31 Desember 2008

Pertempuran Armada Vs Armada

All hands,
Dalam pertempuran laut yang menghadapkan dua armada, tactical objective-nya adalah merusak atau menetralisasi armada lawan guna merebut atau mempertahankan pengendalian laut di suatu mandala maritim tertentu. Perusakan atau netralisasi armada lawan dapat dilakukan melalui pertempuran di tengah laut dan atau di pangkalan armada lawan. Untuk di pangkalan lawan, bentuknya melalui serangan jarak jauh (rudal jelajah atau pesawat udara), penetrasi pangkalan lawan oleh kekuatan atas air, serangan oleh pasukan khusus dan blockade terhadap jalur-jalur pendekat lawan lewat laut atau daratan.
Apabila kita mempelajari strategi maritim, salah satu cara untuk merusak atau menetralisasi armada lawan adalah melalui decisive battle atau general fleet action. Teori demikian benar karena telah banyak bukti empiris yang mendukungnya. Namun demikian, pasca Battle of Jutland pada 31 Mei- 1 Juni 1916 antara British Royal Navy Grand Fleet vs Germany Imperial Navy High Seas Fleet, decisive battle sudah tidak relevan lagi.
Sebab seiring kemajuan teknologi, tidak ada lagi Angkatan Laut di dunia yang mau mempertaruhkan eksistensi armadanya hanya pada satu pertempuran. Kini perlu berulang kali pertempuran laut dalam bentuk major naval operations untuk merusak atau menetralisasi armada lawan. Hal itu akan terus berlangsung pada era ke depan.
Selain itu, pertempuran laut armada vs armada sekarang sudah beralih ke narrow sea, enclosed, semi-enclosed sea dan littorals. Adapun pihak yang berhadapan bukan lagi dua kekuatan besar berstatus blue-water navy, tetapi antara blue-water navy vs non blue-water navy atau green-water navy vs green-water navy atau green-water navy vs brown-water navy.
Apabila tataran ini ditarik ke dalam kondisi lingkungan keamanan Indonesia, sepertinya cukup jelas bahwa most probably Indonesia tidak akan berhadapan dengan armada U.S. Navy. Tetapi akan engage dengan armada laut beberapa negara di sekitar Indonesia, khususnya Malaysia. Dibandingkan dengan Singapura, probabilitas AL kita untuk engage dengan Malaysia lebih besar. Sebab masalah perbatasan dengan Malaysia kadarnya lebih berat daripada dengan Singapura yang lebih pada soal menentukan delimitasi batas maritim tanpa embel-embel yang lain.
Area pelibatan Indonesia adalah Laut Natuna dan Laut Sulawesi, khususnya dalam konteks major naval operations. Ancaman yang akan dihadapi cukup besar, baik karena kondisi kedua perairan yang merupakan open sea maupun kesiapan operasional AL kita sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan taktik yang tepat untuk merusak atau minimal menetralisasi kekuatan laut Malaysia.
Kita tidak bisa meramalkan kapan kita akan terlibat engagement dengan Malaysia, namun Indonesia harus bersiap sejak dini. Harus diantisipasi andaikata langkah diplomasi untuk menyelesaikan sengketa itu menemui jalan buntu sehingga perang adalah langkah berikutnya. Seperti Diktum Clausewitz, perang adalah kelanjutan dari diplomasi, namun harus dipahami bahwa saat pecah perang bukan berarti diplomasi berhenti sama sekali.
Andaikata pecah konflik antara Indonesia dengan negeri tukang klaim itu, pasti berlangsung singkat. Sebab negara-negara lain tidak ingin hal itu berlangsung lama, sebab akan mengganggu stabilitas keamanan kawasan, selain tentu saja ekonomi Asia Pasifik. Meskipun berlangsung singkat, sejak dini Indonesia harus bersiap untuk meraih kemenangan strategis.
Meraih kemenangan strategis bagi sebagian pihak mudah untuk diucapkan, tetapi bagi yang paham operasi maritim, hal itu bukan sesuatu yang mudah. Persiapan harus dilakukan sejak dini di segala lini. Seiring dengan perkembangan strategi maritim, kita hendaknya tidak mencari decisive battle, namun melaksanakan serangkaian major naval operation untuk merusak atau minimal menetralisasi armada lawan. Dan hal itu harus dilaksanakan dalam konteks operasi gabungan.

30 Desember 2008

Sulitnya Mempunyai Kapal Selam

All hands,
Dibandingkan proses pengadaan kapal atas air, proses akuisisi kapal selam bagi AL kita sesuai dengan Rencana Strategis 2005-2009 berjalan cukup alot. Bila dihitung sejak 2005 sampai sekarang, baru menjelang berakhirnya Renstra tersebut rencana akuisisi kapal selam menunjukkan titik terang. Tentu bagi kalangan yang tidak mengikuti seluk beluk soal tersebut pasti bertanya, mengapa demikian?
Jawabannya sederhana, banyak tekanan untuk menghambat atau bahkan menggagalkan pengadaan kapal selam bagi AL kita. Karena kapal selam merupakan senjata strategis yang lebih ditakuti oleh Angkatan Laut lain daripada kapal atas air. Saya tidak mengatakan kapal atas air tidak ditakuti, namun karena karakteristik kapal selam yang unik yang membuat senjata itu lebih ditakuti.
Untuk menghambat atau bahkan menggagalkan akuisisi kapal selam datang dalam berbagai bentuk. Ada pihak di tingkat pengambil keputusan (di luar AL kita) yang mempertanyakan apa perlunya AL membeli kapal selam. Sementara pihak lain dalam posisi yang sama juga mempertanyakan kesiapan infrastruktur AL untuk mendukung mengakuisisi kapal selam.
Tekanan dalam bentuk lain berupa upaya untuk mengalihkan pembelian kapal selam ke kapal selam jenis tertentu yang keandalannya masih menjadi tanda tanya. Untuk memuluskan upaya itu, alasan yang dipakai adalah harga kapal selam yang dimaksud lebih murah dan sesuai dengan alokasi dana Kredit Ekspor (KE) dalam Renstra 2005-2009.
Mengapa ada upaya tersebut? Sebab AL menginginkan kapal selam jenis tertentu yang keandalannya diakui dunia internasional. Masalahnya kapal selam itu berasal dari negara tertentu yang tidak disukai oleh Washington. Dan kehadiran kapal selam itu di Asia Tenggara akan mempengaruhi perimbangan kekuatan Angkatan Laut.
Berbagai tekanan dari beragam pihak di luar AL kita yang berupaya menghambat atau bahkan menggagalkan akuisisi kapal selam dihadapi dengan teguh oleh AL. Pernyataan pemimpin AL dalam sebuah wawancara media cetak menjelang 5 Desember 2008 yang menyatakan bahwa anjing kita tak boleh kalah sama anjing tetangga merupakan bukti dari tekad AL untuk membeli kapal selam yang sesuai dengan kebutuhan operasional dan tidak mengabaikan lingkungan keamanan.
Saat ini proses pengadaan kapal selam masih terus berjalan dan sudah bersifat interdep. Artinya, it’s just a matter of time for us to buy a wild dog.

29 Desember 2008

Profesionalisme Satuan Ranjau

All hands,
Dalam dunia militer, salah satu cara untuk menjaga dan meningkatkan profesionalisme personel dan satuan adalah melalui latihan rutin. Begitu pula dengan Satuan Ranjau sebagai salah satu satuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata eksistensinya dalam organisasi Angkatan Laut, khususnya di armada. Satuan Ranjau dapat di-employ bukan saja pada saat ada konflik terbuka, namun juga pada masa damai.
Misalnya menghadapi ancaman ranjau yang ditebarkan oleh aktor non negara pada jalur pelayaran atau ancaman ranjau pada jalur pelayaran akibat sisa konflik masa lalu. Ancaman ranjau yang dimunculkan oleh aktor non negara bukan sekedar isapan jempol, karena ranjau tergolong senjata yang murah namun mematikan dan sekaligus memiliki dampak politik dan ekonomi yang besar. Itulah sebabnya mengapa Singapura takut apabila Indonesia menskenariokan adanya peranjauan di Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai salah satu skenario yang mungkin dilakukan oleh aktor non negara untuk mengancam keamanan maritim. Kalau aktor non negara saja mungkin melakukan itu, apalagi Indonesia yang dapat melaksanakan hal yang sama saat konflik dengan negara kecil yang kecil, kaya namun licik dan rakus itu.
Terkait dengan hal tersebut, untuk memelihara profesionalisme Satuan Ranjau ketika tak ada konflik, salah satu cara adalah melalui latihan, latihan dan latihan. Latihan di Angkatan Laut kan ada empat tingkatan, mulai dari L-1 sampai dengan L-4. Itulah yang sebaiknya terus dilakukan, sebagai bagian dari pembinaan kekuatan.
Hendaknya ketidakbijaksanaan di masa lalu yang memberdayakan Satuan Ranjau ketika masa damai dengan melaksanakan patroli keamanan laut tidak terulang lagi. Menurut hemat saya, langkah demikian kurang bijak sebab selain dapat mengurangi profesionalisme personel di Satuan Ranjau terhadap tugas pokoknya, juga menyalahi fungsi asasi kapal itu sendiri. Lain halnya kalau ketika kapal ranjau tengah berlayar dan di depan mata melihat sendiri tindakan pelanggaran hukum di laut dan kemudian menindaknya.
Hal lain yang perlu diperhatikan, hendaknya MCM dilaksanakan langsung oleh unsur kapal ranjau, bukan oleh personel Pasukan Katak yang terjun ke laut dan mencari posisi ranjau berdasarkan hasil tangkapan alat bantu bawah air. Kecuali pada perairan dangkal yang mana kapal ranjau tidak dapat bermanuver. Selama ini terkadang kegiatan MCM lebih mengandalkan pada personel Pasukan Katak dan kurang memberdayakan unsur kapal ranjau itu sendiri. Akhirnya yang lebih profesional adalah Pasukan Katak, bukan unsur kapal ranjau.
Ancaman peranjauan tidak hanya terjadi ketika ada perang atau konflik, namun juga di masa damai seperti saat ini. Oleh sebab itu, kesiapan Satuan Ranjau senantiasa dituntut dan kesiapan itu hanya dapat tercapai melalui latihan, latihan dan latihan.

28 Desember 2008

Kalkulasi Tempur Di Laut Natuna

All hands,
Apabila pecah konflik dengan Malaysia dalam isu klaim di Laut Sulawesi (Ambalat), salah satu opsi yang tersedia adalah memutus GPL negeri itu dari Semenanjung ke Sabah-Serawak. Untuk melaksanakan hal tersebut, area pelibatannya adalah di Laut Natuna. Soal bertempur di Laut Natuna harus dikalkulasi dengan benar sejak dini.
Ketika melaksanakan pemutusan GPL, Gugus Tugas AL kita akan berhadapan dengan kekuatan udara Malaysia, baik yang berpangkalan di Semenanjung maupun Serawak. Dibutuhkan adanya payung udara untuk menetralisasi ancaman udara tersebut. Pihak yang berkompeten memberikan payung udara adalah AU, khususnya menggunakan pesawat yang berkemampuan air supremacy, bukan pesawat serang darat.
Menurut kalkulasi saya, pesawat tersebut hanya mempunyai dua pilihan pangkalan bertolak, yaitu Supadio dan Ranai. Mengingat luasnya wilayah udara Natuna, pesawat itu harus mempunyai endurance yang lama. Pertanyaannya, apakah AU mempunyai aset yang tepat untuk persyaratan demikian?
Sepertinya pilihan yang tersedia cuma Su-30, karena F-16A/B mempunyai endurance yang lebih pendek. Selain itu, dari segi persenjataan F-16A/B Indonesia cuma dilengkapi rudal jarak pendek. Apalagi F-5E/F yang endurance-nya lebih pendek dari F-16A/B.
Namun masalahnya armada Su-30 yang tersedia harus dibagi peruntukannya dengan front di Laut Sulawesi. Di perairan itu Gugus Tugas AL kita juga sangat rentan terhadap serangan udara lawan yang bertolak dari Sabah. Hal ini harus menjadi perhatian Indonesia sejak dini untuk mengantisipasi risk and loss di Ambalat.
Kenapa saya berpikir tentang payung udara? Sebab dalam operasi Angkatan Laut masa kini, pilihan yang paling realistis adalah operasi gabungan. Artinya Angkatan Laut juga harus berhitung tentang kemampuan Angkatan Udara untuk mendukung dan melindungi armadanya. AL dan AU dituntut untuk melaksanakan interoperability.
Dalam kasus pemutusan GPL di Laut Natuna, perlu diperhitungkan pula faktor Singapura. Secara de facto, ruang udara di atas Laut Natuna milik Singapura, berkat kebodohan para penentu kebijakan di negeri ini di masa lalu. Para penentu kebijakan dan juga sebagian ahli hukum saat itu termakan oleh frase bahwa pengendalian FIR hanya sebatas isu keselamatan penerbangan dan tidak terkait kedaulatan. Soal ini saya saya pernah berdebat dengan seorang ahli hukum laut internasional, yang sayangnya nggak ketemu prinsipnya. Soalnya sang ahli hukum bersikukuh pada aspek hukum, sementara saya berangkat dari realitas di lapangan.
Perlu dikaji bagaimana Singapura bersikap bila ada konflik di Laut Natuna. Apakah dia akan melibatkan diri untuk melindungi FIR-nya, termasuk eks area MTA-1 yang tak boleh dimasuki oleh pesawat apapun selama 24 jam sepanjang tahun? Untuk melindungi armada laut kita, pertempuran udara akan terjadi di “wilayah kedaulatan” FIR Singapura di atas Laut Natuna.
Kalkulasi tempur di Laut Natuna ini baru secara garis besar, belum lagi menyinggung soal peperangan yang akan digelar oleh AL kita. Ancaman terhadap AL kita bukan saja dari udara, tetapi juga dari permukaan dan bawah permukaan.

