30 November 2008

Faktor Ruang-Waktu dan Rencana Yudha

All hands,
Untuk menghadapi kontinjensi, TNI setiap tahun membuat Rencana Yudha. Rencana Yudha adalah suatu dokumen rahasia yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang saja. Hal itu sangat dimaklumi, karena isinya di dalam soal wilayah kontinjensinya di mana, siapa pihak yang akan menjadi lawan, apa cara bertindak kita dan lain sebagainya.
Rencana Yudha tidak akan bisa dipisahkan dari faktor ruang dan waktu. Seperti sudah ditulis sebelumnya, faktor ruang dan waktu akan sangat mempengaruhi perencanaan operasi yang akan dilaksanakan. Semakin jauh jarak antara kekuatan kita bertolak dengan wilayah kontinjensi, semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk mencapai wilayah itu.
Memang ada angkutan udara strategis dengan C-130 Hercules, tetapi kekuatan pasukan dan logistik yang bisa dipindahkan oleh pesawat legendaris itu terbatas. Pergeseran pasukan dan logistik dalam jumlah besar tetap harus mengandalkan angkutan lintas laut AL kita. Hercules hanya difokuskan pada pergeseran pasukan reaksi cepat dengan kekuatan sekitar satu batalyon.
Rencana Yudha yang sudah disusun harus di-oyu-kan untuk menguji kesahihannya. Dengan di-oyu-kan, akan diketahui mana asumsi yang sahih alias valid, mana asumsi yang tidak valid. Asumsi yang tidak valid itulah yang kemudian harus direvisi.
Masalahnya adalah sangat disayangkan bahwa Rencana Yudha tidak pernah di-oyu-kan. Meminjam istilah yang terkenal dan kadang jadi bahan tertawaan karena mirip dengan definisi doktrin yang dianut oleh matra tertentu, Rencana Yudha terkesan adalah “sesuatu yang diyakini kebenarannya”.
Bagaimana kita meyakini kebenaran sesuatu bila tidak teruji? Bisa saja ada pihak yang berpendapat bahwa itu sudah diuji dalam Latgab. Masalahnya, dalam Latgab itu tidak murni menggambarkan situasi sebenarnya. Kekuatan kita dikondisikan untuk menang, karena kekuatan lawan dirancang lemah dari awal. Apabila itu diuji, akan banyak asumsi yang gugur dan rentetan konsekuensinya banyak dan panjang. Dan apa pihak yang merasa dirugikan di sini.
Kembali ke soal faktor ruang-waktu, bagaimana kita bisa menjamin bahwa kita akan mencapai strategic political and military objective bila sesuatu yang kita rencanakan tidak diuji terlebih dahulu. Harus diingat bahwa strategi tidak bekerja di alam vakum.

29 November 2008

Balahanpus-Balahanwil Dihadapkan Pada Faktor Waktu

All hands,
Napoleon Bonaparte pernah berujar, “space we can recover, lost time never”. Mari kita uji ucapan tersebut dengan konsep Balahanpus-Balahanwil yang dianut oleh TNI dalam strategi pertahanan. Apakah benar konsep itu masih valid? Apakah konsep itu cocok untuk semua matra Angkatan atau hanya untuk matra tertentu saja?
Kekuatan yang diklasifikasikan sebagai Balahanpus adalah Kostrad, Kopassus, Komando Armada RI (Barat/Timur), Korps Marinir, Korpaskhas, Koopsau dan Kohanudnas. Sedangkan Balahanwil adalah kekuatan tempur AD di daerah yang berada di bawah Kodam.
Secara kasat mata, sangat jelas sebagian besar kekuatan Balahanpus terpusat di Pulau Jawa. Yang tidak di pulau ini cuma Brigif Linud Kostrad yang bermarkas di Makassar dan beberapa skadron tempur AU. Sedangkan skadron angkut AU semuanya terpusat di Pulau Jawa.
Adapun AL kita kekuatan armadanya terpusat di Pulau Jawa juga, meskipun kapal perangnya setiap saat disebar untuk beroperasi di semua perairan yurisdiksi. Kekuatan Marinir juga terpusat di sini, kecuali satu batalyon di Teluk Ratai.
Yang selalu menjadi masalah soal jarak dan waktu untuk merespon kontinjensi yang terjadi di luar Pulau Jawa. Kita tentu sepakat, jangankan untuk melakukan penyebaran kekuatan secara masif dari Pulau Jawa, untuk mobilisasi saja tentu butuh waktu. Sebagai contoh, berapa jam waktu yang diperlukan oleh satuan-satuan tempur Kostrad yang berada di Jawa Timur untuk bergerak ke Dermaga Ujung guna embarkasi ke KRI. Begitu pula satuan-satuan tempur Kostrad di Jawa Tengah, berapa jam yang mereka perlukan untuk sampai di Pelabuhan Tanjung Emas sebagai titik embarkasi lewat laut.
Itu baru soal waktu yang diperlukan untuk embarkasi, belum lagi waktu pergeseran pasukan ke wilayah kontinjensi. Ini dengan catatan bahwa kekuatan darat dibutuhkan untuk merespon kontinjensi. Kalau kekuatan darat tidak dibutuhkan, yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana meng-assemble berbagai KRI menjadi suatu Gugus Tugas dalam waktu yang singkat.
Gugus Tugas itu pun sangat riskan terhadap upaya-upaya pencegatan dalam perjalanan menuju wilayah kontinjensi. Menurut saya ancaman paling riskan adalah peperangan udara dan peperangan kapal selam.
Soal Balahanpus-Balahanwil sebenarnya sudah sering diuji dalam Latgab. Sudah sering di-oyu-kan juga. Tapi karena tidak jujur pada diri sendiri, para pengambil kebijakan TNI masih merasa yakin konsep Balahanpus-Balahanwil masih relevan.
Seandainya kita jujur, harus ada persentase jelas berapa persen probabilitas Gugus Tugas AL kita akan sampai di wilayah kontinjensi tanpa kerugian (kekuatan masih utuh) akibat aksi lawan di laut. Kalau tidak utuh, probabilitas kekuatan yang mampu mencapai wilayah konflik dan siap tempur berapa persen. Harus ada persentase jelas pula berapa persen probabilitas kita akan mampu memenangkan konflik di laut menghadapi Angkatan Laut di sekitar negeri kita. Tentu prosentasenya berbeda untuk menghadapi setiap Angkatan Laut yang berbeda, sebab banyak hal harus dikalkulasikan sebagai susunan tempur, kemampuan sensing, di laut mana kita bertempur, moril awak kapal dan lain sebagainya.
Semakin jauh jarak antara wilayah kontinjensi dengan induk kekuatan yang terpusat di Pulau Jawa, semakin banyak waktu yang diperlukan untuk melaksanakan penyebaran kekuatan. Dan hal itu memberikan keuntungan kepada lawan untuk mencapai strategic political and military objective-nya.
Soal Balahanwil, kekuatan itu berguna kalau konfliknya di darat. Tapi kalau di laut, semoga mereka tidak diterjunkan ke laut untuk bertempur di laut sambil berenang. Ketika kasus Blok Ambalat memanas Februari-Maret 2005, seorang petinggi Kostrad waktu itu dengan patriotisme yang tinggi bilang prajuritnya siap diterjunkan ke Ambalat. Memangnya Ambalat itu pulau, Jenderal?

28 November 2008

Kalkulasi Waktu: Antara Operasional Dengan Politik

All hands,
Aksi militer seperti operasi besar dan kampanye dipastikan akan berlomba dengan waktu. Waktu yang dimaksud di sini bukan saja saat operasi dilaksanakan, tetap juga mencakup tahap perencanaan dan persiapan. Perencanaan aksi militer harus dilakukan dengan matang, sebab kalau tidak mau strategic political objective dan strategic military objective tidak akan tercapai.
Itulah yang dialami oleh Hitler saat menggelar Operation Barbarosa. Para perencana Wehrmach telah menyusun sekitar 10 tahapan operasi. Namun ketika operasi militer baru memasuki tahap kedua, oleh Hitler langsung di-by pass ke tahap delapan. Artinya ada tahap yang tidak dilaksanakan dan hal itulah yang berkontribusi terhadap kegagalan Operasi Barbarosa. Kepentingan politik sang pemimpin mengalahkan kalkulasi operasional militer.
Perencanaan operasi harus memperhitungkan pula waktu yang dibutuhkan untuk mobilisasi kekuatan sendiri. Di masa kini, mobilisasi kekuatan tidak membutuhkan waktu lama karena kemajuan teknologi, termasuk teknologi transportasi. Terlebih satuan-satuan operasional biasanya mempunyai tingkat kesiapan yang tinggi.
Yang menjadi masalah justru bila aksi militer dilaksanakan jauh dari wilayah sendiri, misalnya saat Om Sam mau gelar Operation Desert Shield. Militer Uwak Sam memerlukan beberapa bulan untuk memobilisasi kekuatan di Arab Saudi. Dalam hal mobilisasi, di antara faktor yang krusial adalah logistik. Logistik yang terdiri dari bermacam jenis, ---basah, kering, cair--- harus dimobilisasi, bahkan seringkali jauh dari pangkalan induk. Untuk menghadapi permasalahan itu, negara-negara yang memproyeksikan kekuatannya ke luar negeri seringkali mempunyai depo logistik di negara-negara lain untuk memudahkan mobilisasi.
Waktu penyebaran kekuatan juga perlu diperhitungkan. Ini seringkali krusial, terlebih ketika pertimbangan politik lebih mendominasi. Mei 2003, pasukan Marinir yang sudah diangkut oleh kapal-kapal amfibi beberapa hari menunggu di tengah laut, karena pemerintah belum memberikan lampu hijau untuk menyerbu Aceh. Berada di tengah laut tanpa kepastian itu merupakan hal sulit, karena selain masalah keterbatasan dukungan logistik buat pasukan, juga menyangkut moril pasukan.
Saya tidak tahu apakah ketika lampu hijau itu ”menyala” dan kemudian Marinir melakukan pendaratan amfibi di pantai Samalanga, timing-nya tepat ditinjau dari perspektif operasi amfibi atau tidak. Sebab dalam pendaratan itu ada PTS yang terbalik dan memakan korban jiwa Marinir. Seperti kita ketahui, untuk menentukan kapan kita melaksanakan operasi amfibi, khususnya untuk GKK Lintas Permukaan, faktor cuaca, waktu, pasang surut air laut dan fase bulan juga harus diperhatikan.

