30 November 2010

Pesawat Latih Angkatan Laut

All hands,
Dalam pendidikan penerbang Angkatan Laut negeri ini, ada dua sumber masukan. Pertama adalah sumber perwira pertama Angkatan Laut lulusan Akademi Angkatan Laut yang dididik di Senerbal Juanda untuk menjadi penerbang. Kedua, jalur PSDP TNI yang berasal dari lulusan SMA dan dididik oleh Angkatan Udara di Yogyakarta. Terdapat kesamaan awal antara kedua jalur tersebut, yaitu sama-sama berangkat dari nol dalam hal mengendalikan pesawat terbang.
Ada satu hal penting yang hendaknya dicermati dalam menyiapkan penerbang Angkatan Laut, yaitu kemampuan pesawat latih. Pesawat latih yang digunakan hendaknya pesawat yang mempunyai kemampuan aerobatik, sebab kemampuan itu akan melatih sejak dini para penerbang kesiapsiagaan dan reflek menghadapi kondisi dalam penerbangan yang tiba-tiba berubah, misalnya ada bumpy, cross wind, down wind dan lain sebagainya. Untuk menghadapi situasi tersebut, selain diperlukan ketenangan juga dibutuhkan daya reflek para penerbang guna merespon situasi ekstrem untuk kembali menstabilkan posisi pesawat.
Kemampuan seperti itu hanya bisa didapatkan dengan menggunakan pesawat latih berkemampuan aerobatik. Latihan aerobatik bukan semata soal berguling-guling di udara dengan berbagai macam formasi seperti inverted, bomb burst, lazy eight dan lain sebagainya, tetapi juga untuk melatih kemampuan reflek para penerbangan menghadapi situasi ekstrem ketika mereka sudah bertugas.Di situlah pentingnya pesawat latih Angkatan Laut ke depan harus merupakan pesawat yang menyandang kemampuan tersebut.

29 November 2010

Pengarusutamaan Diplomasi

All hands,
Kebijakan pengarusutamaan diplomasi untuk menyelesaikan berbagai sengketa dengan negara-negara lain oleh pemerintah Indonesia hendaknya dipahami dalam sebuah kerangka yang komprehensif. Sebab pengarusutamaan diplomasi tidak boleh berarti pelarangan penyebaran dan penggunaan kekuatan militer, khususnya Angkatan Laut. Sebab diplomasi yang hanya mengandalkan cara-cara tradisional ala diplomat tidak punya arti apa-apa di lapangan tanpa didukung oleh penyebaran dan penggunaan kekuatan Angkatan Laut.
Artinya, pembangunan kekuatan Angkatan Laut harus dilaksanakan secara konsisten dan bukan sekedar sampai pada persetujuan konsep saja dan minus realisasi. Sebab negara-negara di sekitar Indonesia yang mempunyai sengketa dengan negara ini nampaknya lebih paham dengan bahasa kapal perang daripada bahasa basa-basi para diplomat Dunhill. Lagi pula sejarah membuktikan, keberhasilan diplomasi Indonesia dalam kasus Irian Barat karena ditunjang dengan penyebaran dan penggunaan kekuatan militer. Tanpa kekuatan militer, mungkin sampai saat ini wilayah itu masih diperebutkan oleh Jakarta dan Amsterdam.
Untuk penyebaran dan penggunaan kekuatan militer, dibutuhkan determinasi nasional. Tanpa determinasi, kepentingan nasional Indonesia tidak akan pernah bisa diamankan. Inilah salah satu hal yang harus dipahami soal kebijakan pengarusutamaan diplomasi agar tidak salah kaprah dalam implementasinya.

28 November 2010

Gunboat Diplomacy Dan Naval Diplomacy

All hands,
Dalam strategi Angkatan Laut, dapat ditemukan dengan mudah istilah gunboat diplomacy dan naval diplomacy. Peran Angkatan Laut dalam diplomasi merupakan peran klasik Angkatan Laut yang akan terus diterapkan selama Angkatan Laut ada di muka bumi ini. Usia peran diplomasi Angkatan Laut setua usia Angkatan Laut itu sendiri. Dalam hubungan antar bangsa, peran diplomasi Angkatan Laut senantiasa dieksploitasi oleh negara-negara yang paham dengan manfaat dan keuntungan dari eksploitasi tersebut.
Meskipun usia gunboat diplomacy sudah setua umur Angkatan Laut sendiri, akan tetapi perumusan secara ilmiah mengenai peran tersebut baru ditulis secara komprehensif oleh James Cable pada dekade akhir 1970-an lewat bukunya yang wajib diketahui dan dibaca oleh para perwira Angkatan Laut di seluruh dunia. Kemudian memasuki era akhir 1980-an, muncul istilah lain yang mirip yaitu naval diplomacy. Bagi kalangan yang tidak paham, susah membedakan kedua istilah tersebut.
Sangat jelas ada perbedaan antara gunboat diplomacy dan naval diplomacy. Perbedaannya jelas dan terang, yaitu gunboat diplomacy mengandung unsur coercive. Sedangkan naval diplomacy tidak mengandung unsur tersebut. Sebagai contoh, muhibah kapal perang merupakan bentuk naval diplomacy yang tidak mempunyai unsur coercive. Sementara pameran bendera kapal perang lewat berlalu lalang di depan ibukota negara lain atau pangkalan Angkatan Laut negara lain sangat jelas mengandung pesan coercive.

27 November 2010

Pemahaman Ulang Diplomasi Angkatan Laut

All hands,
Kondisi saat ini nampaknya menuntut pemahaman ulang terhadap diplomasi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut. Sebab selama ini praktek diplomasi Angkatan Laut lebih banyak pada naval diplomacy daripada gunboat diplomacy. Naval diplomacy yang dilaksanakan pun lebih sering pada muhibah, sehingga seringkali kapal perang yang disebarkan kredibilitasnya kurang. Hal ini bisa dilihat dari jenis dan ukuran kapal perang yang disebarkan, misalnya kapal latih tiang tinggi, FPB atau korvet ukuran kecil.
Penting untuk dipahami ulang bahwa diplomasi Angkatan Laut harus memperlihatkan unsur kredibilitas, di samping tiga unsur lainnya. Kredibilitas bisa diukur dari jenis kapal perang yang disebarkan, apakah mampu menimbulkan unsur koersif atau tidak. Di sini berperan unsur visibility, maksudnya diplomasi Angkatan Laut harus bisa dilihat oleh pihak lain. Sebagai contoh, hadir di depan pangkalan Angkatan Laut Lumut ---meskipun berada di luar 12 mil laut teritorial Negeri Tukang Klaim--- nilai kredibilitasnya akan berkali lipat daripada ucapan para diplomat atau nota diplomatik.
Singkatnya, dalam diplomasi Angkatan Laut hendaknya Indonesia tidak takut dan ragu-ragu untuk mengeksploitasi aspek suasi dan koersif. Hanya dengan mengeksploitasi kedua aspek itu maka pesan yang ingin disampaikan tercapai. Terkait soal ini, modal utama yang dibutuhkan adalah determinasi nasional.

