03 November 2010

Urgensi Pemahaman Rezim Kendali Ekspor Senjata Angkatan Laut

All hands,
Di negeri ini banyak pihak yang belum paham dengan rezim pengendalian ekspor senjata dunia, di mana sistem senjata Angkatan Laut juga tercakup di dalamnya. Padahal pemahaman ini penting sebelum sebagian pihak di Indonesia bermimpi untuk bisa membuat berbagai sistem senjata secara mandiri, misalnya kapal selam konvensional. Rezim itu antara lain UNROCA, MTCR, ITAR, The Wassenaar Arrangement dan lain sebagainya. Inti dari rezim-rezim itu adalah mengendalikan penyebaran teknologi tinggi dan sistem senjata yang mempunyai daya rusak besar.
Penerapan rezim kendali ekspor senjata dilakukan sangat ketat oleh negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat apabila mencermati perjanjian jual beli yang ditandatangani antara negara produsen dan negara konsumen suatu sistem senjata. Misalnya, sistem senjata hanya boleh dibongkar dengan izin negara pembuat, bisa pula dilarang melakukan re-ekspor ke negara ketiga tanpa seizin negara produsen. Contoh paling ekstrem adalah kasus pesawat F-35, di mana negara produsen tidak boleh melaksanakan pemeliharaan tingkat berat secara mandiri, melainkan harus di pusat pemeliharaan regional yang dibangun dan dioperasikan oleh Amerika Serikat (Israel adalah pengecualian dalam kasus ini).
Kapal selam merupakan salah satu subyek kendali senjata oleh negara-negara maju. Kendali diterapkan bukan saja sistem senjata seperti rudal dan torpedo, tetapi juga pada perangkat elektronika, teleskop, teknologi AIP, baterai, bahkan jenis baja beserta unsur kimia yang melapisi badan kapal selam. Hal ini yang perlu dipahami dengan betul oleh sebagian pihak di Indonesia. Bisa saja Indonesia memproduksi baja yang dibutuhkan oleh kapal selam, tetapi belum tentu dapat mengakses bahan-bahan kimia yang akan digunakan untuk melapisi badan kapal selam itu.
Apakah tidak ada peluang untuk mengakses teknologi kapal selam? Peluang itu ada kalau Indonesia "mau berkawan" dengan negara maju pemilik teknologi kapal selam. Yunani, Turki, India dan Korea Selatan mampu membuat kapal selam lisensi karena "mau berkawan". Masalahnya, "mau berkawan" dalam pemahaman sebagian pihak di Indonesia identik dengan "menyembah dan tunduk" pada negara lain, bukan sebaliknya tetap menerapkan prinsip cost and benefit.
Kalau Indonesia "mau berkawan", permintaan ekspor bahan baku biji besi untuk pembuatan baja kapal selam tidak akan dihambat. Perlu diketahui, negara-negara maju telah mempunyai data berapa rata-rata konsumsi biji besi tahunan negara-negara berkembang. Adanya peningkatan konsumsi akan dicermati oleh mereka, ada apa di balik peningkatan itu. Apakah bagi kebutuhan komersial ataukah untuk kepentingan militer. Harap diingat, di dunia tidak ada kemandirian absolut.

Tidak ada komentar: