30 April 2010

Pekerjaan Rumah Peperangan Kapal Selam

All hands,
Kasus HMAS Farncomb pada Maret 2007 saat melaksanakan misi intelijen di perairan Indonesia hendaknya memperkuat kesadaran pihak-pihak terkait di Indonesia bahwa perairan negeri ini menjadi wilayah operasi bagi kapal selam di negara-negara sekitarnya. Kesadaran itu bukan sekedar tahu, tetapi juga bisa mengambil kebijakan-kebijakan untuk memperkuat kemampuan peperangan kapal selam dan anti kapal selam Angkatan Laut Indonesia. Pihak pertama dan utama yang harus sadar akan soal itu adalah Departemen Pertahanan sebagai penentu kebijakan pertahanan di negeri ini, termasuk soal pengaturan anggaran bagi Angkatan Laut.
Selama ini isu peperangan kapal selam nampaknya tidak dipandang penting di Departemen Pertahanan. Sebagai ilustrasi, pengadaan kapal selam baru bagi Angkatan Laut hampir lima tahun terlunta-lunta. Baru pada 2010 ada kepastian tentang penambahan kapal selam baru.
Pengadaan kapal selam baru merupakan kebutuhan bagi Angkatan Laut Indonesia, namun itu bukan satu-satunya jawaban. Langkah itu harus diikuti dengan pembangunan sistem deteksi bawah air pada perairan-perairan strategis, semisal di Selat Sunda dan Selat Lombok. Begitu pula kegiatan riset-riset yang terkait dengan kemampuan deteksi bawah air. Serta tak ketinggalan memperbarui peralatan sensor kapal selam pada armada kapal air yang selama ini sudah ketinggalan dari segi teknologi dan sebagian sudah tidak berfungsi.
Selama ini isu peperangan kapal selam seolah di Indonesia terkesan terbatas pada pengadaan kapal selam. Padahal kapal selam hanya salah satu subsistem dalam peperangan kapal selam. Inilah pekerjaan rumah yang dihadapi oleh Indonesia dalam era di mana pembangunan kapal selam pada beberapa negara di sekitar Indonesia. Pekerjaan rumah itu bukan hanya terbatas pada Angkatan Laut, tetapi juga merupakan pekerjaan rumah bagi Departemen Pertahanan sebagai penentu kebijakan pertahanan.

29 April 2010

Kerjasama Kapal Selam Amerika Serikat-Australia

All hands,
Pengembangan kapal selam Australia sejak era kelas Collins dan akan berlanjut pada 12 kapal selam yang dikenal sebagai Project SEA-1000 selalu tergantung pada “kemurahan hati” Amerika Serikat. Singkatnya, Australia sangat tergantung pada teknologi yang diberikan oleh Amerika Serikat. Untuk itu, kedua negara mempunyai dokumen yang bertajuk Navy-to-Navy Statement of Principles for Submarine Co-operation yang ditandatangani pada 2001 dan diperpanjang Agustus 2009.
Lewat wadah itu, Amerika Serikat memberikan informasi-informasi sekaligus data mengenai teknologi kapal selam. Tentu tidak semua informasi dan data dilepaskan oleh Washington, sebab seperti diketahui Washington pun masih tetap bersikap “pelit” terhadap sekutunya ketika menyangkut teknologi sensitif. Meskipun demikian, informasi dan data yang dipasok kepada Canberra sudah cukup untuk membantu negeri yang didirikan oleh kaum kriminal tersebut untuk mengembangkan kapal selam sendiri.
Kasus “rewelnya’ kapal selam kelas Collins tidak dapat dilepaskan dari kontribusi Amerika Serikat sendiri. Sebab teknologi yang melengkapi kapal selam itu berasal dari Washington. Namun tentu saja Canberra tidak berani “mengeluh” secara terbuka soal kualitas teknologi yang dipasok oleh perusahaan Amerika Serikat.
Dalam Project SEA-1000, setidaknya terdapat dua perusahaan asal Uwak Sam yang tengah mengincar anggaran Australia. Yaitu Raytheon dan Lockheed Martin, di mana kedua mengincar untuk mengisi combat system kapal selam masa depan Australia. Dengan proyeksi 12 kapal selam serta setidaknya akan terus beroperasi hingga 2060-2070, tentu bisa dibayangkan berapa nilai kontrak yang akan dinikmati oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Sebab selain soal produksi kapal selam, kontraktror asal Negeri Broer Sam juga akan menikmati anggaran pemeliharaan yang dikucurkan pemerintah Australia selama 12 kapal selam itu operasional.
Dengan demikian, tingkat ketergantungan teknologi kapal selam Australia terhadap Amerika Serikat akan terus meningkat. Sebaliknya negara-negara Eropa pemilik teknologi kapal selam tidak mempunyai akses ke pasar Australia. Artinya, kerjasama kapal selam Amerika Serikat-Australia selain berdampak politik dan strategis, juga bernilai ekonomis.

28 April 2010

Mengapa Kapal Selam Kelas Collins Gagal?

All hands,
Kapal selam kelas Collins dapat dikategorikan sebagai kapal selam gagal. Salah satu kapal selam ini yaitu HMAS Farncomb pada Maret 2007 pernah tersangkut jaring nelayan ketika sedang melaksanakan misi intelijen di perairan Indonesia. Musibah itu nyaris memakan korban beberapa awak kapal selam tersebut.
Berbagai permasalahan teknis selalu menghantui kapal selam buatan Australia ini. Entah itu kerusakan combat system, kerusakan generator dan lain sebagainya. Tentu menjadi pertanyaan mengapa kapal selam yang diluncurkan dari galangan ASC ini mengalami “kutukan” selama masa dinasnya di Royal Australian Navy?
Semua itu berawal dari keinginan pemerintah Australia mengoperasikan kapal selam yang tidak digunakan oleh Angkatan Laut lain di dunia. Pemerintahan di Canberra lebih memilih pendekatan desain daripada off-the-shelf. Kapal selam kelas Collins desain dasarnya adalah kapal selam Vastergotland asal Kockum AB, Swedia yang kemudian didesain ulang oleh ASC. Melalui desain ulang, dimensi kapal selam mengalami pembesaran beberapa kali dibandingkan aslinya.
Selain itu combat system-nya menggunakan buatan Rockwell Internasional, Amerika Serikat. Tidak memakai combat system buatan Eropa yang digunakan oleh kapal selam Vastergotland. Di situlah kesalahan awal dan sekalipun pemicu dari segala permasalahan yang melingkupi kapal selam kelas Collins.
Kapal selam buatan Swedia secara filosofis dirancang untuk beroperasi di perairan Laut Baltik dan bukan untuk di perairan laut dalam atau samudera. Sedangkan kapal selam kelas Collins yang merupakan pembesaran dari kelas Vastergotland dirancang untuk beroperasi di laut lepas. Namun yang luput dari perhatian para perancang Australia adalah pembesaran dimensi kapal selam bukanlah jawaban terhadap kebutuhan operasional yang diinginkan oleh Angkatan Laut negeri itu.
Pelajaran apa yang bisa ditarik oleh Indonesia dari kasus kapal selam kelas Collins? Sebagai negara yang tidak menguasai teknologi kapal selam, Indonesia jangan pernah mencoba memilih pendekatan desain dalam pengadaan kapal selam. Lebih baik negeri ini menempuh pendekatan off-the-shelf dalam rangka memperkuat kemampuan peperangan bawah air Angkatan Laut-nya. Australia yang notabene bukan negeri yang menguasai teknologi kapal selam harus membayar mahal pendekatan desain yang ditempuhnya pada kapal selam kelas Collins.
Untuk gambaran, Angkatan Laut negeri itu memerlukan dana AU$ 330 juta pada 2009 agar semua kapal selam siap tempur. Itu baru dari sisi dana, belum kerugian dari sisi operasional.

27 April 2010

Di Mana Garis Depan Indonesia?

All hands,
Ketika berbicara tentang pertahanan, pertanyaan soal di mana garis depan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Dalam konteks Indonesia, pertanyaannya adalah di mana garis depan pertahanan negeri ini? Pertanyaan ini sulit dijawab saat dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia serta berlakunya UNCLOS 1982.
Indonesia memang mempunyai perairan teritorial yang berbatasan dengan beberapa negara lain. Karena sifat laut yang terbuka dan sesuai dengan hukum internasional, kapal perang asing diperbolehkan memasuki perairan Indonesia, termasuk perairan Nusantara. Masuknya kapal perang asing itu bisa untuk kepentingan lintas damai, bisa pula untuk ALKI.
Apabila ketika kapal perang itu sudah masuk ke perairan Nusantara dan atau ALKI, kemudian bersikap bermusuhan terhadap Indonesia, maka garis depan Indonesia menjadi kabur. Sangat jelas tidak mungkin menganggap batas laut teritorial sebagai garis depan. Isu garis depan di laut selama ini kurang dicermati, padahal di situ terletak kerumitan dalam mendefinisikan garis depan tersebut?
Menurut hemat saya, garis depan Indonesia sangat rumit untuk didefinisikan. Perairan Nusantara dan ALKI bisa didefinisikan sebagai garis depan. Artinya, Laut Jawa dan Laut Maluku bisa menjadi garis depan Indonesia, bukan saja Laut Arafuru atau Laut Natuna. Dengan garis depan yang begitu rumit, dibutuhkan strategi maritim yang bisa menjawab ancaman dan tantangan itu.