26 November 2010

Isu Laut Cina Selatan Dan Pembangunan Kekuatan

All hands,
Isu Laut Cina Selatan merupakan ujian terhadap kebijakan pembangunan kekuatan pertahanan yang dianut dan dilaksanakan oleh Indonesia selama ini. Pertanyaan ujiannya sederhana sekaligus singkat, yaitu apakah pembangunan kekuatan yang dirancang dan dilaksanakan selama ini sudah bisa menjawab tantangan di Laut Cina Selatan? Guna menjawab pertanyaan itu, parameter yang bisa digunakan antara lain jenis alutsista yang dibeli dan pengembangan sarana dan prasarana militer.
Menyangkut alutsista, apakah alutsista yang dibeli dan akan dibeli mampu beroperasi di Laut Cina Selatan dan ruang udara di sekitarnya. Bagi Angkatan Laut, dibutuhkan kapal perang dengan kemampuan sea state-5 ke atas. Begitu pula bagi pesawat udara Angkatan Laut, dibutuhkan pesawat patroli maritim yang memiliki endurance minimal delapan jam terbang. Sedangkan untuk Angkatan Udara, pesawat tempur dengan endurance minimal dua jam dibutuhkan untuk kondisi geografis di sana.
Terkait sarana dan prasarana, apakah pembangunan sarana dan prasarana militer di Kepulauan Natuna sudah diarahkan untuk mendukung operasional kapal perang dan pesawat udara? Misalnya, tersedianya dukungan logistik yang memadai bagi kapal perang, begitu pula pesawat udara. Bagaimana pula konsep pengamanan logistik tersebut, sebab logistik itu mempunyai ekor di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa dan atau minimal di Pulau Kalimantan.
Dari dua parameter tersebut, sebenarnya sangat gampang mencari jawaban terhadap relevansi pembangunan kekuatan pertahanan saat ini dengan dinamika lingkungan strategis di Laut Cina Selatan. Kalau sudah menemukan jawabannya, pilihannya tinggal apakah mau tetap bertahan dengan konsep saat ini atau menyesuaikan diri dengan perkembanga lingkungan strategis.

25 November 2010

Isu Laut Cina Selatan Dan Operasi Gabungan

All hands,
Isu Laut Cina Selatan bagi Indonesia selain harus dihadapi dengan instrumen diplomasi, hendaknya harus bersiap pula dengan operasi gabungan. Untuk mempersiapkan diri dengan operasi gabungan menghadapi eskalasi konflik di Laut Cina Selatan, hal pertama yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah berpikir realistis. Yakni berpikir realistis soal geografis wilayah Laut Cina Selatan dan sekitarnya.
Apabila mampu berpikir realistis, keluarannya adalah sangat jelasnya aktor mana saja yang akan memainkan peran besar dalam menghadapi kontinjensi di sana. Kogasgab yang nantinya dibentuk guna merespon kontinjensi di sana pun kelihatan matra mana yang lebih dominan secara kondisi geografis kawasan pelibatan. Misalnya, Pangkogasgab dan Kaskogasgab berasal dari matra laut dan udara.
Belum terlambat bagi Indonesia untuk menyusun rencana kontinjensi di Laut Cina Selatan, asalkan skenarionya realistisnya, begitu pula Kogasgab yang dibentuk. Jangan sampai skenario dan organisasi yang dibentuk bertolak belakang 180 derajat dengan kondisi geografis di Laut Cina Selatan. Menyusun rencana kontinjensi di Laut Cina Selatan memang tidak mudah, sebab harus berhitung pula soal aspek logistik. Seperti di mana titik bekal ulang bagi kapal perang dan pesawat udara ditempatkan.

24 November 2010

Memanfaatkan Kebijakan Satu Cina

All hands,
Indonesia bersama sebagian besar negara di dunia menganut kebijakan Satu Cina. Meskipun demikian, sebagaimana mayoritas negara di dunia pula, Jakarta membuka hubungan ekonomi dan sosial budaya dengan Taipei. Tak heran bila di Taiwan ada Kantor Perdagangan Indonesia yang merupakan "Kedutaan Besar Indonesia", sedangkan di Indonesia terdapat Kantor Perdagangan Taiwan yang merupakan "Kedutaan Besar Republik Cina".
Soal politik Satu Cina terkesan Indonesia takut-takut dengan Cina, sehingga membatasi diri sedemikian rupa dalam hubungan dengan Taiwan. Pada sisi lain, Jakarta terkesan tidak paham apa kartu truf yang dimilikinya untuk menghadapi asertifitas Beijing di Laut Cina Selatan. Dengan alasan sejarah, Beijing dengan seenaknya mengklaim ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan utara Kepulauan Natuna sebagai wilayahnya. Padahal sebenarnya Jakarta bisa memainkan kartu kebijakan Satu Cina.
Singkatnya, kalau Cina "macam-macam" di ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan, kebijakan Satu Cina bisa "dimainkan". Pertanyaannya, apa yang "dimainkan"? Yang dapat "dimainkan" adalah instrumen-instrumen kekuatan nasional. Apakah instrumen-instrumen itu dapat "dimainkan" oleh Indonesia? Kalau mengacu pada kepentingan nasional, seharusnya bisa dan mampu.

23 November 2010

Upaya Sabotase Pembangunan Kekuatan

All hands,
Pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia ---termasuk pembangunan kekuatan Angkatan Laut--- yang saat ini dilaksanakan dengan sasaran tercapainya MEF dapat dipastikan menjadi perhatian beberapa negara di sekitar Indonesia. Tentu saja mereka gentar apabila Indonesia memiliki kekuatan Angkatan Bersenjata yang jauh lebih kuat pada 2024 daripada 2010. Oleh karena itu, sangat mungkin ada upaya sabotase untuk menggagalkan pembangunan kekuatan tersebut.
Salah satu bentuknya yang dewasa ini sangat kasat mata adalah tawaran sistem senjata surplus. Tawaran sistem senjata surplus datang bukan saja dari negara adidaya, tetapi juga dari beberapa negara yang mempunyai hubungan dekat dan mesra dengan negara adidaya itu. Tidak dapat ditutup kemungkinan pula bahwa semua itu merupakan sebuah orkestrasi yang padu dan dirancang dengan baik.
Penawaran sistem senjata surplus memang dalam jangka pendek akan mempercepat pencapaian MEF. Tetapi perlu diwaspadai dampak negatifnya dalam jangka menengah dan panjang, yaitu MEF akan rontok kembali pada tahun 2020-an karena sistem senjata surplus itu sudah tidak ekonomis lagi untuk dipergunakan. Dengan kata lain, upaya bantuan itu sesungguhnya dimaksudkan untuk memperlemah Indonesia dalam jangka menengah dan panjang.
Pertanyaannya, sadarkah para pengambil keputusan terhadap skenario demikian? Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara sudah sepantasnya memiliki Angkatan Bersenjata terkuat. Hal ini dicermati betul oleh negara-negara di sekitar Indonesia yang sebenarnya tidak ingin melihat Indonesia mempunyai Angkatan Bersenjata yang kuat. Program pembangunan kekuatan ---meskipun kadarnya baru MEF--- sudah membuat mereka gentar. Lalu disusunlah skenario yang seolah membantu pencapaian MEF, tetapi sesungguhnya menggerogoti MEF. Salah satu bentuknya adalah lewat tawaran sistem senjata surplus.

22 November 2010

Di Balik Bantuan Setengah Hati

All hands,
Amerika Serikat beberapa waktu terakhir gencar menawarkan sistem senjata surplus kepada Indonesia. Semua sistem senjata itu termasuk dalam kategori EDA. Sambutan beberapa pihak di Indonesia atas tawaran itu beragam, ada yang pro namun tak sedikit pula yang kontra. Bagi pihak yang kontra, mereka mempertanyakan niat tulus Washington untuk membantu Jakarta dalam memperkuat pertahanannya.
Terkait soal itu, perlu dicermati kembali mengapa Washington menawarkan sistem senjata surplus alias sistem senjata bekas kepada Jakarta. Bisa jadi, tawaran itu disebabkan oleh sikap Indonesia yang tidak sepenuhnya pro kepadanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sikap Jakarta terhadap Washington senantiasa setengah hati, sehingga Washington pun bersikap setengah hati pula terhadap Jakarta.
Sebagai perbandingan, Singapura senantiasa mendapat sistem senjata terbaru dari Washington. Begitu pula beberapa negara lain di Asia Pasifik, misalnya India, Australia dan Korea Selatan. Semua itu tidak lepas dari sikap mereka yang tidak setengah hati terhadap Amerika Serikat.
Lalu bagaimana solusi bagi Indonesia terhadap isu ini? Kalau memang Jakarta sulit untuk bersikap pro kepada Washington secara terus menerus dan konsisten, Jakarta harus bersikap konsisten pula untuk tidak bergantung pada pasokan sistem senjata dari Washington. Sebaliknya, Jakarta harus bersikap konsisten terhadap sistem senjata buatan negara lain dan tahan terhadap godaan dari Washington. Yang menjadi masalah, ada pihak-pihak di Jakarta yang tidak tahan terhadap godaan dari Washington tersebut.

21 November 2010

Sistem Senjata Surplus Dan Life Cycle Cost

All hands,
Dalam merespon tawaran yang terkesan murah hati soal sistem senjata surplus dari Amerika Serikat maupun negara-negara lain, Indonesia hendaknya berhati-hati. Salah satu bentuk kehati-hatian itu adalah menerapkan perhitungan life cycle cost terhadap efektivitas sistem senjata itu apabila kelak digunakan oleh Indonesia. Pendekatan life cycle cost akan meminimalisasi kerugian di masa depan, baik kerugian berupa material maupun terancamnya kedaulatan, karena pendekatan ini lebih "jujur dan obyektif" daripada pendekatan politik. Pendekatan politik cenderung menafikan kerugian ekonomis maupun non ekonomis yang akan dialami di masa depan.
Melalui pendekatan life cycle cost, perlu dihitung berupa usia platform yang ditawarkan. Misalnya untuk pesawat udara, dari total usia frame-nya berapa yang selama ini sudah dihabiskan sebelum sistem senjata itu dikategorikan sebagai surplus. Sisa usia frame itu akan menentukan berapa tahun maksimal sistem senjata surplus alias bekas tersebut dapat digunakan oleh Indonesia.
Lewat pendekatan itu pula, perlu dikalkulasi berapa biaya retrofit dan berapa biaya pemeliharaan yang nantinya akan dibutuhkan selama sisa usia sistem senjata tersebut. Apakah biaya yang dikeluarkan nantinya akan seimbang atau ekonomis dengan usia pakai yang tersisa? Bagaimana pula dengan dukungan suku cadang minimal hingga 20 tahun ke depan, apakah masih dijamin tersedia dengan harga yang ekonomis pula atau sebaliknya?
Perlu dipahami, apabila digambarkan dengan kurva terkait dengan sistem senjata surplus maka pencapaian garis tertinggi pada kurva tidak dapat diperhatikan secara konsisten dalam waktu lama. Tak lama secara garis tertinggi tercapai, akan terjadi penurunan tajam dari garis tersebut alias melengkung ke bawah secara drastis. Hal itu terjadi karena faktor ekonomis yang terkait life cycle cost. Setidaknya demikian pengalaman beberapa negara lain, bahkan Indonesia pun sesungguhnya memiliki pengalaman demikian terkait dengan sistem senjata surplus.

20 November 2010

Menimbang Hibah Kapal Perang

All hands,
Kekuatan laut Indonesia memiliki pengalaman tidak mengenakkan menyangkut operasional kapal perang bekas di dekade akhir abad ke-20. Hal itu tidak lepas dari besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk menyiapkan sejumlah kapal perang agar siap operasional. Pengalaman tersebut hingga kini masih terekam kuat dalam memori Angkatan Laut, sehingga memunculkan kesadaran kolektif bahwa biaya total pengadaan kapal perang bekas sungguh mahal.
Kini ada negara tetangga Indonesia yang menghibahkan kapal perangnya kepada Indonesia melalui pintu Departemen Pertahanan. Berbicara soal hibah, ada matra militer Indonesia lainnya yang mengalami pengalaman pahit dengan sistem senjata. Sistem senjata yang dihibahkan oleh suatu negara lain di Asia Tenggara kepada matra militer Indonesia pada awal 2000-an kini teronggok di suatu sudut pangkalan matra tersebut. Teronggok tak berarti, karena berbagai macam faktor teknis.
Terkait dengan hibah sistem senjata, sebaiknya Departemen Pertahanan memikirkan dengan matang. Misalnya, apakah sistem senjata yang dihibahkan sesuai dengan kebutuhan operasional di Indonesia. Bagaimana pula dukungan logistiknya?
Apakah sistem senjata yang dihibahkan usia ekonomisnya masih panjang atau sudah mau habis? Berikutnya, apakah sistem senjata itu sesuai dengan kebutuhan Angkatan Laut sebagaimana telah dituangkan dalam renstra menengah? Pertanyaan-pertanyaan itu semestinya dikaji dengan matang oleh Departemen Pertahanan sebelum memberikan jawaban menerima atau menolak hibah tersebut. Jangan sampai Angkatan Laut menjadi korban dari hibah itu dalam dua tiga tahun ke depan. Seperti terbebani oleh anggaran pemeliharaan yang sebenarnya tidak ada dalam renstra.

19 November 2010

Mengapa Indonesia Kalah?

All hands,
Sikap Indonesia yang dengan sengaja tidak merebut posisi focal point dalam isu keamanan maritim sebagai bagian dari agenda ADMM+ jelas sangat disayangkan. Seperti diketahui, dua negara FPDA yaitu Negeri Tukang Klaim dan negeri penindas Aborigin menjadi penjuru dalam kerjasama keamanan maritim ADMM+. Artinya, urusan keamanan maritim di wilayah Indonesia pun di bawah kendali mereka, padahal Indonesia mempunyai perairan yang jauh lebih luas daripada dua negeri eks jajahan Inggris tersebut.
Pertanyaannya, mengapa Indonesia "kalah"? Jawabannya singkat, sebab Jakarta tidak proaktif mengambil inisiatif. Jakarta lebih senang menjadi penonton yang baik dan kemudian mengambil agenda tersisa yang tidak diambil atau diminati oleh pihak lain. Sikap Jakarta yang demikian tentu saja bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia. Mengingat bahwa ADMM+ di republik ini penjuru utamanya adalah Departemen Pertahanan, maka lembaga inilah yang mesti bisa menjelaskan kepada pemangku kepentingan di Indonesia mengapa Jakarta lebih memilih isu yang kurang strategis dari kacamata kepentingan nasional yaitu pemeliharaan perdamaian daripada isu keamanan maritim.
Terkait dengan kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN 2011, berarti Indonesia kini tercatat minus satu poin. Maksudnya, sudah satu peluang yang harusnya diambil oleh Indonesia justru "dilewatkan". Sekarang kedudukan 0-1 bagi keunggulan negara lain terhadap Indonesia.