27 Desember 2008

Malaysia Menggunakan Infrastruktur FPDA

All hands,
Malaysia merupakan salah satu ancaman potensial, bahkan dalam kasus Ambalat merupakan ancaman nyata, terhadap kepentingan nasional Indonesia. Untuk menghadapi negeri tukang klaim ini, Indonesia harus berhitung dengan benar. Jangan sampai negeri kita salah perhitungan yang berimbas pada kerugian terhadap kepentingan nasional sendiri. Berhitung dengan benar bukan berarti kita takut menghadapi negeri yang penuh diskriminasi etnis itu, tetapi lebih sebagai langkah untuk mengantisipasi semua skenario yang terjadi.
Menghadapi Malaysia, selain ada opportunity and chance, ada pula risk and loss. Risk and loss yang harus diperhitungkan dengan matang agar bisa kita minimalisasi. Jangan semata terpaku pada opportunity and chance, sebab hal demikian dapat membahayakan.
Terkait dengan risk and loss di bidang militer, Indonesia harus paham bahwa infrastruktur pertahanan negeri tukang klaim itu sebagian memanfaatkan infrastruktur FPDA. Salah satu di antaranya adalah infrastruktur sensing. Dengan memanfaatkan infrastruktur sensing milik FPDA, intelijen Malaysia dapat mendeteksi pergerakan pesawat udara dan kapal perang militer Indonesia. Infrastruktur sensing milik FPDA banyak, di antaranya OTHR Jindalee milik Australia. Belum lagi satelit mata-mata milik Inggris, yang mana GCHQ di London dipastikan membagi sebagian informasi intelijen kepada Malaysia, khususnya yang terkait dengan ancaman militer terhadap negeri itu.
Jangan lupa pula bahwa komunikasi militer Indonesia selalu disadap oleh infrastruktur intelijen UKUSA yang berbasis di Shoal Bay Waters, Australia. Seringkali para petinggi negeri ini, termasuk militer, terlalu “royal” dalam berbagi informasi melalui jaringan komunikasi, khususnya komunikasi menggunakan fasilitas sipil seperti telepon seluler dan telepon satelit.
Indonesia khususnya militer negeri ini hendaknya tidak lupa pula pengalaman di-jamming oleh Singapura dalam Latihan Gabungan TNI 2008. Malaysia pun bisa melakukan hal demikian memanfaatkan infrastruktur FPDA.
Lalu bagaimana menghadapi semua itu? Salah satu cara adalah melaksanakan intelligence deception. Intelligence deception pernah dilaksanakan oleh Jepang saat menggasak Amerika Serikat di Pearl Harbor 7 Desember 1941. Di dunia militer kita, saat akan digelar operasi militer, dapat dipastikan pancaran gelombang elektromagnetik mengalami peningkatan di atas jumlah normal. Kondisi demikian dipantau oleh intelijen FPDA, selain tentu saja oleh NSA yang bermarkas di Fort Meade, Maryland.
Inilah salah satu kelemahan Indonesia selama ini. Tantangannya, bagaimana menjaga pancaran gelombang elektromagnetik tetap dalam jumlah normal seperti hari-hari tanpa operasi militer, sehingga rencana operasi kita tak tercium terlebih dahulu oleh lawan. Terciumnya rencana operasi berarti menghilangkan unsur pendadakan yang sangat penting operasi militer. Untuk menjaga agar pancaran gelombang elektromagnetik dalam jumlah normal sebenarnya bisa, asal tahu caranya.

26 Desember 2008

Peperangan Kapal Selam dan Kondisi Perairan Indonesia

All hands,
Apabila dipersentasikan secara garis besar, 60 persen dari perairan di negeri ini merupakan perairan dalam dan hanya 40 persen yang berstatus perairan dangkal. 60 persen perairan dalam itu meliputi perairan Laut Jawa dan perairan lainnya di Indonesia bagian timur, sedangkan 40 persennya mencakup perairan di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera (minus Laut Natuna). Seringkali persentasi demikian diterjemahkan secara keliru menjadi perairan kawasan timur cocok bagi peperangan kapal selam dan perairan kawasan barat tepat untuk peperangan ranjau. Begitulah pemahaman yang selama ini “hidup” di lingkungan AL kita.
Sebagian pihak berpendapat bahwa perairan kawasan barat tetap cocok untuk peperangan kapal selam, meskipun perairan tersebut lebih dangkal dibandingkan perairan kawasan timur. Hanya saja taktik peperangan yang digunakan sedikit berbeda, karena perairan ini adalah perairan dangkal. Dan kapal selam yang cocok untuk perairan dangkal adalah kapal selam diesel, terlebih lagi bila yang digunakan adalah kapal selam pantai sekelas U-206. Namun tidak berarti bahwa kapal selam ocean going seperti U-209 atau sejenisnya tidak cocok.
Menyangkut perairan timur, tidak dapat dibantah bahwa perairan itu memang tepat untuk peperangan kapal selam. Kedalaman perairan itu beserta kondisi hidrografi dan oseanografinya sangat cocok untuk menggelar peperangan kapal selam secara penuh. Terkait dengan hal tersebut, sebaiknya pengembangan kemampuan peperangan kapal selam di perairan kawasan timur mulai diprioritaskan. Terlebih dalam 2-3 tahun ke depan, AL kita akan memperoleh kapal selam baru yang berkualifikasi ocean going.
Apa alasan yang mendorong pengembangan kemampuan itu di perairan kawasan timur? Pertama, selama ini pengendalian kita terhadap perairan itu, khususnya pada aspek bawah air, relatif lemah. Kapal selam negara-negara maju berseliweran di perairan itu tanpa sepenuhnya mampu kita deteksi. Termasuk pula kapal selam Australia, meskipun saat ini dari enam kapal selam kelas Collins, yang berstatus siap operasi cuma dua kapal selam.
Kedua, perairan itu masih rawan konflik khususnya terkait isu Papua. Sudah menjadi rahasia bahwa konflik di Papua tidak lepas dari bantuan klandestin dari Australia, seperti halnya Timor Timur di masa lalu. Yang perlu diantisipasi adalah kontinjensi di wilayah itu, yang sudah pasti akan “mengundang” keterlibatan militer Australia.
Mengingat bahwa peningkatan kemampuan peperangan kapal selam tidak dapat dilaksanakan secara masif dalam waktu singkat, minimal langkah yang dilakukan adalah memperbaiki kinerja sensor kapal-kapal perang atas air. Dalam waktu yang bersamaan, perlu dilakukan survei hidrografi militer di perairan itu untuk mendukung “pengetahuan” kita mengenai sifat-sifat perairan tersebut, seperti salinitas, temperatur, kecepatan rambat suara dalam air, layer dan lain sebagainya. Data-data mengenai itu harus senantiasa diperbaharui dan tidak dapat menggantungkan diri pada data lama.
Masih ada langkah-langkah lain yang sifatnya lebih “berat” dan membutuhkan kerjasama lintas instansi. Artinya tidak dapat bertumpu pada AL kita, karena AL kita kemampuannya juga terbatas. Dengan kata lain, peningkatan kemampuan peperangan kapal selam, khususnya yang terkait dengan data-data ilmiah perairan kawasan timur membutuhkan kerjasama dari instansi lain yang terkait, seperti BPPT, LIPI dan lain sebagainya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh AL sebatas pada ruang lingkup kewenangannya, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Termasuk pula soal kemampuan peperangan itu sendiri, baik pada unsur kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara.

25 Desember 2008

Balanced Fleet: Kesiapan Operasional

All hands,
Untuk dapat mengimplementasikan konsep balanced fleet, tentu saja harus didukung oleh kesiapan operasional unsur kapal perang. Sebab kesiapan operasional itu yang akan menentukan kehadiran kapal perang di laut, yang mana kehadiran kapal perang merupakan bukti dari eksistensi suatu Angkatan Laut. Kesiapan operasional unsur kapal perang mempunyai hulu mulai dari aspek perencanaan dan anggaran. Dalam perencanaan dan anggaran, disusun prioritas kebutuhan pemeliharaan kapal perang, karena kemampuan pemeliharaan akan menentukan bisa tidaknya suatu unsur digelar.
Isu pemeliharaan merupakan isu yang krusial, karena terkait dengan dukungan anggaran. Ketersediaan dukungan anggaran akan memudahkan pemeliharaan. Dalam konteks Indonesia, keterbatasan dukungan anggaran membutuhkan pemeliharaan suatu kapal perang tidak dapat dilakukan sekaligus.
Seperti diketahui, dalam kapal perang ada tiga sub sistem pokok yaitu platform, sistem pendorong dan Sewaco. Secara teoritis ketika suatu kapal menjalani pemeliharaan besar alias overhaul, semestinya ketiga sub sistem harus dipelihara secara bersamaan. Namun karena adanya keterbatasan anggaran, seringkali prioritas lebih diberikan kepada platform dan sistem pendorong.
Memang ada kapal-kapal tertentu yang karena kebutuhan operasional mendapatkan prioritas pemeliharaan pada ketiga sub sistem sekaligus. Kapal-kapal ini digolongkan sebagai kapal yang siap digelar setiap saat bila ada kontinjensi. Namun jumlahnya bila dihitung total dengan persentase kapal perang dalam susunan tempur secara keseluruhan sebenarnya kecil.
Akibatnya, tidak jarang kesiapan kapal perang dikategorikan siap terbatas. Istilah siap terbatas ini sering jadi perdebatan, karena ada yang berpendapat bahwa yang dikenal itu cuma dua yaitu siap dan tidak siap. Itulah kondisi kita saat ini, meskipun dibandingkan delapan tahun silam, kesiapan unsur kapal perang jauh lebih meningkat.
Lalu bagaimana solusi menghadapi kendala demikian? Menurut saya, ada beberapa solusi yaitu pertama konsistensi pada pemberian prioritas anggaran pemeliharaan. Kedua, sebaiknya sebagian unsur dalam susunan tempur yang selama ini membebani pemeliharaan dialihkan saja statusnya menjadi konservasi. Anggaran untuk pemeliharaan unsur itu bisa dialihkan ke unsur lain yang lebih memerlukan.
Dengan status konservasi, anggaran yang disiapkan unsur sebuah unsur jauh lebih kecil. Status itu kan cuma menuntut sang kapal untuk tetap mengambang saja, sebelum disetujui oleh Menteri Keuangan untuk dihapus dari IKN.
Rasanya sulit untuk menerapkan konsep balanced fleet bila kesiapan unsur tak mendukung. Sebab balance fleet menuntut “keseimbangan” antar peran Angkatan Laut. Mungkin untuk peran konstabulari kesiapan Sewaco tidak terlalu mendesak, namun beda halnya dengan peran militer dan diplomasi.

24 Desember 2008

Balanced Fleet: Persepsi Terhadap Ancaman

All hands,
Secara realitas, maksudnya tidak sepenuhnya mengacu pada Buku Putih Pertahanan 2008, ancaman terhadap kepentingan nasional yang terkait domain maritim berasal dari aktor negara dan non negara. Aktor negara yang dimaksud adalah FPDA, karena tiga dari lima FPDA “bermasalah” dengan Indonesia. Adapun ancaman dari aktor non negara utamanya muncul dari isu perompakan dan pembajakan di laut dan terorisme maritim.
Dalam menghadapi situasi demikian, menurut hemat saya, AL kita dituntut untuk melaksanakan konsep balanced fleet. Pada satu sisi kekuatan yang tersedia harus menghadapi ancaman dari aktor negara, pada sisi lain kekuatan yang sama harus pula menghadapi ancaman dari aktor non negara. Atau ditarik ke dalam peran Angkatan Laut, AL kita pada waktu yang sama harus melaksanakan peran militer plus diplomasi dan sekaligus melakukan peran konstabulari. Artinya konsep balanced fleet sebenarnya cocok dengan kondisi Indonesia saat ini dilihat dari persepsi terhadap ancaman.
Perencanaan kita masa kini juga tidak mengabaikan adanya ancaman dari aktor negara, meskipun dalam keseharian AL kita lebih banyak disibukkan oleh peran konstabulari. Apa yang tercantum dalam perencanaan bisa dilihat buktinya di Laut Sulawesi (Ambalat). Di sana gelar kekuatan dilakukan untuk melaksanakan peran militer dan diplomasi.
Cuma karena hingga saat ini Ambalat merupakan satu-satunya tempat di mana penggelaran kekuatan secara khusus dimaksudkan untuk melaksanakan peran militer dan diplomasi, porsi kedua peran belum berimbang dengan peran konstabulari. Konsep balanced fleet apabila ditinjau dari operasi-operasi yang dilaksanakan saat ini berdasarkan turunan dari peran Angkatan Laut masih belum terlaksana.