26 April 2010

Efektivitas Patroli Maritim Anti Pembajakan Dan Perompakan

All hands,
Pesawat patroli maritim yang dimiliki oleh Angkatan Laut berbagai negara di dunia filosofi perancangannya adalah untuk menghadapi peperangan kapal selam dan anti kapal selam. Oleh sebab itu, peralatan deteksi yang melengkapi berbagai pesawat itu adalah peralatan yang dibuat untuk mendeteksi kehadiran kapal selam di wilayah perairan di mana pesawat patroli maritim itu beroperasi. Misalnya MAD, sonar celup dan lain sebagainya.
Ketika pesawat patroli maritim dengan spesifikasi demikian digunakan untuk menghadapi ancaman pembajakan dan perompakan di laut, efektivitasnya tentu dipertanyakan. Sebab kesulitan utama dalam mendeteksi adalah membedakan mana kapal pembajak dan perompak dan mana kapal yang bukan pembajak dan perompak. Pembedaan hanya bisa dilakukan bila pembajak dan perompak tengah menjalankan aksinya, sehingga dari udara kelihatan senjata mereka, tangga dan lain sebagainya. Itulah tantangan yang dihadapi oleh pesawat patroli maritim dalam melaksanakan patroli anti pembajakan dan perompakan.
Di Selat Malaka, sejak beberapa tahun silam telah digelar patroli udara untuk menghadapi ancaman pembajakan dan perompakan yang bersandi Eyes In The Sky. Pesawat patroli maritim yang terlibat dalam operasi itu sebagian mempunyai perlengkapan untuk menghadapi peperangan kapal selam dan anti kapal selam. Sebagian lainnya baru sebatas mampu mendeteksi dengan akurat sasaran yang berada di atas permukaan laut dari jarak yang cukup jauh menggunakan peralatan electro-optical. Yang perlu dipertanyakan adalah seberapa besar sebenarnya efek kegiatan patroli itu untuk mencegah terjadinya pembajakan dan perompakan di Selat Malaka?

25 April 2010

Minat Thailand Di Selat Malaka

All hands,
Selama ini urusan keamanan Selat Malaka lebih diminati oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Namun dalam dua tahun terakhir, Thailand yang berada di ujung utara Selat Malaka mulai menunjukkan peningkatan minatnya terhadap keamanan maritim di perairan strategis tersebut. Setelah beberapa tahun lalu terlibat dalam Eyes In The Sky, kini Negeri Gajah Putih mengajak Indonesia menggelar patroli terkoordinasi di segmen utara Selat Malaka.
Tentu menjadi menarik apa sebenarnya yang menjadi faktor pendorong peningkatan minat negeri pemilik kapal induk itu untuk berpartisipasi di Selat Malaka dalam urusan pengamanan. Salah satu hipotesis yang bisa dibangun adalah negeri itu tengah berupaya meningkatkan peran militernya di kawasan Asia Tenggara. Selama ini, militer Thailand sibuk “berbisnis” di kawasan Indo Cina dan paling jauh sibuk bermitra dengan militer Amerika Serikat dalam beberapa latihan yang digelar, di antaranya adalah Cobra Gold. Militer Thailand juga disibukkan dengan agenda penanganan pergolakan di wilayah selatan negeri itu yang dihuni mayoritas Muslim Melayu.
Angkatan Laut Thailand sendiri selama ini kurang terdengar gemanya di kawasan Asia Tenggara. Meskipun mempunyai kapal induk dalam susunan tempurnya, akan tetapi kapal induk itu belum dieksploitasi secara optimal. Buktinya, belum pernah kapal itu melaksanakan muhibah ke negara-negara Asia Tenggara bagian selatan, khususnya Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Menurut hemat saya, gairah Thailand untuk berpartisipasi dalam pengamanan Selat Malaka merupakan upaya meningkatkan peran militernya di kawasan. Secara khusus, Royal Thai Navy memanfaatkan kesempatan ini sebagai peluang untuk menunjukkan ototnya. Sebab selama ini Angkatan Laut itu nampaknya lebih sibuk dengan urusan di dalam negeri saja. Peningkatan peran Angkatan Laut milik Raja Bhumipol itu tidak perlu dikhawatirkan, sebab Thailand sampai kini tidak mempunyai ambisi “menguasai” Asia Tenggara layaknya Singapura negeri penampung koruptor asal Indonesia.

24 April 2010

Excess Defense Article

All hands,
Sebagai negara maju dengan superioritas militer, Amerika Serikat selalu senantiasa berupaya mempertahankan keunggulannya atas militer negara-negara lain. Caranya dengan mengembangkan teknologi-teknologi baru sebagai tulang punggung dari pembangunan sistem senjata baru. Dengan masuknya sistem senjata baru seperti kapal perang dan pesawat udara, maka secara otomatis sistem senjata yang lama akan dihapus satu persatu. Bentuknya antara lain penghapusan dari susunan tempur.
Setelah dihapus dari susunan tempur, tidak semua sistem senjata langsung dibesituakan. Sebagian di antaranya dimasukkan dalam Excess Defense Article (EDA) Program. Dengan masuk dalam EDA, senjata-senjata itu bisa dijual ke negara-negara lain dengan sepersetujuan Kongres. Negara-negara di Eropa Timur selama beberapa tahun belakangan dikenal sebagai konsumen dari EDA, begitu pula Irak dan Pakistan.
Biasanya begitu ada sistem senjata yang masuk dalam EDA, pemerintah Amerika Serikat akan memberitahukan kepada negara-negara yang dianggap berminat membeli surplus tersebut. Tentu saja tidak semua negara diberikan informasi soal EDA. Pemberian informasi EDA tidak identik dengan penawaran.
Tentu banyak persyaratan teknis bagi negara yang tertarik dengan sistem senjata yang dikategorikan sebagai EDA. Mulai dari soal end user agreement sampai dengan masalah biaya perbaikan, pelatihan, suku cadang, penyeberangan sistem senjata dan lain sebagainya. Soalnya sistem senjata yang dimasukkan dalam EDA biasanya berlaku ketentuan as where as is.
Salah satu sistem senjata yang masuk dalam EDA saat ini adalah fregat kelas Oliver Hazard Perry. Menurut rencana Pentagon, selama tahun anggaran 2011-2015 terdapat 26 kapal perang kelas itu yang akan dimasukkan dalam EDA. Dengan demikian, kapal perang itu dapat dibeli oleh negara-negara lain yang sejalan dengan kepentingan Washington. Beberapa negara di kawasan Asia Pasifik telah diberitahukan soal ini.
Syaratnya adalah as where as is dan salah satu calon pengguna yang sudah menyatakan sangat tertarik adalah Pakistan. Dengan syarat as where as is dan usia kapal yang rata-rata sudah di atas 30 tahun, perlu dipertimbangkan aspek anggaran (termasuk logistik) apabila berminat atas kapal perang ini.


23 April 2010

Pelajaran Dari Somalia

All hands,
Dalam menghadapi ancaman keamanan maritim di Somalia, CTF-151 yang beroperasi di Teluk Aden menetapkan Internationally Recommended Traffic Corridor (IRTC). Kapal-kapal niaga yang melintas di koridor itu mendapat pengawalan konvoi dari kapal-kapal perang yang tergabung dalam CTF-151. Penetapan IRTC di Teluk Aden tidak lepas dari tingginya ancaman pembajakan di perairan strategis tersebut.
Preseden yang terjadi di Teluk Aden sangat mungkin terjadi pula di Selat Malaka apabila terjadi situasi keamanan maritim di perairan itu tidak bisa dikendalikan oleh Indonesia dan Malaysia. Negara-negara pengguna Selat Malaka khususnya Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan dipastikan akan menurunkan kekuatan lautnya untuk mengamankan perairan itu. Dapat dipastikan Singapura dengan senang hati akan menyambut kedatangan satuan-satuan Angkatan Laut negara-negara luar kawasan untuk mengamankan Selat Malaka, sebab impian negeri penampung koruptor asal Indonesia itu selama ini memang demikian.
Artinya, di Selat Malaka besar kemungkinan akan ditetapkan pula IRTC oleh negara-negara koalisi. Berbekal pengalaman memimpin CTF-151 periode 19 Januari 2010-19 Maret 2010, Singapura tentu tidak dapat menyembunyikan ambisinya untuk memimpin operasi multinasional di Selat Malaka.
Pertanyaannya kini, bagaimana mencegah skenario demikian terjadi? Peningkatan kehadiran Angkatan Laut di Selat Malaka adalah solusi operasional. Solusi operasional belum cukup untuk mencegah skenario Teluk Aden terjadi di Selat Malaka. Dibutuhkan solusi kebijakan dari Indonesia yang bentuknya adalah adalah strategi keamanan maritim nasional.
Dalam strategi keamanan maritim nasional, harus dengan jelas diungkapkan siapa yang bertanggungjawab atas keamanan maritim di Indonesia. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus aneh, lucu dan menggelikan, seperti patroli satuan tertentu yang selama ini tugasnya mengejar kelompok Jemaah Islamiyah di daratan tiba-tiba menggelar patroli di laut.
Bagaimanapun, karakteristik di laut berbeda dengan di darat. Selain itu harus dipahami bahwa tidak ada pasukan khusus yang super yang bisa hebat di semua medan. Setiap medan mempunyai karakteristik berbeda-beda. Oleh karena itu, SWAT di Amerika Serikat tidak pernah berambisi merebut lahan Navy’s SEAL, sebab paham akan medan operasi yang berbeda. Begitu pula U.S. Army Ranger, tak pernah bernafsu mengambil domain Navy’s SEAL. Hal itu berbeda dengan di Indonesia di mana ada satuan khusus tertentu yang hidupnya di darat nampaknya mulai berambisi merebut lahan Kopaska di laut.