27 November 2008

Arti Penting Waktu Dalam Aksi Militer

All hands,
Selain space, hal lain dalam operational art yang tak boleh diabaikan adalah waktu. Bahkan dapat dikatakan faktor ini selalu menjadi pertimbangan utama dalam merancang aksi militer, baik operasi besar maupun kampanye. Faktor waktu mempunyai hubungan yang erat dengan faktor space.
Di masa lalu, selalu ada beberapa hari waktu jeda antara deklarasi perang dengan aksi militer sebagai konsekuensi dari deklarasi itu. Hal itu tak lepas dari teknologi transportasi dan lain sebagainya yang mempengaruhi aksi militer. Namun sejak abad ke-20, seringkali tidak ada jeda waktu antara deklarasi perang dengan aksi militer. Bahkan ada sejumlah perang yang langsung dibuka dengan aksi militer tanpa deklarasi resmi, misalnya Perang Korea, Perang Arab-Israel yang terdiri dari beberapa seri itu, Perang Iran-Irak dan Perang Malvinas.
Karena sangat krusial soal waktu, persiapan untuk aksi militer (baik ofensif maupun defensif) masa kini dilakukan pada masa damai. Sebab tidak mungkin lagi mengharapkan pola sebelum abad ke-20, yang mana ada jeda waktu persiapan militer setelah deklarasi perang diumumkan.
Sebagai contoh, Inggris yang diserang oleh Argentina dalam Perang Malvinas tidak mempunyai waktu banyak untuk melakukan mobilisasi kekuatan. Gugus Tugas Royal Navy yang dikirim ke Kepulauan Malvinas berasal dari tempat-tempat yang berbeda dan sebagian tidak berangkat dari pangkalan Angkatan Laut di Inggris. RV-nya di tengah Samudera Atlantik Selatan dan rencana operasi disusun tanpa harus setiap komandan kapal perang berkumpul di suatu tempat. Mereka menyusun rencana operasi menggunakan kemajuan teknologi untuk tukar menukar gagasan, sebelum disetujui menjadi sebuah rencana operasi yang final dan siap untuk dilaksanakan.
Dalam konteks operasi Angkatan Laut atau maritim, menyusun rencana operasi bukan hal yang mudah. Karena operasi yang dilaksanakan keberlanjutannya tergantung pula pada dukungan logistik (logistic sustain). Dukungan logistik merupakan isu kritis bagi setiap Angkatan Laut, karena dalam aksi militer tidak boleh ada jeda operasi alias operasi berhenti sementara karena menunggu dukungan logistik. Aksi militer yang dilancarkan harus dilaksanakan secara cepat, dalam hitungan hari atau paling lama satu minggu untuk mencapai strategic objective.
Kenapa demikian? Jangan sampai suatu pemerintahan yang membawahi militer mendapat tekanan internasional untuk segera menghentikan aksi militernya, sementara strategic political objective dan strategic military objective belum tercapai. Oleh sebab itu, sangat penting untuk melaksanakan aksi militer dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sebelum tekanan internasional mem-faith accomply kita.
Kaitannya dengan space, terkadang antara mandala operasi dengan titik embarkasi pasukan jaraknya jauh, sehingga membutuhkan waktu untuk mencapai mandala. Hal itu harus diperhitungkan dengan betul, apalagi dalam konteks operasi Angkatan Laut atau maritim. Jangan sampai kekuatan kita sampai di mandala operasi ketika situasi di lapangan dan situasi politik sudah tidak menguntungkan (in favor of) kita lagi. Atau jangan sampai pula kekuatan kita tidak pernah sampai ke mandala operasi karena disergap oleh kekuatan kapal selam lawan di tengah jalan.
Ditarik ke alam nyata, soal space and time merupakan hal yang tak boleh kita abaikan dalam soal kontinjensi di Laut Sulawesi (Blok Ambalat). Jarak antara Pulau Jawa sebagai titik embarkasi kekuatan dengan Laut Sulawesi terlalu jauh, meskipun di Blok Ambalat sudah ada kekuatan yang siaga. Namun tetap saja kekuatan itu butuh perkuatan yang lebih besar dan kebijakan pertahanan masih tempatkan center of gravity di Pulau Jawa. Itu yang sangat kritis!!!

26 November 2008

Bertempur Di Battlespace Yang Sama

All hands,
Dalam operasi besar atau kampanye, operasi gabungan merupakan suatu keharusan. Tidak ada lagi operasi militer masa kini maupun masa depan yang tak menggunakan moda operasi gabungan. Makin rumitnya ancaman yang dihadapi, terjadinya revolution in military affairs dengan segala implikasinya, bertambahnya dimensi ruang tempur sehingga menjadi battlespace adalah alasan-alasan mengapa operasi gabungan merupakan satu-satunya pilihan.
Tantangan dalam melaksanakan operasi gabungan cukup besar, khususnya bagi militer negara-negara yang belum terbiasa dengan operasi gabungan. Menggabungkan tiga matra militer untuk bertempur di battlespace yang sama tanpa meninggalkan karakteristik, nature, doktrin dan ciri khas masing-masing merupakan pekerjaan yang tidak gampang.
Militer di negara-negara maju sejak lama telah terbiasa dengan operasi gabungan, sehingga ketika tiba masanya di mana operasi gabungan merupakan keharusan, langkah mereka tidak terlalu berat. Mereka tinggal menyusun sejumlah perangkat lunak yang terkait dengan operasi gabungan berdasarkan pengalaman mereka selama berpuluh-puluh tahun dari berbagai operasi yang pernah dilaksanakan. Dari situ lahirlah berbagai joint publication sesuai bidangnya, misalnya logistik, personel, operasi, intelijen dan lain sebagainya.
Termasuk pula dalam perangkat lunak itu adalah peta-peta gabungan. Maksudnya, semua matra militer menggunakan peta yang sama untuk bertempur di battlespace yang sama. Khususnya peta topografi, karena pergerakan pasukan gabungan maupun sasaran yang harus dihancurkan berada di medium daratan. Sedangkan medium laut dan udara boleh dikatakan relatif independen, dalam arti di kedua medium yang bertempur masih didominasi oleh masing-masing matra terkait.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Sudah kita siap dengan peta tempur gabungan sebagai bagian dari persiapan andaikata suatu saat nanti ada kontinjensi? Medan tempur kita sudah jelas, kita akan bertempur di wilayah yurisdiksi sendiri, bukan menyerbu ke negara lain.
Pengalaman operasi di Timor Timur tahun 1975-1980 menunjukkan bahwa saat itu militer kita sangat tidak terbiasa dengan operasi gabungan. Tidak sedikit korban di pihak kita yang jatuh karena blue on blue. Sebagian kasus blue on blue terjadi karena peta yang digunakan tidak sama, padahal kita bertempur dalam battlefield yang sama.
Korban blue on blue antara lain terjadi dalam permintaan bantuan tembakan kapal (BTK) alias naval gunfire support dan juga bantuan tembakan pesawat. Dalam BTK, pasukan di pantai menggunakan peta yang tidak sama dengan peta yang dipegang oleh para perwira di kapal perang. Posisi koordinat xx0 xx’ xx’’ yang ada di peta pasukan di pantai berbeda posisinya dengan yang ada di peta yang dipegang di kapal perang.
Akibatnya, alih-alih menewaskan musuh, BTK malah blue on blue. Namun kapal perang juga tidak bisa disalahkan, karena mereka melakukan BTK sesuai dengan koordinat yang diminta oleh pasukan di darat/pantai dan berdasarkan perhitungan di peta mereka. Titik masalahnya adalah ketidaksamaan peta yang digunakan, sehingga koordinat yang sama pun berbeda posisinya di peta.
Apakah kita sekarang sudah berubah dan mengambil lesson learned dari situ? Harapannya begitu. Semoga apa yang dilihat masyarakat umum dalam Latihan Gabungan TNI 2008 khususnya waktu fase BTK memang demikian adanya sehinga tingkat blue on blue dapat dikurangi.
Namun secara pribadi saya khawatir, karena sepengetahuan saya, peta tempur gabungan (PTG) yang dipunyai oleh militer kita sangat terbatas sekali. PTG menggabung peta laut dengan peta topografi. Mungkin saya keliru, namun yang saya ketahui PTG yang ada itu cuma untuk wilayah Natuna.
PTG itu dibuat sebelum Latihan Gabungan ABRI 1996, sehingga tak heran bila dalam Latihan Gabungan TNI 2008 kembali pulau itu dijadikan wilayah manuver. Kalau di Sangata kemarin, tidak pakai PTG.

25 November 2008

Mutlaknya Battlespace Awareness

All hands,
Seperti telah ditulis sebelumnya, dalam operational art harus mengandung keseimbangan antara space-time-force. Menyangkut space, ruang tempur masa kini tidak lagi tiga dimensi yaitu surface, subsurface dan airspace, tetapi telah menjadi empat dimensi dengan tambahan yaitu cyberspace atau electromagnetic spectrum. Perubahan konsep tentang space dalam operational art telah mengubah pula konsep dari battlefield menjadi battlespace. Battlefield hanya terdiri dari tiga dimensi, sementara battlespace komponennya ada empat dimensi.
Terkait dengan hal itu, operational art masa kini mengenal terminologi battlespace awareness. Buat kita yang school of thought-nya bermahzab ke Amerika Serikat dan NATO, tentu sangat paham dengan battlespace awareness. Sebenarnya battlespace awareness juga tercakup dalam school of thought di Rusia, hanya saja istilah yang mereka gunakan berbeda.
Substansinya adalah peperangan masa kini, penguasaan terhadap battlespace awareness sangat mutlak. Kalau ingin mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik strategic objective maupun tactical objective, battlespace awareness harus dikuasai. Pertanyaannya, apa definisi battlespace awareness.
Menurut Milan Vego, battlespace awareness adalah “pengetahuan” tentang ruang fisik di mana kita beroperasi, yang mencakup empat dimensi yaitu surface, subsurface, airspace dan cyberspace. Sedangkan menurut Joint Publication 1-02 U.S. Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms, 12 April 2001 As Amended Through 17 October 2007, battlespace awareness is knowledge and understanding of the operational area’s environment,factors, and conditions, to include the status of friendly and adversary forces, neutrals and noncombatants, weather and terrain, that enables timely, relevant, comprehensive, and accurate assessments, in order to successfully apply combat power, protect the force, and/or complete the mission.
Dari dua definisi itu, sebenarnya tidak ada perbedaan yang substansial. Keduanya menekankan kepada penguasaan atau pengendalian terhadap ruang di mana kekuatan kita beroperasi. Dengan battlespace awareness, kita dapat menentukan rencana operasi maupun manuver di lapangan, termasuk pula melakukan perubahan terhadap rencana operasi sesuai dengan situasi terakhir di lapangan.
Kalau kita tarik ke lingkup Indonesia, dalam hal ini AL kita, banyak pekerjaan rumah yang harus kita bereskan terkait dengan battlespace awareness. Entah itu soal penguasaan informasi terhadap ruang laut (kolom air), pembenahan terhadap kemampuan peperangan elektronika, pembenahan terhadap kemampuan penginderaan maupun K3I dan lain sebagainya. Untuk membereskan pekerjaan rumah itu, AL kita tidak bisa bekerja sendiri, melainkan harus didukung secara nyata oleh pemerintah dengan beragam lembaganya yang terkait.
Pilihan yang tersedia tak ada selain melakukan pembenahan dimaksud, karena jikalau suatu saat nanti kita konflik dengan Angkatan Laut di sekitar negeri ini, battlespace awareness adalah indikator apakah kita akan dapat mencapai strategic and tactical objective atau tidak. Senjata yang canggih, lebih mematikan dan keluaran generasi terakhir tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan battlespace awareness.