23 Desember 2008

Menguji Konsep Balanced Fleet

All hands,
Untuk menerapkan konsep balanced fleet di Indonesia, harus diperhatikan beberapa aspek terkait seperti manajemen keamanan maritim, persepsi terhadap ancaman dan kesiapan operasional. Dari situ bisa diambil kesimpulan apakah konsep yang bagus tersebut bisa diterapkan di Indonesia pada saat ini atau tidak?
Manajemen keamanan maritim Indonesia masih carut marut, setidaknya ada 13 instansi yang berkutat di laut untuk urusan itu. Kondisi demikian membuat AL kita getol mendorong penataan manajemen keamanan maritim, termasuk di dalamnya pembentukan Indonesian Coast Guard.
Itulah salah satu alasan mengapa kini pejabat Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan berasal dari AL kita. Sebab di dalam Ditjen Perhubungan Laut ada upaya untuk menghambat pembentukan Coast Guard, khususnya dari kalangan yang akan dirugikan. Sebagai informasi, selama beberapa tahun belakangan beberapa jabatan pengambil keputusan di satuan kerja itu didominasi oleh birokrat berlatar belakang teknik perkapalan, bukan birokrat mantan pelaut seperti di masa sebelumnya.
Yang namanya birokrat teknik perkapalan kan tahunya cuma mendesain kapal, tidak tahu dengan kondisi nyata di lapangan. Yang tahu kondisi nyata di lapangan dan paham dengan berbagai konvensi internasional terkait dengan pelayaran, pelabuhan dan lain sebagainya yah hanya mereka yang berlatar belakgan pelaut, sudah berstatus Captain dan mungkin sudah melayari tujuh samudera.
Dalam kapasitas pribadi namun sejalan dengan kebijakan AL untuk mendorong pembenahan manajemen keamanan maritim di negeri ini, di beberapa forum resmi antar beberapa lembaga pemerintah seperti Bappenas saya mengajak rekan-rekan di lembaga sipil untuk aware dan memprioritaskan masalah ini. Masalah ini implikasinya bukan saja pada aspek politik, namun juga menyentuh aspek ekonomi. Tidak tertatanya manajamen keamanan maritim berimbas pada ekonomi biaya tinggi, misalnya dari tingginya biaya asuransi kapal yang melintasi perairan Indonesia. Contohnya adalah tingginya biaya asuransi yang dikenakan oleh Lloyd Insurance terhadap kapal niaga yang lewat Selat Malaka sampai periode Mei 2006. Atau adanya biaya pemeriksaan yang dikenakan oleh otoritas pelabuhan negara-negara lain terhadap kapal niaga yang bertolak dari pelabuhan yang belum comply dengan ISPS Code.
Isu lain dalam keamanan maritim di negeri ini adalah pencurian sumber daya laut. Ini isu yang sudah berpuluh tahun tidak bisa diselesaikan. Entah sudah berapa puluh trilyun rupiah atau mungkin ratusan trilyun rupiah, bila dihitung sejak 1980-an, biaya operasional AL kita yang dihabiskan hanya untuk menghadapi masalah yang satu ini. Selama era 1970-an sampai sekarang AL kita masih terus disibukkan dengan urusan yang satu ini.
Akibatnya, seperti dikeluhkan beberapa rekan perwira, peran AL kita lebih banyak tersedot pada peran konstabulari. Sehingga menjadi tidak berimbang dengan peran militer maupun peran diplomasi. Terkait dengan konsep balanced fleet, menurut hemat saya, kita harus mulai mencoba menerapkannya di negeri ini.
Caranya melalui mencoba mengurangi ketimpangan antara peran konstabulari dengan dua peran AL lainnya, khususnya peran militer. Katakanlah kalau selama ini, berdasarkan kalkulasi kasar, lebih dari 90 persen peran yang dilaksanakan adalah peran konstabulari, mungkin bisa dikurangi secara bertahap. Katakanlah dalam 10 tahun ke depan peran konstabulari ditargetkan berkurang menjadi 70 persen.
Menurut saya pengurangan itu sudah cukup moderat, sebab kita tak bisa drastis mengurangi itu. Kondisi nyata di lapangan menunjukkan bahwa kita tak bisa mengabaikan peran konstabulari, dalam arti bukan saja mencakup operasi yang terkait perlindungan terhadap perikanan, tetapi juga operasi anti perompakan dan pembajakan dan lain sebagainya.
Dengan tiga peran AL, mungkin perlu diimbang menjadi 50:40:10. Artinya 50 persen peran konstabulari, 40 persen peran militer dan 10 persen peran diplomasi. Menurut hemat saya, besaran itu sudah bisa digolongkan dalam balanced fleet.
Kata kunci di sini yaitu balanced fleet bisa dilaksanakan bila ada penataan manajemen keamanan maritim di Indonesia. AL kita membutuhkan mitra sipil untuk pengamanan wilayah perairan republik ini. Dengan adanya mitra sipil tersebut yaitu Coast Guard, sedikit banyak gap yang ditinggalkan oleh AL dalam peran konstabulari bisa di-fill oleh Coast Guard.

22 Desember 2008

Menerapkan Balanced Fleet, Mungkinkah?

All hands,
Dalam strategi maritim pasca Perang Dingin, salah satu pemikiran yang mengemuka adalah menciptakan balanced fleet. Balanced fleet setidaknya mempunyai dua pengertian. Pertama, dalam konteks aliansi atau koalisi Angkatan Laut, suatu negara menspesialisasikan diri pada kemampuan tertentu saja dalam operasi maritim. Sementara kemampuan lainnya diisi oleh Angkatan Laut negara lainnya dalam aliansi atau koalisi tersebut.
Sebagai contoh, ada Angkatan Laut yang menspesialisasikan diri pada peperangan ranjau, ada pula pada peperangan udara, ada pula pada peperangan anti kapal selam dan sebagainya. Negara-negara yang menciptakan balanced fleet dalam konteks ini biasanya mempunyai Angkatan Laut yang tergolong medium naval power, seperti Canada, negara-negara Eropa dan Australia.
Kedua, balanced fleet bisa pula berarti adanya keseimbangan peran yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut. Secara universal Angkatan Laut mempunyai tiga peran yaitu peran militer, konstabulari dan diplomasi. Konsep balanced fleet dalam pengertian ini memang cocok untuk medium naval power.
Dari berbagai tulisan Geoffrey Till dalam beberapa terakhir, dia menekankan pada konsep balanced fleet untuk menyikapi makin banyaknya tugas-tugas Angkatan Laut di era globalisasi. Salah satu pemikiran Till mengenai balanced fleet dapat dibaca pada bukunya yang berjudul Seapower: A Guide for the Twenty First Century.
Apabila ditarik dalam konteks Indonesia, mungkinkah balanced fleet diterapkan? Berangkat dari kondisi saat ini, balanced fleet yang mungkin cocok buat Indonesia adalah pada pemahaman kedua, yaitu menyangkut keseimbangan peran yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut. Sementara balanced fleet dalam pemahaman pertama belum cocok untuk kondisi saat ini, sebab Indonesia masih anti untuk beraliansi atau berkoalisi.
Mungkinkah balanced fleet diterapkan? Untuk menjawab pertanyaan itu, harus dilihat dari beberapa aspek seperti manajemen keamanan maritim, persepsi terhadap ancaman hingga pada kesiapan operasional. Bersambung…

21 Desember 2008

Menuju Angkatan Laut Ekspedisionari

All hands,
Rencana penyebaran kekuatan AL kita ke Lebanon untuk bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force pada Februari 2009 merupakan sebuah langkah maju. Selama ini, dari tiga kemampuan Angkatan Laut yaitu kemampuan peperangan atas air, peperangan bawah air dan proyeksi kekuatan, kemampuan yang terakhir disebut sangat jarang dilaksanakan. Sebab proyeksi kekuatan, apabila kita kembali ke strategi maritim, berarti penyebaran unsur kekuatan laut ke luar negeri untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Harus diakui bahwa AL kita sangat miskin pengalaman dalam soal operasi ekspedisionari. Selama puluhan tahun AL disibukkan oleh berbagai masalah keamanan maritim di dalam negeri. Selain itu, secara politik AL di masa lalu memang “dikungkung” sedemikian rupa agar tak menonjol, apalagi menyaingi matra tertentu. Kondisi demikian membuat kita luput untuk think out of the box, termasuk operasi ekspedisionari itu sendiri.
Penyebaran kekuatan AL kita ke Lebanon merupakan bagian dari proyeksi kekuatan, yang mana operasi ekspedisionari adalah salah satu konsep dari proyeksi kekuatan. Dalam pemikiran strategi maritim pasca Perang Dingin, operasi ekspedisionari merupakan satu di antara ciri Angkatan Laut pasca modern (post-modern navies). Menurut Geoffrey Till, belum semua Angkatan Laut di dunia dapat dikategorikan sebagai post modern navies.
Post-modern navies adalah Angkatan Laut yang pola pikirnya menitikberatkan pada bagaimana mengamankan globalisasi. Post-modern navies tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan sebagai konsekuensi dari kebijakan politik pemerintahannya dalam menyikapi globalisasi. Semakin dalam suatu negara menceburkan diri dalam globalisasi, semakin terbukanya ekonomi negara itu terhadap globalisasi, semakin banyak kepentingan suatu negara yang bersifat outward-looking dan semakin kuatnya dukungan negara itu terhadap perdagangan bebas, maka karakteristik Angkatan Laut negara tersebut dapat dikategorikan sebagai post-modern navies.
Dalam era globalisasi, Angkatan Laut mempunyai kewajiban untuk mengamankan jalur perhubungan laut internasional. Keamanan jalur perhubungan laut akan berimplikasi positif terhadap globalisasi dan sebaliknya. Itulah alasan mengapa negara-negara Eropa menyebarkan kekuatan EUROMARFOR ke perairan Somalia. Itu pula alasan mengapa banyak pihak yang sangat concern dengan keamanan maritim di Selat Malaka.
Rencana penyebaran kekuatan laut kita ke Lebanon hendaknya dipahami sebagai langkah awal menuju post-modern navies. Masih banyak langkah yang harus dilakukan untuk menuju status tersebut dan setiap langkah adalah suatu kemajuan. Berbeda dengan beberapa negara di sekitar Indonesia yang sudah tergolong post-modern navies seperti Australia, Jepang dan Singapura, selama ini memang AL kita berkutat di dalam negeri sebagian karena memang ada masalah-masalah yang tidak dihadapi oleh negara-negara di sekitar kita itu.
Menurut Till, modern navies adalah Angkatan Laut negara-negara yang khawatir dengan globalisasi terhadap keamanan dan kedaulatan mereka, kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis dan cenderung kurang bergairah untuk bekerjasama dengan negara-negara lain dalam menjaga sistem perdagangan dunia.
Lepas dari sikap kita yang terkadang agak anti globalisasi, dari perspektif maritim sangat sulit buat Indonesia untuk masa bodoh terhadap keamanan maritim. Posisi geopolitik Indonesia yang sangat strategis membuat semua negara berkepentingan terhadap keamanan maritim di Indonesia. Oleh sebab itu, apabila Indonesia tidak menginginkan adanya intervensi langsung dalam pengamanan wilayah perairannya, negeri ini harus menunjukkan sikap sebagai warga dunia yang bertanggungjawab.
Pada sisi lain, kewajiban Indonesia untuk menjaga keamanan maritim di wilayahnya hendaknya tidak membuat negeri ini inward-looking, termasuk pula AL kita di dalamnya. Penyebaran kekuatan ke Lebanon merupakan kesempatan belajar bagaimana melaksanakan operasi ekspedisionari dalam bingkai multinasional. Sudah waktunya bagi AL kita untuk tidak disibukkan terus dengan masalah keamanan maritim di dalam negeri, sehingga luput memandang perkembangan pemikiran maritim yang terus berkembang.
Kita harus ingat, pembangunan AL kita ke depan sudah seharusnya menggunakan premis globalisasi. Pembangunan AL bukan ditujukan untuk mengancam negara-negara lain, tetapi untuk menjamin kepentingan bersama di era globalisasi. Apabila Indonesia menggunakan premis demikian dan menunjukkan buktinya, kecurigaan terhadap pembangunan kekuatan laut kita akan berkurang.
Partisipasi AL kita dalam operasi-operasi ekspedisionari multinasional sudah seharusnya ditingkatkan, sebagai wadah untuk membuktikan bahwa pembangunan AL kita memang ditujukan untuk menjamin kepentingan bersama di era globalisasi. Dan unsur kapal perang yang dikirimkan sudah pasti harus kapal perang generasi terakhir di AL kita.

20 Desember 2008

Anggaran Harus Mengikuti Program

All hands,
Selama ini banyak di antara kita yang selalu mengeluh tentang dukungan anggaran pemerintah untuk membangun AL. Lawan yang harus kita tundukkan adalah anggaran. Soal anggaran, paradigma yang ada di lingkungan kita adalah program mengikuti anggaran. Singkatnya, tunggu dulu pagu anggaran dari pemerintah, baru kemudian kita menyusun program.
Inilah paradigma keliru yang selama ini menyesatkan kita. Kita harus ingat, anggaran itu konsekuensi dari program. Dengan kata lain, anggaran harus mengikuti program. Selama ini kita selalu terpaku paradigma program mengikuti anggaran.
Sebagai contoh, kalau AL kita membutuhkan PKR dalam program pembangunan kekuatan, apakah anggaran dari pemerintah pagunya harus cukup untuk membeli PKR tersebut ataukah berapa pun anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah, AL kita harus menyesuaikan dengan itu. Kalau pilihan yang terakhir yang dipilih yaitu harus menyesuaikan dengan kucuran anggaran pemerintah, misalnya pemerintah mengucurkan US$ 100 juta, uang itu tak akan cukup untuk pengadaan PKR, sebab hanya cukup untuk pengadaan FPB.
Perlu diingat bahwa dalam kasus pengadaan alutsista, selama ini AL kita selalu berhasil ”memaksa” pemerintah menyediakan pagu anggaran yang sesuai dengan kapal kebutuhan, bukan kita beli kapal sesuai ketersediaan anggaran pemerintah. Kalau mengikuti ketersediaan anggaran pemerintah, korvet kelas Sigma tak akan pernah masuk dalam susunan tempur AL kita. Kapal selam pun nantinya tak akan pernah masuk dalam susunan tempur kita.
Kemampuan ”memaksa” pemerintah dalam kasus alutsista semestinya bisa dibawa ke bidang-bidang lain, termasuk yang kritis. Misalnya pemeliharaan kapal, bukan saja untuk platform dan sistem pendorong, tetapi juga harus mencakup SEWACO.
Omong-omong soal SEWACO, sebenarnya istilah itu tidak lazim di NATO. SEWACO itu hanya istilah yang diciptakan oleh Royal Netherland Navy untuk kepentingan internal mereka. Karena akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an kita membeli alutsista dari negeri itu, akhirnya istilah SEWACO kita adopsi sampai saat ini. Menurut literatur Jane’s Naval Weapon System, produk yang termasuk keluarga SEWACO ada tiga, salah satunya adalah Daisy data prosesing system yang terpasang di fregat kelas Van Speijk.
Kalau LIOD dan LIROD yang terpasang di kelas Van Speijk dan Fatahillah tidak tergolong keluarga SEWACO, melainkan berdiri sendiri. Jadi mengacu pada Jane’s Naval Weapon System, SEWACO itu sebenarnya nama produk untuk beberapa sistem manajemen tempur buatan Holland Signaal Apparante (HSA) yang kini bersalin nama menjadi Thales Netherland.
SEWACO sendiri singkatan dari Sensor, Weapon, Control and Command yang di kalangan NATO padanannya adalah Combat Management System (CMS). Kalau kita di AL lebih familiar dengan SEWACO daripada CMS, itu wajar-wajar saja. Saya pun dulu demikian, tak terlalu paham dengan CMS, sebab tahunya SEWACO. Ternyata SEWACO yang dioperasikan itu yah CMS itu sendiri.
Kembali ke soal anggaran, prioritas saat ini sudah saatnya mengucur pada SEWACO. Cuma terkadang soal SEWACO juga serba salah, khususnya pada kapal buatan lama. Suku cadang SEWACO itu sulit dicari, sementara kegiatan produksinya sudah dihentikan. Apabila mau digantikan oleh SEWACO baru, kita kemudian berpikir sampai kapan kapal ini akan dipertahankan di dalam susunan tempur.
Itulah kendala mempertahankan kapal kombatan lama. Pilihan terbaik adalah menghapus, namun karena ini kapal kombatan maka harus ada dulu kapal penggantinya. Berbeda kasusnya dengan kapal AT yang bisa dihapus tanpa menunggu pengganti, sebab ada kapal baru lain yang dapat menggantikan fungsi kapal itu, walaupun tidak sepenuhnya.
Soal anggaran, sebaiknya kita mengubah paradigma menjadi anggaran mengikuti program. Sebab anggaran sejatinya adalah konsekuensi dari program.

