertahanan-TNI. Departemen Pertahanan-TNI lembaga pemerintah dan negara kok, nggak akan mungkin kabur ke luar negeri kayak para pemilik bank yang dapat BLBI.
Pada sisi lain, harus kita akui bahwa manajemen logistik di Departemen Keuangan, Departemen Pertahanan-TNI masih jauh dari sempurna. Kasus ini harus dijadikan pelajaran bagaimana menata logistik pertahanan yang lebih baik lagi di masa depan. Kita nggak kurang orang kok yang paham manajemen logistik militer. Cuma mungkin selama ini nggak diberdayakan.

04 Agustus 2008

Kecenderungan Skenario Latihan

All hands,
Di kawasan Asia Pasifik, terdapat beberapa latihan bersama (combined exercise) militer rutin yang menonjol, baik dalam konteks bilateral maupun multilateral. Seperti CARAT, SEACAT, Cobra Gold, RIMPAC, Balikatan, Flash Iron dan Talisman Sabre. Dari berbagai latihan itu, salah satu yang menarik untuk diperhatikan adalah skenarionya.
Sebagian dari latihan itu mempunyai kemiripan skenario. Skenario yang dirancang mengasumsikan bahwa terdapat tantangan terhadap stabilitas kawasan dari sumber-sumber yang berbeda, namun terjadi di tempat yang sama dalam waktu yang sama. Katakanlah terjadi instabilitas akibat konflik di negara X, yang kemudian instabilitas itu dimanfaatkan oleh aktor-aktor non negara dari luar negara X untuk ikut memperkeruh suasana.
Untuk merespon perkembangan itu, negara-negara di kawasan Asia Pasifik mengambil inisiatif untuk melaksanakan operasi militer di negara X. Inisiatif itu dilakukan secara multilateral, namun kemudian melibatkan PBB.
Skenarionya biasanya demikian. Itu terlihat dalam skenario Talisman Sabre 2007 dan juga Cobra Gold 2008. Pertanyaannya, kenapa skenarionya demikian? Jawabannya sederhana, yaitu karena perkembangan lingkungan strategis memang demikian.
Menjadi menarik ketika skenario itu kita bandingkan dengan skenario latihan TNI. Kita sudah sama-sama paham bahwa skenario latihan TNI masih menganut model zaman baheula. Skenarionya selalu mengasumsikan adanya invasi dari luar terhadap Indonesia.
Karena Indonesia sebagian besar terlibat dalam latihan-latihan militer di kawasan, ada baiknya Indonesia menarik lesson learned. Salah satunya adalah mengubah skenario latihan ke depan menjadi lebih realistis.