24 November 2008

Ruang Dalam Kemajuan Teknologi

All hands,
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tantangan dalam melaksanakan operational art masa kini adalah lahirnya ruang baru yang kasat mata namun nyata, yaitu cyberspace. Cyberspace melahirkan konsep network-centric warfare, yang mana kemampuan terhadap penguasaan ruang ini akan berpengaruh besar terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Perang masa kini dan masa depan salah satunya akan terjadi di cyberspace dan pihak yang lemah di cyberspace akan menuju pada kekalahan taktis dan strategis.
Masalah krusial dalam penguasaan terhadap cyberspace adalah kemampuan terhadap penguasaan teknologi yang berkaitan dengan itu. Hanya negara-negara maju dengan dukungan anggaran pertahanan yang berkali-kali lipat dibandingkan negara-negara berkembang yang mampu mewujudkan penguasaan terhadap cyberspace. Sedangkan negara-negara berkembang, kecuali beberapa negara saja, masih berkutat pada ruang konvensional seperti ruang di masa Perang Napoleon.
Tantangan inilah yang kini dihadapi oleh Indonesia. Kemampuan untuk menguasai cyberspace masih sangat lemah. Apa yang terjadi dalam Latihan Gabungan TNI 2008 menunjukkan hal itu. Untuk menanggulangi hal tersebut, satu-satunya cara adalah membangun kemampuan network-centric warfare ala Indonesia. Yang dimaksud ala Indonesia adalah kemampuan yang dibangun adalah sesuai dengan kondisi kita saat ini, bukan langsung meniru cara-cara serupa yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang biasanya selalu dijadikan rujukan.
Amerika Serikat sudah lama menguasai teknologi-teknologi yang terkait cyberspace, termasuk teknologi satelit. Yang paling mungkin dilakukan oleh Indonesia sekarang adalah bagaimana ruang cyber yang dimanfaatkan bagi kepentingan militer mampu menangkal serangan dari lawan. Itu saja dulu.
Untuk membangun kemampuan itu, dukungan nyata dari pemerintah, lembaga riset pemerintah dan BUMN sangat dibutuhkan. Pertanyaannya, siapa yang akan jadi leading sector? Kalau anggarannya puluhan trilyun, semua instansi pasti akan rebutan jadi leading sector.

23 November 2008

Eksploitasi Ruang Dalam Operasi

All hands,
Dalam operational art, space-time-force merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Terkait dengan space, faktor itu selalu bersifat dinamis, dapat berukuran luas atau sempit, selalu mempunyai jarak dan juga terkait dengan posisi geostrategis. Pihak yang mempunyai posisi geostrategis yang lebih menguntungkan dipastikan akan mengeksploitasi hal tersebut semaksimal mungkin.
Sebagai contoh, dalam Perang Dingin akses Angkatan Laut Uni Soviet ke Samudera Atlantik dari Laut Barents terhalangi oleh posisi Swedia (Pulau Greenland) dan Norwegia. Kapal atas air dan kapal selam Rusia yang hendak keluar masuk Samudera Atlantik harus melalui wilayah perairan yang terbentang di antara Pulau Greenland dan Norwegia. Di tengah perairan itu, terdapat Pulau Jan Mayen yang merupakan tuan rumah bagi fasilitas eavesdropping NATO untuk memantau pergerakan Angkatan Laut Uni Soviet. Di perairan itu pula dibangun sistem deteksi bawah air (SOSUS) untuk memantau pergerakan kapal selam Uni Soviet, dikenal sebagai GIUK (Greenland-Iceland-United Kingdom).
Soal posisi geostrategis Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Namun masalahnya bangsa ini tidak melihat peluang bagaimana memanfaatkan potensi itu. Termasuk pula dalam hal membangun kemampuan untuk operasi maritim. Dan terlalu sempit kalau semua ini dibebankan kepada AL kita, karena AL kita berada dalam sistem pertahanan nasional dan hanya satu dari sekian aktor.
Dengan mempunyai empat dari sembilan choke points strategis dunia, semestinya kita bisa eksploitasi itu. Selain menutup salah satu choke points sebagai opsi bila kita tidak senang dengan tindakan negara-negara tertentu di sekitar Indonesia, perairan itu juga dapat dieksploitasi bagi kepentingan peperangan kapal selam. Di antaranya adalah membangun jaringan sistem deteksi bawah air di sana.
Hal itu merupakan pekerjaan besar, oleh karena itu kurang tepat bila dibebankan kepada AL kita saja. Harus ada dukungan teknis dan anggaran dari instansi-instansi terkait. Dukungan teknis misalnya soal teknologi sistem deteksi bawah air yang sepertinya dikuasai oleh BPPT dan LIPI, sedangkan anggaran terkait dengan Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan.
Kalau saya nggak salah, beberapa tahun lalu sebenarnya AL kita pernah mencoba memasang prototipe sistem deteksi bawah air di Selat Lombok. Celakanya, alat itu rusak karena nelayan kita ternyata profesinya bukan cuma cari ikan, tapi juga pemulung yang nggak bisa lihat barang bagus di tengah laut. Soal mereka jadi pemulung apakah karena alasan profesi atau karena disuruh Australia, saya tak bisa pastikan. Jadi kasusnya mirip dengan peralatan deteksi tsunami yang hilang dan rusak beberapa waktu terakhir.
Menurut saya, yang mendesak untuk dipasang sistem deteksi bawah air adalah perairan di sekitar Kepulauan Riau dan ALKI II, dari Selat Lombok hingga Selat Makassar. Kenapa begitu? Kapal selam Singapura, Malaysia (nantinya) dan Australia suka bermanuver di sekitar perairan-perairan itu. Apalagi waktu kasus jatuhnya pesawat Boeing B-737 Adam Air PK-KKW di Selat Makassar 1 Januari 2007, pemerintah Indonesia dengan tulus, lugu, pura-pura tidak pintar dan mungkin didorong oleh semangat ASEAN mengundang pesawat patroli maritim Singapura untuk mempelajari ALKI II, khususnya Selat Makassar.
Soal sistem deteksi bawah air terkait dengan space ini memang manfaatnya mungkin belum akan terasa sekarang, tetapi nanti ketika suatu saat muncul konflik. Dalam konflik militer, space memainkan peran penting dan semua pihak yang terlibat akan berupaya mengeksploitasinya semaksimal mungkin.

22 November 2008

Ruang Operasi Dan Intelijen

All hands,
Bila berdiskusi tentang operasi, sebaiknya kita berangkat dari pemahaman berikut. Dalam tataran doktrin militer secara umum, dikenal ada tiga tingkatan yaitu strategis, operasional dan taktis. Hal ini umumnya berlaku di semua matra di dunia, kecuali di Angkatan Laut. Di Angkatan Laut banyak negara, dengan U.S. Navy sebagai acuan, cuma mengenal dua tingkatan yaitu strategis dan taktis.
Karena hanya mengenal dua tingkatan, maka di Angkatan Laut berbagai negara dikenal adanya operational art.
Operational art yang dikenal di Angkatan Laut menghubungkan antara tataran strategis dan taktis. Sebab pencapaian tujuan (objective) dalam suatu kampanye atau operasi besar (major operation) tidak dapat bertumpu pada strategi saja, karena perspektif strategi terlalu luas. Tetapi tak dapat pula dicapai hanya dengan mengandalkan pada taktik saja, karena pandangan taktik terlalu sempit. Untuk menjembatani kedua, maka lahirnya operational art.
Dalam kampanye atau operasi besar, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi tercapai tujuan kampanya atau operasi besar itu. Yaitu space, time and force. Ketiga faktor itu saling berinteraksi, sehingga dituntut adanya balancing space-time-force. Ketidakseimbangan satu dari tiga faktor itu akan mempengaruhi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Sun Tzu pernah berucap, those who do not know the conditions of mountains and forests, hazardous defiles, marshes and swamps, cannot conduct the march of an army. Faktor space menurut Milan Vego merupakan means sekaligus objective. Means karena untuk melaksanakan operasi militer secara sukses, dibutuhkan space yang cukup. Adapun objective sebab dalam melaksanakan operasi militer, pengendalian terhadap space adalah keharusan.
Ditarik dalam konteks operasi Angkatan Laut atau operasi maritim, kita mengenal konsep pengendalian laut (sea control). Tanpa pengendalian laut, suatu Angkatan Laut tidak akan dapat mencapai tujuan kampanye atau operasi besar yang telah dirancang. Pengendalian laut adalah prasyarat bagi pencapaian tujuan operasi pada domain maritim.
Untuk dapat melaksanakan pengendalian laut, kita harus mempunyai data-data hidrografi, oseanografi, meteorologi dan lain sebagainya yang terkait dengan sifat fisika dan kimia dari laut di mana kita beroperasi. Pengumpulan data itu harus dilakukan pada masa damai seperti saat ini. Secara teknis ini adalah tugas pokok dari Dishidros, namun Dishidros pun sepatutnya mendapatkan masukan dari para pemakai data yaitu Armada agar data-data yang dikumpulkan selain lengkap, juga sesuai dengan kebutuhan operasi.
Jangan sampai kita sebagai manusia meremehkan alam, karena alam atas seijin pemiliknya yaitu Allah Swt dapat menggagalkan rencana operasi yang dirancang oleh manusia. Banyak contoh soal ini, termasuk yang dialami ketika melaksanakan operasi di Timor Timur pada 1975-1980. Menurut cerita para senior yang pernah bertugas di sana, kondisi medan operasi di laut seperti cuaca, keadaan laut, kondisi pantai dan lain sebagainya seringkali menghambat pencapaian tujuan operasi. Dengan kata lain, intelijen di masa itu telah mengabaikan faktor alam dalam laporan intelijen yang digunakan untuk menyusun rencana operasi dan hanya berfokus pada kekuatan fisik musuh.
Saat ini, salah satu wilayah fokus operasi TNI adalah wilayah Laut Sulawesi (Blok Ambalat). Apabila demikian, seharusnya yang berfokus ke sana bukan cuma Armada dengan menggelar kehadiran unsur-unsur kapal perang selama 24 jam dan 365 hari, tetapi juga unsur-unsur Hidro-Oseanografi harus ke sana. Harus disurvei ulang mengenai kondisi perairan di sana, mulai dari pantai di sekitar Nunukan, Tarakan, Sebatik hingga ke Laut Sulawesi.
Kita memang mempunyai data hidrografi dan oseanografi di perairan itu. Namun data itu harus selalu dimutakhirkan, karena pasti terjadi perubahan-perubahan di sana, baik karena faktor alam maupun non alam. Meskipun setiap perwira operasi di atas kapal perang telah didoktrin untuk berasumsi bahwa data yang ada di peta tidak sepenuhnya akurat karena faktor-faktor itu, tetap saja pemutakhiran adalah jalan terbaik.

21 November 2008

Angkatan Laut Kembali Ke Tugas Awal

All hands,
Meningkatnya ancaman terhadap keamanan maritim di perairan Somalia, meskipun Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan UNSCR S/Res/1816 (2008), pada sisi lain telah mengembalikan Angkatan Laut pada fungsi prinsipilnya. Secara klasik, fungsi prinsipil Angkatan Laut adalah melindungi rute perdagangan laut dan menghalangi atau merusak rute perdagangan laut lawan.
Mengapa demikian? Karena kelahiran Angkatan Laut mula-mula memang ditujukan untuk melindungi armada dagang negaranya. Dari situ lahir prinsip peperangan laut yang hingga kini masih berlaku, yaitu defend against sea borne attack, isolated enemy’s land forces dan carry the attack accross the sea to the enemy.
Sekarang dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kehadiran kapal perang dari berbagai negara di Teluk Aden, perairan Somalia maupun di perairan internasional sekitar negeri itu. Kapal perang itu bertugas untuk mengawal kapal niaga yang melintasi perairan-perairan itu agar tak dibajak. Beberapa hari lalu kapal perang India INS Tabar telah menembak sebuah mother ship di Teluk Aden.
Kasus itu menunjukkan bahwa Angkatan Laut di manapun tidak akan lepas dari fungsi prinsipil untuk melindungi armada niaga negaranya. Istilah lainnya adalah perlindungan terhadap perkapalan. Preseden sebelumnya, pada 1987-1988, kapal perang Amerika Serikat juga melakukan pengawalan terhadap tanker yang berlayar lewat Selat Hormuz dan Teluk Persia dari ancaman peranjauan oleh Iran.
Kenapa diberikan perlindungan terhadap perkapalan? Alasan utamanya karena kapal niaga adalah bagian dari urat nadi suatu negara. Apabila kapal niaga mereka terancam keamanannya, akan langsung berimplikasi terhadap ekonomi di negara tersebut.
Bayangkan apabila pengiriman minyak dari Saudi Arabia terhenti karena situasi keamanan maritim di Teluk Aden. Dampaknya akan langsung dirasakan oleh ekonomi negara-negara yang terkait. Sebab minyak adalah penggerak roda ekonomi dunia. Guncangan ekonomi dapat menjalar pada bidang politik apabila tidak dapat segera ditanggulangi.
Dengan kata lain, Angkatan Laut di mana pun di dunia merupakan salah satu penjamin stabilitas, baik bagi negaranya maupun kawasan. Termasuk pula di kawasan Asia Tenggara, stabilitas kawasan ditentukan pula oleh kinerja AL kita.