22 April 2010

Mental Terkepung Singapura

All hands,
Kalau selama ini Singapura sebagai negeri penampung koruptor asal Indonesia selalu “cerewet” soal keamanan Selat Malaka, bahkan melebih-lebihkan ancaman di perairan itu, hal demikian tidak lepas dari mental terkepung negeri itu. Mental terkepung selalu dipelihara dan dikembangkan oleh para pemimpin negeri eks pecahan Negeri Tukang Klaim itu sejak 1965 sampai sekarang dan akan terus begitu di masa depan. Dalam mental terkepung, para pemimpin dinasti di negeri penampung koruptor itu akan selalu menanamkan doktrinasi kepada rakyatnya yang mayoritas etnis Cina bahwa mereka dikepung oleh dua negeri Melayu yang mayoritas beragama Islam. Seperti halnya Israel di tanah Arab, Singapura selalu merasa bahwa dua negeri Melayu yang mengelilingi suatu saat akan menyerbunya.
Karena mentalitas terkepung itulah makanya dalam isu keamanan maritim Singapura lebih suka bermitra dengan kekuatan ekstra kawasan, khususnya Broer Sam. Dengan senang hati negeri itu menyediakan fasilitas militer bagi tentara Uwak Sam yang “diusir’ dari Filipina pada 1991. Sementara tingkat CBM dengan dua negara besar ASEAN yang mengelilinginya cukup rendah.
Mentalitas terkepung itu juga yang mendorong negeri itu berupaya menganeksasi wilayah negara lain, seperti tercermin dalam DCA dengan Indonesia. Celakanya, sebagian pihak di Indonesia tidak merasa wilayahnya dianeksasi oleh Singapura. Kondisi nyata saat ini menunjukkan bahwa ruang udara di sekitar Kepulauan Riau sudah dianeksasi oleh Singapura dan di Indonesia banyak pihak yang tenang-tenang saja dengan hal itu. Tidak ada teriakan “Ganyang Singapura” seperti halnya ketika Negeri Tukang Klaim berupaya menganeksasi sebagian segmen perairan Laut Sulawesi.
Singkatnya, Indonesia tidak punya satu sikap nasional bagaimana menghadapi Singapura, khususnya dalam isu politik dan keamanan. Segala sesuatunya dilakukan dengan pendekatan ad-hoc dan lebih sering tidak mengacu pada kepentingan nasional.

21 April 2010

Diplomasi 90.000 Ton

All hands,
Angkatan Laut merupakan salah satu instrumen diplomasi. Dalam menggelar diplomasi, Angkatan Laut mengandalkan pada eksistensi kapal perang. U.S. Navy sebagai Angkatan Laut dengan jangkauan global menggunakan kapal perang sebagai perangkat diplomasi, di antaranya adalah kapal induk. Itulah sebabnya di Angkatan Laut Broer Sam adalah istilah 90.000 ton diplomacy.
Istilah itu mengacu pada tonase kapal induk kelas Nimitz yang berkisar pada 90.000 ton. Berbicara tentang dampak diplomasi 90.000 ton, tentu sangat luar biasa. Sebab kapal induk itu selain dilengkapi dengan satu wing pesawat udara, ditambah pula dengan sejumlah kapal pengawal dengan sistem persenjataan yang tidak kalah mematikan.
Dalam konteks Indonesia, diplomasi Angkatan Laut sebaiknya mengandalkan pada apa? Yang utama perlu diperhatikan adalah jangan pernah mengandalkan pada kapal-kapal di bawah tonase 1.000 ton. Sebab meskipun kapal bertonase di bawah 1.000 ton dilengkapi dengan senjata yang combat proven, namun dampaknya tetap saja kecil. Sebab diplomasi Angkatan Laut adalah pameran bendera, artinya pamer kekuatan. Kalau kita berdiplomasi mengandalkan kapal-kapal di bawah 1.000 ton, hal itu sama saja dengan menggarami air laut.
Tonase kapal kombatan Indonesia berkisar antara 1.700-2.000 ton dan itulah capital ship yang tersedia. Sebaiknya kapal-kapal itu yang digunakan, dengan catatan sistem senjatanya harus dapat diandalkan. Kalau sistem senjatanya diragukan, sekali lagi hal itu merupakan pekerjaan menggarami laut.
Diplomasi Angkatan Laut ditujukan agar pihak yang dituju mempunyai persepsi takut dan segan kepada kekuatan yang kita pamerkan. Pemahaman ini harus dicamkan betul, sebab diplomasi Angkatan Laut adalah pamer kekuatan. Kalau yang dipamerkan kapal-kapal kecil, itu menandakan bahwa kapal-kapal kecil itulah yang menjadi andalan suatu Angkatan Laut.

20 April 2010

Angkatan Laut Dan Kompartementasi Pertahanan

All hands,
Ketika berdiskusi tentang pertahanan, hal pertama yang harus muncul adalah kesadaran geografis. Sebagai dari perspektif strategi dinyatakan dengan jelas bahwa geografi adalah tulang punggung dari pertahanan. Dalam konteks Indonesia yang geografisnya didominasi oleh lautan, merupakan kebijakan yang keliru, tidak berdasar dan sekaligus kesalahan besar bila menempatkan Angkatan Darat sebagai tulang punggung pertahanan.
Sesuai dengan UNCLOS 1982, Indonesia diakui oleh IMO mempunyai tiga ALKI. Penyediaan ALKI adalah untuk kepentingan lalu lintas kapal perang, bukan untuk kepentingan navigasi kapal niaga. Sebab navigasi kapal niaga menganut pada prinsip jalur terpendek dan tercepat, karena kapal niaga beroperasi berdasarkan perhitungan ekonomis untung dan rugi.
Eksistensi tiga ALKI berarti membagi wilayah Indonesia dalam empat kompartementasi. Dengan demikian, kebijakan dan strategi pertahanan harus melihat pada kompartementasi tersebut. Singkatnya, kebijakan dan strategi pertahanan harus berbasis pada empat kompartemensi Indonesia karena penerapan ALKI.
Adanya empat kompartemensi berarti strategi pertahanan Indonesia harus dibagi dalam empat kompartemen. Artinya, Indonesia mempunyai empat mandala operasi. Dari empat kompartemen itu, sangat jelas betapa krusialnya peran Angkatan Laut, di samping juga Angkatan Udara. Setiap kompartemen harus membangun sub strategi tersendiri, sebab karakteristik masing-masing kompartemen berbeda.
Apapun strategi dan sub strategi yang dikembangkan, peran Angkatan Laut tetap krusial. Misalnya di kompartemen Barat yang mencakup wilayah perairan di sekitar Pulau Sumatera plus Laut Natuna, ancaman peperangan laut yang dihadapi cukup kompleks. Dibutuhkan perpaduan penggunaan kapal selam dan kapal atas air dengan mempertimbangkan kondisi geografis wilayah itu. Sementara di kompartemen Tengah-1 dan Tengah-2, kehadiran kapal atas air bertonase besar serta kapal selam diperlukan untuk beroperasi di perairan yang luas dan cenderung terbuka. Begitu pula di kompartemen Timur.
Idealnya, pembangunan kekuatan Angkatan Laut ke depan mengacu pada kompartementasi tersebut. Meskipun hingga saat ini kecil kemungkinannya Angkatan Laut akan beroperasi di dua atau lebih mandala sekaligus, akan tetapi skenario pembangunan kekuatan harus mengacu pada kemungkinan tersebut. Bahkan perlu pula dirancang suatu skenario konvensional dan non konvensional, seperti harus menggelar operasi bantuan kemanusiaan di kompartemen Barat dan pada waktu yang sama harus pula menggelar operasi tempur di kompartemen Timur.
Tantangan utama dalam masalah kompartementasi pertahanan adalah mensosialisasikan isu ini ke Departemen Pertahanan. Sebab meskipun menyandang nama Departemen Pertahanan, namun hingga sekarang nampaknya pemikiran tentang pertahanan yang berdasarkan geografis (termasuk kompartementasi) baru sebatas dinyatakan dalam undang-undang saja dan belum diimplementasikan atau setidaknya dirancang untuk dilaksanakan dalam beberapa tahun ke depan.