18 November 2010

Agenda Keamanan Maritim Harus Domain Indonesia

All hands,
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan ketika Indonesia dalam rangka kepemimpinan ASEAN 2011, termasuk di ADMM, salah satu prioritasnya dalam kerjasama ADMM adalah berfokus menjadi focal point pada operasi pemeliharaan perdamaian. Adapun isu keamanan maritim "diserahkan" kepada Negeri Tukang Klaim dan negeri penindas Aborigin. Seperti diketahui, pertemuan ADMM+ di Hanoi Oktober 2010 lalu telah menyepakati lima agenda prioritas kerjasama ADMM+.
Merupakan suatu kesalahan besar ketika Indonesia menyerahkan focal point agenda kerjasama keamanan maritim kepada pihak lain. Sebab pemilik perairan terluas di Asia Tenggara bukan Negeri Tukang Klaim, bukan pula negeri penindas Aborigin. Pemiliknya hanya satu yaitu Indonesia!!! Artinya, Indonesia harus menjadi penata keamanan maritim di kawasan. Harus diingat bahwa stabilitas kawasan Asia Tenggara ditentukan oleh kondisi keamanan maritim di Indonesia, bukan oleh operasi pemeliharaan perdamaian.
Singkatnya, seandainya Indonesia tidak berpartisipasi dalam operasi pemeliharaan perdamaian pun, stabilitas keamanan kawasan dan kedaulatan Indonesia sama sekali tidak terancam. Tetapi ketika Indonesia dinilai tidak mampu menjaga keamanan maritim di wilayahnya, stabilitas keamanan kawasan dan kedaulatan Indonesia terancam. Bertolak dari kondisi itu, seharusnya pengambil keputusan di Indonesia berpikir secara bijak, senantiasa mengacu pada kepentingan nasional dan berdasarkan kesadaran geografis dalam menentukan langkah Indonesia selama kepemimpinan ADMM+.

17 November 2010

Agenda Kepemimpinan ASEAN 2011

All hands,
Indonesia dalam KTT ASEAN November 2010 di Hanoi disepakati memimpin ASEAN selama 2011. Kepemimpinan itu memiliki banyak konsekuensi, di antaranya di bidang protokoler. Sebab Indonesia dalam tahun ini harus membuat sekian pertemuan ASEAN, baik di bidang politik, ekonomi, keamanan maupun sosial budaya. Dalam bidang pertahanan, setidaknya Indonesia harus menggelar pertemuan ADMM+, Chief of Defense Force, Chief of Naval Staff dan Chief of Military Intelligence.
Kondisi itu menggambarkan bahwa Jakarta dituntut mempunyai konsep untuk kerjasama pertahanan ASEAN. Konsep itu harus berakar pada kepentingan nasional, serta harus pula diperjuangkan dalam pertemuan-pertemuan ASEAN tahun depan. Lalu bagaimana agar Jakarta memiliki konsep yang mengacu pada kepentingan nasional?
Pertama, hapuskan ego sektoral. Kedua, duduk bersama antara semua pemangku kepentingan, baik sipil maupun militer. Ketiga, memiliki background dan pengetahuan intelijen yang lengkap soal sikap negara-negara ASEAN plus ARF menyikapi dinamika lingkungan strategis yang berkembang. Minimal dengan ketiga syarat itu maka konsep Indonesia bisa dirumuskan bersama dalam waktu singkat, sebab tahun 2010 akan segera menutup kalendernya.

16 November 2010

Agenda AUSMIN 2010

All hands,
Pada 8 November 2010 di Canberra digelar AUSMIN 2010 yang dihadiri Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan Australia. Agenda yang dibahas dalam konsultasi bilateral itu meliputi U.S. Force Posture Review, isu Cina dan peningkatan penggunaan fasilitas militer di Australia oleh Amerika Serikat. Sangat terang benderang dan jelas bahwa sejumlah isu yang dibahas oleh kedua negara yang di masa lalu sama-sama jajahan Inggris itu akan berdampak terhadap keamanan kawasan Asia Pasifik maupun Indonesia secara khusus.
Soal gelar kekuatan militer Washington di kawasan pasti terkait dengan kebangkitan militer Cina. Oleh karena itu, peningkatan akses dalam penggunaan fasilitas militer di Australia oleh Amerika Serikat dimaksudkan guna menjaga dan meningkatkan profesionalisme kekuatan laut, udara dan darat yang berada di bawah komando U.S. Pacom. Tur Presiden Barack Hussein Obama ke sejumlah negara Asia yang merupakan sekutu penting di luar NATO ----kecuali Indonesia--- mengisyaratkan sekali lagi bahwa Washington tidak akan mundur dari kawasan ini. Sebab apabila itu terjadi, kekosongan kekuatan kawasan akan diisi oleh Cina yang hingga kini sulit ditebak apa maunya.
Kembali ke agenda AUSMIN 2010, semestinya ada keuntungan tidak langsung yang dapat dipetik oleh Indonesia seiring akan terus meningkatnya interaksi Washington-Canberra. Modalitas yang dipunyai oleh Jakarta sudah lebih dari cukup untuk meraih keuntungan tersebut. Tinggal apakah pengambil keputusan di Jakarta mau berpikir out of the box atau tidak. Kalau skenario yang terakhir yang terjadi, maka Kemitraan Komprehensif yang ditandatangani pemimpin Jakarta dan Washington tak ada manfaatnya bagi Indonesia.

15 November 2010

Di Balik Sistem Senjata Surplus

All hands,
Amerika Serikat dewasa ini berupaya memasarkan sistem senjata surplus alias sistem senjata bekas kepada negara-negara yang berminat. Yang menjadi sasaran adalah negara-negara sekutu seperti NATO maupun negara-negara lain di dunia yang dianggap sebagai kawan dan mitra. Penawaran sistem senjata surplus tersebut selalu diimbuhi kata "lebih murah" daripada membeli sistem senjata baru yang sejenis. Di balik penawaran itu, ada beberapa hal yang perlu dipahami.
Pertama, penghematan anggaran. Memelihara sistem senjata surplus hingga sistem itu dihapus membutuhkan biaya tidak sedikit. Sedangkan jumlah sistem senjata yang dikategorikan sebagai surplus alias EDA jumlahnya ribuan pesawat terbang dan beberapa kapal perang. Untuk mengurangi beban anggaran itu, Washington menawarkan pesawat terbang dan kapal perangnya ke berbagai negara. Pakistan adalah salah satu korban dari sistem senjata surplus itu, sebab senjata yang ditawarkan yaitu P-3C Orion dan fregat kelas Oliver Hazard Perry diserahkan dalam kondisi as where as it is, sehingga Islamabad dipaksa mengeluarkan dana untuk me-reftrofit agar bisa digunakan.
Kedua, menghalangi akses pasar negara lain. Penawaran sistem senjata surplus dimaksudkan pula untuk menghalangi akses pasar negara lain yang sebelumnya bergantung pada Amerika Serikat. Yunani yang sebenarnya adalah sekutu Amerika Serikat di NATO adalah korban dalam kategori ini, di mana para petinggi pertahanan dan militer Athena dipaksa untuk membeli kendaraan lapis baja IFV Bradley surplus yang teronggok di gurun pasir New Mexico dengan "ongkos" membatalkan rencana pengadaan kendaraan lapis baja baru jenis BMP-3 dari Rusia yang juga tergolong IFV. Para petinggi Pentagon menyatakan bahwa harga Bradley lebih murah daripada harga BMP-3 baru. Padahal IFV Bradley itu kondisinya as where as it is alias harus di-retrofit terlebih dahulu sebelum bisa digunakan, di mana menurut kalkulasi ekonomi biaya pembelian plus retrofit satu unit Bradley sama dengan satu unit BMP-3 baru.
Ketiga, tidak memperkuat negara sekutu/kawan/mitra. Penawaran sistem senjata surplus oleh Washington kepada negara lain bukan ditujukan untuk memperkuat pertahanan negara-negara sekutu/kawan/mitra Amerika Serikat tersebut. Sebab masa jaminan sistem senjata surplus sangat singkat, sedangkan suku cadangnya sulit diperoleh karena produksinya sudah terbatas atau bahkan terhenti sama sekali. Kondisi demikian sangat jelas tidak memperkuat kemampuan pertahanan negara-negara pemakai senjata surplus itu.