20 November 2008

Pembiaran Pembajakan Sebagai Posisi Tawar

All hands,
Adalah suatu hal yang sulit dipercaya bahwa pembajakan di perairan Somalia terjadi di depan mata U.S. Fifth Fleet. Perairan Somalia merupakan area of responsibility armada itu. Dan apabila kita menyimak pernyataan Ketua Kepala Staf Gabungan Laksamana Mike Mullen, sangat terkesan U.S. Fifth Fleet tidak berdaya menghadapi itu. Masa sih armada U.S. Navy yang begitu kuat nggak berdaya menghadapi pembajak Somalia yang cuma bersenjatakan senapan serbu seri AK dan RPG?
Saya berpendapat bahwa situasi di perairan Somalia sengaja dipelihara oleh Amerika Serikat untuk mempertahankan kehadirannya di sana. Amerika Serikat sengaja tidak melancarkan serangan ke Putland yang menjadi basis para pembajak karena beberapa alasan.
Pertama, Somalia tidak punya nilai politis tinggi bagi Uwak Sam. Betul CIA mensinyalir ada foot print jaringan teroris di sana, tapi itu dianggap dapat diatasi menggunakan tangan pihak lain. Kedua, Amerika Serikat masih trauma dengan tragedi Black Hawk Down, yang mana dua personel militernya yang sudah tertembak mati ditelanjangi dan diarak di jalan-jalan Mogadishu. Terlalu beresiko mengirimkan personel militer masuk ke Somalia secara terbuka, karena akan menimbulkan protes dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri yang masih trauma dengan tragedi Black Hawk Down.
Ketiga, instabilitas Somalia menguntungkan bagi Amerika Serikat. Menguntungkan karena dia mempunyai alasan penguat bagi eksistensi U.S. Africom yang dipimpin oleh Jenderal William E. Ward. Salah satu gugus tugas di bawah U.S. Africom adalah JTF Horn of Africa yang bermarkas di Jibouti dan berbatasan langsung dengan Somalia. JTF Horn of Africa sudah lebih dahulu eksis daripada U.S. Africom.
Dengan kata lain, patut dicurigai bahwa memburuknya situasi keamanan maritim di Somalia tak lepas dari pembiaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat sendiri. Somalia yang tidak stabil justru menguntungkan bagi dia.

Pembajakan Sebagai Bisnis

All hands,
Kasus pembajakan MV Faina yang mengangkut tank T-72 untuk Kenya belum lagi selesai, hari Minggu 16 November kembali terjadi pembajakan di perairan Somalia. Kali ini korbannya adalah MV Sirius Star yang memuat minyak mentah dari Saudi Arabia menuju Amerika Serikat. Kapal super tanker dengan tonase 320.000 ton itu dibajak oleh kelompok bersenjata asal Somalia.
Dapat dipastikan kapal-kapal yang dibajak di perairan Somalia tidak akan dilepas kecuali dibayar dengan tebusan dulu oleh pemilik kapal. Dan wilayah Putland, Somalia adalah salah satu wilayah di dunia yang roda perekonomiannya hidup dari pembajakan. Dengan kata lain, pembajakan di laut tak lepas dari aroma bisnis.
Aroma bisnis itu pula yang mendorong Blackwaters, perusahaan keamanan swasta asal negeri Om Sam untuk turun mengamankan pelayaran di Teluk Aden. Blackwaters didirikan oleh para mantan anggota U.S. Navy Seals, personelnya pun berasal dari pensiunan U.S. Navy Seals. Para petinggi pemerintahan George W. Bush telah memberikan lampu hijau bagi kiprah Blackwaters di sana.
Berangkat dari kasus di Somalia, Indonesia berkepentingan agar jangan sampai pula Blackwater terjun pula di Selat Malaka. Sejak 2004, ada perusahaan keamanan di Singapura yang memberikan jasa pengawalan kapal niaga di Selat Malaka. Dan Singapura diam saja, dapat diartikan dia setuju, dengan alasan perusahaan itu tidak melanggar hukum di Singapura.
Soal pembajakan merupakan bisnis bagi Singapura sudah menjadi rahasia umum. Para pelaku perompakan dan pembajakan di Selat Malaka, sebagian di antaranya didanai oleh orang-orang Singapura.
Siapa orang-orang itu? Mereka di Singapura berstatus pengusaha, yang memberikan modal bagi kegiatan perompakan dan pembajakan di Selat Malaka. Dan hasil perompakan dan pembajakan pun sudah pasti turut dinikmati oleh mereka.
Beberapa kasus perompakan yang ditangani AL kita di perairan Indonesia (di luar Selat Malaka), mempunyai mata rantai dengan para pemodal di Singapura. Yang ditangkap di Indonesia cuma para operator di lapangan, sementara otak dan penyandang dananya berada di luar yurisdiksi Indonesia. Pertanyaannya, apakah perompakan dan pembajakan di Selat Malaka sebagian di antaranya didorong oleh motif-motif politik dari negara lain untuk menjatuhkan martabat dan wibawa bangsa Indonesia, khususnya AL kita?

18 November 2008

Kemungkinan Krisis Laut Sulawesi 2009

All hands,
Dalam pembangunan kekuatan TLDM hingga beberapa tahun ke depan, prioritas pembangunan kekuatan diarahkan pada wilayah di sekitar Laut Sulawesi. Saat ini, Malaysia telah merancang bahwa tiga pangkalan terbesar TLDM berbasis di Sabah, Kalimantan. Saat ini pangkalan TLDM terbesar berada di Teluk Sepanggar, Kinibalu yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan dan Sandakan yang terhadapan di Laut Sulu. Terkait dengan pengadaan kapal selam Scorpene, TLDM akan segera membangun pusat latihan kapal selam di Teluk Sepanggar dengan bantuan dari Prancis.
Perkembangan terakhir, Malaysia mulai mengembangkan pangkalan TLDM di Tawau, yang nantinya akan menjadi pangkalan terbesar ketiga setelah Teluk Sepanggar dan Sandakan. Posisi Tawau itu cuma selemparan batu dari Nunukan. Lepas apakah nanti di Tawau akan menjadi basis kapal perang Malaysia ataukah hanya menjadi pangkalan untuk dukungan logistik bagi kapal perang TLDM yang beroperasi, eksistensi pangkalan itu pada 2011 akan berimplikasi besar terhadap kepentingan Indonesia di Laut Sulawesi.
Sangat disayangkan kondisi demikian kurang mendapat perhatian dari Indonesia. Sepertinya bangsa ini, khususnya para pengambil keputusan, lebih sibuk dengan persiapan Pemilu 2009. Padahal kalau kita lihat manifesto atau setidaknya kerangka pemikiran mereka, tak ada satu pun dari para kontestan yang peduli dengan isu maritim, termasuk di dalamnya pembangunan kekuatan laut.
Kita harus ingat bahwa bulan-bulan menjelang pemilu merupakan waktu kritis, karena sangat mungkin di waktu-waktu itu pihak lain menikam Indonesia. Ingat kasus RMSI Maret 2004, diluncurkan ketika Indonesia sedang eforia pemilu. Dalam eforia itu, para pengambil keputusan di negeri ini kurang sensitif terhadap isu-isu non pemilu, termasuk isu keamanan nasional.
Secara pribadi saya khawatir Malaysia akan menusuk kita di Ambalat dalam periode Januari-Oktober 2009. Saat itu secara nyata pemerintah dan DPR tidak berkonsentrasi dengan tugas pokoknya. Itu adalah saat-saat kritis buat republik ini.

17 November 2008

Pangkalan TLDM Di Kalimantan

All hands,
Dalam masalah sengketa Indonesia dengan Malaysia soal wilayah di Laut Sulawesi (Ambalat), salah satu hal yang harus kita perhatikan adalah pangkalan TLDM di sana. Dalam 10 tahun terakhir, Malaysia sejumlah pangkalan baru TLDM, seperti di Lumut dan Sabah. Kalau di Lumut itu untuk menghadapi ancaman di sekitar Selat Malaka.
Untuk memperkuat pertahanan maritim di sekitar Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan, Malaysia mengembangkan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Sepanggar, Sabah. Pangkalan Angkatan Laut Teluk Sepanggar dirancang menjadi pangkalan kapal selam kelas Scorpene. Menurut data, Malaysia menghabiskan US$ 284 juta untuk membangun pangkalan tersebut dan di sini terletak Markas Komando TLDM Wilayah II.
Itulah yang harus diwaspadai oleh Indonesia. Menurut pendapat saya, Scorpene TLDM akan bermain di Selat Makassar dan Laut Jawa, termasuk kemungkinan melakukan pengintaian di depan pangkalan kita di Surabaya. Bila pecah konflik, bukan tidak mungkin dia akan kapal hajar perang kita sejak keluar dari APBS.
Pembangunan pangkalan TLDM di wilayah Sabah menandakan adanya perluasan strategi maritim Malaysia, yang semula hanya berfokus terhadap keamanan Selat Malaka, kini melebar hingga ke Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Perluasan strategi maritim hingga ke kedua perairan dilatarbelakangi oleh isu politik keamanan dan ekonomi. Dari isu politik keamanan, perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi merupakan kawasan rawan aktivitas terorisme yang berpusat di Pulau Mindanao, Filipina. Gejolak politik keamanan di Pulau Mindanao yang melibatkan gerilyawan Moro dan jaringan Al Qaida berimplikasi negatif terhadap keamanan Malaysia di wilayah Sabah dan sekitarnya.
Sedangkan isu ekonomi tak lepas dari banyaknya potensi kandungan minyak dan gas bumi di Laut Sulawesi. Potensi hidrokarbon itulah yang menjadi pendorong Malaysia mengklaim perairan teritorial dan ZEE Indonesia di Laut Sulawesi pasca lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kasus yang dikenal sebagai konflik Blok Ambalat tersebut semakin meyakinkan Malaysia untuk memperkuat kekuatan laut (dan udaranya) di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi.