19 April 2010

Kebijakan, Strategi Dan Teknologi

All hands,
Banyak pihak yang awam dengan pola pikir militer yang hirarkis, sehingga seringkali melakukan kekeliruan dalam memandang militer secara keseluruhan. Misalnya, ada pihak yang terlalu fokus pada teknologi persenjataan tanpa paham soal kebijakan dan strategi. Padahal dalam pola pikir militer yang hirarkis, teknologi berada pada urutan bawah. Kalau diurut secara singkat dari atas ke bawah, hirarkinya adalah kebijakan, kemudian strategi dan selanjutnya adalah seni operasi serta diakhiri oleh taktik.
Teknologi dalam paradigma militer tidak berada langsung dalam garis lurus kebijakan-strategi-seni operasi-taktik. Teknologi berada pada samping kiri atau kanan (tergantung di mana menempatkannya) dari pola pikir hirarkis tersebut. Silakan periksa paradigma Lloyd tentang pembangunan kekuatan.
Kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah akan menentukan strategi yang digunakan oleh militer. Strategi itu kemudian diterjemahkan ke dalam seni operasi yang merupakan penghubung antara strategi dengan taktik. Teknologi akan mulai mempengaruhi sejak pada tataran strategi ke bawah. Penting untuk dipahami bahwa teknologi tidak boleh mendikte strategi, sebaliknya strategi bisa mendikte teknologi.
Kenapa teknologi tidak boleh mendikte strategi? Jawabannya kembali ke teori Clausewitz yaitu fog, friction and change. Trio Clausewitz itu terbukti kebenarannya di Afghanistan dan Irak ketika Donald Rumsfeld dan para penganjur RMA menemui kenyataan bahwa shock and awe melalui eksploitasi teknologi tidak bisa menghilangkan trio tersebut. Semua pemikir strategis yang obyektif akan sepakat bahwa eksploitasi RMA dalam kasus Afghanistan dan Irak ternyata tidak mampu menghilang unsur-unsur ketidakpastian (trio Clausewitz).
Penggunaan teknologi maju dalam militer merupakan keharusan. Namun harus dipahami bahwa penggunaan itu tidak boleh mematikan pemikiran strategis. Sebab teknologi maju militer bukanlah segalanya. Dengan strategi-seni operasi dan taktik yang jitu, kekuatan militer berteknologi tinggi bisa dikalahkan meskipun dengan cost yang sangat besar. Bertumpu pada teknologi adalah keharusan, akan tetapi teknologi itu jangan sampai mengubah pemahaman terhadap kebenaran empiris teori-teori militer klasik.
Jangan sampai kalangan perencana militer berpikir bahwa dengan eksploitasi teknologi maju via RMA maka segala masalah di lapangan akan beres. Secara pribadi, saya banyak sepakat dengan RMA, namun di sisi lain adopsi RMA itu jangan sampai menjadikan kekuatan militer menjadikan teknologi sebagai solusi atas segala masalah operasional yang terjadi di lapangan. Kita harus selalu ingat trio Clausewitz.

18 April 2010

Eksploitasi Kehidupan Angkatan Laut Dalam Film

All hands,
Bagi kita penikmat film Barat, baik produksi Eropa maupun Amerika Serikat, tidak sulit untuk mencari film-film dengan latar belakang cerita kehidupan Angkatan Laut. Entah itu film aksi ataupun drama. Misalnya An Officer and A Gentleman, A Few Goodman, Annapolis dan lain sebagainya. Belum lagi film-film aksi yang berlatar belakang kejadian nyata, khususnya perang laut.
Hal itu menandakan bahwa di negara-negara Barat, Angkatan Laut telah masuk ke dalam nadi kehidupan masyarakat di sana. Tanpa campur tangan pemerintah pun, masyarakat perfilman di sana dengan sukarela memproduksi berbagai film dengan latar belakang Angkatan Laut. Ceritanya pun sebagian besar masuk akal dan tidak berlebihan. Misalnya, karakter perwira Angkatan Laut yang digambarkan sebagaimana manusia umumnya.
Artinya, perwira itu bisa saja punya karakter yang “jelek”, bisa bikin kesalahan dan lain sebagainya. Tidak pernah digambarkan adanya karakter perwira yang “sempurna”, seperti yang bisa dijumpai dalam sejumlah terbatas sinetron atau film di awal 1990-an di Indonesia yang menggambarkan kehidupan perwira Angkatan Laut.
Mudahnya kalangan perfilman di negara-negara Barat mengeksploitasi kehidupan Angkatan Laut dalam film-film mereka selain menunjukkan keberpihakan mereka terhadap eksistensi Angkatan Laut, Kondisi ini bertolak belakang dengan di Indonesia. Di sini, kalangan perfilman terkesan masih menjaga jarak dengan militer ---termasuk Angkatan Laut---. Bisa jadi hal itu karena mereka masih trauma dengan peran militer negeri ini yang sangat dominan di masa lalu, sehingga bisa melakukan intervensi bahkan sampai ke skenario film. Kondisi ini ada baiknya mulai dicairkan dengan pendekatan pada pihak dunia perfilman.
Secara pribadi saya berharap suatu saat ada film yang mengeksploitasi kehidupan Angkatan Laut atau film dengan latar belakang kehidupan Angkatan Laut. Dengan catatan bahwa karakter personel Angkatan Laut yang dimunculkan di sana nyata, bukan yang “sempurna”. Dengan demikian alurnya akan lebih membumi dan tidak terkesan propaganda secara halus.

17 April 2010

Memahami Military-Industrial Complex

All hands,
Keterkaitan dunia industri dengan militer tidak dapat terbantahkan, karena industri pertahanan nafas hidupnya tergantung kontrak dari militer. Sebaliknya, militer sangat mengandalkan pasokan sistem senjata hasil temuan industri pertahanan untuk menunjukkan kekuatannya kepada pihak lain. Begitu pula dalam konteks hubungan antara Angkatan Laut dengan galangan kapal beserta subkontraktornya. Kapal perang Angkatan Laut mengandalkan pasokan dari galangan kapal, sebab sangat tidak ekonomis bila Angkatan Laut harus memproduksi kapal perangnya sendiri.
Ketika Dwight D. Eisenhower akan mengakhiri masa jabatannya di Gedung Putih pada Januari 1961, dalam pidatonya sang Presiden mengingatkan rakyat Amerika Serikat tentang hubungan antara militer dengan industri pertahanan yang dinilai sudah sampai pada tahap membahayakan. Sejak itulah kemudian istilah military-industrial complex menjadi populer di seluruh dunia.
Bahkan tidak sedikit kalangan di dunia ---bahkan kalangan di negeri Broer Sam sendiri--- yang menuduh persekongkolan jahat antara militer Amerika Serikat dengan industri pertahanannya untuk berbagai petualangan militer. Seperti di Vietnam, Grenada, Panama, Irak, Afghanistan dan lainnya. Dengan kata lain, para petinggi Pentagon telah bersekongkol dengan kalangan industriawan untuk membuat suatu konflik agar senjata produksi industri pertahanan laku terjual.
Lepas dari itu semua, perlu dipahami latar belakang lahirnya terminologi military-industrial complex. Istilah itu dilahirkan oleh Malcom C. Moos yang saat itu menjadi penulis pidato Presiden Eisenhower. Menurut Moos, terminologi itu dimunculkan setelah dia melihat banyaknya mantan petinggi militer yang setelah pensiun masuk ke dunia industri pertahanan untuk menjadi pejabat di sana. Dengan masuknya para mantan Jenderal dan Laksamana ini ke industri tersebut, Moos khawatir mereka akan menggunakan pengaruh mereka untuk mempengaruhi junior-junior mereka yang kini memimpin organisasi militer agar membeli produk-produk industri pertahanan.
Moss beranggapan bahwa para mantan perwira tinggi itu masih mempunyai pengaruh kuat di militer, sehingga bisa mempengaruhi kebijakan pengadaan. Anggapan Moos dibantah oleh kalangan militer dan sebagian sipil yang berpendapat bahwa begitu seorang petinggi pensiun, pengaruhnya terhadap kebijakan militer ---termasuk pengadaan--- tidak sekuat dulu lagi. Artinya, secara senioritas sang mantan petinggi masih dihormati oleh juniornya yang sekarang memimpin militer, namun begitu menyangkut kebijakan ceritanya akan menjadi lain.
Setiap individu pasti mempunyai persepsi sendiri mengenai military-industrial complex. Apapun persepsi itu, sejak dini harus dihindari agar hal itu tidak terjadi di Indonesia begitu industri pertahanan negeri ini nantinya lebih kuat dibandingkan saat ini. Jangan sampai terjadi militer negeri ini nantinya menjadi sawah ladang industri pertahanan seperti yang ditengarai banyak pihak terjadi di negara-negara maju.