19 Desember 2008

Jangan Bonuskan Wilayah Maritim

All hands,
Salah satu perjanjian kontroversial di bidang pertahanan adalah Defense Cooperation Agreement (DCA). Kontroversi karena banyak hal, di antaranya tak sebandingnya antara perjanjian itu dengan Perjanjian Ekstradisi yang juga disepakati. Dengan kata lain, DCA adalah barter dari Perjanjian Ekstradisi. Untung saja DCA tidak bisa diimplementasikan, sehingga mungkin tidak berlebihan kalau menyatakan perjanjian itu gagal.
Kegagalan DCA bukan saja merupakan pukulan terhadap Singapura sebagai negara, tetapi juga individu-individu yang terlibat di dalam tim perundingan. Salah satu prominent person dalam delegasi Singapura saat itu adalah Brigadir Jenderal Bernard Tan Kok Kiang. Ketika itu menjabat Direktur Intelijen Gabungan pada Kementerian Pertahanan Singapura.
Sang Jenderal adalah salah satu individu yang sangat terpukul dengan gagalnya DCA, sebab hal itu berarti akhir dari karir militernya. Jabatan berikutnya yang sudah menunggu yaitu menjadi orang nomor satu di AD negeri kecil, kaya, rakus dan licik itu terpaksa harus dilupakan. DCA gagal, jabatan Kepala Staf AD melayang. Ha...ha...ha...
Setelah DCA gagal, sang Jenderal harus rela dipindahkan ke Singapore Technology Engineering. ST Engineering adalah BUMN Singapura yang terkemuka dan merupakan salah satu tulang punggung industri pertahanan Singapura.
Indonesia masih memiliki masalah batas wilayah laut di Singapura yang sampai kini masih dirundingkan. Entah kapan selesai, paling cepat sepertinya tahun depan. Itu pun asalkan Singapura tidak bersikeras menghitung batas laut di antara kedua negara dari titik terluar reklamasi, sebab Indonesia selalu menuntut perhitungan harus dari wilayah daratan alamiah negeri itu.
Selama ini karena batas wilayah laut belum jelas, patroli AL kita sering main kucing-kucingan dengan patroli Singapura. Patroli mereka seringkali masuk ke perairan yang Indonesia klaim dan kabur begitu mendeteksi kehadiran unsur kita. Walaupun sering diprotes lewat jalur sesama Angkatan Laut, kelakuan mereka tetap sama. Sementara ROE kita tetap ROE masa damai yang sifatnya umum.
Seandainya nanti tercapai kesepakatan soal batas wilayah laut kedua negara, semoga perjanjian batas maritim itu tidak diiringi oleh sejumlah kontroversi lagi. Tahun 2009 merupakan tahun rawan bagi Indonesia, karena digelarnya pemilu. Peserta pemilu legislatif dan presiden butuh uang banyak dan Singapura punya itu.
Jangan sampai uang yang dipasok Singapura harus dibayar dengan hal-hal yang merugikan kepentingan nasional, termasuk bonus batas wilayah laut. Perintah bonus pasti datang dari atas, persis kayak kasus DCA. DCA kan beyond the ”layman” authority.

18 Desember 2008

Reformulasi Makna Jointness

All hands,
Sudah merupakan hal yang tak terhindarkan bagi kekuatan militer masa kini untuk beroperasi dalam kerangka gabungan atau jointness atau combinedness. Perbedaan jointness dan combinedness yaitu jointness adalah inter service operations, sedangkan combinedness adalah inter state operations. Jadi jointness itu operasi gabungan antar matra dalam suatu Angkatan Bersenjata, sedangkan combinedness merupakan operasi gabungan antar Angkatan Bersenjata.
Di Indonesia, khususnya di lingkungan TNI, jointness dipahami sebatas operasi gabungan antar dua matra atau lebih untuk mencapai strategic military objective yang telah ditetapkan. Tidak lebih dan tidak kurang!!! Pemahaman demikian tidak keliru, namun sepertinya harus direformulasi karena ada perkembangan baru di negara-negara lain soal isu tersebut.
Jointness masa kini bukan sekedar operasi gabungan antar dua matra atau lebih, tapi sudah menekankan pada kapabilitas. Kapabilitas matra X digabung dengan kapabilitas matra Y guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mensinergikan kapabilitas itu, information and data sharing antar matra merupakan keharusan. Sebagai contoh, apabila Marinir akan menggelar operasi darat lanjutan setelah terbentuknya tumpuan pantai, dia bisa memakai data-data topografi AD.
Hal ini yang masih sulit di TNI. Data masing-masing bukan saja dijaga kerahasiaannya untuk mencegah kebocoran terhadap pihak musuh, tetapi juga terhadap kawan sendiri. Sulit membayangkan misalnya bila Marinir akan menggelar operasi darat lanjutan di daerah X dan membutuhkan dukungan data topografi dari AD, apakah AD dengan sukarela akan memberikan information and data sharing. Jointness yang berbasis pada kapabilitas pada dasarnya mengeliminasi ego matra yang berlebihan.
Situasi demikian merupakan tantangan untuk membenahi kemampuan jointness TNI. Sekarang kemampuan jointness TNI belum seamless, baru tambal sulam. Untuk membenahi hal itu, banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan seperti revisi doktrin dan perangkat lunak lainnya, ubah paradigma, kurangi egoisme matra, memperbanyak frekuensi Latgab dan lain sebagainya.
Kalau tidak, jointness TNI cuma bagus pada saat latihan saja, bukan di situasi nyata. Itulah lesson learned dari jointness pasukan khusus India saat menghadapi 10 gerilyawan Laskhar-e-Taiba atau teroris dari Pakistan di Mumbai beberapa waktu silam. Yang tercipta bukan jointness, tapi disjointness.

17 Desember 2008

Prioritas Kemampuan Sensing

All hands,
Dengan mengambil kasus pembangunan kekuatan laut Australia sebagai sebuah contoh yang bagus, menurut hemat saya, dengan segala keterbatasan yang melingkupi pembangunan kekuatan AL negeri tercinta, sebaiknya kita memprioritaskan pada kemampuan sensing. Prioritas pada kemampuan sensing bukan berarti menganaktirikan mobility, firepower dan C4ISR. Semua kemampuan itu harus dimiliki pada waktu yang sama, hanya saja prioritas anggaran berbeda.
Sebagai contoh, isu mobility saat ini relatif tidak menjadi masalah berat buat AL kita karena sebagian besar alutsista kita mampu melaksanakan itu. Kalau pun ada yang mobility-nya kurang, hal itu tak lepas dari usia kapal yang sudah melampaui ambang ekonomis. Itu pun jumlahnya tak seberapa dibandingkan jumlah KRI secara keseluruhan.
Pulihnya kemampuan mobility AL kita tak lepas dari program yang dijalankan sejak beberapa tahun ke belakang secara berkesinambungan dan tidak terlalu terpengaruh oleh pergantian kepemimpinan organisasi. Sebab siapa pun yang memimpin, pasti menginginkan hal yang sama yaitu kehadiran unsur di laut yang cukup tinggi. Untuk mewujudkan keinginan itu, program untuk “mendorong” kapal ke laut dilaksanakan melalui pembenahan kemampuan mobility.
Setelah mobility tercapai, kini tantangannya adalah pembenahan firepower dan sensing. Pembenahan firepower memang berjalannya tidak secepat mobility, karena urusan ini lebih rumit dan lebih sensitif isu politik (hubungan antar negara). Dengan mulai terwujudnya beberapa kapal patroli FPB-57 Nav V yang dipersenjatai dengan senjata strategis rudal C-802, hal itu memperlihatkan bahwa pembenahan di bidang firepower sesungguhnya berjalan. Sepertinya butuh 1-3 tahun lagi untuk menyelesaikan pembenahan ini, menunggu selesainya realisasi pemasangan beberapa senjata strategis lainnya.
Sambil menunggu selesainya pembenahan firepower, sebaiknya mulai memprioritaskan pula pada kemampuan sensing. Modal untuk kemampuan sensing sudah ada yaitu program IMSS Section 1206 dan 1207. Dengan terpasang di Selat Malaka dan Selat Makassar, artinya terjadi peningkatan kita untuk melaksanakan sensing dibandingkan kondisi saat ini. Dengan demikian, upaya penciptaan maritime domain awareness melalui surface maritime picture pada dua perairan strategis itu bisa terwujud.
Karena luasnya perairan Indonesia yang harus diamankan oleh AL kita, diperlukan lebih banyak lagi stasiun radar pengamatan maritim. Berdasarkan pertimbangan strategis, sebaiknya pembangunan stasiun radar pengamatan maritim diprioritaskan pada perairan strategis seperti choke points, focal points dan ALKI. Seperti di Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Ombai-Wetar, Laut Natuna dan ALKI III.
Menyadari bahwa jangkauan radar pengamatan maritim terbatas, kemampuan sensing harus didukung pula oleh unsur pesawat patroli maritim. Pilihannya ada dua, yaitu sepenuhnya bertumpu pada aset yang kita miliki atau disinergikan dengan aset yang dipunyai oleh AU. Kalau disinergikan akan lebih bagus, asalkan dalam konteks joint operations alias operasi gabungan. Agar jelas who's in-charge, selain juga tentu saja dukungan anggarannya.
Ketika menyentuh kata operasi gabungan, halangan pertama akan muncul dari Skep Panglima ABRI yang mengatur bahwa operasi gabungan digelar bila ada ancaman nyata terhadap keutuhan, kedaulatan……negara Republik Indonesia. Definisi ini menjadi masalah di masa kini, sebab sebenarnya operasi gabungan itu seharusnya dapat digelar setiap saat tanpa harus ada imminent threat.
Kembali ke soal kemampuan sensing, nampaknya hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya yang dapat dilaksanakan oleh negeri ini hingga 2014. Mengingat rencana strategis TNI berikutnya adalah periode 2010-2014 dan selama periode itu, perubahan rencana strategis dapat diakomodasi setelah dilakukan evaluasi terhadap program yang berjalan. Bila memang Renstra TNI 2010-2014 belum memprioritaskan sensing, bisa saja renstra itu diubah berdasarkan usulan dari matra Angkatan.
Beyond 2014, menurut hemat saya, Indonesia harus berpikir bagaimana bisa memiliki dan mengoperasikan OTHR seperti Jindalee untuk memantau pergerakan pihak lain di wilayah yurisdiksi negeri ini. Soal hal itu baru bisa terwujud 2025, nggak ada masalah. Yang penting jauh-jauh hari sudah dirancang, sebab untuk membangun suatu kemampuan sensing memang tidak bisa secepat pancaran gelombang elektromagnetik.

16 Desember 2008

Pengimbangan Kemampuan Sensing Dengan Jumlah Alutsista

All hands,
Terdapat empat elemen yang harus diperhatikan dalam membangun kemampuan tempur Angkatan Laut. Yaitu menyangkut sensing, mobility, firepower dan C4ISR. Keempat elemen tersebut berkaitan satu sama lain, sehingga tidak ada yang dapat diabaikan begitu saja.
Apabila kita mengikuti kecenderungan pembangunan kekuatan laut di kawasan Asia Pasifik, ada suatu butir penting yang harus dicermati. Yakni pola pembangunan kekuatan laut Australia yang agak berbeda dengan negara-negara lain di kawasan. Bila negeri-negeri seperti Jepang dan Singapura terus menambah kuantitas (sekaligus kualitas) kapal perang sehingga terkadang dinilai jumlah alutsista itu sudah tidak berbanding lurus dengan luas area of responsibility (AOR) mereka, Australia malah sebaliknya.
Royal Australian Navy mempunyai AOR (klaim negeri itu, bukan pengakuan internasional) mencakup kawasan Asia Pasifik dan terlibat dalam operasi di Asia Barat. Dengan begitu luasnya AOR negeri itu, pemerintah Australia dengan percaya diri hanya memperkuat Angkatan Laut-nya dengan 14 kapal kombatan atas air dan enam kapal selam. Pertanyaan, ada apa di balik kebijakan itu?
Menurut saya, salah satu jawabannya terletak pada kemampuan sensing negeri itu yang sampai ke Asia Tenggara. Dengan OTHR Jindalee, pergerakan pesawat udara dan juga kapal perang di Asia Tenggara dapat dipantau olehnya. Selain itu, Australia juga mengandalkan pusat eavesdropping UKUSA di Shoals Bay untuk menyadap komunikasi militer di Asia Tenggara. Seperti diketahui, setiap pergerakan kapal perang dan pesawat udara tidak sepenuhnya radio silent, kecuali saat melaksanakan operasi tertentu.
Dalam konteks operasi AL kita, kita harus yakinkan diri bahwa laporan posisi kapal perang kita pada jam tertentu setiap harinya pasti disadap oleh Australia. Soal bisa dibuka atau tidak, wallahu alam. Tapi kalau sandi yang digunakan mudah dibuka, yah....
Dengan mengandalkan pada kemampuan sensing, Australia dapat mengatur penyebaran kapal perangnya sedemikian rupa. Pada perairan tertentu yang dinilai rawan, di situlah kapal perang akan diarahkan. Bila tidak rawan, kehadiran kapal perang sepertinya tidak diprioritaskan. Cukup pada patroli maritim P-3 Orion.
Hal yang saya bahas di sini dalam konteks peran militer Angkatan Laut, bukan peran konstabulari. Untuk peran konstabulari, Royal Australian Navy melaksanakannya di bawah kodal Border Protection Command (BPC). BPC yang mengatur operasi keamanan maritim di wilayah perairan Australia.
Berangkat dari kasus Australia, negeri itu membangun Angkatan Laut dengan kekuatan yang secara kuantitas sedikit, namun secara kualitas kelas dunia. Jumlah kapal kombatan atas air yang sedikit diimbangi dengan kemampuan sensing yang luar biasa. Sehingga kapal perang senantiasa akan disebarkan pada wilayah yang rawan saja sesuai hasil pantau peralatan sensing. Pola operasi demikian sudah pasti menghemat biaya yang cukup besar.
Menurut saya, Indonesia dalam hal ini AL kita sudah sepantas meniru apa yang dilakukan oleh Australia. Kita harus mengutamakan pembenahan kemampuan sensing untuk mendukung terciptanya maritime domain awareness. Biarpun, katakanlah, kapal kombatan atas air kita cuma 15, namun dengan kemampuan sensing yang mumpuni, pasti akan diperhitungkan oleh pihak-pihak lain di kawasan. (Bersambung...)