16 November 2008

Strategic Military Objective Konflik Di Laut Sulawesi

All hands,
Setelah kita merumuskan strategic objective, selanjutnya dirumuskan tactical objective. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah strategic … objective, yang mana titik-titik itu diisi sesuai instrumen kekuatan nasional yang digunakan. Misalnya strategic military objective, strategic intelligence objective dan lain sebagainya. Pemakaian istilah itu untuk menghindari kerancuan dengan tactical objective pada tingkat yang lebih bawah, khususnya pada instrumen militer.
Strategic military objective untuk konflik di Laut Sulawesi mungkin dapat dirumuskan sebagai "menetralisasi kekuatan militer Malaysia untuk menegaskan klaimnya terhadap wilayah perairan yurisdiksi Indonesia di Laut Sulawesi (Blok Ambalat)". Lalu bagaimana cara menetralisasinya?
Dibutuhkan operasi gabungan, itulah satu-satunya jawaban. Mengingat kondisi geografis Malaysia, perlu dipertimbangkan apakah Indonesia hanya membatasi konflik di Laut Sulawesi atau melebar hingga ke Laut Natuna. Mengapa Laut Natuna?
Karena Laut Natuna adalah garis perhubungan laut (GPL) Malaysia dari Semenanjung ke Malaysia Timur. Kalau ada konflik di Laut Sulawesi, sudah pasti akan ada perkuatan dari pangkalan-pangkalan di Semenanjung. Untuk mencegah perkuatan itu sampai di Malaysia Timur, satu-satunya cara adalah memutus GPL.
Itu baru dari unsur operasi maritim. Belum lagi dari unsur operasi udara. Apakah AU kita juga perlu memutus jalur penerbangan mereka dari Semenanjung? Yang pantas menjawab pertanyaan itu adalah AU sendiri, karena merekalah yang lebih paham.
Agar dapat mencapai strategic military objective di Laut Sulawesi, kekuatan AL harus didukung oleh payung udara AU. Tanpa itu sulit untuk melaksanakan pengendalian laut seperti yang diajarkan pada teori strategi maritim. Pertanyaannya, apakah gelar kekuatan AU di sekitar Selat Makassar sudah disiapkan untuk hal tersebut?
Pada saat melaksanakan kampanye militer untuk mencapai strategic military objective, kita harus dengan memperhitungkan pula kemungkinan campur tangan negara-negara besar, baik anggota FPDA maupun non FPDA. Itu sudah masuk ke dalam domain diplomasi.
Bagaimana misalnya kita menjinakkan Singapura agar tak ikut dalam konflik itu. Begitu pula dengan Australia, Selandia Baru dan Inggris. Kalau kita ingin menghindari campur tangan itu, menurut pandangan saya, secara militer pencapaian strategic military objective harus terlaksana dalam hitungan 48 jam sejak pecahnya konflik atau Hari H Jam J.
Siapkah kita dengan skenario demikian? Untuk melaksanakan skenario itu, semua instrumen kekuatan nasional harus dikumpulkan sejak dini dan dikasih olah yudha. Skenario-skenario seperti itu harus diolah-yudhakan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Juga agar instrumen kekuatan nasional yang di luar militer dapat terbiasa dengan kondisi yang mendekati kondisi nyata. Sehingga ketika suatu saat konflik pecah, kita sudah siap dengan sekian skenario.
Termasuk langkah diplomatik yang agresif, bukan sebatas protes lewat nota diplomatik. Kita harus ingat bahwa perang adalah kelanjutan dari diplomasi dan ketika perang pecah, diplomasi harus tetap jalan. Itulah makna sebenarnya dari diktum Clausewitz yang selama ini salah dipahami, seolah-olah kalau pecah perang maka diplomasi otomatis berhenti.

15 November 2008

Strategic Objective Konflik Di Laut Sulawesi

All hands,
Kita tidak bisa menutup kemungkinan konflik terbuka dengan Malaysia terkait isu klaim maritim di Laut Sulawesi (Blok Ambalat).
Oleh sebab itu, kita harus bersiap menghadapi kontinjensi kapan saja. Sebab perang masa kini terjadi secara cepat, seringkali tanpa melewati setiap tahap eskalasi konflik seperti teori yang diajarkan di Seskoal dan berakhir dengan cepat pula.
Terkait dengan kesiapan itu, hal pertama yang harus kita rumuskan adalah apa strategic objective di Laut Sulawesi? Strategic objective itulah yang harus menjadi penuntun bagi semua operasi yang dilancarkan oleh TNI maupun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh instrumen kekuatan nasional lainnya dalam rangka mendukung kepentingan nasional di perairan itu. Sebab apabila kita terlibat konflik terbuka dengan Malaysia, selain unsur-unsur TNI, instrumen kekuatan nasional lainnya harus pula terlibat konflik dengan Malaysia sesuai dengan bidangnya.
Misalnya, Departemen Luar Negeri harus berjuang di medan diplomasi for the sake of the nation, bukan to appease Malaysia for the sake of an illusion of ASEAN unity.
Menurut saya, strategic objective-nya bisa saja berbunyi “menetralisasi instrumen kekuatan nasional Malaysia untuk menegaskan klaimnya terhadap wilayah perairan yurisdiksi Indonesia di Laut Sulawesi (Blok Ambalat)”. Dengan menggunakan kalimat “menetralisasi instrumen kekuatan nasional Malaysia”, berarti yang harus berperang bukan saja TNI, tetapi juga instrumen kekuatan nasional Indonesia lainnya. Perang itu bukan saja secara fisik, tapi juga harus meliputi informasi, diplomasi dan juga perang dagang.
Secara tradisional, instrumen kekuatan nasional terdiri atas PEM (politic, economic and military). Sekarang sudah bergeser menjadi MIDLIFE (military, intelligence, diplomatic, law enforcement, informational, financial and economic). Sebelum MIDLIFE konsep PEM berubah menjadi DIME (diplomatic, informational, military and economic).
Kalau strategic objective sudah disetujui bersama, barulah dirumuskan tactical objective. Termasuk tactical objective di bidang militer. Satu hal yang harus kita perhatikan dengan strategic objective adalah peringatan dari Napoleon Bonaparte.
Napoleon bilang “Strategy is the art of making use of time and space. I am less in charge of the latter than the former. Space we can recover, lost time never”. Maksudnya, dalam konflik dengan Malaysia, ketika konflik terjadi, kita berlomba dengan waktu untuk segera mencapai strategic objective yang telah kita tetapkan. Seperti kata Geoffrey Till, “strategy doesn’t work in the vacuum space”, yang menegaskan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi tercapai tidaknya strategic objective itu. Termasuk di dalamnya tekanan dari pihak-pihak di luar Indonesia dan Malaysia yang berkonflik.
Sebelum tekanan itu memberikan pengaruh negatif terhadap pencapaian strategic objective yang sudah ditetapkan, kita harus sesegera mungkin mencapai strategic objective itu. Hasil konflik itu akan menentukan hubungan kita dengan Malaysia untuk waktu-waktu mendatang.

14 November 2008

Status Situasi Di Laut Sulawesi

All hands,
Dalam tiga bulan terakhir, terdapat peningkatan eskalasi situasi di Laut Sulawesi (Blok Ambalat) yang masih diperebutkan oleh Indonesia dan Malaysia. Perebutan itu jelas karena isu energi, sehingga Malaysia yang sangat jelas bukan negara kepulauan apabila kita mengacu UNCLOS 1982 tentang definisi negara kepulauan, menggunakan pendekatan dan kaidah-kaidah yang seharusnya hanya boleh dipakai oleh negara kepulauan untuk menentukan garis batas maritim. Negeri yang penuh diskriminasi etnis itu menggunakan klaim sepihak berdasarkan peta 1979 miliknya yang diprotes oleh negara-negara di sekitarnya. Menurut rekan yang paham hukum laut, apabila suatu klaim perairan diprotes oleh negara-negara lain, maka klaim tersebut dengan sendirinya gugur.
Terkait dengan masalah di Blok Ambalat, ada satu hal yang harus diperhatikan demi menjamin kepentingan nasional Indonesia. Yaitu eskalasi status di lapangan. Perlu penegasan dari pemerintah menyangkut eskalasi status di lapangan menyangkut saling klaim perbatasan tersebut, apakah tergolong krisis atau konflik ataukah darurat bila mengacu pada perundangan yang berlaku? Penetapan status ini penting menyamakan langkah semua aktor nasional yang terlibat, baik Departemen Pertahanan dan TNI, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri dan lain sebagainya guna menghadapi manuver Malaysia di segala aspek.
Sekarang yang sepertinya sibuk dengan Blok Ambalat cuma Departemen Pertahanan dan TNI, khususnya AL kita. Itu bisa dilihat dari deployment kekuatan ke sana yang telah berlangsung terus menerus sejak Februari 2005. Sementara aktor lain terkesan santai-santai saja. Paling juga kesibukannya cuma susun dan kirim nota diplomatik. Bikin nota diplomatik kan gampang, tinggal copy and paste formatnya dari nota-nota sebelumnya, dengan pemutakhiran cuma pada kapan peristiwa yang diprotes terjadi dan bagaimana kronologisnya.
Status yang jelas juga terkait dengan pendekatan yang harus Indonesia tempuh. Dibutuhkan orkestrasi nasional untuk menghadapi masalah klaim perbatasan di Laut Sulawesi dan sebaiknya Indonesia menggunakan pendekatan flexible deterrence option. Apabila hendak sukses menggunakan pendekatan ini, maka perlu ditegaskan oleh pemerintah menyangkut siapa yang mengkoordinasi kebijakan dan langkah-langkah operasional di lapangan dan opsi apa saja yang ditempuh oleh Indonesia. Kegagalan di masa lalu dalam kasus Sipadan-Ligitan antara lain karena tak adanya orkestrasi nasional.
Pesannya adalah kehadiran unsur-unsur kapal perang AL kita di Blok Ambalat juga harus di-back up oleh elemen kekuatan nasional lainnya. Kalau di lapangan kita bisa tekan Malaysia, mestinya para diplomat kita juga bisa menekan negeri tukang klaim itu. Bukannya malah mengakomodasi kepentingan Malaysia atas nama satu ASEAN dan serumpun. TIDAK ADA SERUMPUN, YANG ADA KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA!!!