14 November 2010

Surplus Pesawat Patroli Maritim

All hands,
Angkatan Laut Amerika Serikat mulai mempensiunkan pesawat patroli maritim P-3C Orion yang menjadi andalannya. Aktivitas itu dilakukan seiring dengan akan masuknya pesawat patroli maritim generasi terbaru yaitu P-8A Poseidon dalam beberapa waktu ke depan. Kegiatan mempensiunkan P-3C Orion tentu saja dilaksanakan bertahap, karena P-8A Poseidon pun penyerahannya dari pabrikan Boeing ke Angkatan Laut Amerika Serikat juga dilakukan secara bertahap.
Apa konsekuensi dari penghapusan P-3C Orion? Salah satu di antaranya adalah akan tersedianya banyak pesawat surplus atau di Amerika Serikat dikenal sebagai Excess Defense Article (EDA). Artinya, negara-negara berkembang yang dinilai bersahabat dengan Washington pasti akan ditawari pesawat P-3C Orion eks U.S. Navy. Sebagai contoh, dalam 2010 setidaknya ada dua negara yang sudah menerima pesawat P-3 Orion hasil surplus, yaitu Pakistan dan Taiwan.
Beberapa tahun lalu, Washington pernah menawarkan pesawat surplus serupa kepada Jakarta untuk memperkuat kemampuan Angkatan Lautnya. Namun tawaran itu tidak bersambut, antara lain karena pertimbangan nilai ekonomis dari pesawat tersebut. Selain aspek teknis, Jakarta pun masih trauma dengan kebijakan Washington terhadapnya di masa lalu.
Dewasa ini, Amerika Serikat memang rajin mendiskon berbagai sistem senjata Angkatan Lautnya yang surplus. Selain pesawat P-3 Orion, kapal fregat kelas Oliver Hazard Perry juga diobral dan Pakistan beberapa waktu lalu telah menerima kapal itu. India yang merupakan musuh bebuyutan Pakistan turut pula menerima kapal surplus dari Amerika Serikat yaitu LPD eks USS Trenton (LPD-14).
Berbicara soal alutsista surplus Amerika Serikat, satu hal yang harus dicermati oleh calon konsumen adalah perjanjian pengalihan senjata itu. Pasti di dalam perjanjian itu tercantum hal yang membatasi penggunaan kemampuan ofensif sistem senjata tersebut. New Delhi yang kini dirangkul oleh Washington telah merasakan adanya pembatasan itu dalam kasus eks USS Trenton (LPD-14) yang sekarang telah berganti nama menjadi INS Jalashwa.

13 November 2010

Memahami Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika Serikat

All hands,
Kunjungan Presiden Barack Obama 9-10 November 2010 ke Jakarta telah menghasilkan kesepakatan Kemitraan Komprehensif antara Indonesia-Amerika Serikat. Satu di antara bidang kerjasama dalam kemitraan itu adalah keamanan dan kawasan. Terdapat tiga agenda utama dalam bidang itu, yaitu aksesi Amerika Serikat dalam KTT Asia Timur, Defense Framework Agreement dan kerjasama keamanan. Isu DFA yang ditandatangani di Washington pada 10 Juni 2010 lalu ada 10 butir, yaitu keamanan maritim, PKO, HADR, industri pertahanan, Universitas Pertahanan, Kopassus, Laut Cina Selatan, counterterrorism, intelligence matters dan Afghanistan. Adapun kerjasama keamanan difokuskan pada counterterrorism, keamanan maritim, PKO, natural disaster relief dan humanitarian assistance.
Tidak sulit dibantah bahwa sebagian besar materi kerjasama keamanan dan kawasan kedua negara sesungguhnya mengacu pada kepentingan nasional Amerika Serikat. Kalau kurang yakin, silakan periksa Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat 2010. Soal Indonesia dalam dokumen itu dibahas pada halaman 44. Menurut dokumen itu, Indonesia adalah mitra penting di kawasan bagi isu kawasan dan lintas negara, seperti perubahan iklim, counterterrorism, keamanan maritim, pemeliharaan perdamaian dan disaster relief. Jadi sangat jelas bahwa apa yang tercantum dalam dokumen Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat 2010 sangat mewarnai agenda kemitraan komprehensif Indonesia-Amerika Serikat di bidang keamanan dan kawasan.
Lalu bagaimana agar Indonesia bisa meraih keuntungan dari kemitraan tersebut? Jawabannya sederhana, yaitu mau berpikir cerdas. Caranya, tumpangkanlah kepentingan nasional Indonesia yang selaras dengan kepentingan nasional Amerika Serikat. Isu yang bisa ditumpangkan misalnya keamanan maritim, PKO, HADR/natural disaster relief, counterterrorism dan Laut Cina Selatan. Menumpangkan kepentingan nasional itu otomatis sudah siap untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari kemitraan itu. Cara cerdas ini telah diadopsi oleh India dan Pakistan ketika berhadapan dengan Amerika Serikat.

12 November 2010

Ajukan Tagihan Kepada Amerika Serikat

All hands,
Dalam Kemitraan Komprehensif yang disepakati oleh Presiden Indonesia dan Amerika Serikat, salah satu bidang kerjasama adalah kerjasama keamanan dan kawasan. Terdapat tiga item dalam bidang tersebut, dua di antaranya adalah soal Defense Framework Agreement dan Security Cooperation. Dalam keduanya terdapat sub agenda kerjasama keamanan maritim. Pertanyaannya, apa keuntungan yang bisa diraih Indonesia dari Kemitraan Komprehensif?
Keuntungan yang bisa diraih Indonesia sebenarnya banyak. Peluang tersebut terbuka lebar. Yang menjadi masalah adalah apakah Jakarta mau dan akan mengajukan "tagihan" kepada Washington terkait dengan kerjasama keamanan maritim? "Tagihan" itu harus diajukan, bukan sebaliknya menunggu inisiatif tawaran dari Amerika Serikat!!!
Terkait dengan Kemitraan Komprehensif, Jakarta harus memanfaatkan posisi geografisnya. Mainkan posisi strategis Indonesia dalam rangka meraih keuntungan, sebab mustahil Washington tak membutuhkan Indonesia dalam konteks lingkungan strategis kawasan Asia Pasifik saat ini yang menghadapkan kepentingannya versus kepentingan Cina. Untuk memanfaatkan posisi strategis demi kepentingan nasional, Jakarta harus belajar dari Islamabad yang sangat cerdas, cerdik dan pandai memainkan instrumen itu terhadap Washington dalam bingkai war on terrorism. Seharusnya Jakarta bisa memainkan posisi itu pula dalam kerangka kebijakan Washington untuk contain Beijing.

11 November 2010

Pameran Pertahanan Yang Tidak Menggigit

All hands,
Selama ini Indonesia telah beberapa kali menggelar pameran pertahanan berskala internasional. Meskipun demikian, gelegar pameran itu masih jauh kalah dibandingkan kegiatan serupa di Negeri Tukang Klaim maupun negeri penampung koruptor. Para produsen sistem senjata internasional masih enggan memamerkan produknya di Indonesia. Tentu menjadi pertanyaan mengapa demikian?
Salah satu sebabnya tentu saja karena kebijakan pemerintah Indonesia sendiri. Kebijakan pemerintah Indonesia pasca reformasi terkenal dengan "sangat teliti" menghitung uang untuk memperkuat militernya, tetapi "sangat cepat" meloloskan pendanaan anggaran untuk berbagai kepentingan non pertahanan. Singkatnya, pertahanan nampaknya bukan kebutuhan nyata dan sehari-hari negeri ini.
Akibatnya, wajar saja para produsen senjata dunia masih berat hati untuk singgah di Indonesia selama beberapa hari guna memamerkan produk buatan mereka. Sebab mereka belum melihat Indonesia sebagai pasar potensial bagi mereka. Memang secara teoritis, terdapat banyak item dapat sistem senjata yang memperkuat militer Indonesia yang sudah harus diganti dan itu merupakan potensi pasar untuk pabrikan senjata dunia. Namun karena kebijakan pemerintah Indonesia sendiri, maka para pembuat senjata tidak memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang wajib mereka singgahi untuk pameran produk senjata mereka.
Kalau di dunia ada indeks internasional tentang negara-negara yang menjadi sasaran penjualan sistem senjata, mungkin posisi Indonesia hanya akan sedikit lebih baik dari negara-negara miskin di Afrika. Kalah dengan negara-negara lainnya di Asia Pasifik yang sebagian besar wilayahnya jauh lebih sempit daripada Indonesia.