16 April 2010

Teknologi Angkatan Laut Yang Matang

All hands,
Sistem senjata Angkatan Laut sangat padat dengan teknologi. Setiap dekade senantiasa terdapat penemuan baru dalam sistem senjata tersebut. Penemuan teknologi baru itu tidak jarang menggoda berbagai Angkatan Laut di dunia untuk menerapkannya. Bahkan ada Angkatan Laut di dunia yang sangat gemar untuk segera mengadopsi teknologi baru dalam sistem senjatanya, yaitu Angkatan Laut Amerika Serikat.
Alasan utama kekuatan laut Uwak Sam segera mengadopsi teknologi baru agar mereka selalu lebih unggul dari Angkatan Laut lainnya di dunia. Dengan kata lain, mempertahankan supremasi. Sebagai contoh, perhatikan teknologi yang melengkapi kapal perusak kelas Arleigh Burke mulai dari Flight I, II dan beberapa varian Flight IIA.
Ternyata ada harga yang harus dibayar dari kegemaran U.S. Navy tersebut. Harganya adalah teknologi yang “suka rewel’ ketika digunakan di kapal perang dan harga kapal perang yang terus meroket. Tentu menjadi pertanyaan mengapa sebagian teknologi baru yang terpasang di kapal perang Amerika Serikat “suka rewel”? Jawabannya adalah teknologi itu belum matang.
Pengalaman Amerika Serikat dalam mengadopsi teknologi terbaru dalam sistem senjata mereka hendaknya menjadi pelajaran bagi Indonesia. Teknologi yang melengkapi kapal perang Indonesia ke depan hendaknya teknologi yang sudah matang dan teruji, bukan teknologi baru yang masih dipertanyakan efektifitasnya. Lebih baik menggunakan teknologi yang sudah teruji meskipun bukan yang paling baru daripada memakai teknologi terbaru dan termutakhir namun sebenarnya belum matang. Sebab bayaran dari itu adalah besarnya biaya perbaikan teknologi kapal perang karena tidak bekerja sesuai dengan yang diharapkan.

15 April 2010

Jerman Penguasa Pasar Kapal Selam Diesel Elektrik

All hands,
Saat ini penguasaan teknologi kapal selam diesel elektrik didominasi oleh negara-negara Eropa, termasuk Rusia di dalamnya. Amerika Serikat sejak 1960-an tidak pernah lagi mengembangkan kapal selam diesel elektrik dan berfokus pada kapal selam nuklir. Sementara beberapa negara Asia yang mampu memproduksi kapal selam mengadopsi teknologi dari negara-negara Eropa. Dengan kata lain, Asia tidak dikategorikan sebagai pemain teknologi kapal selam.
Negara Eropa yang kini memproduksi kapal selam ada empat, yaitu Jerman, Swedia, Prancis dan Rusia. Kalau ditelusuri lebih jauh, akan mengerucut menjadi tiga saja yaitu Jerman, Prancis dan Rusia. Kenapa demikian?
Karena galangan Kockum AB di Swedia yang membuat kapal selam bagi kekuatan laut negeri penampung koruptor asal Indonesia sahamnya telah dikuasai oleh Thyssen Krupp Marine System (TKMS). TKMS sendiri adalah pemegang saham mayoritas di HDW, Kiel yang membuat kapal selam U-209/1300 untuk Indonesia. Selain itu, TKMS juga penguasa saham mayoritas di Hellenic Shipyard yang memproduksi kapal selam U-214 bagi Angkatan Laut Yunani.
Dari tiga negara Eropa itu, persaingan tajam dalam perebutan pasar kapal selam terjadi antara Jerman dan Rusia. Sementara kapal selam buatan Prancis penyebaran populasinya masih terbatas di dunia dibandingkan kapal selam dua negara pesaingnya. Dalam persaingan antara Jerman versus Rusia, nampaknya Jerman masih unggul sebab sejauh ini konsumen kapal selam Rusia masih belum banyak melebar dari konsumen-konsumen tradisional sejak era Perang Dingin.
Apa arti konstelasi tersebut bagi Indonesia? Pilihan bagi Angkatan Laut Indonesia untuk mengadakan kapal selam baru hanya mengerucut pada tiga negara, yaitu Jerman, Prancis dan Rusia. Dari tiga pilihan itu, sudah tampak kemana sebenarnya pilihan dijatuhkan dengan memperhatikan kondisi kemampuan Indonesia saat ini dalam mengoperasikan kapal selam.

14 April 2010

Masalah Krusial Pengoperasian Kapal Selam

All hands,
Memiliki dan mengoperasikan kapal selam merupakan dua hal yang berbeda. Mengoperasikan kapal selam jauh lebih sulit daripada sekedar memiliki kapal selam. Pengalaman itu sudah dialami oleh Australia dan kini tengah dijalani pula oleh Negeri Tukang Klaim. Mengapa demikian?
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pengoperasian kapal selam adalah aspek sumber daya manusia. Tidak mudah untuk membentuk dan mendidik sumber daya manusia yang akan mengawaki kapal selam, sebab selain masalah ketahanan jasmani, keteguhan mental dan juga keterampilan khusus perlu diperhatikan pula. Sebab kapal selam memerlukan pengawak dengan spesialisasi yang berbeda-beda.
Dengan kata lain, mencetak pengawak kapal selam jauh lebih sulit dan lebih mahal investasinya dibandingkan dengan mencetak pengawak kapal atas air. Itulah alasan mengapa dari enam kapal selam kelas Collins milik RAN, hanya dua kapal selam yang siap diawaki.
Indonesia sesuai dengan rencana akan kembali memperkuat armada kapal selamnya melalui pengadaan kapal selam jenis tertentu. Menambah armada kapal selam merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari lagi oleh Angkatan Laut negeri ini, namun tentu saja harus didukung oleh kesiapan pengawak. Kalau selama ini Indonesia hanya mengoperasikan dua kapal selam, maka dalam beberapa tahun ke depan kekuatan laut negeri ini harus bisa mengoperasikan empat kapal selam sekaligus.
Di situlah muncul tantangan yaitu menyiapkan para pengawak baru sekaligus sebagai regenerasi awak kapal selam. Penyiapan itu hendaknya dilakukan secara matang, sebab tidak semua personel Angkatan Laut bisa memenuhi syarat untuk menjadi awak kapal selam. Sebagai sistem senjata dengan daya pukul yang luar biasa, merupakan hal yang wajar bila pengawak kapal selam dipandang sebagai “kelompok elit” dibandingkan jenis kapal perang lainnya.

13 April 2010

Pengoperasian Kapal Selam Dan Perubahan Iklim Global

All hands,
Pengoperasian kapal selam di masa mendatang akan mengalami tantangan besar seiring perubahan iklim global. Perubahan tersebut dipastikan akan mempengaruhi sifat kimiawi, fisika dan biologi kolom air yang menjadi tempat kapal selam beroperasi. Densitas, salinitas dan panas air laut akan berubah, termasuk di perairan tropis.
Dengan adanya perubahan itu, berarti data-data dasar pada setiap perairan yang berbeda mesti diperbarui oleh setiap Angkatan Laut yang berkepentingan. Artinya, perubahan iklim global sebenarnya bukan cuma memberikan pekerjaan rumah kepada satuan kapal selam, tetapi kepada satuan kerja yang mendukung terlaksananya peperangan kapal selam. Sebab pengumpulan data hidrografi dan oseanografi beserta analisisnya bukan tugas pokok satuan kapal selam, tetapi tugas pokok satuan yang bertanggungjawab atas soal hidrografi dan oseanografi.
Angkatan Laut negara-negara maju dipastikan sudah memberikan perhatian terhadap dampak perubahan iklim global terhadap kemampuan peperangan kapal selam. Sebab kapal selam mereka beroperasi di berbagai kawasan dunia, sehingga penguasaan data hidrografi dan oseanografi global merupakan keharusan. Karena kapal selam mereka beroperasi di berbagai kawasan dunia, maka kapal-kapal hidrografi dan oseanografi mereka pun aktif melaksanakan survei di seluruh perairan dunia.
Survei itu dilaksanakan secara rutin untuk memutakhirkan data. Dari survei itu, mereka bisa memetakan berbagai perairan dunia, termasuk peta dasar laut. Sehingga kemudian bermanfaat bagi peningkatan kemampuan peperangan kapal selam negara-negara itu.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pekerjaan rumah terbesar adalah melakukan survei ulang terhadap perairan Indonesia, baik di wilayah barat maupun timur. Sampai saat ini pekerjaan rumah itu belum tergarap. Padahal hasil survei itu dapat dimanfaatkan pula untuk kepentingan satuan kapal selam.

12 April 2010

Singapura Siap Memimpin Angkatan Laut Multinasional

All hands,
Selama periode 19 Januari-19 Maret 2010 Angkatan Laut Singapura memimpin CTF-151 yang beroperasi di Teluk Aden dan bermarkas di Bahrain. CTF-151 adalah kekuatan Angkatan Laut multinasional yang beroperasi di Teluk Aden dalam rangka memberantas pembajakan di sekitar Somalia. Gugus tugas gabungan multinasional ini dipimpin oleh Amerika Serikat lewat NAVCENT.
Duduknya Singapura sebagai pemegang komando CTF-151 menandakan bahwa negara itu tengah mematangkan diri dalam memimpin operasi Angkatan Laut multinasional. Pengalaman memimpin kekuatan laut multinasional bukan tidak mungkin akan dibawa ke kawasan Asia Tenggara dalam rangka memimpin operasi Angkatan Laut multinasional di kawasan ini suatu saat nanti. Entah itu dalam wadah ASEAN ataupun wadah multinasional lainnya.
Seperti diketahui, negeri penampung koruptor asal Indonesia itu sangat sensitif terhadap isu keamanan maritim. Negeri itu bahkan lebih suka mengundang kekuatan ekstra kawasan untuk mengamankan perairan di sekitarnya daripada bekerjasama dengan negara-negara sekawasan. Dalam konteks yang terakhir inilah pengalaman Singapura memimpin CTF-151 harus ditempatkan. Bukan tidak mungkin suatu waktu nanti Singapura akan memimpin operasi Angkatan Laut multinasional di Asia Tenggara dalam rangka mengamankan akses perairan ke wilayahnya, seperti Selat Malaka dan Laut Natuna.
Indonesia sebaiknya meningkatkan partisipasinya dalam operasi Angkatan Laut internasional, baik di bawah bendera PBB maupun tidak. Sebab dari sana bisa didapat pengalaman bagaimana beroperasi secara multinasional, termasuk memimpin gugus tugas. Tuntutan di kawasan saat ini adalah operasi multinasional dan oleh karena itu perlu diseimbangkan antara kesibukan rutin di dalam negeri “yang begitu-begitu saja” dengan perluasan cakupan operasi ke luar negeri. Mungkin sebaiknya perlu ditelaah apakah kesibukan di dalam negeri “yang begitu-begitu saja” memberikan kontribusi signifikan atau tidak terhadap kemampuan beroperasi secara multinasional?