13 November 2008

Peperangan Ranjau Sebagai Salah Satu Pilihan

All hands,
Dari abad ke 19 sampai dengan abad ini, ranjau merupakan salah satu senjata yang ditakuti oleh pihak-pihak yang berkonflik menggunakan perairan sebagai mediumnya. Dalam Battle of Mobile Bay 5 Agustus 1864, Angkatan Laut Konfederasi menebar ranjau untuk menghalangi gerak maju kapal perang Angkatan Laut Union. Dari sinilah lahir perintah terkenal dari Laksamana David Glasgow Farragut, “Damn the torpedoes. Full speed ahead!!!”.
Ranjau waktu itu disebut dengan torpedo. Torpedo yang kini jadi arsenal Angkatan Laut baru ditemukan pada 1868 oleh seorang berkebangsaan Inggris Robert Whitehead yang bekerja di Italia. Waktu itu disebut sebagai automobile mine. Untuk menghargai jasa sang penemu, tak aneh bila sekarang ada torpedo bermerek Whitehead.
Karena pentingnya Battle of Mobile Bay dalam perang saudara di Amerika Serikat, khususnya dalam aspek Angkatan Laut, maka wajar kalau kita temukan nama USS Mobile Bay. Kalau nggak salah, nama ini sudah beberapa kali dipakai. Terakhir diabadikan untuk pada cruiser kelas Ticonderoga.Begitu pula dengan Laksamana Farragut. Namanya juga pernah diabadikan pada kapal perang yang memperkuat U.S. Navy.
Ranjau juga pernah mengubah rencana operasi Amerika Serikat dalam Perang Teluk 1991. Gara-gara ranjau yang ditebar oleh Irak, operasi amfibi melalui pendaratan pantai dibatalkan. Ranjau pernah pula dipakai oleh Iran dalam Perang Teluk 1980-1988, yang korbannya sebagian besar adalah kapal tanker. Kapal perang U.S. Navy sempat menjadi korban keampuhan ranjau. Walaupun tidak tenggelam, tapi ranjau itu memaksa kapal-kapal itu ditarik dari wilayah operasi dan segera naik dok.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita bisa aplikasikan peperangan ranjau. Kalau bisa, di mana?
Menyangkut pertanyaan itu jawabannya jelas. Kita bisa gunakan ranjau di perairan strategis seperti choke points. Kita punya empat choke points dari sembilan choke points dunia. Ranjau bisa kita gunakan bukan saja sebagai senjata defensif, tetapi juga ofensif.
Asalkan jangan kita ranjau alur pelayaran kita sendiri, karena justru akan membatasi manuver kita. Memang soal peranjauan ada kuncinya, di mana dengan kunci itu kita bisa bermanuver di antara medan ranjau. Tapi menurut saya kurang tepat yang kita ranjau alur kita sendiri dengan alasan supaya musuh tak bisa masuk ke pangkalan kita.
Karena terkait dengan hal itu, masih ada pilihan lain buat musuh untuk menghancurkan kekuatan kita di pangkalan. Baik itu lewat serangan udara maupun naval gunfire support.
Ranjau sebagai senjata ofensif bisa kita gunakan dalam konflik dengan negara-negara lain. Misalnya kita ranjau di One Fathom Bank, Selat Singapura, Selat Lombok dan lain sebagainya. Hal itu bisa dilakukan dengan catatan kita umumkan itu kepada dunia internasional, agar kapal niaga tak menjadi korban.
Memang menebar ranjau di perairan choke points mengandung resiko politik besar, khususnya kemarahan dari Amerika Serikat. Namun opsi itu harus tetap kita pertahankan, karena kita harus bekerja dalam bingkai kepentingan nasional kita sendiri. Indonesia dikelilingi oleh negara-negara yang kurang bersahabat, sehingga kita butuh senjata untuk mengurangi kesombongan mereka. Salah satunya adalah ranjau. Ranjau merupakan senjata murah yang harganya antara US$ 1.500 s/d U.S. 3.000, tapi daya rusaknya besar dan dapat merusak kapal perang yang harganya jutaan U.S. dollar.

12 November 2008

Soal Pembinaan Kekuatan dan Penggunaan Kekuatan

All hands,
Dalam undang-undang, ditegaskan bahwa binkuat adalah domain Kepala Staf Angkatan, sedangkan gunkuat adalah domain Panglima TNI. Apakah kenyataannya demikian? Jawabannya jelas, tidak!!!
Contoh, tidak semua operasi dikendalikan oleh Panglima TNI. Sebagai contoh operasi keamanan laut sehari-hari ---bukan operasi yang pakai sandi---, komando dan pengendalian kenyataannya ada di AL. Kenapa begitu?
Karena operasi itu dukungan logistiknya dari kantong AL kita sendiri. Sedangkan operasi-operasi yang pakai sandi seperti Ops Balat Sakti, Ops Sabang Jaya, Ops Natuna Jaya, Ops Pantura, Ops Samor dan lainnya--- dukungan logistiknya dari Mabes TNI. Sehingga sudah pasti kodalnya juga dari sana.
Soal binkuat, tidak jarang Angkatan mendapat ”paket” binkuat dari Mabes TNI. Dan sulit bagi Angkatan untuk menolak. Padahal binkuat kalau mengacu pada undang-undang adalah domainnya Kepala Staf Angkatan.
Itu semua artinya apa? Pelaksanaan secara murni binkuat dan gunkuat masih jauh dari ideal, karena memang ada realitas-realitas yang dihadapi.
Kalau sudah begini, mestinya kita harus realistis. Jangan terlalu kaku soal itu seperti diundang-undang. Untuk apa bikin peraturan kalau kenyataannya kita nggak sanggup laksanakan.
Berbicara soal ini, suka atau nggak suka, kita akan membahas pula soal jabatan Panglima TNI. Posisi Panglima TNI saat ini membingungkan kawan dan lawan. Mau bukti?
Pada satu sisi Panglima TNI adalah pengguna kekuatan. Namun dalam kenyataannya, dia tidak sepenuhnya kendalikan operasi-operasi yang dilaksanakan oleh Kotama TNI. Sepengetahuan saya, Panglima TNI secara resmi tidak mempunyai on scene commander pada wilayah-wilayah di mana kekuatan TNI beroperasi. On scene commander harus membawahi semua unsur yang terlibat dan lintas matra.
Sebenarnya bisa saja Panglima TNI mendelegasikan kewenangannya kepada on scene commander. Namun secara resmi itu nggak ada. Sebagai contoh, lihat operasi di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur. AL kita gelar Operasi Balat Sakti (opsnya Mabes TNI), AD juga gelar operasi sendiri, AU juga laksanakan operasi sendiri pula.
Dari ketiga operasi matra ini, siapa yang jadi on scene commander? Jawabannya, nggak ada. Kalau ada apa-apa di situ, who’s in charge? Kadang dalam kondisi begitu semua lepas tangan.
Nggak mungkin Panglima TNI kendalikan belasan atau puluhan operasi sekaligus. Itulah pentingnya eksistensi on scene commander.
Posisi rancu Panglima TNI juga terkait dengan manajemen pertahanan. Soal deployment dan employment sebenarnya sudah memasuki domain politik. Domain politik pertahanan adalah kewenangan Menteri Pertahanan.
Mengacu pada Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI, ditentukan ada pihak selaku pembuat kebijakan pertahanan (Menteri Pertahanan), ada pihak pula selaku pelaksana kebijakan pertahanan (Panglima TNI) dan kepada siapa jalur pertanggungjawaban pelaksanaan kebijakan pertahanan (Presiden).
Di sini kebijakan pertahanan dibuat oleh Menteri Pertahanan, pelaksana kebijakannya Panglima TNI. Tapi sang pelaksana kebijakan bukannya bertanggungjawab kepada pembuat kebijakan, malah kepada Presiden. Ini yang aneh, lucu dan jelas menyalahi prinsip manajemen. Harusnya yang tanggungjawab kepada Presiden yah Menteri Pertahanan selaku pembantu Presiden di bidang pertahanan.
Kalau kita bandingkan dengan manajemen pertahanan yang berlaku di negara-negara lain, ada perbedaan yang sangat signifikan. Di negeri lain, konstruksi manajemen pertahanan mengatur bahwa Menteri Pertahanan merupakan otoritas tunggal yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pertahanan. Dengan kata lain, Menteri Pertahanan adalah pembuat kebijakan pertahanan dan sekaligus pelaksana kebijakan pertahanan, yang pertanggungjawabannya kepada Presiden.
Panglima militer cuma sebagai pelaksana dari kebijakan politik pertahanan yang dirumuskan oleh Menteri Pertahanan. Jadi gunkuat itu seharusnya urusan Menteri Pertahanan. Bukan urusan Panglima TNI. Kita harus ingat bahwa domain politik bukanlah ranah TNI.
Lalu bagaimana selanjutnya? Yang kita butuhkan adalah Kepala Staf Gabungan dan salah satu dari Kepala Staf itu menjadi Ketua Kepala Staf Gabungan (Chairman, Joint Chief of Staff). Dan mereka adalah bagian dari Departemen Pertahanan. Ketua Kepala Staf Gabungan bukanlah panglima militer, dia cuma penasehat Presiden (dan Menteri Pertahanan) di bidang militer. Dia juga sebagai jembatan antara Menteri Pertahanan dengan militer.
Kalau Mabes TNI berubah menjadi Staf Gabungan, harus diikuti oleh perampingan besar-besaran. Mungkin organisasi itu cuma diawaki 200-300 staf saja, beda dengan Mabes TNI saat ini yang stafnya ribuan. Bayangkan berapa banyak penghematan yang bisa dilakukan dengan perampingan itu. Dan anggaran yang dihemat bisa digunakan buat keperluan lain di TNI.

11 November 2008

Redefinisi Makna Integrasi

All hands,
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh AL kita dalam mengembangkan dirinya di Nusantara adalah pemahaman dari matra lain di TNI soal karakteristik Angkatan Laut. Sudah menjadi rahasia umum di antara kita bahwa untuk meyakinkan soal peran konstabulari dan diplomasi Angkatan Laut kepada pihak lain di TNI cukup sulit. Kenapa sulit?
Karena ada pihak lain di TNI yang pola pikirnya masih mencoba menyeragamkan TNI dan tidak mau mengakui dan mengakomodasi karakteristik matra-matra dalam TNI. Soal peran konstabulari dan diplomasi adalah suatu hal yang universal bagi Angkatan Laut di seluruh dunia. Tapi di Indonesia, sebagian pihak lain tak mau paham soal itu.
Matra lain terkesan semua peran TNI itu sama. Padahal hal itu kontraproduktif, karena setiap matra punya karakteristik masing-masing. Kalau AL kita punya peran konstabulari dan diplomasi, matra lain tidak harus begitu karena beda karakteristik dan nature-nya. Jangan sampai nanti muncul diplomasi AU dan AD, sesuatu yang tidak ada presedennya di dunia dan tidak berlebihan kalau dibilang mengada-ada.
Peran Angkatan Laut harus selalu muncul dalam doktrin Angkatan Laut. Yang menjadi masalah ketika doktrin ini harus seragam dengan Doktrin TNI, dalam arti sama dengan matra lain. Itu yang tidak mungkin.
Sudah saatnya kita harus renungkan kembali arti integrasi. Integrasi itu bukan berarti menyamakan semua karakteristik, nature dan ciri khas tiap-tiap matra. Integrasi masa kini berkutat pada aspek operasional melalui operasi gabungan. Soal penyebutan pangkat perwira yang tidak sama setiap Angkatan pun sebenarnya tidak masalah, karena itulah ciri khas tiap matra.
Harap diingat bahwa kini TNI bukan lagi aktor politik. Semua keputusan politik mengenai TNI ditentukan oleh pemerintah. Domain TNI adalah pada tingkat operasi. Makanya jabatan Panglima TNI saat ini sebenarnya tidak relevan lagi setingkat Menteri Kabinet. Sebutan Panglima pun juga tidak pas, karena dia tak pimpin operasi yang dilaksanakan TNI tiap hari.