10 November 2010

Jumlah Minimal Kapal Selam Jerman

All hands,
Angkatan Laut Jerman mempunyai jumlah standar minimal kapal selam yang harus dimilikinya. Jumlah itu ditetapkan oleh Kementerian Pertahanan Jerman sebagai pemegang otoritas politik kebijakan pertahanan di negeri itu. Angka yang ditetapkan sebagai jumlah minimal kapal selam adalah 12 kapal.
Menyusul terjadinya krisis ekonomi yang melanda negara-negara Uni Eropa, bidang pertahanan Jerman juga terkena dampaknya. Dalam periode 2011-2014, dari anggaran pertahanan yang dirancang sebesar EUR31.1 milyar, dipastikan EUR8.3 milyar dipotong. Semua matra militer Jerman terkena pemotongan, termasuk Angkatan Lautnya.
Salah satu korban pertama dalam pemotongan itu di Angkatan Laut adalah kapal selam, yakni enam kapal selam kelas U-206A akan dihapus dari susunan tempur. Selanjutnya kekuatan kapal selam Jerman akan bertumpu pada empat kapal selam U-212A. Dengan situasi seperti ini, dipastikan armada kapal selam Jerman akan mengalami penurunan kemampuan operasional hingga beberapa tahun ke depan.
Indonesia dapat menarik pelajaran dari kasus yang dialami oleh satuan kapal selam Jerman. Misalnya tentang penetapan jumlah minimal kapal selam yang dibutuhkan dengan memperhatikan siklus operasi, latihan dan pemeliharaan. Secara ideal, kapal selam Indonesia juga berjumlah 12, adapun minimal adalah enam dan moderat sedikitnya delapan kapal. Setidaknya demikian yang ada dalam kalkulasi pribadi saya.

09 November 2010

Perpanjangan Usia Pakai Kapal Selam

All hands,
Perpanjangan usia pakai merupakan salah satu cara untuk mengurangi terjadinya perubahan yang drastis dalam struktur kekuatan apabila sistem senjata pengganti belum masuk ke dalam susunan tempur. Perpanjangan usia pakai juga biasa ditempuh oleh negara-negara maju ketika ada penurunan anggaran pertahanan. Sebagai ilustrasi, kini banyak negara-negara Eropa yang melaksanakan program perpanjangan usia pakai pada berbagai sistem senjatanya menyusul krisis ekonomi yang melanda kawasan itu dan hingga sekarang dampaknya masih terasa.
Bagi kapal selam, perpanjangan usia pakai pun dikenal luas. Namun demikian, ada satu hal yang perlu dipelajari dengan seksama ketika hendak menempuh program ini. Yakni menyangkut daur hidup pressure hull-nya. Pressure hull itu selalu mengalami tekanan yang luar biasa selama kapal selam berdinasi, khususnya ketika menyelam. Oleh karena itu, secara umum daur hidup pressure hull pada kapal selam lebih pendek dibandingkan hull pada kapal permukaan.
Singkatnya, merupakan sebuah keharusan bagi setiap Angkatan Laut yang mengoperasikan kapal selam untuk memodernisasi armadanya secara berkala. Perpanjangan usia pakai hanya bisa efektif dan optimal untuk jangka waktu tertentu saja.

08 November 2010

Nilai Strategis Pangkalan Guam

All hands,
Guam kini telah menjadi pangkalan utama dan terdepan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik setelah Hawaii. Berbeda dengan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Jepang seperti di Sasebo dan Yokosuka, pangkalan Angkatan Laut di Guam berada di wilayah kedaulatan Amerika Serikat. Artinya satu resiko sudah hilang, yaitu protes penolakan terhadap pangkalan seperti yang selama ini dialami oleh pangkalan militer Amerika Serikat di Jepang.
Guam menjadi rumah bagi satuan kapal selam Amerika Serikat yang beroperasi di Pasifik Barat. Kapal selam itu sebagian di antaranya diproyeksikan untuk melaksanakan misi pengintaian dan penangkalan terhadap Cina. Karena menjadi tuan rumah bagi kekuatan laut Amerika Serikat, tak heran bila Angkatan Laut Amerika Serikat telah berhitung tentang kemungkinan serangan rudal balistik Cina terhadap Guam.
Posisi Guam yang jauh dari Cina bukan berarti pulau itu aman dari ancaman Cina. Oleh karena itu, Amerika Serikat terus memperkuat pertahanan di Guam, termasuk pertahanan rudal. Selain ancaman rudal, dengan meningkatnya kemampuan Angkatan Laut Cina maka proyeksi kapal selam Cina tidak dapat diabaikan pula. Bila selama ini kapal selam Cina gemar pamer kekuatan di depan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Jepang, sangat mungkin dalam waktu tak lama lagi kegemaran serupa akan menular ke Guam.
Apalagi pangkalan Angkatan Laut di Guam berbatasan langsung dengan laut lepas, sehingga morfologinya adalah perairannya dalam. Kondisi ini ideal bagi penyusupan kapal selam Cina. Hal ini menunjukkan bahwa nilai strategis Guam juga "berimbang" dengan kemungkinan ancaman yang dihadapi, khususnya dalam hal perlindungan kekuatan.

07 November 2010

Patroli Gabungan Di Laut Cina Selatan

All hands,
Dalam perkembangan terkini, Amerika Serikat bersama Jepang telah melemparkan gagasan patroli gabungan di Laut Cina Selatan. Tujuan dari patroli ini secara resmi adalah untuk mencegah sengketa di sana. Sedangkan tujuan tidak resmi tak bukan dan tidak lain adalah untuk menangkal Cina yang semakin asertif di perairan strategis tersebut.
Gagasan patroli gabungan di Laut Cina Selatan sekarang sudah mulai dipasarkan ke negara-negara di kawasan yang "berhadapan" dengan Cina. Termasuk Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, yang sudah pasti tidak melewatkan pula Singapura. Di samping itu, sekutu baru Washington di Samudera India yaitu India telah pula dilemparkan dengan penawaran patroli bersama.
Pertanyaannya, bagaimana respon negara-negara kawasan? Singapura pasti antusias, sebab sudah lama negara itu ingin masuk ke Laut Cina Selatan. Sikap Negeri Tukang Klaim belum diketahui secara pasti. Adapun sikap Indonesia juga belum diketahui, meskipun untuk terlibat langsung kemungkinannya kecil. Namun di sisi lain sulit pula bagi Jakarta untuk tidak bersikap terhadap tekanan Washington atas ide itu, misalnya dengan meningkatkan kehadiran kapal perangnya di Laut Natuna dan ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan.
Peningkatan kehadiran kapal perang di sana merupakan pilihan yang realistis dan sekaligus menyelamatkan Jakarta dari tekanan Washington. Pilihan itu juga memberikan keuntungan kepada Indonesia, yaitu agar Cina tidak sewenang-wenang bertindak di ZEE Indonesia. Bahwa pilihan tersebut secara tidak langsung juga berdampak positif terhadap Amerika Serikat, hal itu tak bisa dihindari juga.