11 April 2010

Jembatan Selat Sunda Dari Perspektif Geopolitik

All hands,
Pemerintah Indonesia memberikan peluang kepada Cina untuk terlibat dalam pembangunan jembatan di Selat Sunda. Masalahnya adalah persoalan jembatan yang membentang di Selat Sunda hendaknya dipandang secara komprehensif, bukan sekedar soal ekonomi. Kebijakan membuka pintu kepada Cina patut untuk direnungkan, sebab terdapat beberapa aspek politik yang harus dipahami oleh Indonesia dalam rangka mewujudkan gagasan menyatukan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sekaligus sedikit demi sedikit mengikis identitas sebagai negara kepulauan.
Pertama, aspek hukum laut internasional. Selat Sunda adalah bagian dari ALKI I dan hal itu harus diperhitungkan dengan benar. Apakah pembangunan jembatan itu tidak akan “membahayakan” atau bahkan melanggar status ALKI? Belum pernah ada preseden di dunia soal jembatan yang dibangun melewati suatu alur laut kepulauan, sehingga Indonesia harus berhati-hati dalam soal ini. Apa pendapat IMO sebagai pihak yang mengatur soal pelayaran internasional?
Kedua, aspek geopolitik. Selat Sunda adalah ALKI dan mengundang Cina masuk di sana berarti upaya Indonesia untuk mengubah keseimbangan geopolitik di kawasan Asia Pasifik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Negeri Tembok Bambu itu sangat berhasrat soal Selat Sunda dan Selat Lombok, termasuk mengendalikannya. Kalau Cina masuk di Selat Sunda, berarti dia bisa mengurangi The Malacca Dilemma.
Pertanyaannya, bagaimana sikap Amerika Serikat. Ini yang nampaknya tidak diperhitungkan oleh para penggagas jembatan Selat Sunda yang diyakini “buta” geopolitik. Kebijakan Indonesia member tawaran terhadap Cina akan berimplikasi luas dari konstelasi di kawasan Asia Pasifik.

10 April 2010

Arti Selat Sunda Dan Selat Lombok Bagi Cina

All hands,
Sebagai kekuatan ekonomi yang tengah mengembangkan otot militernya, Cina sangat hirau terhadap keamanan jalur SLOC-nya. Sebab jalur SLOC itu berpotensi diputus oleh pihak lain yang berbeda secara politik, misalnya Amerika Serikat lewat penggunaan kekuatan U.S. Navy. Selama ini, banyak kalangan yang memfokuskan diri pada kepentingan akses Cina di Selat Malaka. Namun sebenarnya di luar itu, Cina ternyata sangat hirau pulau terhadap chokepoints di Selat Sunda dan Selat Lombok.
Hirauan yang sangat dari Cina menandakan bahwa Angkatan Laut negeri itu telah memandang dua selat terakhir sebagai alternatif apabila terjadi kontinjensi di Selat Malaka. Dapat dipastikan dalam benak Cina bahwa Indonesia sebagai pemilik kedua chokepoints tersebut bukan saja dapat mengamankan navigasi di perairan itu, tetapi juga bersahabat dengan Cina.
Kalau memang Cina berkepentingan dengan keamanan maritim di kedua perairan, tentunya negeri itu tidak boleh mendapatkan makan siang gratis. Beijing sudah seharusnya memberikan imbal balik kepada Indonesia, misalnya dalam rangka meningkatkan kemampuan Angkatan Laut. Misalnya menjual senjata ke Indonesia dengan harga yang lebih murah daripada harga pasar, bisa pula membantu Indonesia meningkatkan kemampuan maritime domain awareness-nya. Seperti memberikan bantuan teknologi untuk meningkatkan kemampuan memantau pergerakan bawah air.
Hirauan Cina terhadap Selat Lombok pada sisi lain harus disikapi dengan hati-hati, sebab hal itu akan terkait dengan kepentingan hidup mati negeri di selatan Indonesia. Maksudnya, Indonesia harus bermain cantik sebab Australia pasti akan sangat curiga terhadap minat Cina di selat tersebut. Minat Cina terhadap Selat Lombok sebaiknya dieksploitasi pula oleh Indonesia dalam menghadapi tingkah laku Australia yang suka seenaknya terhadap Indonesia.

09 April 2010

Tantangan Operasional Kapal Selam Kelas X

All hands,
Kecenderungan Indonesia untuk mengakuisisi kapal selam kelas x guna memperkuat kembali kemampuan peperangan bawah airnya selain merupakan suatu hal yang bagus, sekaligus melahirkan pula tantangan. Mengapa disebut tantangan? Sebab kapal selam kelas x selama ini belum pernah dioperasikan oleh Angkatan Laut yang berada pada posisi di garis khatulistiwa. Negara-negara yang mengoperasikan kapal selam andal itu mayoritas berada di lintang utara katulistiwa.
Dengan demikian, masalah tropikalisasi kapal selam kelas x harus diperhatikan sejak dini. Keandalan teknologi kapal selam x tidak perlu diragukan, sebab negara produsennya mempunyai tradisi membuat kapal selam yang sudah berusia satu abad lebih. Namun ketika menyentuh masalah tropikalisasi, ini merupakan isu krusial karena Indonesia nampaknya akan menjadi negara pertama di lintasan garis khatulistiwa yang mengoperasikan kapal selam kelas ini.
Masalah tropikalisasi kapal selam tentu bukan isu mudah, sebab di masa lalu dihadapi Indonesia ketika mengoperasikan kapal selam kelas Whiskey. Isu ini akan terkait pula dengan kinerja berbagai subsistem yang melengkapi kapal selam tersebut dihadapkan pada kondisi fisika, kimia dan biologi laut kawasan tropis yang tentu saja berbeda dengan kawasan subtropis. Artinya parameter-paratemer hasil pengujian kinerja beragam subsistem kapal selam di kawasan subtropis harus diuji ulang di kawasan khatulistiwa yang tropis.
Sebagai perbandingan, parameter kinerja kapal korvet buatan Negeri Bunga Tulip yang memperkuat kekuatan laut Indonesia ternyata tidak sepenuhnya sama antara kawasan subtropis dengan wilayah tropis. Misalnya saja kecepatan maksimal kapal perang yang lebih rendah di kawasan khatulistiwa, walaupun putaran balingan mesin pendorong sudah maksimal. Masalah-masalah seperti itu dipastikan akan dihadapi oleh kapal selam kelas x nantinya apabila digunakan oleh Indonesia.
Kata kuncinya adalah kesiapan melaksanakan tropikalisasi kapal selam itu dan menguji kembali berbagai parameter kinerja subsistemnya, baik itu sonar, hidrofon, sistem pendorong dan lain sebagainya. Kalau di masa lalu masalah tropikalisasi kapal selam bisa diatasi, tentu tidak ada alasan tantangan tropikalisasi kelas x tidak dapat dijawab nantinya.