Mencari Pangkalan Ideal

All hands,
Secara teoritis, pangkalan Angkatan Laut harus memenuhi 4R, yaitu rest, repair, replenishment and recreation. Soal 4R pada akhirnya harus kembali pula pada ketersediaan dukungan anggaran. Kalau kita lihat pangkalan U.S. Navy di seluruh dunia, baik itu yang berstatus main operating base (MOB) maupun forward operating site (FOS), semua fasilitasnya lengkap dan memenuhi 4R.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, soal 4R merupakan kendala tersendiri bagi Angkatan Lautnya. Semuanya kembali kepada dukungan anggaran pertahanan. Di negeri ini, pangkalan yang mendekati pada pemenuhan 4R cuma Surabaya. Itu pun dengan catatan fasilitas pemeliharaan yang dulunya punya AL kita sudah diambil alih menjadi milik PT PAL.
PAL sendiri sebenarnya singkatan dari Penataran Angkatan Laut yang padanannya dalam Bahasa Inggris adalah Naval Shipyard. Untuk menggunakan fasilitas pemeliharaan di PT PAL, baik untuk kapal maupun senjata, AL kita harus bayar. Ironis memang negeri ini.
Sejak tahun 1960-an muncul pemikiran agar kekuatan AL kita tak dipusatkan di Surabaya saja, karena rawan dari aspek keamanan. Pada pertengahan 1960-an sudah ada ide untuk membangun pangkalan Angkatan Laut di Teluk Ratai dan juga di kawasan Indonesia Timur, kalau nggak salah Ambon. Entah bagaimana, ketika pangkalan Teluk Ratai selesai pada awal 1990-an, tidak jadi digunakan dan kini hanya dipakai oleh Korps Marinir.
Apakah dahulu salah survei di Teluk Ratai ataukah ada alasan lain, saya kurang paham. Yang pasti memang di sana letaknya tak jauh dari Gunung Krakatau dan Gunung Anak Krakatau. Yang saya tahu, para senior AL kita dahulu memilih Teluk Ratai dengan pertimbangan tertentu.
Sekarang pangkalan AL kita di Surabaya, menurut pandangan beberapa rekan, semakin rawan. Kerawanan bukan saja soal hanya ada satu alur keluar masuk yaitu APBS, tetapi juga berdirinya Jembatan Madura yang hanya berjarak 2 km dari pangkalan. Meskipun kita tidak menggunakan alur timur, namun berdirinya jembatan itu ”memberikan” staging point buat pihak-pihak yang lain untuk mengancam keamanan pangkalan.
Lalu bagaimana solusinya. Pemikiran yang berkembang bahwa tidak semua kapal perang harus berpangkalan di Surabaya sangat layak untuk diapresiasi. Surabaya cukup menjadi Markas Komando Armada. Tetapi pemikiran itu berkonsekuensi pada pembangunan fasilitas 4R pada pangkalan AL kita yang di luar Surabaya. Soal di mana lokasinya, tentu harus mempertimbangkan aspek konteks strategis, kebutuhan operasi, hidrografi, geologi dan lain sebagainya.
Dan jangan dilupakan pula kebutuhan kita untuk mampu meyakinkan pemerintah dan DPR soal pentingnya peningkatan fasilitas pangkalan di luar Surabaya. Karena pada akhirnya semua kembali kepada dukungan anggaran.

10 November 2008

Ancaman Militer vs Ancaman Simetris

All hands,
Sebenarnya Buku Putih Pertahanan 2008 sudah diterbitkan sejak Desember 2007. Tetapi entah kenapa, sampai kini pun buku ini tak pernah dideklarasikan resmi kepada masyarakat, berbeda dengan buku serupa tahun 2003. Terkesan bahwa Buku Putih ini deklarasinya diam-diam saja, yang selain ditujukan kepada TNI beserta tiga matra, juga kepada para atase pertahanan asing yang berakreditasi di Indonesia.
Ada beberapa hal dalam Buku Putih Pertahanan 2008 yang saya kurang sependapat. Walaupun yang menyusun buku ini saya tahu persis, kawan akrab saya sendiri. Tapi itulah, beda kepala bisa beda pula pendapat. He..he..he..
Soal persepsi ancaman, sangat disayangkan Buku Putih Pertahanan 2008 masih menganut paradigma lama, yaitu membagi secara tegas ancaman militer dan non militer. Pendekatan demikian menurut saya tepat bila dunia masih di era peperangan generasi ketiga, tetapi sayangnya kini lingkungan strategis dunia berada di era peperangan generasi keempat.
Peperangan tersebut membuat legitimasi penggunaan kekerasan oleh negara telah berakhir, karena munculnya aktor non negara yang juga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya seiring dengan perubahan politik, ekonomi, sosial dan teknologi. Dengan demikian, pendekatan hitam putih terhadap ancaman militer dan non militer merupakan paradigma lama, karena saat ini ancaman bersifat multidimensional dan tidak dapat lagi dipilah-pilah berdasarkan ideologi, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya. Mengingat kompleksitas tersebut, pendekatan yang tepat dalam mengklasifikasikan ancaman bukan lagi ancaman militer dan non militer, tetapi ancaman simetris dan asimetris.
Ancaman militer yang kita hadapi tidak selamanya simetris, bahkan mungkin asimetris dari sisi persenjataan dan moral. Asimetris dari sisi siapa? Yah dari sisi Indonesia. Adapun ancaman non militer lebih tepat disebut ancaman asimetris, karena cakupannya lebih luas. Ancaman asimetris dapat dihadapi dengan pendekatan kinetik, dapat pula dengan pendekatan non kinetik. Semua itu tergantung pada ancaman yang muncul.
Jangan sampai timbul pemahaman bahwa untuk menghadapi ancaman non militer, maka penggunaan pendekatan kinetik dibatasi. Kita harus ingat bahwa pada domain maritim, ancaman asimetris sangat banyak dan respon yang kita berikan sebagian besar adalah respon kinetik. Misalnya soal perompakan di Selat Malaka.
Dengan tiga peran yang melekat pada Angkatan Laut, suka atau tidak suka, AL kita harus menggunakan kekuatan untuk melaksanakan peran itu. Penggunaan kekuatan berarti memberikan otorisasi untuk menggunakan kekerasan bila kondisi di lapangan menuntut hal itu.

09 November 2008

Senjata Anti Kapal Selam

All hands,
Ada idiom yang sangat terkenal di lingkungan Angkatan Laut soal peperangan kapal selam, yaitu untuk melawan kapal selam, senjata yang paling ampuh adalah kapal selam sendiri. Idiom ini memang benar, namun sekaligus tidak menafikan peran kapal atas air dan pesawat udara dalam peperangan kapal selam.
Kalau kita berbicara tentang peperangan kapal selam, tentu tidak akan lepas dari senjata anti kapal selam. Senjata anti kapal selam terdiri secara garis besar dari ranjau, bom laut (depth charge), roket anti kapal selam (ASROC) dan sudah pasti torpedo. Di sini pembahasan hanya difokuskan pada bom laut, roket anti kapal selam dan torpedo.
Bom laut dijatuhkan dari kapal atas air pada wilayah perairan yang dicurigai terdapat kehadiran kapal selam lawan. Bom ini bekerja berdasarkan mekanisme penyetelan kedalaman yang dikehendaki. Misalnya kita menghendaki dia meledak pada kedalaman 150 meter, maka sebelum diluncurkan bom laut akan di-set pada kedalaman itu.
Sampai saat ini bom laut masih digunakan secara luas oleh berbagai Angkatan Laut di dunia. Menurut informasi yang dapat dipercaya, AL kita dulu pernah melaksanakan bombardemen pakai bom laut di Laut Jawa terhadap kapal selam tak dikenal. Kapal selam itu mengalami kerusakan cukup parah sehingga harus kembali ke Guam. Ternyata yang dibombardir kapal selam milik U.S. Navy dan yang membombardir pun kapal fregat eks U.S. Navy kelas Claud Jones alias kelas Samadikun yang di AL kita lebih dikenal sebagai kapal DE (destroyer escort).
Roket anti kapal selam diluncurkan dari kapal atas air. Soal kedalaman ledakan juga dapat diatur sesuai kebutuhan operasi. Kalau di Angkatan Laut negara-negara Barat dikenal sebagai ASROC, seperti yang terpasang pada korvet kelas Fatahillah milik AL kita.
Di Angkatan Laut Rusia (dan eks Pakta Warsawa), salah satu senjata jenis ini yang terkenal adalah RBU-6000. RBU-6000 yang terpasang di korvet kelas Parchim AL kita sesungguhnya merupakan campuran antara roket dan bom laut (depth charge). Karena nama aslinya adalah RBU-6000 Depth Charge Rocket Launcher. Di AL Rusia dikembangkan roket anti kapal selam jenis RPK-8, yang merupakan penggabungan dari dua sistem senjata yang berbeda yaitu 212 MM 90R Antisubmarine Rocket dan RBU-6000 Depth Charge Rocket Launcher.
Torpedo adalah senjata anti kapal selam yang sangat ampuh dan sangat ditakuti. Berdasarkan pemandunya, torpedo terbagi atas homing guidance, acoustic guidance (passive), acoustic homing (active), wake homing dan wire-guided. Dari semua itu, banyak yang berpendapat bahwa wire-guided torpedo lebih bagus karena hit probability-nya lebih dari 90 persen.
Sedangkan berdasarkan ukuran, torpedo terbagi dua yaitu lightweight torpedo dan heavyweight torpedo. Yang membedakan lightweight torpedo dengan heavyweight torpedo selain pada diameternya, juga pada jarak jangkaunya. Jarak jangkau heavyweight torpedo rata-rata di atas 20 km, bisa sampai 40-50 km tergantung jenis torpedonya. Sedangkan lightweight torpedo rata-rata di bawah 20 km.
Soal kapan menggunakan lightweight atau heavyweight torpedo, selain menyangkut jarak sasaran dari kapal peluncur, juga seberapa besar sasaran yang akan dihancurkan. Untuk kapal atas air dengan tonase 3.000 ton ke atas tentu akan lebih ampuh bila menggunakan heavyweight torpedo.
Kapal-kapal perang kita dilengkapi torpedo yang kita punya adalah lightweight torpedo Mk.46 buatan Amerika Serikat dan A244S buatan Italia. Sedangkan kapal selam mengandalkan heavyweight torpedo jenis SUT (Surface Underwater Torpedo). SUT merupakan wire-guided torpedo yang sesuai namanya dapat diluncurkan untuk sasaran atas air maupun bawah air.

Ada pihak yang berpendapat bahwa suatu kapal air sebaiknya dipersenjatai oleh senjata anti kapal atas air jarak dekat, jarak menengah atau jarak jauh. Jarak dekat itu roket anti kapal selam, jarak menengah berupa lightweight torpedo dan jarak jauh yaitu heavyweight torpedo. Sebagian pihak menilai desain kapal seperti korvet Fatahillah dan Parchim ideal untuk peperangan anti kapal selam. Selain dipersenjatai torpedo, juga dilengkapi roket anti kapal selam untuk bela diri.
Bagaimana agar senjata anti kapal selam itu bisa bekerja sesuai fungsi asasinya? Jawabannya tergantung dari hasil kinerja sensor, yaitu sonar. Apabila sonarnya bagus, dapat berfungsi dengan baik dan didukung oleh operator yang mumpuni, sonar akan menemukan sasaran buat senjata anti kapal selam.
Masalahnya menjadi operator sonar itu tidak gampang, dia harus bisa bedakan beragam suara di laut, baik suara ikan, suara mesin kapal niaga yang biasanya berisik maupun suara mesin kapal perang yang jauh lebih senyap. Apalagi suara mesin kapal selam.