03 Agustus 2008

Arti SLOC Bagi Jepang

All hands,
Sebagai negara industri, Jepang sangat berkepentingan dengan amannya sea lanes of communication (SLOC). Kalau SLOC-nya terganggu, pasokan minyak dari negara-negara Arab terganggu pula, yang berakibat gangguan langsung terhadap industri dan perdagangannya. Oleh sebab itu, Jepang mati-matian berupaya menjamin keamanan SLOC, termasuk yang berada di perairan yurisdiksi Indonesia, melalui berbagai inisiatif.
AL Jepang alias Japan Maritime Self Defense Force (JMSDF) mempunyai doktrin operasi 1.000 untuk mengamankan SLOC. 1.000 mil terhitung dari daratan utama Jepang terus turun ke selatan hingga ke perairan yurisdiksi Indonesia. Ketika ancaman keamanan maritim di Selat Malaka meningkat beberapa tahun lalu, negeri itu meluncurkan ReCAAP (The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia) dengan pilarnya yaitu information sharing, capacity building, and cooperative arrangements.
ReCAAP berlaku efektif 4 September 2006, saat sejumlah negara meratifikasinya. Sebagian besar negara-negara yang meratifikasi ReCAAP adalah negara-negara kecil yang selama ini banyak dibantu oleh Jepang, seperti Kamboja. Sejauh ini telah 14 negara menandatangani dan meratifikasi ReCAAP dan wadah kerjasama ini mempunyai ReCAAP Information Sharing Center (ISC) di Singapura. Indonesia nggak mau ikut karena beberapa alasan. Salah satu alasan utamanya adalah ketidaksenangan penempatan ISC di Singapura, padahal Singapura bukan barometer stabilitas keamanan maritim di Asia Tenggara.
Soal mengapa Jepang mati-matian mengamankan SLOC, sebenarnya ada alasan lainnya yang nggak diketahui oleh orang awam. Isu keamanan SLOC sebenarnya mempengaruhi pula karakteristik JSMSDF sejak awal berdirinya hingga saat ini. Penting untuk dipahami secara khusus bahwa isu keamanan SLOC bukan semata karena Jepang adalah negara industri yang tergantung pada pasokan energi dari wilayah lain, namun juga tidak lepas dari pengalaman pahit Jepang di masa Perang Dunia Kedua.
Salah satu kegagalan Imperial Japanese Navy (IJN) pada Perang Dunia Kedua adalah mengendalikan garis perhubungan lautnya dari ancaman musuh. Kegagalan mempertahankan garis perhubungan laut menimbulkan bencana pada ekonomi Jepang dan berimplikasi besar pada jalannya perang. Belajar dari kegagalan IJN di masa lalu, sejak kelahirannya JMSDF dirancang sedemikian rupa untuk melindungi garis perhubungan laut Jepang, sehingga kemudian lahir doktrin operasi 1.000 mil laut.
Jadi, pentingnya arti SLOC bagi Jepang bukan cuma karena dia negara industri yang tergantung pasokan bahan baku dari luar. Bukan pula sekadar karena menyangkut kelancaran perdagangan dia dengan negara-negara lain di seberang lautan. Tapi lebih karena pengalaman perang dia di masa lalu.

Kelanjutan Thousand-ship Navy

All hands,
Ketika Admiral Mike Mullen menjabat Chief of Naval of Operations, dalam 17th International Seapower Symposium di Newport tahun 2005, dia meluncurkan insiatif yang dikenal sebagai Thousand-ship Navy/Global Maritime Partnership. Konsep itu dikembangkan oleh Vice Admiral John G. Morgan Jr. dan Rear Admiral Charles Mortaglio.
Banyak pihak menganggap bahwa TSN merupakan batu pijakan bagi strategi maritim baru bagi Angkatan Laut Amerika Serikat. Menurut Admiral Mullen, TSN merupakan penataan keamanan maritim global yang dirancang untuk mensinergikan kemampuan-kemampuan maritim kolektif dari sekutu-sekutu Amerika Serikat untuk keamanan secara keseluruhan pada domain maritim.
Apabila didalami, TSN didorong oleh globalisasi yang memerlukan jaminan akses yang bebas dan tak terganggu terhadap arus perniagaan dan menurunnya kemampuan U.S. Navy untuk melakukan pengendalian laut secara global. Oleh sebab itu, Amerika Serikat membutuhkan sekutu dan sahabat yang dapat diajak bekerjasama menjamin keamanan maritim secara global. Menurut penggagasnya, konsep itu akan membentuk kekuatan maritim global yang berpatroli di laut lepas dan mengamankan pelabuhan-pelabuhan dan waterways.
Satu di antara pertanyaan pertama tentang TSN adalah misi apa yang akan dilaksanakannya? Dalam sebuah kesempatan, Admiral Mullen memberikan penjelasan sebagai berikut:
"I’ve engaged with heads of navies from around the world, upward of 72 different countries, in the concept that I call a 1,000 ship Navy. It’s a thousand ships like-minded nation working to get at the emerging challenges of weapons of mass destruction, terrorist, drug, weapons, pirates, human trafficking and immigration. These are challenges we all have, and we need to work together that the sea-lanes are secure".

Respon negara-negara di dunia melalui Angkatan Lautnya masing-masing terhadap TSN beragam. Ada yang langsung setuju, ada pula yang reserve. Yang reserve mempertanyakan soal kedaulatan nasional masing-masing negara untuk berpatroli di wilayah perairannya sendiri. Ada kekhawatiran bahwa TSN akan melakukan patroli di perairan yurisdiksi negara-negara lain.
Sebagai jawaban atas kekhawatiran itu, U.S. Navy kemudian terbitkan Ten Guiding Principles for the "Navy of Navies":