15 Desember 2008

Di Mana Menempatkan Doktrin TNI?

All hands,
Selama ini kadang kita bisa membedakan apa perbedaan doktrin dengan konsepsi. Doktrin secara sederhana definisinya adalah that which is taught alias sesuatu yang diajarkan. Ada juga pihak yang mendefinisikan doktrin sebagai the best way that you believe to do. Nah, di Indonesia definisi terakhir diterjemahkan sebagai sesuatu yang diyakini kebenarannya. Jadi doktrin bagi sebagian pihak di militer negeri ini adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya sehingga berubah menjadi dogma.
Karena telah menjadi dogma, ada pihak-pihak di militer yang resisten terhadap perubahan doktrin. Karena yakin dengan kebenaran doktrin yang dianut. Terkadang hal ini menjadi bahan perdebatan antara satu matra yang sangat meyakini kebenaran doktrin dengan matra lain yang tak terlalu fanatik dengan doktrin.
Adapun konsepsi sifatnya lebih lunak dan lebih gampang berubah seiring berjalannya waktu yang kadang hanya beberapa tahun membutuhkan penyesuaian. Di banyak Angkatan Laut di dunia, seringkali memadukan antara doktrin dengan konsepsi.
Sebagai contoh adalah Naval Operational Concept yang diterbitkan oleh U.S. Navy. Selain menerbitkan konsepsi, U.S. Navy juga memiliki Naval Doctrine Publication (NDP), mulai dari NDP-1 sampai NDP-6. Adapun Royal Navy mempunyai British Maritime Doctrine (BR-1806) yang kalau saya tak keliru edisi terakhirnya diterbitkan 2004. Doktrin-doktrin itu tergolong sebagai environmental doctrine alias doktrin matra.
Secara teoritis, doktrin terdiri dari fundamental doctrine, environmental doctrine dan organizational doctrine. Akar dari semua doktrin itu adalah military history. Mengapa military history? Sebab sejarah adalah sumber pelajaran dan sumber kekuatan dari suatu bangsa maupun organisasi militer. Dari sejarah kita bisa mengambil lesson learned operasi besar, kampanye dan atau perang di masa lalu.
Melalui Keputusan Panglima TNI No Kep.2/I/2007 tanggal 12 Januari 2007, TNI telah mempunyai doktrin yang disebut Tri Dharma Eka Karma (Tridek). Mengenai Doktrin Tridek, ada beberapa kelemahan apabila kita mendalami berdasarkan perspektif ilmu militer.
Pertama, doktrin ini termasuk tataran mana? Fundamental doctrine ataukah lainnya? Kalau digolongkan fundamental doctrine, sepertinya itu bukan wewenang TNI untuk merumuskannya. Karena fundamental doctrine itu bentuk nyatanya adalah defence doctrine yang perumusannya merupakan kewenangan Departemen Pertahanan.
Kalau mau digolongkan sebagai environmental doctrine juga jelas tidak bisa. Envinronmental doctrine itu kewenangan matra Angkatan untuk bertempur di domain masing-masing. Apalagi kalau diklasifikasikan sebagai organizational doctrine.
Kedua, isi doktrin TNI membingungkan. Kalau melihat isi doktrin TNI, sebagian besar isinya hasil copy and paste dari Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI, seperti soal pembinaan kekuatan dan penggunaan kekuatan TNI dan tataran kewenangan dan tanggung jawab dan sisanya bicara soal strategi pertahanan dan ancaman. Soal ini saya pernah bercanda dengan rekan di Departemen Pertahanan, saya bilang enak sekali yah bikin Mabes TNI doktrin TNI, tinggal copy and paste Undang-undang No.34 Tahun 2004. Rekan saya cuma tertawa terbahak-bahak.
Kok masih ada sih di era peperangan generasi keempat militer di dunia yang menyusun doktrin dengan hanya melakukan copy and paste terhadap undang-undang yang mengatur dia? Doktrin macam apa ini?
Ketiga, doktrin TNI tidak mengakar pada sejarah militer. Di mana-mana yang disebut doktrin militer selalu mengakar pada sejarah militer. Periksa NDP-1 sampai dengan NDP-6, di dalamnya selalu ada cuplikan sejarah militer yang relevan dengan topik yang lagi dibahas. Di Doktrin Tridek kita tak akan pernah menemukan itu.
Jangankan mencari cuplikan sejarah militer operasi-operasi laut dan udara menghadapi PRRI-Permesta, Trikora, Dwikora dan Seroja, operasi-operasi darat untuk menghadapi Malaysia dalam Konfrontasi saja tak ada di dalam doktrin. Bagaimana mungkin sebuah doktrin militer tidak mengakar pada sejarah militernya sendiri. Hal itu merupakan kesalahan besar dalam membuat doktrin.
Soal sejarah harap dibedakan antara sejarah militer dengan sejarah bangsa. Di masa lalu, ABRI membuat doktrin berdasarkan sejarah bangsa, bukan sejarah militer. Padahal sejarah bangsa kan bukan milik ABRI seorang dan tidak semua sejarah bangsa karena kontribusi ABRI.
Tantangan ke depan adalah mengubah Tridek untuk meletakkan pada posisi yang sebenarnya. Kalau doktrin militer, mbok yah isinya jangan copy and paste undang-undang. Kecuali penyusunnya memang malas menyusun doktrin yang benar atau memang sama sekali tidak paham soal doktrin.
Doktrin TNI mestinya diposisikan sebagai dokrin gabungan. Di Amerika Serikat dikenal sebagai Joint Warfare Publication. JWP merupakan “hasil irisan pertemuan” antar doktrin matra dalam operasi gabungan. Doktrin TNI harus begitu, dengan catatan hindari doktrin itu sebagai kompromi antar matra. Ini yang paling sulit di militer di negeri, sebab ada matra yang selalu ingin dominan dari matra lain, padahal perannya dalam perang masa kini tidak selalu menempatkan matra itu sebagai aktor paling dominan.
Sebagai contoh, Opsratmin alias Operasi Pendaratan Administrasi itu domain AL atau AD? Opsratmin bergerak dari daerah embarkasi menuju wilayah debarkasi melalui laut mengunakan kapal perang dengan ancaman peperangan permukaan, peperangan kapal selam dan peperangan udara senantiasa mengintai konvoi tersebut. Pasukan yang dimuat oleh kapal-kapal perang yang melaksanakan Opsratmin adalah Batalyon AD beserta segenap peralatannya.
Pertanyaannya, pantaskah operasi ini dikendalikan oleh AD? Apakah AD mengerti mengenai peperangan laut, mengenai taktik, teknik dan prosedur pendaratan administrasi, baik debarkasi basah maupun kering? Apakah AD paham soal hidro-oseanografi yang selalu harus diperhatikan ketika kita melaksanakan operasi di laut, termasuk opsratmin?
Apakah strategi dan taktik yang dipakai dalam opsratmin adalah strategi darat atau strategi maritim? Strategi yang dipakai terkait dengan domain di mana operasi digelar. Apakah dalam domain maritim ada strategi lain yang lebih tepat daripada strategi maritim?
Adakah pihak lain yang lebih paham strategi maritim dibandingkan AL? Harus dipahami bahwa opsratmin dimulai dari saat embarkasi pasukan beserta perlengkapannya ke kapal perang di daerah pemberangkatan/bertolak.

14 Desember 2008

Pertahanan Tanpa Intelijen

All hands,
Di dunia pertahanan dan militer, dalam menyusun setiap kebijakan, rencana strategis, rencana kampanye, rencana yudha, rencana operasi dan lain sebagainya, salah satu masukan yang harus dipertimbangkan berasal dari komunitas intelijen. Bentuknya berupa produk intelijen yang berisi tentang security environment kini dan ke depan terkait dengan kebijakan dan atau rencana yang akan disusun. Itulah alasan mengapa pada terdapat satuan intelijen pada organisasi pertahanan dan militer, dengan beberapa klasifikasi yang berbeda.
Di Amerika Serikat misalnya, pada Departemen Pertahanan terdapat Defense Intelligence Agency (DIA) yang berfungsi sebagai intelijen strategis pertahanan. Pada matra Angkatan, U.S. Navy mempunyai Office of Naval Intelligence (ONI) yang berfungsi sebagai intelijen maritim Angkatan Laut. Kalau mau tahu bagaimana seluk beluk setiap Angkatan Laut di dunia mulai dari hal-hal yang lunak sampai yang keras, silakan baca assessments yang diterbitkan oleh ONI.
Di Indonesia, penyusunan kebijakan pertahanan oleh Departemen Pertahanan tidak didukung oleh masukan intelijen yang memadai. Sebab Departemen Pertahanan tidak mempunyai satuan yang berfungsi sebagai intelijen pertahanan. Masukan intelijen yang diterima oleh Departemen Pertahanan ketika menyusun kebijakan pertahanan hanya berasal dari Bais TNI.
Karena ruang lingkup Bais TNI yang berbeda dengan Departemen Pertahanan, gampang untuk ditebak bahwa masukan dari Bais cakupannya “kurang luas”. Terlebih lagi menurut pandangan saya yang bukan orang intel, sebenarnya laporan-laporan intelijen Bais kualitasnya “biasa-biasa saja”. Dalam beberapa hal, khususnya yang berkaitan dengan maritime security environment, rasanya produk-produk analisis saya jauh lebih tajam.
Karena tidak didukung oleh masukan intelijen yang memadai, jangan heran bila produk-produk Departemen Pertahanan seperti Strategi Pertahanan, Buku Putih Pertahanan dan Doktrin Pertahanan kualitasnya “begitu-begitu saja”. Bahkan ada kemiripan isi antara satu dokumen dengan dokumen lain, seolah-olah cuma tukar tempat.
Oleh karena itu, kalangan yang tidak berada di lingkaran defense establishment (Departemen Pertahanan dan TNI) harus paham bila negeri ini sering didadak oleh pihak-pihak lain. Kasus Timor Timur 1999, USS Carl Vinson (CVN-70) 2003, Ambalat 2005 dan Askar Wataniah 2008 bisa diredam kerugiannya terhadap Indonesia bila intelijen pertahanan eksis. Untuk intelijen pertahanan tidak bisa bersandar pada Bais, karena Bais adalah satuan intelijen militer miliki Panglima TNI. Dan Bais tidak menengok ke laut, tapi masih ke darat.
Departemen Pertahanan sudah menyadari akan kekurangan mereka dalam intelijen pertahanan, sehingga sejak beberapa tahun lalu muncul wacana validasi organisasi. Salah satunya adalah membentuk suatu direktorat jenderal yang khusus menangani intelijen pertahanan. Menurut beberapa kawan saya yang berdinas di sana, diharapkan rencana validasi itu segera disetujui oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. Maklum, pejabat menterinya sekarang dari Polisi, jadi wajar kalau ada sedikit kekhawatiran.
Upaya Departemen Pertahanan untuk memperbaiki diri patut untuk dihargai, dengan catatan nantinya organisasi itu diisi oleh personel-personel yang berkualitas, baik dari militer maupun sipil. Jangan sampai organisasi itu diisi oleh personel ”buangan” dari intelijen militer, dalam arti kualitas sang personel bukan termasuk yang terbaik di jajaran intelijen. Psiko-nya jangan C-1 ke bawah, tapi hendaknya A-1 sampai B-1. B-2 sebaiknya tidak masuk kategori, apalagi C-1 ke bawah.