08 April 2010

Mensosialisasikan Pemikiran Ke-Angkatan Laut-an Di Indonesia

All hands,
Pemikiran strategsi di Indonesia masih didominasi oleh pemikiran kontinental, walaupun Indonesia secara bangga memproklamasikan diri sebagai negara kepulauan. Pemikiran yang berbau atau bahkan pro Angkatan Laut dalam pemikiran strategis di Indonesia belum diminati, apalagi dominan. Banyak pihak yang terlibat dalam pemikiran strategis di Indonesia ---khususnya kalangan sipil--- yang baru sekedar tahu Angkatan Laut, tetapi tidak paham esensi pemikiran ke-Angkatan Laut-an. Meskipun demikian, ada saja pihak yang digolongkan sebagai selebritas pertahanan merasa paling tahu soal pemikiran ke-Angkatan Laut-an, walaupun kalau dicecar debat lebih lanjut para selebritas ini cuma bisa membenarkan dan pada akhirnya lebih banyak menjadi pendengar.
Lalu bagaimana memasyarakatkan pemikiran ke-Angkatan Laut-an di Indonesia dalam kondisi ini? Sejauh ini mungkin satu-satunya cara adalah dengan “fleet in being” dalam memasyarakatkan pemikiran ini lewat berbagai cara dan tidak tergantung pada ketokohan siapapun. Sebab pemikiran ke-Angkatan Laut-an di Indonesia sebaiknya tidak melekat pada tokoh tertentu, sebab hal itu akan berkomplikasi negatif dalam jangka panjang.
Metode “fleet in being” bisa diterapkan lewat jalur-jalur formal dan informal dengan sasaran adalah masyarakat umum, khususnya kalangan terpelajar. Caranya bisa lewat sarana kampus perguruan tinggi, komunikasi informal dengan pihak-pihak yang peduli dengan Angkatan Laut ---termasuk media cetak dan elektronika dan penggunaan media internet, misalnya forum diskusi.
Untuk mengubah pemikiran strategis ke Indonesia agar pro kepada pemikiran ke-Angkatan Laut-an, selain butuh waktu panjang juga butuh kerja keras tanpa pamrih. Tanpa pamrih maksudnya antara lain tidak mencari popularitas. Terkait dengan butir tidak mencari popularitas inilah pentingnya pemikiran ke-Angkatan Laut-an sebaiknya tidak diusung oleh para selebritas yang secara kejiwaan tidak mempunyai ikatan persaudaraan dan senasib dengan institusi Angkatan Laut di negeri ini.
Perjuangan mensosialisasikan pemikiran ke-Angkatan Laut-an di negeri ini agar nantinya pemikiran itu bisa menjadi dominan dan menggeser pemikiran kontinental memerlukan waktu yang tidak panjang. Di sini butuhkan stamina yang kuat, di samping regenerasi pemikir secara berkesinambungan ---khususnya para perwira--- di lingkungan kekuatan laut Indonesia sendiri.

07 April 2010

Tantangan Komando Dan Kendali Dalam Operasi Gabungan

All hands,
Satu hal yang harus diantisipasi ke depan dalam hal operasi gabungan Angkatan Laut ASEAN tidak bisa dihindari adalah kesiapan peralatan komando dan kendali. Singkatnya, C2 kapal perang Indonesia dituntut bisa interoperable dengan C2 kapal perang negara ASEAN lainnya. Isu ini harus diantisipasi sejak dini dalam program pembangunan kekuatan.
Interoperability bisa dibangun apabila tingkat interaksi antar Angkatan Laut relatif tinggi. Itulah salah satu alasan mengapa Amerika Serikat misalnya selalu aktif merangkul Angkatan Laut lainnya untuk latihan dan operasi bersama. Tidak heran bila personel Angkatan Laut Singapura sebagai contoh, sangat familiar dalam beroperasi bersama dengan U.S. Navy.
Sebenarnya secara teknis tidak sulit untuk melaksanakan interoperability pada C2 Angkatan Laut negara-negara ASEAN. Sebab mayoritas kapal perang beserta subsistem yang melengkapinya merupakan produksi Barat. Dengan kata lain, produk-produk itu memenuhi standar NATO sehingga secara teoritis tidak sulit untuk melaksanakan interoperability.
Namun demikian, salah satu masalah yang mesti diantisipasi adalah soal komunikasi taktis, baik via suara maupun data. Masalah ini terkait dengan penggunaan bahasa asing, dalam hal ini Bahasa Inggris. Salah satu kekurangan yang masih harus dilengkapi oleh personel Angkatan Laut Indonesia adalah soal ini, sebab tidak semua personel bisa menggunakan bahasa asing secara rata-rata, apalagi dalam hal yang bersifat teknis.
Kembali ke soal C2, ada baiknya subsistem yang terkait dengan C2 senantiasa memperoleh modernisasi dalam tiap jangka waktu tertentu. Sehingga boleh saja usia platform kapal perang di atas 15 tahun, tetapi C2-nya setidaknya mendekati generasi terakhir yang beredar di pasaran. Dengan demikian, selain mengikuti kemajuan teknologi, modernisasi C2 juga membuat personel mampu menyesuaikan diri dengan teknologi terbaru.

06 April 2010

Masalah Komando Dan Kendali Dalam Operasi Gabungan

All hands,
Isu komando dan kendali dalam operasi gabungan yang dimaksud di sini adalah combined operations alias operasi gabungan yang melibatkan militer dua negara atau lebih. Isu ini merupakan isu yang pasti pertama kali muncul dalam merancang operasi gabungan, sebab isu ini terkait langsung dengan konstitusi setiap bangsa. Sebagai contoh, kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat tidak ada yang beroperasi di bawah komando dan kendali Angkatan Laut asing, sebab hal itu bertentangan dengan konstitusinya.
Isu ini penting pula dicermati di Indonesia dalam konteks operasi gabungan di masa depan. Dengan makin kuatnya peningkatan kerjasama Angkatan Laut, mungkin akan tiba masanya ketika Indonesia sulit untuk menghindar dari operasi gabungan Angkatan Laut, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Memang sebenarnya dari pengalaman operasi di Lebanon di bawah bendera UNIFIL MTF, secara jelas dan nyata terlihat bahwa kapal perang Indonesia bisa berada di bawah komando dan kendali pihak asing sepanjang telah disepakati bersama sebelumnya.
Namun masalah akan menjadi lain ketika konteksnya adalah Asia Tenggara, lebih mengerucut lagi ASEAN. Masalah komando dan kendali dalam operasi gabungan Angkatan Laut ASEAN di masa depan bukan semata soal konstitusi, tetapi juga menyangkut masalah prestise bangsa. Sebagai contoh, apa rela Indonesia menempatkan kekuatan lautnya di bawah komando dan kendali Singapura atau Malaysia nantinya?
Masalah prestise tidak dapat dipandang enteng sebab ini berimplikasi politis pula.
Peluang operasi gabungan di lingkungan Angkatan Laut ASEAN terbuka lebar di masa depan. Sulit bagi Indonesia untuk menutup peluang itu. Lebih baik bagaimana mengantisipasi bila skenario itu terjadi. Indonesia harus meraih keuntungan politik dan operasional ---bukan sekedar prestise--- bila operasi gabungan Angkatan Laut ASEAN tidak bisa dihindari lagi nantinya.

05 April 2010

Mensinergikan Militer Dengan Diplomasi

All hands,
Sinergi antara militer dengan diplomasi di Indonesia sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Akar dari belum adanya sinergitas antar keduanya adalah sejarah yang berawal ketika republik ini berjuang hidup mati untuk mempertahankan kemerdekaannya. Di masa itu, sudah timbul energi yang tidak sinergi antara militer dengan diplomasi.
Merupakan hal yang bijaksana bila warisan masa lalu itu tidak perlu dilanjutkan lagi di Indonesia. Sinergi antara militer dengan diplomasi merupakan suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain. Pertanyaannya, bagaimana mensinergikan hal itu?
Yang paling utama adalah dibutuhkan kebijakan keamanan nasional. Kebijakan itu akan mengatur soal keamanan nasional secara luas, termasuk memperjuangkan aspirasi politik Indonesia di kawasan dan dunia. Di dalam itu maka mau tak mau dibutuhkan adanya sinergi antara militer dan diplomasi. Artinya, aktor militer dan aktor diplomasi bekerja bahu-membahu untuk mengamankan tujuan keamanan nasional yang telah ditetapkan menggunakan semua instrumen kekuatan nasional yang tersedia.
Berikutnya, interaksi antar aktor militer dan diplomasi harus diperluas. Interaksinya bukan sekedar yang terjadi selama ini yang bersifat ad hoc, tetapi harus komprehensif. Tempat yang paling ideal adalah di lembaga pendidikan spesifik, bukan lembaga pendidikan umum. Lembaga pendidikan spesifik semisal Sesko Angkatan atau Lemhannas. Bisa pula di lembaga pendidikan milik aktor diplomasi.
Kalau mengacu pada beberapa negara lain, interaksi intensif antar kedua aktor banyak terjadi di lembaga pendidikan spesifik seperti Naval War College atau National War College. Para diplomat ikut dalam pendidikan reguler militer, sehingga diharapkan paham dengan pemikiran dan cara militer. Sebaliknya dalam pendidikan itu para perwira militer juga diharapkan mengerti dengan kebijakan diplomasi pemerintah beserta “adat istiadatnya”. Untuk bisa mewujudkan interaksi di lembaga pendidikan militer di Indonesia, pekerjaan rumah pertama adalah membenahi kembali silabus Sesko Angkatan.

04 April 2010

Kesalahan Pemikiran Strategis Di Indonesia

All hands,
Selama puluhan tahun, pemikiran strategis ---di bidang pertahanan--- yang berkembang di Indonesia mengandung beberapa kesalahan. Kesalahan itu bukan tidak ada upaya untuk mengoreksinya, akan tetapi upaya tersebut belum berlangsung optimal dan didukung oleh semua pihak yang berkepentingan. Apa kesalahan-kesalahan dalam pemikiran strategis di Indonesia? Di sini hanya akan diuraikan tiga saja dari beberapa butir.
Pertama, terlalu berat pada beban sejarah. Sejarah memang tidak boleh dilupakan, sejarah memang harus menjadi salah satu acuan dalam hal apapun. Tetapi apabila sejarah sudah dijadikan dogma layaknya akidah atau teologi, maka mulai dari situlah suatu kesalahan besar diawali.
Pemikiran strategis di Indonesia terlalu berat pada beban sejarah 1945-1949. Sehingga belum apa-apa kekuatan laut (dan udara) pasti dinegasikan pembangunannya. Sebab kekuatan itu dipandang tidak akan mampu menghadapi lawan yang menyerbu Indonesia. Kesalahan strategis ini sampai sekarang masih berlangsung, termasuk di kampus perguruan tinggi baru yang menyandang kata pertahanan dalam namanya.
Kedua, defensif. Pemikiran strategis di Indonesia selalu bersifat defensif. Akibatnya pemikiran itu memberi peluang yang sangat sedikit bagi penggunaan kekuatan ofensif. Siapapun yang obyektif pasti sepakat bahwa strategi perang gerilya ataupun perang berlarut adalah suatu tindakan yang defensif. Kekuatan ofensif tidak diutamakan pembangunannya, dalam hal ini kekuatan laut dan udara karena terkait dengan alasan yang pertama telah disebutkan sebelumnya.
Ketiga, terlalu permisif terhadap korban. Kalau dalam pemikiran strategis di negara-negara maju jumlah korban yang banyak dalam suatu konflik bersenjata dianggap suatu hal yang tidak dapat diterima, di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Manusia ---apakah dia berprofesi sebagai militer ataupun bukan--- cenderung disiapkan sebanyak-banyaknya untuk menjadi korban. Dengan kata lain, pemikiran strategis di Indonesia kurang menghargai kehidupan.

03 April 2010

Tantangan Kemitraan Strategis Amerika Serikat-India

All hands,
Sejak awal abad ke-21, hubungan Amerika Serikat-India mengalami peningkatan drastis. Sekarang kedua negara terikat dalam kemitraan strategis di bidang keamanan. Kemitraan strategis itu antara lain disebabkan oleh perubahan lingkungan strategis dengan munculnya Cina sebagai pemain baru. Kemunculan Cina tentu saja sangat disikapi hati-hati oleh kedua negara, sebab dari perspektif kepentingan nasional keduanya kebangkitan Cina berpotensi tidak selaras dengan kepentingan tersebut.
Selain kerjasama di bidang nuklir sipil dan kerjasama latihan militer, kemitraan strategis Amerika Serikat-India juga diwujudkan dalam bentuk penjualan senjata ke India. India telah menandatangan kontrak pengadaan sejumlah pesawat patroli maritim P-8I buatan Boeing, selain beberapa pesawat C-130J. Dalam waktu ke depan, pengadaan sistem senjata India dari Amerika Serikat masih sangat mungkin untuk meningkat, baik lewat program FMS maupun FMF.
Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada ganjalan dalam hubungan kedua negara. Misalnya soal pemakaian dan pengamanan teknologi senjata buatan Amerika Serikat yang dibeli oleh India, di mana hingga kini ada beberapa hal yang belum disepakati oleh India. Menurut New Delhi, aturan kendali ekspor Washington dinilai “aneh” dan “intrusif”.
Kemitraan kedua negara di masa depan bukan tidak mungkin menyentuh pula pengembangan teknologi bersama di bidang pertahanan. Singkatnya, bisa saja nanti ada sistem senjata buatan India yang sebagian komponennya keluaran Amerika Serikat. Sehingga, apabila senjata itu mau diekspor maka dibutuhkan keluarnya persetujuan dari Washington terlebih dahulu.
India cepat atau lambat akan menjadi salah satu alternatif dalam pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia, khususnya menyangkut sistem senjata. Terkait dengan hal tersebut, perlu diantisipasi sejak dini kemungkinan Indonesia 10-20 atau 30 tahun ke depan menggunakan sistem senjata buatan India yang menganut teknologi Amerika Serikat. Dalam dunia yang semakin terglobalisasi, sepertinya makin sempit ruangan untuk bisa menghindar sama sekali dari kandungan teknologi dari Amerika Serikat.

02 April 2010

Penjualan Senjata Sebagai Bagian Dari Penyebaran Pengaruh

All hands,
Entah disadari atau tidak, penjualan senjata oleh suatu negara ke negara lain merupakan bagian dari upaya penyebaran pengaruh. Dengan kata lain, kebijakan penjualan senjata bukan semata mengejar nilai ekonomis sekaligus tetap menjaga agar roda industri pertahanan suatu negara tetap berputar. Namun tercakup pula kepentingan politik dan seringkali kepentingan ini lebih mendasari keputusan suatu negara mengekspor sistem senjata buatannya ke negara-negara lain.
Sebagai contoh bisa diambil hubungan pertahanan yang kian erat antara Washington dengan New Delhi. India kini memanfaatkan FMS untuk memperoleh sejumlah senjata dari Amerika Serikat, seperti kapal perang dan pesawat udara. Washington sangat berkepentingan untuk merangkul New Delhi guna membendung ekspansi Beijing. Sebaliknya, New Delhi berhasrat sekali mendekati Washington bukan semata disebabkan soal ekspansi Cina yang kini telah mencapai Samudera India, tetapi ingin mendapatkan akses pula terhadap teknologi militer Washington.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya para pengambil keputusan di negeri ini belum memandang penjualan senjata sebagai bagian dari penyebaran pengaruh. Penjualan senjata hanya dilihat dari aspek ekonomi belaka. Memang Indonesia belum secara signifikan mengekspor sistem senjata buatannya ke negara-negara lain, tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali.
Sekarang sebaiknya harus dievaluasi apakah ada korelasi positif antara ekspor senjata oleh Indonesia terhadap pengaruh politik Indonesia terhadap negara pembeli tersebut. Ambil contoh penjualan CN-235M kepada kekuatan udara Negeri Tukang Klaim. Kalau para pengambil keputusan di Indonesia paham korelasi antara politik dan bisnis dalam soal senjata, mestinya penjualan CN-235M ke Negeri Tukang Klaim diikuti dengan “tunduknya” Negeri Tukang Klaim kepada Jakarta. Singkatnya, Kuala Lumpur jangan berani macam-macam lagi di Laut Sulawesi.
Konon kabarnya ada sistem senjata lain buatan Indonesia yang diminati oleh Negeri Tukang Klaim. Kalau berpikir secara komprehensif ---artinya tidak berpikir untung dan rugi secara material saja---, perlu dipertimbangkan kembali keinginan itu. Dengan kata lain, penjualan sistem senjata itu harus disertai dengan sejumlah persyaratan politik yang didiktekan oleh Jakarta terhadap Kuala Lumpur. Cara-cara ala koboi Uwak Sam dalam kebijakan penjualan senjata patut untuk ditiru oleh Indonesia.

01 April 2010

Modernisasi Fregat Kelas Anzac

All hands,
Australia merencanakan melaksanakan midlife update terhadap delapan unit kapal fregat kelas Anzac yang bertonase 3.500 ton. Modernisasi itu antara lain memperkuat kemampuan peperangan anti kapal selam kapal perang tersebut, selain meningkatkan kemampuan pertahanan rudal anti kapal. Tentu menjadi pertanyaan mengapa fokus modernisasi antara lain pada dua kemampuan peperangan tersebut.
Seiring dengan ambisi negeri di mana Kaum Aborigin terasing di kampung halamannya sendiri dalam soal peran di kawasan, kekuatan laut Australia akan terus beroperasi jauh dari wilayahnya. Kebijakan pertahanan yang kini dianut Canberra tidak jauh berbeda dengan kebijakan yang dianut oleh Washington, yaitu melaksanakan perang jauh di luar wilayahnya. Oleh karena itu, kemampuan yang dibangun untuk RAN terkait dengan peperangan ekspedisionari.
Dalam peperangan ekspedisionari, ancaman yang muncul antara lain berasal dari kapal selam dan rudal anti kapal perang. Menukik lebih tajam lagi, Australia sangat hirau dengan akuisisi sejumlah sistem senjata Angkatan Laut di kawasan Asia Tenggara oleh negara-negara yang tidak selalu sejalan dengannya. Misalnya pengadaan rudal jelajah Yakhont dan rencana pengadaan kapal selam canggih jenis tertentu oleh Indonesia dalam beberapa waktu ke depan.
Itulah alasan logis mengapa modernisasi fregat kelas Anzac yang dimulai tahun ini antara lain berfokus pada kemampuan peperangan anti kapal selam dan pertahanan rudal anti kapal. Dari situ sebenarnya ada lesson learned yang bisa diambil oleh Indonesia dalam melaksanakan modernisasi kekuatan lautnya.
Yaitu midlife update juga didasarkan pada pertimbangan strategis. Masalah midlife update bukan semata soal teknis, tetapi meliputi pula soal strategis seperti modernisasi kekuatan laut di kawasan. Dengan demikian, midlife update bukan sekedar memelihara dan atau mengganti sistem di kapal yang tidak terkait langsung dengan persenjataan, tetapi meliputi pula penggantian sistem yang terkait langsung dengan persenjataan. Seperti combat management system, chaff, rudal, meriam, torpedo dan lain sebagainya.
Harus diakui bahwa program mildlife update yang selama ini dilaksanakan oleh kekuatan laut Indonesia tidak difokuskan pada sistem yang terkait langsung dengan soft kill maupun hard kill kapal perang. Sebaliknya, midlife update lebih banyak pada cakupan platform maupun sistem pendorong.