06 November 2010

Jepang Meramaikan Perburuan Kapal Selam Cina

All hands,
Merespon pembangunan kekuatan Angkatan Laut Cina, khususnya kapal selam, Jepang mengambil kebijakan untuk memperkuat kemampuan peperangan bawah airnya. Bentuknya adalah penambahan jumlah kapal selam negeri para geisha itu dari 16 kapal selam seperti yang selama ini diproyeksikan menjadi 20 kapal selam. Tidak ada penentangan dari parlemen terhadap rencana pemerintah itu, sehingga dengan demikian Jepang turut meramaikan perburuan kapal selam Cina yang selama ini dipelopori oleh Amerika Serikat.
Tidak perlu diragukan kemampuan Jepang dalam peperangan bawah air, sebab negeri para geisha ini sejak era Perang Dingin sudah mampu memproduksi berbagai komponen kapal selam dan kapal selam itu sendiri. Teknologi kapal selam yang dimiliki oleh Tokyo tidak kalah dengan negara-negara maju lainnya, hanya saja teknologi itu diembel-embeli kalimat not for export. Namun begitu, di akhir 1980-an sejumlah perangkat sistem kapal selam buatan Jepang bisa diselundupkan ke Uni Soviet dan kemudian diadopsi dalam kapal selam buatan negeri vodka tersebut.
Sikap Jepang yang keras terhadap Cina dilandasi pada beberapa alasan. Pertama, kekuatan militer Cina merupakan ancaman terhadapnya. Apalagi Beijing masih menaruh dendam kesumat terhadap tindakan penjajahan Tokyo terhadap wilayahnya hingga akhir Perang Dunia Kedua. Kedua, ada konflik batas maritim antara kedua bangsa yang mempunyai akar budaya yang sama itu. Titik apinya terletak di Kepulauan Senkaku, di mana beberapa waktu lalu pihak Coast Guard Jepang sempat menahan seorang kapten kapal Cina yang menabrakkan kapalnya ke kapal patroli Coast Guard Jepang.
Ketiga, ekspansi Cina. Ekspansi Cina ke kawasan Asia Pasifik bukan saja mengancam keamanan Jepang, tetapi juga roda perekonomian negeri para geisha itu. Pelan namun pasti pasar yang selama ini dikuasai oleh Tokyo digerogoti secara konsisten oleh Beijing. Apabila hal itu dibiarkan, akan berpengaruh terhadap ekonomi Jepang dan pada akhirnya berdampak pada kemampuan pemerintah Jepang menyediakan dana bagi pembangunan kekuatan militer Tokyo.
Tindakan Jepang meramaikan perburuan terhadap kapal selam Cina akan meramaikan gerisik di bawah air. Kapal selam Jepang akan meningkatkan frekuensinya beroperasi di perairan Cina untuk misi pengintaian dan penangkalan. Sekaligus berupaya pula mendeteksi kapal selam Cina yang rajin memasuki perairan Jepang. Dalam operasinya, Tokyo berkolaborasi dengan Washington.

05 November 2010

Perburuan Kapal Selam Di Asia Pasifik

All hands,
Perburuan kekuatan bawah air di kawasan Asia Pasifik seperti pada masa Perang Dingin dalam waktu ke depan akan berulang. Kalau dulu Angkatan Laut Amerika Serikat memfokuskan energinya untuk mendeteksi kapal selam Uni Soviet, sekarang sasaran diarahkan kepada kapal selam Cina. Sementara Cina sendiri terus berupaya membangun kapal selam nuklir dengan tingkat kesenyapan yang tinggi. Adapun wilayah yang ramai akan perburuan adalah perairan di sekitar Cina, seperti Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, Laut Kuning dan Laut Jepang, bahkan meluas ke Samudera Pasifik.
Musim perburuan kapal selam itu tidak bisa dihindari seiring meningkatnya kewaspadaan Amerika Serikat terhadap pembangunan kekuatan laut Cina. Terlebih lagi Cina mengklaim laut di sekeliling wilayahnya sebagai yurisdiksinya yang tak boleh dimasuki oleh kapal perang asing. Klaim negeri tirai internet itu tentu saja tak berdasar, sebab Cina menginjak ketentuan UNCLOS 1982.
Perburuan kapal selam yang akan kembali ramai di kawasan ini akan mempengaruhi dinamika keamanan kawasan. Terlebih lagi Cina seperti tidak peduli dengan CUES yang diluncurkan oleh WPNS beberapa tahun silam. Seperti diketahui, kapal perang Cina cenderung tidak paham dengan "sopan santun" di laut.
Salah satu dampak dari perburuan ini adalah intensifnya kembali riset peperangan bawah air, khususnya pada teknologi sonar di Amerika Serikat. Namun dapat dipastikan bahwa hasil riset itu bersifat ekslusif, dalam arti tidak akan disebar ke negara lain. Kalaupun terjadi proliferasi, dipastikan hanya pada segelintir negara yang selama ini menjadi sekutu Amerika Serikat. Itupun negara yang mendapat kebaikan hati Amerika Serikat pasti diikat dengan ITAR oleh Washington.
Adapun bagi Cina, dapat dipastikan pula bahwa negeri itu terus mengintensifkan pula penguasaan teknologi bawah airnya, baik untuk kapal selam maupun teknologi sensor bawah air. Sebagaimana halnya Washington, Beijing pun tak akan mengobral teknologi yang dimilikinya.

04 November 2010

Dinamika Geopolitik Asia Timur

All hands,
Kawasan Asia Timur hingga kini masih terus "bergolak" dalam aspek geopolitik. Di wilayah ini berhadap-hadapan Cina dan Korea Utara versus Amerika Serikat dan sekutunya yaitu Jepang dan Korea Selatan. Isu yang menghangatkan hubungan kedua kubu bukan semata masalah nuklir Pyongyang, tidak pula sebatas pembangunan kekuatan militer Cina yang eksesif, tetapi menyangkut juga sengketa batas maritim antara Jepang-Korea Selatan dan Cina. Patroli kapal perang masing-masing negara di wilayah sengketa adalah hal biasa, begitu pula dengan penangkapan nelayan salah satu negara yang memasuki perairan yang diklaim oleh negara lain juga hal biasa. Yang tidak biasa dan tidak pernah dilakukan oleh ketiga negara adalah menukar nelayan yang ditangkap dengan petugas yang ditangkap negara lain, suatu hal yang (nampaknya akan) biasa bagi Indonesia.
Pertarungan geopolitik di kawasan ini cukup rumit, sebab bercampur aduk antara prestise nasional, kebutuhan energi, (dendam) sejarah masa lalu dan peran kekuatan ekstra kawasan. Sebagai ilustrasi, meskipun Tokyo dan Seoul yang merupakan sekutu Washington dalam menghadapi Beijing dan Pyongyang, akan tetapi antara Jepang dan Korea Selatan masih ada sengketa wilayah maritim dan dendam sejarah pula. Hubungan kedua negara sangat dipengaruhi oleh kemampuan Amerika Serikat "mengatur" mereka.
Semua negara yang terlibat pertarungan geopolitik di kawasan Asia Timur, kecuali Korea Utara, kini mempunyai kekuatan laut yang mampu melaksanakan operasi ekspedisionari atau setidaknya akan mampu melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh dalam beberapa tahun ke depan. Kemampuan ekspedisionari dibangun salah satunya karena kepentingan untuk mengamankan SLOC mereka, sebab SLOC terkait dengan pasokan energi untuk menjamin lancarnya perputaran mesin-mesin pabrik di negara-negara tersebut. Salah satu titik kritis yang menjadi "perebutan" negara-negara Asia Timur adalah chokepoints di perairan Indonesia, khususnya Selat Malaka.
Baik Cina, Jepang maupun Korea Selatan berkepentingan dengan terjaminnya keamanan chokepoints di Indonesia, bukan saja Selat Malaka tetapi mencakup pula Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai-Wetar. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia sudah memanfaatkan kebutuhan negara-negara itu terhadap keamanan chokepoints bagi pembangunan kekuatan lautnya? Apabila sudah, apakah sudah optimal?