13 Desember 2008

Pengutamaan Kualitas Sistem Senjata

All hands,
Dalam merancang pembangunan kekuatan laut, nampaknya kita masih terjebak dalam dua pendekatan yang berbeda. Yaitu antara pendekatan kuantitas versus kualitas. Soal ini nampak jelas begitu kita sampai pada penentuan jumlah kekuatan minimal yang dipunyai oleh AL kita ke depan. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa kekuatan yang dibangun adalah kekuatan minimal?
Jawabannya sederhana yaitu kebijakan pemerintah. Atas nama keterbatasan anggaran, kekuatan pertahanan yang dibangun minimal. Mengingat DPR sudah menyetujui konsep itu, jangan salahkan TNI bila misalnya nanti pecah konflik, kekuatan militer negeri ini tidak bisa winning the war dan sekaligus gagal preventing the war.
Sebab untuk winning the war, kekuatan yang dibangun harus postur maksimal. Menyangkut preventing the war, apabila gagal melaksanakan itu berarti kekuatan minimal yang saat ini dibangun gagal untuk preventing the war. Penting untuk digarisbawahi bahwa salah tidaknya konsep minimum essential force yang telah digariskan oleh Departemen Pertahanan harus dibuktikan dalam perang. Tidak ada wahana lain untuk buktikan itu selain perang, sama halnya dengan strategi. Strategi dapat dikatakan salah bila terbukti dalam perang.
Kembali ke masalah pendekatan kuantitas versus kualitas, dua mazhab ini harus dipertemukan. Menurut saya, pendekatan kuantitas yang puluhan tahun kita anut sepertinya lebih banyak menjadi beban bagi kita daripada memberi keuntungan. Menjadi beban karena kapal-kapal perang yang sudah saatnya dihapus (khususnya pada satuan kapal non eskorta) masih terus dipertahankan dengan segala macam konsekuensi anggaran yang kemudian muncul.
Sementara keuntungan yang diberikan oleh adanya kapal itu di dalam susunan tempur juga tak terlalu banyak. Sebagai contoh, dalam satu tahun kapal-kapal yang tergolong uzur itu berapa kali berlayar. Sedikitnya jumlah pelayaran bukan karena tugas yang sedikit, tetapi karena tidak siap berlayar.
Daripada mempertahankan kapal-kapal perang uzur yang kesiapannya diragukan dalam susunan tempur, lebih baik kekuatan laut kita secara kuantitas lebih sedikit, tetapi secara kualitas lebih bagus. Kita harus pahami dalam konsep operasi masa kini pendekatan yang digunakan adalah effect-based operations. Terkait dengan hal itu, dari 140-an lebih KRI yang ada dalam susunan tempur kita, berapa banyak yang mampu menimbulkan effect-based operations. Jangan-jangan hanya kapal-kapal yang tergabung dalam satuan eskorta plus beberapa kapal di satuan kapal patroli dan satuan kapal cepat, dengan catatan itu pun mungkin tidak semuanya.
Kalau kita melihat kekuatan laut di sekitar Indonesia, mereka menganut pendekatan kualitas alutsista, bukan kuantitas alutsista. Penilaian ini lepas dari soal berapa perbandingan luas laut mereka dibandingkan perairan yurisdiksi Indonesia dan lain sebagainya. Soal jumlah itu relatif, karena ”sedikit” bagi Australia misalnya berbeda dengan ”sedikit” untuk Indonesia. Tapi substansinya adalah kualitas alutsista, bukan kuantitas alutsista.

12 Desember 2008

Paradigma Peran Konstabulari Angkatan Laut

All hands,
Keputusan pemerintah untuk menyetujui penyebaran unsur kekuatan laut kita dalam Operasi Perdamaian PBB di Lebanon merupakan suatu kemajuan. Meskipun unsur yang disebar hanya terdiri dari satu KRI, akan tetapi hal tersebut menunjukkan adanya paradigma baru terhadap Operasi Perdamaian PBB. Bahwa unsur-unsur yang dapat terlibat dalam operasi itu bukan saja Angkatan Darat, tetapi juga Angkatan Laut.
Berangkat dari butir itu, ke depan partisipasi AL kita dalam Operasi Perdamaian Maritim harus ditingkatkan. Ada beberapa alasan mengapa hal itu penting, salah satunya yaitu sebagai paradigma baru terhadap peran konstabulari Angkatan Laut. Mengenai paradigma baru terhadap peran konstabulari penting untuk digarisbawahi. Selama ini pemahaman sebagian besar dari kita di AL mengenai peran konstabulari adalah keamanan laut (kamla). Konstabulari adalah kamla, kamla adalah konstabulari. Selalu begitu!!!
Kamla di dalam AL kita identik dengan operasi melindungi perikanan. Padahal Kamla juga mencakup operasi anti perompakan dan pembajakan, operasi anti terorisme maritim, operasi lawan insurjensi, pengamanan ALKI dan lain sebagainya. Ketidakpahaman kita terhadap definisi operasi kamla bisa terlihat dalam kita mengklasifikasikan operasi pengamanan di Selat Malaka. Sebagian besar dari kita pasti akan berpendapat operasi anti perompakan dan pembajakan itu bukan termasuk operasi Kamla. Padahal pendapat demikian keliru, karena sebenarnya cakupan operasi di Selat Malaka juga termasuk Operasi Kamla.
Kamla hanyalah satu bagian saja dari peran konstabulari. Peran konstabulari itu luas cakupannya. Menurut Michael Pugh, peran konstabulari pasca Perang Dingin secara garis besar terdiri atas peacekeeping and enforcement dan maintenance of good order. Apabila keduanya dirinci lagi, akan didapat berbagai elemen-elemen turunan.
Misalnya tentang peacekeeping and enforcement, bentuknya bisa peacekeeping operations, maritime security operations dan enforcement of international sanction (naval blockade, maritime interdiction dan lain-lain). Ketika AL kita komitmen untuk berpartisipasi dalam Operasi Perdamaian PBB di Lebanon dalam bentuk pengiriman unsur kapal perang, maka dituntut untuk mampu melaksanakan operasi-operasi yang terkait dengan peacekeeping and enforcement.
Selama ini kita terjebak dalam paradigma “konstabulari adalah kamla…kamla adalah konstabulari” karena kita terlalu asyik dengan itu dan lupa terhadap berkembangnya pemikiran-pemikiran dan kemajuan-kemajuan dalam strategi maritim. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus meninggalkan kamla, tapi hendaknya tugas itu pelaksanaannya proporsional dengan tugas-tugas lain yang masih dalam cakupan peran konstabulari. Peran konstabulari akan selalu melekat dengan Angkatan Laut, namun peran itu setiap jangka waktu tertentu mengalami sejumlah penyesuaian karena adanya pemikiran-pemikiran baru.

11 Desember 2008

Upaya Mengebiri Angkatan Laut

All hands,
Sadar atau tidak, di negeri ini ada pihak-pihak yang tidak senang AL kita. Mereka tidak ingin melihat AL kuat, maju dan banyak berperan dalam kancah nasional dan kawasan. Dan pihak-pihak yang tidak senang itu tak lain adalah anak negeri sendiri. Soal mereka mendapat titipan pesan sponsor yang berada di luar wilayah kedaulatan negeri ini, yah sangat mungkin.
Tahun 2004 seorang mantan petinggi matra lain menentang pengadaan korvet Sigma bagi AL kita dan mengusulkan agar dananya dipakai untuk mencetak satu juta hektar sawah. Kini sang mantan petinggi itu mencalonkan diri jadi pemimpin negeri ini. Apa jadinya nasib AL kita dan kita sebagai individu yang sangat concern dengan AL negeri ini bila sang Jenderal dipilih rakyat negeri ini jadi pemimpin ini?
Rupaya langkah sang Jenderal “ditandingi” oleh seorang mantan pati satu matra yang juga jumlah bintangnya sama. Sang Jenderal yang satu ini dengan gagah berani mengatakan bahwa AL tak punya kewenangan menegakkan hukum di laut? OH MY GOD!!! Dari mana sang Jenderal punya referensi soal itu?
Sebagai petunjuk, Jenderal ini bagi kalangan sipil yang getol utak-atik TNI dianugerahi gelar sebagai Jenderal reformis. Karena saking reformisnya, dia termasuk daftar persona non grata di matra dia sendiri. Ha...ha...ha...
Pertanyaannya, apakah langkah dua mantan pati matra lain itu kebetulan semata atau berada dalam suatu skenario besar? Saya khawatir itu berada dalam suatu skenario besar. Tujuannya agar AL kita tak berdaya di negeri sendiri, sehingga program pembangunan kekuatan kita jalan di tempat. Banyak pihak di sekeliling Indonesia yang tidak senang dengan AL negeri ini yang kuat.
Sebenarnya preferensi masyarakat negeri ini untuk memiliki AL yang kuat cukup besar. Sayangnya mereka silent majority dan tidak punya akses ke media. Yang minoritas tapi vokal dan punya akses ke media justru sebagian menggemakan nada-nada untuk mentorpedo pembangunan kekuatan AL kita. Beberapa tahun lalu, seorang yang oleh media massa dinobatkan sebagai pengamat militer mengusulkan agar kapal-kapal perang yang tua dihapus semua. Untung ide yang tidak realistis itu nggak laku, sebab kalau dihapus semua, kita hanya akan beroperasi dengan kapal-kapal FPB plus kapal-kapal fiberglass alias plastik.
Juga beberapa tahun silam seorang pati/pejabat penting di Departemen Pertahanan kontra terhadap pengadaan kapal selam. Sudah bukan dari matra laut, nggak ngerti nilai strategis kapal selam, eh sok tahu lagi soal kapal selam!!! Untung tak lama setelah itu sang Jenderal pensiun. Kalau tidak, dia bisa mengembangkan gagasannya ke dalam kebijakan.
Berangkat dari semua itu, perjuangan kita untuk membesarkan AL penuh dengan rintangan, yang justru sebagian berasal dari anak negeri sendiri. Kondisi itu menjadi tantangan buat kita untuk menciptakan atmosfir yang pro kepada pembangunan kekuatan laut.

10 Desember 2008

Konfigurasi Sistem Senjata Kapal Perang

All hands,
Pada kapal atas air bertonase sebesar sekelas fregat ke atas, sistem senjata yang melengkapi kapal perang itu secara garis besar terdiri dari senjata permukaan, senjata anti udara dan senjata bawah air. Soal mana suatu sistem senjata yang lebih kuat dibanding lainnya, tergantung pada fungsi asasi kapal perang tersebut. Hal itu sudah menyangkut filosofi desain dan operational requirement.
Pada kapal atas air masa kini, persenjataan rudal anti kapal permukaan yang melengkapinya semakin banyak. Pada tahun 1970-1980-an, suatu fregat atau minimal korvet biasanya dipersenjatai dengan empat rudal anti kapal permukaan alias dua tabung. Seiring berjalannya waktu, kini kapal-kapal atas air sebagian besar telah dipersenjatai oleh delapan rudal serupa atau empat tabung.
Bahkan tidak sedikit yang jumlah tabungnya lebih banyak dan menggunakan moda VLS. Secara umum VLS lebih banyak dipakai untuk rudal anti pesawat dan atau rudal jelajah seperti Tomahawk. Moda VLS biasanya menggunakan dek haluan sebagai tempat peluncuran.
Ditarik dalam konteks AL kita, kapal perang kita masih menggunakan pendekatan 1970-an dalam persenjataan anti permukaan. Setiap kapal atas air kita, baik kelas korvet maupun fregat, hanya dipersenjatai oleh empat rudal. Dalam 30 tahun terakhir, sepertinya tidak ada perubahan terhadap konfigurasi tersebut.
Konfigurasi empat rudal pada setiap kapal kini menghadapi tantangan ketika kita harus melaksanakan kalkulasi tempur. Mengapa kesulitan? Sebab menurut kalkulasi, kita membutuhkan dua kapal atas air untuk melumpuhkan satu kapal perang lawan. Berapa jumlah rudal yang dibutuhkan untuk melumpuhkan kapal lawan tidak perlu saya sebut di sini.
Kesulitan itu dapat kita atasi bila ke depan satu kapal kombatan kelas korvet atau fregat dipersenjatai oleh delapan rudal anti permukaan. Pada kondisi tersebut, kita hanya memerlukan satu kapal atas air untuk melumpuhkan kapal perang lawan. Penting untuk digarisbawahi bahwa kalkulasi tempur yang dihitung secara matematis hanya berlaku pada ruang dan waktu tertentu. Artinya kalkulasi tahun ini belum tentu akan berlaku tahun-tahun berikutnya, karena ada faktor-faktor determinan lain yang mempengaruhi.
Terkait dengan persoalan itu, sebaiknya ke depan rancang bangun kapal perang kelas korvet dan atau fregat harus mampu mengakomodasi kebutuhan jumlah senjata yang meningkat. Hal itu berkonsekuensi terhadap desain kapal, tetapi sebenarnya tidak terlalu signifikan. Sebab kapal perang masa kini dan masa depan semakin meningkat otomasinya yang berkonsekuensi terhadap berkurangnya pengawak.
Masalah utama dalam mengubah konfigurasi sistem senjata di kapal perang kita adalah paradigma. Selama masih menganut paradigma lama soal peperangan laut, sulit untuk beranjak dari konsep empat rudal di tiap kapal korvet dan atau fregat. Paradigma demikian harus diubah, sebab hal itu merupakan tuntutan operasional saat ini dan ke depan.

09 Desember 2008

Kebijakan Imbal Beli Dalam Pengadaan Alutsista

All hands,
Imbal beli dalam pengaaan alutsista bukan suatu hal yang baru di dunia. Dalam konteks Indonesia, upaya imbal beli pernah diupayakan dalam pengadaan pesawat tempur Sukhoi Su-27/30 beberapa tahun lalu. Konon kabarnya, program imbal beli itu tidak terlaksana karena ketidaksiapan dari pihak Indonesia sendiri. Jadi Sukhoi gelombang pertama praktis dilaksanakan tanpa program imbal beli.
Kegagalan dalam program imbal beli kembali terjadi dalam kasus dua kapal selam U-209/Changbogo buatan Korea Selatan dengan delapan CN-235. Usulan yang sempat mengemuka beberapa waktu lalu sekarang praktis gagal, karena kembali Indonesia tidak siap. Dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia, entah tidak siap kapasitas produksinya ataukah tidak siap permodalan.
Sebab yang saya ketahui, permodalan yang siap dari industri dirgantara kebanggaan Indonesia saat ini adalah untuk produksi NC-212-400 pesanan PT Merpati Nusantara. Permodalan itu merupakan kredit dari sebuah bank BUMN. Sedangkan menyangkut kapasitas produksi, saat ini perusahaan yang berbasis di Bandung itu telah menandatangani beberapa kontrak pengadaan CN-235, di antaranya dua CN-235 MPA pesanan AL kita. Apabila harus melayani pesanan delapan CN-235 pesanan Korea Selatan, sepertinya kapasitas produksi PT Dirgantara Indonesia sudah lebih dan berpotensi untuk terkena denda dari konsumen karena penyerahan pesawat yang tak sesuai jadwal yang disepakati.
Hal itu menunjukkan bahwa belum ada kesiapan dari Indonesia selama ini untuk melaksanakan imbal beli bagi kepentingan pengadaan alutsista. Yang tidak siap adalah elemen kekuatan nasional di luar militer, yaitu ekonomi. Para pemain ekonomi Indonesia, termasuk BUMN, belum dikondisikan untuk mendukung pengadaan alutsista.
Berangkat dari sini, ke depan perlu disinkronkan antara program pembangunan kekuatan pertahanan dengan program industri pertahanan atau industri lainnya. Untuk menyesuaikan itu sudah gampang kok, karena blue print pembangunan pertahanan yaitu Postur Pertahanan 2010-2029 sudah ada. Dari situ bisa terlihat dalam periode 2010-2014 misalnya, apa saja kebutuhan pengadaan alutsista setiap matra TNI. Selanjutnya bisa ditelusuri, mana item yang pengadaaannya dapat dipenuhi dari dalam negeri, mana yang harus tetap impor.
Item yang mengandalkan impor inilah yang bisa dijadikan sasaran untuk imbal beli. Misalnya kapal perang ukuran korvet dan fregat, rudal atau pesawat tempur. Dengan catatan bahwa pengadaan senjata-senjata dimaksud berasal dari negara yang membuka kemungkinan imbal beli.
Sebagai catatan, dengan imbal beli setidaknya kita bisa melakukan penghematan setidaknya 40 persen. Dua kapal selam yang harganya berkisar US$ 700-800 juta, dengan imbal beli kita hemat devisa sekitar US$ 280-320 juta. Penghematan itu bisa digunakan untuk kepentingan lain, misalnya membangun fasilitas kapal selam.
Dengan batalnya program imbal beli dua kapal selam U-209/Changbogo dengan delapan CN-235, maka peluang kapal selam itu memperkuat armada AL kita menjadi kecil. Kini yang bersaing tinggal kapal selam buatan Rusia versus Jerman.

08 Desember 2008

Jalan Pintas Pengembangan Rudal

All hands,
Rudal merupakan senjata strategis yang sangat diperhitungkan oleh lawan. Oleh sebab itu, negara-negara maju berupaya membatasi alih teknologi rudal ke negara-negara berkembang melalui Missile Transfer Control Regime (MTCR) yang kini beranggotakan 33 negara. Rezim MTCR mengawasi dengan ketat alih teknologi roket/rudal, karena teknologi roket merupakan dual use technology. Bisa digunakan untuk kepentingan antariksa sipil, bisa pula sebagai senjata balistik atau rudal.
Upaya pengembangan rudal nasional selama ini terhalang oleh MTCR. Begitu pula dengan peroketan nasional. Untuk propelan yang termasuk dalam item yang diawasi oleh MTCR, Indonesia melakukan impor lewat jalan belakang alias diam-diam. Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya dari pemerintah untuk mempercepat penguasaan teknologi rudal.
Sepengetahuan saya, dalam teknologi rudal secara garis besar yang signifikan itu mencakup propelan dan sistem kendali. Soal hulu ledak tidak kita bahas di sini. Urusan propelan dan sistem kendali adalah dua masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini. Lalu bagaimana mengatasi masalah itu?
Sejak beberapa tahun lalu, dalam naskah atau tulisan untuk kepentingan tertentu, saya menyarankan agar pemerintah menempuh jalan pintas yang belum pernah ditempuh. Yaitu sewa para ahli rudal dari negara-negara Eropa Timur atau eks Uni Soviet. Bayar mereka dengan mahal, asalkan mereka mau memenuhi permintaan kita, termasuk transfer ilmu rudal ke tenaga ahli Indonesia.
Singapura menempuh cara demikian dengan menyewa ahli rudal eks Uni Soviet sekitar 15 tahun lalu. Negeri itu juga bekerjasama dengan Israel untuk mengembangkan rudal Barak yang kini terpasang di beberapa kapal perangnya. Jadi jangan heran bila para tenaga ahli Singapura sudah menguasai teknologi rudal saat ini dan tinggal tunggu waktunya muncul rudal made in Singapore.
Singapura menyewa mahal para ahli itu dan dana yang digunakan untuk membayar mereka tidak tercantum dalam anggaran pertahanan. Sebab dananya ditaruh dalam anggaran perusahaan BUMN Singapura, kalau tak keliru Singapore Technology. Jadi disamarkan sebagai bisnis perusahaan.
Indonesia pun bisa meniru langkah demikian. Dananya jangan ditaruh di APBN, nanti ada yang marah-marah dan main potong. Lebih aman taruh di salah satu anggaran BUMN. Cara itu menurut saya aman, asalkan Indonesia berani main mata dengan 2-3 anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Penerbangan Angkatan Laut dan Maritime Domain Awareness

All hands,
Salah satu unsur penting untuk menciptakan maritime domain awareness adalah Penerbangan Angkatan Laut alias Naval Air Wing. Sebab di antara fungsi Penerbangan Angkatan Laut adalah sebagai mata dan telinga bagi Armada, selain sebagai kekuatan pemukul. Dan sejarah awal terbentuknya Penerbangan Angkatan Laut di berbagai negara adalah sebagai kepanjangan tangan dari Armada, khususnya untuk mengetahui situasi perairan yang berada puluhan dan ratusan mil laut dari posisi kapal-kapal perang.
Dalam era masa kini yang menuntut terciptanya maritime domain awareness, peran Penerbangan Angkatan Laut sangat penting. Oleh sebab itu, satuan tersebut harus dilengkapi dengan sejumlah alutsista yang mampu melaksanakan tugas-tugas patroli, pengamatan maupun pengintaian. Informasi yang berhasil dikumpulkan oleh pesawat patroli akan diolah satuan lain sebagai bagian dari penciptaan maritime domain awareness.
Dikaitkan dengan Penerbangan AL kita, cukup banyak tantangan ke depan yang harus dihadapi. Menyangkut maritime domain awareness, Penerbangan AL kita dituntut untuk mempunyai pesawat-pesawat patroli maritim yang mumpuni. Dalam arti pesawat tersebut memang benar-benar dirancang untuk mampu melaksanakan patroli maritim, bukan pesawat non patroli maritim yang “dipaksa” untuk melaksanakan patroli maritim.
Berdiskusi tentang pesawat patroli maritim, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa di antaranya adalah pertama, endurance-nya lama, di atas tiga jam. Kedua, dilengkapi sensor untuk mendeteksi sasaran di atas permukaan laut maupun di bawah permukaan laut. Ketiga, sebaiknya pesawat turboprop.
Persyaratan pertama menurut saya yang cocok buat Penerbangan AL kita adalah CN-235 MPA. Kalau NC-212 MPA menurut saya agak tanggung, karena endurance-nya cuma sekitar tiga jam. Soal endurance kita sebaiknya belajar dari pengalaman mengoperasikan N-22/24 Nomad.
Sadar atau tidak, Australia menjual Nomad ke Indonesia agar kemampuan patroli maritim kita eksis tapi terbatas alias kerdil. Sementara AL kita menggunakan Nomad, Royal Australian Navy memakai P-3 Orion. Tentu saja tidak imbang dari berbagai aspek. Sebagai perbandingan, apabila kedua pesawat berpatroli di area tertentu dengan luas tertentu, P-3 Orion sudah lima bolak-balik, N-22 Nomad baru dua kali.
Tentang persyaratan kedua, terkait dengan fungsi asasi patroli maritim untuk mendeteksi kapal selam. Untuk mampu melaksanakan tugas itu, radar yang dipakai harus jenis Amascos-300, bukan Amascos-200 seperti yang terpasang di CN-235 MPA AU. Boleh saja AU berbangga dengan CN-235 MPA-nya, tapi perlu diketahui bahwa fungsi asasi MPA adalah untuk AKS.
Dan Amascos-200 bukan radar yang memenuhi spesifikasi itu. Bahwa CN-235 MPA bisa dipakai untuk mendeteksi kapal ikan yah boleh-boleh saja, tapi terlalu mahal peralatan pesawat itu kalau hanya untuk mendeteksi kapal ikan. Itu sama saja dengan kita beli fregat dengan bermacam senjata yang terpasang digeladaknya, tapi fungsi asasinya cuma untuk mengejar kapal ikan.
Apa tidak boros dan menciptakan inefisiensi? Kalau hanya untuk mengejar kapal ikan, cukup dipersenjatai dengan meriam 76 mm tanpa rudal maupun torpedo. Itu yang tengah dibangun oleh Royal Netherland Navy dengan Patrouilleschepen Class. Kapal itu tonasenya 3.750 ton, kecepatan ekonomis 20 kts, panjang 100 m, senjatanya cuma meriam Oto Melara 76 mm Super Rapid.
Menyangkut pesawat turboprop, karena biaya operasionalnya lebih murah daripada pesawat jet. Meskipun U.S. Navy berencana mengganti PC-3 Orion dengan P-8 Poseidon yang berbasis pada Boeing B-737, namun banyak Angkatan Laut di dunia yang lebih memilih pesawat turboprop sebagai pesawat patroli maritim. Kalau Angkatan Udara di dunia mungkin ceritanya berbeda, sebab ada AU di dunia yang dengan bangga mengoperasikan B-737 sebagai pesawat MPA.
Dalam konteks Indonesia, pesawat turboprop juga menjadi pilihan sebab panjang landasan di daerah-daerah operasi tidak sama. Apalagi ketika beroperasi di wilayah yang bandaranya hanya mampu melayani sekelas CN-235.
Ke depan, perlu dipertimbangkan pula penggunaan wahana tak berawak untuk keperluan operasi. Dengan bentuknya yang tidak terlalu memakai banyak ruang, wahana ini dapat diluncurkan dari kapal perang untuk membantu kemampuan sensing. Dengan catatan bahwa wahana yang digunakan merupakan generasi terakhir, jangan sampai seperti kasus pembelian UAV Searcher II asal Israel oleh Bais TNI dan konon dioperasikan oleh AU.
Kembali ke topik maritime domain awareness, salah satu pekerjaan rumah untuk mewujudkan itu adalah membenahi kemampuan Penerbangan AL kita. Sebab Penerbangan AL adalah satu unsur penting untuk mendukung terciptanya maritime domain awareness. Penguasaan terhadap maritime domain awareness berarti meningkatkan kemampuan AL kita secara keseluruhan.

07 Desember 2008

Pengembangan Intelijen Maritim

All hands,
Penguasaan terhadap maritime domain awareness (MDA) merupakan hal tidak bisa ditawar-tawar lagi saat ini. Maritime domain awareness utamanya terkait dengan isu keamanan maritim. Oleh sebab itu, merupakan persepsi yang keliru bila maritime domain awareness semata ranah Angkatan Laut. Maritime domain awareness juga ranah pihak-pihak lain yang terkait keamanan maritim, seperti Coast Guard, penguasa pelabuhan, perusahaan pelayaran dan lain sebagainya.
Dalam konteks Angkatan Laut, pengembangan maritime domain awareness tidak terbatas untuk aplikasi keamanan maritim, tetapi juga untuk kepentingan militer. Dan banyak aspek di dalam organisasi Angkatan Laut yang memiliki keterkaitan dengan maritime domain awareness.
Maritime domain awareness dapat dipastikan akan terkait dengan intelijen maritim. Organisasi intelijen maritim harus mempunyai perangkat untuk terciptanya maritime domain awareness. Terkait hal tersebut, organisasi intelijen maritim harus bekerjasama dengan organisasi lainnya di dalam Angkatan Laut yang mempunyai kemampuan untuk picture building bagi terwujudnya maritime domain awareness.
Masalahnya adalah sudahkan organisasi intelijen maritim kita mempunyai pemahaman terhadap maritime domain awareness? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus meninjau terlebih dahulu organisasi intelijen maritim kita dan bagaimana pola kerjanya?
Organisasi intelijen maritim hanya dapat bekerja apabila ada perintah dari Panglima TNI dan atau Kabais. Sepengetahuan saya itu berdasarkan Surat Keputusan Panglima ABRI di masa lalu dan sampai kini belum dicabut. Perlu diketahui di masa lalu Panglima ABRI merangkap Kabais. Baru setelah Panglima ABRI dijabat Try Sutrisno kedua jabatan itu dipisah.
Di organisasi AL, jabatan Asisten Intelijen cuma ada di organisasi Armada ke bawah. Sementara di Markas Besar AL tidak ada Asisten Intelijen, yang ada Asisten Pengamanan. Ada perbedaan yang sangat jelas antara kedua jabatan, yang mana Asisten Pengamanan cakupannya internal AL, yaitu untuk pengamanan personel dan material.
Beberapa tahun lalu ada upaya dari AL kita untuk mengubah jabatan Asisten Pengamanan menjadi Asisten Intelijen. Tapi usulan itu ditolak oleh Mabes TNI dengan alasan fungsi Mabes AL adalah untuk pembinaan, bukan operasional. Soal pembinaan dan operasional ini dalam konteks AL bisa diperdebatkan, karena dalam kenyataannya sampai pada tataran tertentu AL juga bergerak pada tataran operasional.
Berdasarkan surat keputusan yang telah disebutkan, sulit untuk dibantah bahwa yang berhak melaksanakan operasi intelijen maritim adalah Bais TNI. Tapi dalam kenyataannya Bais tidak melihat ke laut. Dengan kata lain, sulit untuk menunjuk siapa sebenarnya yang menjadi Bapul dalam intelijen maritim. Mungkin terlalu ekstrim kalau saya mengatakan kita tak mempunyai Bapul intelijen maritim, tetapi itu kenyataannya.
Untuk menghadapi lingkaran setan seperti ini, perubahan yang terjadi tidak bisa parsial, tetapi harus menyeluruh. Artinya fungsi dan organisasi intelijen strategis TNI perlu ditata ulang. Harus ada Bapul untuk intelijen maritim bagi AL dan intelijen udara bagi AU. Kalau tidak, kita akan tertatih-tatih terus ke depan.

