02 Desember 2008

Minimum Essential Force dan Capability-Based Planning

All hands,
Perumusan minimum essential force AL kita harus mengacu pada capability-based planning. Hal itu tak bisa ditawar-tawar lagi, sebab merupakan arahan kebijakan dari Departemen Pertahanan. Pada dasarnya saya sependapat dengan arahan itu, karena memang paradigma pembangunan kekuatan pertahanan dan militer saat ini adalah capability-based planning dan bukan lagi threat-based planning. Pergeseran paradigma tidak lepas dari besarnya biaya yang harus ditanggung bila masih tetap mempertahankan pendekatan threat-based planning.
Pertanyaannya kemudian, kemampuan seperti apa yang harus dimiliki oleh AL kita dalam minimum essential force? Menurut saya, karena minimum essential force kaitannya dengan peran militer Angkatan Laut, maka kemampuan yang harus dimiliki adalah yang terkait dengan naval warfare. Meliputi kemampuan peperangan atas air, peperangan bawah air dan proyeksi kekuatan.
Peperangan atas air bukan semata untuk menghadapi kapal atas air lawan, tetapi justru pesawat udara lawan. Peperangan bawah air tidak sebatas AKS, tapi juga peperangan ranjau (mine warfare). Yang agak rancu nantinya adalah proyeksi kekuatan, karena apabila kita pelajari betul soal proyeksi kekuatan dalam strategi maritim, hal itu berarti kita memproyeksikan kekuatan ke negara lain.
Masalahnya di Indonesia kita sering salah memahami itu, proyeksi kekuatan dalam latihan dan praktek dilaksanakan di wilayah sendiri. Salah satu bentuk proyeksi kekuatan adalah operasi amfibi. Lihat Latgab TNI 2008, kita proyeksi kekuatan ke wilayah kita sendiri.
Kalau kita sudah sepakat bahwa kemampuan yang dimaksud terkait dengan naval warfare, dari situ kita bisa rumuskan kebutuhan alutsista kita, khususnya untuk kapal kombatan atas air dan bawah air. Perumusan itu harus bertitik tolak dari kondisi susunan tempur kita saat ini.
Sebagai contoh, dari tiga kemampuan naval warfare yang harus dimiliki oleh AL kita, mana yang masih kurang. Menurut saya yang masih kurang adalah kemampuan peperangan udara. Dalam susunan tempur saat ini, kita tak memiliki air warfare frigate alias fregat peperangan udara.
Sementara kemampuan peperangan AKPA, AKS dan peranjauan relatif sudah dimiliki. Kapal-kapal kombatan kita dipersenjatai dengan meriam serbaguna, rudal anti permukaan dan torpedo untuk hadapi peperangan AKPA. Kapal selam kita dipersenjatai dengan heavy weight torpedo. Yang masih kurang adalah kemampuan peperangan udara, karena tak mungkin konvoi kapal perang kita selama manuver tergantung pada payung udara pesawat tempur AU 24 jam terus menerus.
Berangkat dari situ, saya berpendapat bahwa salah satu kapal kombatan yang dibutuhkan ke depan adalah air warfare frigate. Kita juga tetap butuh kapal kombatan yang spesialisasi AKPA dan AKS, untuk mengantisipasi pensiunnya sejumlah kapal kombatan yang saat ini ada dalam susunan tempur.
Mengingat bahwa postur pertahanan berlaku dalam periode 2010-2029, semenjak dini dalam setiap tahapan postur itu kita harus mengantisipasi pengadaan kapal perang baru. Soal berapa jumlah kapal yang dibutuhkan untuk memenuhi minimum essential force, perlu dibahas secara intensif dengan mempertimbangkan berbagai faktor determinan.

1 komentar:

Ali76 mengatakan...

Setuju bung, selama ini tni-al hanya mengandalkan mistral. Mungkin mistral o.k. utk mengcounter ASM dikarenakan abilitas manuver ASM tidak sebaik jet tempur. Jadi paling tidak kita butuh 2 kapal dgn kmampuan payung udara radius >10 mil, masing2 utk armabar dan armatim. Gimana menurut bung Allhands??