National sovereignty would always be respected.
• Nations, navies, and maritime forces would participate where and when they have common interests.
• The focus would be solely on security in the maritime domain: ports, harbors, territorial waters, maritime approaches, the high seas, and international straits, as well as the numerous exploitable seams between them.
• While no nation can do everything, all nations could contribute something of value.
• The TSN/GMP would be a network of international navies, coast guards, maritime forces, port operators, commercial shippers, and local law enforcement, all working together.
• Nations or navies having the capacity would be expected to help less capable ones increase their ability to provide maritime security in their own ports, harbors, territorial waters, and approaches.
• Nations or navies that need assistance would have to ask for it.
• Each geographic region would develop regional maritime networks.
• To be effective and efficient, the Global Maritime Partnership would have to share information widely; classified maritime intelligence would be kept to a minimum.
• This would be a long-term effort, but the security of the maritime domain demands that it start now.

Untuk mengoperasionalkan TSN, U.S. Navy menekankan pada peningkatan maritime domain awareness (MDA) melalui kolaborasi dan pertukaran informasi antar negara. Dan U.S. Navy nggak ragu untuk membantu capacity building Angkatan Laut negara-negara lain untuk MDA. Indonesia misalnya mendapatkan bantuan lewat Section 1206 yang berwujud Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) di Selat Malaka dan Selat Makassar.
Kini Admiral Mullen sudah digantikan oleh Admiral Gary Roughead. Admiral Mullen dipromosikan menjadi Chairman, of the Joint Chiefs of Staff. Pertanyaannya, bagaimana kelanjutan TSN? Selama kepemimpinan Roughead, sepertinya sang Laksamana kurang berminat lanjutkan promosikan TSN. Tetapi dalam prakteknya, U.S. Navy terus meningkatkan kerjasama dengan Angkatan Laut di dunia untuk menjamin keamanan maritim. Kata kuncinya adalah freedom of navigation.

01 Agustus 2008

Senjata Tanpa Taktik

All hands,
Pengadaan alutsista AL kita masih sangat tergantung pada pasokan dan kemurahan hati pihak asing. Hal itu membuat posisi kita sebagai konsumen berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kalau produsennya bermurah hati, apa pun kita bisa dapat dari dia. Sedangkan kalau produsennya tinggi hati, yang kita dapat dari dia hanya sedikit.
Itu pula yang dialami oleh kita dalam pengadaan kapal selam dari Barat. Selama kita operasikan kelas U-209, Jerman nggak pernah kasih ilmu taktis kapal selam kepada kita. Jadi taktik kapal selam yang kita gunakan selama ini dalam mengoperasikan U-209 merupakan taktik yang kita dapat dari Uni Soviet waktu beli kelas Whiskey tahun 1959-1960. Dari taktik yang dikasihkan Uni Soviet kepada kita, terus kita kembangkan sendiri dengan mengambil pengalaman kita sendiri dan pengalaman negara-negara lain mengoperasikan kapal selam.
Kasus ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa tidak ada makan siang gratis. Kenapa negara-negara Barat nggak mau kasih taktik kapal selam kepada kita? Menurut saya jawabannya karena Indonesia bukan termasuk sekutu mereka, sekedar kawan atau mitra. Sebagai perbandingan, Malaysia konon diberikan sebagian taktik kapal selam oleh Prancis. Singapura apalagi, dikasih sama Swedia.
Nggak aneh kalau negara-negara Barat terkejut waktu mereka tahu kita pakai ATP-28 untuk taktik kapal selam. Itu pun sebenarnya kita mencuri. Kalau nggak mencuri, mana kita akan dikasih. Jadi ATP-28 itu dalam prakteknya kita padukan dengan taktis kapal selam dari Uni Soviet/Rusia.
Sekarang kita sedang tunggu keputusan pemerintah soal pengadaan kapal selam baru. Apakah dari Rusia dengan kelas Kilo atau Korea Selatan dengan kelas Changbogo/lisensi U-209. Kalau dapat dari Rusia, kemungkinan untuk kita mendapatkan taktik termutakhir kapal selam terbuka lebar. Sedangkan dari Korea Selatan, saya pesimis. Dengan berasumsi bahwa dia dapat taktik kapal selam dari Barat atas ijin Amerika Serikat, belum tentu Amerika Serikat ijinkan taktik itu ”dibagi” kepada Indonesia.