06 Desember 2008

Proyeksi Kekuatan Angkatan Laut Kita

All hands,
Satu dari tiga kemampuan yang harus dimiliki oleh Angkatan Laut adalah proyeksi kekuatan. Proyeksi kekuatan sesuai dengan teori strategi maritim yang pernah kita pelajari, selalu dalam konteks proyeksi kekuatan ke luar wilayah negeri sendiri alias diproyeksikan ke luar negeri. Dengan demikian, kalau kita mengirimkan kekuatan Angkatan Laut ke suatu wilayah di negeri sendiri, katakanlah untuk gelar operasi amfibi, hal itu tidak termasuk proyeksi kekuatan.
Harus diakui rekam jejak AL kita dalam proyeksi kekuatan sangat terbatas. Beberapa proyeksi kekuatan yang pernah dilaksanakan oleh AL kita antara lain pengiriman Gugus Tugas ke Pakistan September 1965 untuk mendukung Pakistan dalam perang melawan India (sering disebut sebagai Operasi Chittagong) dan pengiriman Gugus Tugas ke Filipina pada 1987 untuk pengamanan KTT ASEAN.

Karena ini konteksnya adalah Angkatan Laut, maka Gugus Tugas yang dimaksud selalu terdiri dari kapal perang, bukan dalam bentuk Batalyon, Brigade atau sejenis. Kalau ke Filipina yang tergabung dalam Gugus Tugas hanya kapal atas air, sebelumnya yang dikirim ke Pakistan terdiri dari kapal selam dan kapal atas air.

Pasca Perang Dingin, mayoritas operasi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut di dunia lebih banyak berkutat pada proyeksi kekuatan. Bentuk yaitu operasi ekspedisionari, misalnya Japan Maritime Self Defense Force kirim Gugus Tugas ke Samudera India untuk mendukung global war on terrorism (lewat replenishment at sea gratis buat kapal-kapal perang negara lain di sana). Di Laut Laut dan Teluk Aden ada Task Force 150 dan Task Force 158 yang juga merupakan bagian dari global war on terrorism.

Lalu bagaimana dengan AL kita? Selama 10 tahun terakhir, AL kita disibukkan dengan berbagai agenda pembenahan internal, yang sampai kini pun masih berjalan. Keputusan pemerintah untuk mengirimkan kapal perang AL kita untuk bergabung dalam UNIFIL Maritime Task Force di Lebanon merupakan suatu kemajuan, karena itu berarti sebuah harapan baru bagi pelaksanaan proyeksi kekuatan kini dan ke depan. Walaupun yang disebarkan ke Lebanon baru satu KRI, tetapi itu suatu perubahan besar.
Kenapa demikian? Pertama, AL kita “dikondisikan” oleh perkembangan lingkungan strategis untuk turut melaksanakan proyeksi kekuatan. Tanpa ”pengkondisian” itu, sulit bagi AL untuk melakukan itu.
Ide partisipasi AL kita ke Lebanon sepengetahuan saya berawal dari permintaan Jerman kepada Indonesia agar AL kita turut partisipasi di Lebanon. Kenapa Jerman meminta kita? Jerman adalah salah satu negara penting dalam EUROMARFOR yang merupakan kekuatan inti dari UNIFIL Maritime Task Force.
Kalau Jerman minta kepada Indonesia, tentu dia sudah konsultasi dengan Prancis.
Kenapa Prancis? Lebanon adalah kaplingnya Prancis. Perlu diketahui bahwa empat anggota Dewan Keamanan PBB (minus Cina) sudah membagi-bagi kapling di dunia. Kalau Prancis tak setuju, nggak mungkin Jerman akan minta Indonesia untuk berpartisipasi dalam UNIFIL Maritime Task Force.
Kedua, paradigma para pengambil keputusan di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI tentang o
perasi perdamaian PBB masih army-minded, kalau tak mau dikatakan infantery-minded. Dari 1957 sampai sekarang yang dikirim pasukan saja, tak pernah kapal perang. Apalagi pesawat-pesawat AU, baik heli, pesawat angkut maupun pesawat tempur.
Ke depan tentu kita berharap AL kita lebih banyak lagi terlibat dalam proyeksi kekuatan, terlebih lagi bila bentuknya operasi perdamaian PBB. Mengapa operasi perdamaian? Sebab biaya operasional kita di-reimburst oleh PBB, jadi sekali hidup mesin (bukan mendayung lagi), ratusan pulau terlampaui. He...he...he...
Keuntungan yang akan kita dapat dari operasi semacam itu bukan saja yang bersifat materi, tapi juga non materi. Yaitu pengalaman operasi Angkatan Laut dalam wadah multinasional. Dalam operasi Angkatan Laut multinasional, berbagai Angkatan Laut yang berbeda harus beroperasi menggunakan SOP, TTP dan ROE yang sama.


05 Desember 2008

Renungan Di HUT Angkatan Laut (Bag-2)

All hands,
Dalam periode 2004 hingga kini, pembangunan kekuatan Angkatan Laut tetap menghadapi tantangan. Baik itu soal keterbatasan anggaran maupun politik. Soal politik datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai contoh, dulu ada pejabat penting di Departemen Pertahanan yang menentang aspirasi AL kita untuk pengadaan kapal selam. Dari luar negeri, Amerika Serikat tak senang kita mau beli kapal selam dari Rusia.
Dengan kata lain, meskipun secara resmi pemerintah mendukung, namun ada elemen-elemen tertentu yang berupaya mentorpedo rencana pembangunan kekuatan tersebut. Sebenarnya kesadaran dari berbagai pihak di negeri ini agar AL kita dibangun hingga menjadi kekuatan yang diperhitungkan di kawasan cukup besar. Sayangnya aspirasi itu seringkali terhambat realisasinya oleh para pengambil kebijakan, dengan alasan tak ada dana.
Itu suatu alasan klasik era Orde Baru. Kalau saya nggak keliru, tahun 1973 ketika terjadi pergantian Kepala Staf AL dari Laksamana Sudomo kepada Laksamana R. Subono, konon pemimpin nasional saat itu pernah berucap, ”Kita perlu Angkatan Laut yang kuat, tapi nanti....”. Nantinya kapan, nggak jelas.!!! Yang jelas ketika sang pemimpin itu lengser keprabon, kekuatan itu tidak terwujud.
Soal ide pengalihan sumber alutsista ke Rusia menurut saya realistis daripada tidak ada kekuatan sama sekali. Kita jangan sampai terkesan mengemis kepada Barat agar diberi alutsista. Kalaupun mereka kasih, pasti kualitasnya di bawah Singapura.
Saat ini telah ada Postur Pertahanan 2010-2029, yang salah satunya atur soal pembangunan kekuatan AL kita dalam periode itu. Hal demikian merupakan kemajuan, sehingga tak ada lagi program pengadaan alutsista yang muncul ”dari tikungan” seperti di masa lalu. Program yang muncul ”dari tikungan” itu konsekuensinya besar dan itu harus dibayar oleh AL hingga alutsista itu pensiun. Bayarannya yah habisnya sumber daya untuk urus alutsista yang sebenarnya tidak efisien, kurang dapat diandalkan, namun pasti menggerogoti anggaran kita.
Untuk ke depan, tantangan yang kini hadapi kian kompleks. Untuk itu, secara internal perlu pembenahan pada semua lini, baik intelijen, operasi, logistik, perencanaan dan tentu saja personel.
Masalah sumber daya manusia adalah isu sentral untuk membangun AL. Oleh karena itu, dengan adanya penerimaan calon kadet AAL secara langsung tanpa harus lewat AD dulu seperti era dulu merupakan kesempatan untuk mencari perwira masa depan dari bibit yang bagus. Tentu saja ketika mereka sudah berdinas, bibit itu harus tetap dibina agar tidak menjadi “tidak bagus”.
Masalah pembinaan personel isu sentral saat ini dan ke depan. Harus ada parameter yang jelas soal karir setiap perwira, agar tahu kira-kira ke depan karir mereka di AL akan sampai di mana. Kalau misalnya hanya sampai pada titik tertentu, mereka masih punya waktu untuk memutuskan apakah meneruskan karir di militer ataukah pindah karir ke dunia sipil.
Itulah praktek yang terjadi di AL negara-negara yang sudah maju. Karena bagaimanapun, tak mungkin semua lulusan akademi akan jadi flag officers. Sebab makin tinggi kepangkatan, jabatan yang tersedia makin sedikit. Undang-undang TNI yang memperpanjang usia pensiun perwira menjadi 58 tahun saat ini sudah dirasakan hasilnya, yaitu banyak perwira yang ”menunggu jabatan” karena yang di atas belum pensiun.
Itulah kesalahan para perumus undang-undang itu. Menurut yang saya tahu, usulan pensiun 58 tahun itu bersifat opsional, kalau keahlian sang perwira masih dibutuhkan. Kalau tidak, pensiun dengan hormat pada usia 55 tahun.
Tapi karena kepentingan segelintir pihak saat itu, opsional itu dihilangkan. Sehingga jadilah dipukul rata semua perwira 58 tahun. Sementara organisasi TNI tidak diperluas. Jadilah penumpukan itu.
Ke depan, pekerjaan rumah terbesar AL kita menurut saya adalah membangun kualitas SDM. Apabila tantangan itu bisa kita tuntaskan, kita dapat menghadapi SDM dari Angkatan Laut lain dengan membusungkan dada!!! Look, they’re Indonesian Navy officers

Renungan Di HUT Angkatan Laut (Bag-1)

All hands,
Tanggal 5 Desember 1959 merupakan salah satu tonggal sejarah dalam Angkatan Laut kita. Pada tanggal itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah AL kita membentuk Armada RI. Sebelum tanggal itu, organisasi AL kita tak mengenal adanya armada. Semua kapal perang langsung berada di bawah komando dan pembinaan Markas Besar AL.
Terbentuknya Armada RI tak lepas dari program modernisasi Angkatan Laut yang dilakukan saat itu. Program modernisasi itu sendiri tidak dapat dilepaskan pula dari kebijakan politik pemerintah untuk menyelesaikan masalah Irian Barat dengan cara apapun.
Seiring berjalannya waktu, tanggal 5 Desember tak lagi diperingati sebagai Hari Armada, tetapi HUT Angkatan Laut. Di sini saya tak akan membahas soal itu, tetapi lebih memfokuskan pada renungan tentang apa yang telah kita capai, belum capai dan seperti apa AL kita ke depan.
Selama 10 tahun terakhir, AL kita berupaya untuk bertahan hidup sekaligus mampu melaksanakan perannya di tengah kondisi atmosfir politik yang kurang berpihak kepada AL. Kenapa dikatakan kurang berpihak? Antara 1998-2004, sebagai bagian dari kampanye pihak tertentu yang tidak suka dengan sepak terjang TNI di masa sebelum itu, secara tidak langsung AL juga terkena dampaknya. Meskipun AL di masa lalu bukanlah pemain utama dalam dominannya TNI dalam segala lini kehidupan bangsa.
Hal itu bisa dilihat dari upaya untuk mengebiri peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional. Di masa lalu peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional diatur dengan jelas. Kenapa demikian?
Karena dalam situasi kontinjensi, armada-armada niaga dapat dimobilisasi untuk mendukung operasi AL. Begitu pula dengan aset-aset lain yang terkait dengan kekuatan maritim. Di situlah strategisnya peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional.
Di era reformasi, peran Kepala Staf AL sebagai pembina kekuatan maritim nasional, menurut saya, secara de jure kurang jelas. Walaupun secara de facto, para pemangku kekuatan maritim nasional mayoritas masih menganggap Kepala Staf AL sebagai pembina mereka. Sebagai bukti, dalam berbagai isu yang terkait dengan masalah maritim nasional, Kepala Staf AL selalu dimintai masukan, saran dan pendapatnya.
Atmosfir politik yang kurang berpihak terhadap AL kita juga dapat dilihat dari suara-suara kontra dari pihak tertentu, termasuk dari mantan petinggi matra lain, ketika AL kita melaksanakan program pembangunan kekuatan. Contoh kasus adalah pengadaan korvet kelas Sigma, ada pihak yang bersuara bahwa kapal itu akan digunakan untuk melanggar HAM. Ada pula mantan orang kuat di militer era Orde Baru (yang kini sibuk kampanyekan diri jadi calon presiden) yang menentang pengadaan korvet kelas Sigma, dengan alasan dananya lebih bermanfaat untuk mencetak satu juta hektar sawah. Itulah persepsi pihak-pihak yang cara pandangannya bukan berdasarkan kepentingan nasional, tetapi berbasis kepentingan kelompok yang sangat sempit.
Menyangkut pembangunan kekuatan dalam periode itu, sulit untuk menepis kesan bahwa AL harus berjuang sendirian untuk pembangunan kekuatannya. Pengadaan korvet Sigma adalah contohnya, yang mana untuk pendanaannya pimpinan AL saat itu harus lobi habis-habisan para pemegang keuangan negara. Untungnya pimpinan Bappenas saat itu sangat paham soal urusan martabat bangsa, sehingga sangat kooperatif membantu AL. Tanpa itu saya tak yakin program itu akan berjalan cepat.
Karena itu, ---bukan sebagai apology---- jangan heran bila korvet Sigma yang sudah masuk susunan tempur saat ini belum ada senjatanya, kecuali meriam 76 mm. Karena penandatanganan kontrak pengadaan kapal pada 2004 berjalan lebih dahulu daripada pengadaan sistem senjata. Kontrak sistem senjata lainnya baru diteken sekitar 2006. Sebagai perbandingan, ketika dulu AL kita pada 1977 menandatangani pembelian tiga korvet kelas Fatahillah, pada tahun itu pula kontrak pengadaan rudal Exocet MM-38 dengan Aerospatile (kini MBDA) diteken.
Tentu ada yang bertanya, kenapa demikian? Duite seret tenan rek. Mengucurnya nggak sekalian satu paket, tapi bertahap. Kayak Lapindo... He...he...he..
Lalu bagaimana dengan pasca 2004? Tunggu sambungan tulisan ini.