03 November 2010

Urgensi Pemahaman Rezim Kendali Ekspor Senjata Angkatan Laut

All hands,
Di negeri ini banyak pihak yang belum paham dengan rezim pengendalian ekspor senjata dunia, di mana sistem senjata Angkatan Laut juga tercakup di dalamnya. Padahal pemahaman ini penting sebelum sebagian pihak di Indonesia bermimpi untuk bisa membuat berbagai sistem senjata secara mandiri, misalnya kapal selam konvensional. Rezim itu antara lain UNROCA, MTCR, ITAR, The Wassenaar Arrangement dan lain sebagainya. Inti dari rezim-rezim itu adalah mengendalikan penyebaran teknologi tinggi dan sistem senjata yang mempunyai daya rusak besar.
Penerapan rezim kendali ekspor senjata dilakukan sangat ketat oleh negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat apabila mencermati perjanjian jual beli yang ditandatangani antara negara produsen dan negara konsumen suatu sistem senjata. Misalnya, sistem senjata hanya boleh dibongkar dengan izin negara pembuat, bisa pula dilarang melakukan re-ekspor ke negara ketiga tanpa seizin negara produsen. Contoh paling ekstrem adalah kasus pesawat F-35, di mana negara produsen tidak boleh melaksanakan pemeliharaan tingkat berat secara mandiri, melainkan harus di pusat pemeliharaan regional yang dibangun dan dioperasikan oleh Amerika Serikat (Israel adalah pengecualian dalam kasus ini).
Kapal selam merupakan salah satu subyek kendali senjata oleh negara-negara maju. Kendali diterapkan bukan saja sistem senjata seperti rudal dan torpedo, tetapi juga pada perangkat elektronika, teleskop, teknologi AIP, baterai, bahkan jenis baja beserta unsur kimia yang melapisi badan kapal selam. Hal ini yang perlu dipahami dengan betul oleh sebagian pihak di Indonesia. Bisa saja Indonesia memproduksi baja yang dibutuhkan oleh kapal selam, tetapi belum tentu dapat mengakses bahan-bahan kimia yang akan digunakan untuk melapisi badan kapal selam itu.
Apakah tidak ada peluang untuk mengakses teknologi kapal selam? Peluang itu ada kalau Indonesia "mau berkawan" dengan negara maju pemilik teknologi kapal selam. Yunani, Turki, India dan Korea Selatan mampu membuat kapal selam lisensi karena "mau berkawan". Masalahnya, "mau berkawan" dalam pemahaman sebagian pihak di Indonesia identik dengan "menyembah dan tunduk" pada negara lain, bukan sebaliknya tetap menerapkan prinsip cost and benefit.
Kalau Indonesia "mau berkawan", permintaan ekspor bahan baku biji besi untuk pembuatan baja kapal selam tidak akan dihambat. Perlu diketahui, negara-negara maju telah mempunyai data berapa rata-rata konsumsi biji besi tahunan negara-negara berkembang. Adanya peningkatan konsumsi akan dicermati oleh mereka, ada apa di balik peningkatan itu. Apakah bagi kebutuhan komersial ataukah untuk kepentingan militer. Harap diingat, di dunia tidak ada kemandirian absolut.

02 November 2010

Ambisi Ekonomi Minus Angkatan Laut

All hands,
Dalam perkembangan lingkungan strategis, dikenal istilah BRIC untuk sejumlah negara-negara yang tengah menanjak ekonominya menjadi pemain utama dunia. BRIC tak bukan dan tidak lain kependekan dari Brasil, Rusia, India dan China. Keempat negara itu diprediksi oleh berbagai pihak di dunia akan menjadi kekuatan ekonomi baru dalam dekade mendatang.
Indonesia pun tidak dapat dibantah mempunyai ambisi itu, sehingga sempat muncul wacana BRIIC di mana I kedua adalah Indonesia. Sayang wacana dari pejabat Indonesia tersebut dibantah oleh beberapa kalangan berkompeten dari negara-negara maju, salah satu alasannya karena infrastruktur Indonesia masih menjadi handicap untuk bergabung dengan empat negara berkembang lainnya. Selain soal infrastruktur, tentu ada sejumlah masalah lain yang membuat daya saing ekonomi Indonesia masih belum dapat diandalkan.
Sebenarnya ada alasan lain mengapa saat ini Jakarta belum pantas bergabung BRIC, yaitu karena kekuatan Angkatan Lautnya masih sulit berkembang. Negara-negara BRIC kini telah mempunyai Angkatan Laut yang minimal berskala regional, bahkan hampir semuanya berambisi menjadi kekuatan global. Modernisasi kekuatan laut negara-negara BRIC terus berjalan, misalnya Brazil yang tengah membangun kapal selam nuklir pertamanya bekerjasama dengan galangan DCNS Prancis.
Situasi itu menunjukkan bahwa negara-negara BRIC bukan cuma hebat di bidang ekonomi, tetapi juga perkasa di bidang militer, khususnya Angkatan Laut. Sementara mimpi yang dikembangkan di Indonesia adalah hebat di bidang ekonomi tanpa harus didukung oleh Angkatan Laut yang hebat pula. Kalau mengacu ke sejarah dunia, tidak ada kekuatan dunia yang pernah lahir berjaya secara regional dan global tanpa didukung oleh Angkatan Laut yang kuat. Sebab salah satu tugas Angkatan Laut adalah melindungi kepentingan ekonomi negaranya.

01 November 2010

Latihan Kapal Selam Cina

All hands,
Tidak dapat dipungkiri bahwa Cina terus berupaya memperkuat kapabilitas Angkatan Lautnya dalam berbagai bentuk. Di samping pengadaan berbagai kapal perang baru, Cina berupaya pula meningkatkan kemampuannya dalam berbagai jenis peperangan. Termasuk di antaranya peperangan kapal selam seiring dengan ambisi kekuatan laut negeri tirai internet untuk bisa menenggelamkan kapal induk Amerika Serikat.
Terkait dengan hal tersebut, salah satu cara yang ditempuh oleh Angkatan Laut Cina adalah menggelar latihan dalam skenario nyata. Tanpa ragu-ragu, kapal selam Cina dituntut untuk bisa menembus konvoi kapal induk Amerika Serikat yang beroperasi di kawasan Pasifik Barat dalam latihannya. Singkatnya, setiap kapal selam Cina diharuskan bisa mampu menyusup dalam konvoi kapal induk Amerika Serikat untuk kemudian memunculkan diri ke permukaan. Selama ini, preseden demikian sudah beberapa kali terjadi.
Pola latihan kapal selam lainnya adalah menembus sistem deteksi bawah air di sekitar pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Jepang. Saat berhasil menembus, kapal selam selanjutnya muncul ke permukaan di wilayah perairan tepat di depan pangkalan tersebut. Preseden serupa telah terjadi pula beberapa kali.
Kekuatan laut Indonesia perlu mempertimbangkan pola-pola latihan yang dilaksanakan oleh Cina. Bukan tidak mungkin pola demikian dapat diadopsi, dengan pertimbangan ada keputusan dari pemimpin militer negeri ini. Ada berbagai keuntungan dengan mengadopsi pola latihan demikian, di antaranya meningkatkan deterrence kapal selam Indonesia terhadap negara-negara lain di kawasan. Soalnya calon "korban" cukup banyak tersedia, entah itu kekuatan laut Negeri Tukang Klaim, kekuatan laut negeri penampung koruptor atau bahkan kekuatan laut negeri penindas Aborigin.