07 November 2008

Memahami Makna Kerahasiaan

All hands,
Kerahasiaan merupakan unsur vital dalam operasi militer, termasuk operasi Angkatan Laut. Namun dalam kondisi kekinian, seringkali kita salah memahami arti kerahasian. Kerahasiaan masa kini bukan lagi pada berapa jumlah kapal perang yang kita punya, apa saja persenjataan, apa jenis radar dan sonarnya, berapa kecepatan maksimum dan ekonomis, apa jenis dan merek mesin pendorong pokok dan lain sebagainya. Semua itu sudah tidak bisa dirahasiakan, karena dapat dengan mudah dijumpai di Jane’s Fighting Ship yang dimutakhirkan setiap tahun.
Kerahasiaan bukan pula terletak pada di mana unsur-unsur kapal perang kita saat ini berada, karena selain dapat dilacak menggunakan gelombang elektromagnetik (pancaran radar dan radio kita), juga bisa diketahui melalui satelit mata-mata dan bahkan satelit komersial. Lalu di mana letak kerahasiaan yang harus dijaga?
Menurut pendapat saya, kerahasiaan yang harus dijaga di antaranya adalah rencana operasi. Inilah yang dijaga ketat jangan sampai bocor. Rencana operasi itu vital sekali, karena apabila lawan tahu rencana operasi kita, maka mereka akan menyiapkan counter. Kebocoran rencana operasi bukan saja dari pengkhianatan orang dalam, tapi juga sangat mungkin saat dipancarkan melalui radio ke satuan-satuan operasi. Seperti kita ketahui, sangat mungkin pihak lain bisa membuka sandi kita, terlebih ketika mereka tahu mesin sandi apa yang kita gunakan.
Dengan tahu mesin sandi yang kita gunakan, mereka bisa mempelajari mesin itu dan mengeksploitasi kemungkinan-kemungkinan perubahan dalam mesin sandi itu. Karena isi mesin sandi bagian dari penerapan matematika, probabilitas terbukanya sandi kita melalui eksploitasi mesin sandi sangat terbuka.
Dan itu nggak akan meleset. Kalau kunci sandi kita baru bisa dipecahkan beberapa bulan setelah operasi, nggak masalah. Yang jadi masalah adalah kalau sandi kita dapat dipecahkan saat itu juga.
Sampai saat ini, bagi Angkatan Laut negara-negara berkembang, penggunaan morse masih cukup luas. Bahkan ada keyakinan bahwa mesin morse masih bisa lebih diandalkan daripada mesin sandi. Walaupun pancaran morse masih bisa disadap, tetapi sepanjang ahli sandi bisa bikin sandi yang rumit, sandi itu perlu waktu untuk dibuka.
Harap kita ingat, di Australia berdiri pusat eavesdropping UKUSA (UK-USA) yang kerjanya sadap dan buka sandi. Pusat eavesdropping itu merupakan bagian dari U.S. National Security Agency yang bermarkas di Fort Meade, Maryland. Waktu kasus Timor Timur 1999, mereka sibuk sadap semua perangkat komunikasi militer Indonesia, termasuk pancaran satelit Palapa yang dipakai oleh militer Indonesia.

06 November 2008

Propagasi dan Peperangan Kapal Selam

All hands,
Dalam peperangan kapal selam, salah satu keilmuan yang harus dikuasai oleh unsur kapal atas air dan kapal selam adalah propagasi gelombang akustik. Spesialis propagasi merupakan salah satu keahlian yang harus ada di kapal atas air maupun kapal selam. Dan untuk menghasilkan spesialis propagasi butuh pendidikan yang panjang. Untuk mendeteksi propagasi di bawah air, tentu saja mengandalkan pada sonar dan hidrofon, yang mana letak hidrofon pada kapal selam diatur sedemikian rupa.
Biasanya spesialis propagasi sekaligus merangkap operator sonar. Sang operator harus bisa bedakan gerisik makhluk-makhluk laut dengan gerisik yang dihasilkan oleh mesin kapal atas air maupun kapal selam. Menurut informasi yang dapat dipercaya, saat ini Australia kekurangan spesialis propagasi untuk kapal selamnya.
Tantangan yang dihadapi sang spesialis propagasi sangat besar dan kegagalan atau keberhasilan dia mendeteksi kehadiran kapal selam lawan dapat menentukan hidup matinya kapal selam mereka, bahkan mungkin jalannya perang secara keseluruhan. Sang spesialis harus bisa tahu karakteristik gelombang-gelombang akustik, kecepatan suara di dalam air, propagasi suara dan struktur termal perairan, propagasi hilangnya gelombang akustik di air, suara akustik di bawah air, persamaan sonar dan figure of merit untuk sonar.
Penting untuk diketahui bahwa propagasi di tiap perairan berbeda, apalagi di kawasan tropis. Kadar salinitas di kawasan tropis sangat berpengaruh terhadap propagasi gelombang akustik. Belum lagi hal-hal lain yang bersifat juga bersifat teknis, misalnya soal layer. Layer dapat membiaskan gelombang sonar yang dipancarkan oleh kapal lawan, sehingga lawan tidak dapat mendeteksi posisi kapal selam kita.
Menurut kawan-kawan spesialis di Hidros, layer di perairan Indonesia kedalamannya sekitar 300 meter. Apabila kapal selam bersembunyi di bawah layer itu, dijamin sonar lawan tidak akan mampu deteksi kapal selam itu karena dibiaskan.
Pertanyaannya, hal-hal seperti ini tanggung jawab siapa? Hal itu membutuhkan sinergi antara rekan-rekan di satuan kapal selam dengan rekan-rekan di Hidros. Harus ada komunikasi yang intensif, sehingga rekan-rekan di Hidros tahu apa kebutuhan kawan-kawan di satuan kapal selam. Sinergi itu sangat penting untuk meningkatkan kemampuan kita dalam peperangan kapal selam.

05 November 2008

Air Warfare Frigate

All hands,
Salah satu ancaman terhadap kapal atas air berasal dari serangan udara lawan. Ancaman ini sama besar probabilitasnya dengan ancaman kapal selam. Oleh sebab itu, saat ini banyak negara mengadopsi kapal perang dengan fungsi asasinya air warfare. Entah itu air warfare destroyer seperti Australia atau air warfare frigate seperti Belanda. Belanda sejak 1980-an sudah mengoperasikan air warfare frigate kelas Van Tromp yang kini mulai pensiun dan dijual ke negara Eropa lainnya.
Dalam konteks Indonesia, menjadi pertanyaan apakah AL kita perlu kapal atas air dengan fungsi asasi pada air warfare. Menurut hemat saya kita butuh, karena AL kita nggak bisa sepenuhnya menggantungkan kemampuan perlindungan konvoi pada AU. AU juga mempunyai keterbatasan, nggak mungkin sepenuhnya bisa lindungi AL kita. Selain itu, juga masalah egoisme matra yang masih sulit dipupus.
Sebaiknya mulai kita pikirkan pengadaan air warfare frigate untuk jangka waktu 5-10 tahun ke depan. Kenapa jangkanya panjang? Sebab menyusun perencanaan pengadaan alutsista butuh waktu panjang, baik itu soal opsreq, menghitung life cycle cost dan lain sebagainya, hingga soal negosiasi anggaran di Bappenas dan Departemen Keuangan. Soalnya suatu program pengadaan bisa terealisasi bila disetujui masuk dalam Blue Book Bappenas. Kalau sudah masuk Blue Book, aman!!!
Selama ini fregat dan korvet yang kita punya fungsi asasinya lebih pada peperangan atas air dan bawah air. Sementara untuk peperangan udara masih belum diutamakan, yang dapat dilihat dari kemampuan senjata peperangan udara yang lebih pada senjata bela diri jarak dekat. Padahal radar hanudnya sudah bagus, misalnya di kelas Fatahillah dan Diponegoro.
Meskipun ada pihak yang menyatakan bahwa dalam 10-20 tahun ke depan nggak ada perang, tapi kita harus siap-siap bila setiap saat muncul kontinjensi. Dalam kondisi kontinjensi, sebagian besar kekuatan laut yang dikerahkan ke wilayah kontinjensi memerlukan 2-5 hari pelayaran, tergantung di mana wilayah kontinjensi dan dari titik mana Gugus Tugas AL kita bertolak.
Selama perjalanan menuju wilayah kontinjensi, sangat rawan terhadap ancaman lawan. Apalagi beberapa negara di sekitar Indonesia juga mengoperasikan kapal selam, selain pesawat tempur dengan radius tempurnya yang cukup jauh semisal SU-27/30 maupun F/A-18. Alhasil, konvoi AL kita sangat rentan terhadap serangan udara. Di situlah pentingnya air warfare frigate, karena AL nggak bisa sepenuhnya andalkan payung udara dari AU.
Selain di dalam perjalanan, sudah pasti di wilayah kontinjensi Gugus Tugas AL kita juga semakin rawan terhadap serangan udara lawan. Di situlah pentingnya pula air warfare frigate. Kita harus mengambil lesson learned dari operasi di Timor Timor 1999. Lesson learned tujuannya adalah mengambil pelajaran dari apa yang telah berlalu, bukan mencari siapa yang salah.

04 November 2008

Pengendalian Laut dan Kekuatan Udara

All hands,
Pengendalian laut mengenal ruang dan waktu, sebagai bentuk transformasi dari penguasaan laut. Kalau kita pelajari pemikiran Laksamana Muda Henry E. Eccles, pengendalian laut dapat berupa lima bentuk, seperti pengendalian kerja dan lainnya. Yang ingin dibahas di sini bukan soal bentuk-bentuk itu, tetapi pemahaman tentang pengendalian laut dalam kondisi kekinian.
Pengendalian laut masa kini dapat terlaksana apabila ada payung udara yang mendukungnya. Perubahan pemahaman ini sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, ketika naval air wing memainkan peran vital dalam berbagai pertempuran laut di Samudera Pasifik. Tidak heran bila sebagian negara berkembang saat ini mulai mencoba mengikuti jejak negara-negara maju untuk memaksimalkan otot naval air wing, melalui pengadaan pesawat-pesawat tempur yang berpangkalan di atas kapal induk. Misalnya India dan Thailand yang mengoperasikan kapal induk beserta pesawat tempur.
Pertanyaannya, bagaimana hubungannya dengan Angkatan Udara. Ini memang menjadi perdebatan klasik di negara-negara berkembang, khususnya yang Angkatan Lautnya mengarah pada proyeksi kekuatan. Tidak mungkin mengharapkan payung udara dari Angkatan Udara ketika beroperasi jauh dari pangkalan, karena pesawat tempur Angkatan Udara memiliki keterbatasan endurance. Di situlah peran yang diisi oleh naval air wing, yaitu melindungi konvoi Gugus Tugas Angkatan Laut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Secara ideal, AL kita harus mempunyai naval air wing yang mumpuni, termasuk aset pesawat tempur. Namun kondisi nyata belum memungkinkan hal itu, sehingga pilihan realistis dan juga satu-satunya adalah mengandalkan pada payung udara dari AU. Masalahnya adalah TNI belum mempunyai budaya operasi gabungan. Itu masalah pokoknya!!!
AU terkesan tidak mau menjadi unsur pendukung dalam operasi di laut, dia maunya selalu jadi unsur utama. Juga tidak mau di bawah kendali AL, melainkan di bawah kendali AU sendiri. Bagaimana mungkin ada pihak yang beroperasi di domain maritim tetapi nggak mau di bawah kendali AL?
Masalah itu bisa terpecahkan bila ada doktrin operasi gabungan. TNI nggak punya itu, yang ada hanyalah Doktrin TNI yang isinya filosofis, bicara langit. Doktrin TNI bukan doktrin operasi gabungan. Memang betul ada Buku Petunjuk Opsgab, tetapi isinya sudah lawas. Seharusnya dimutakhirkan sesuai dengan kondisi kekinian dan sebanyak mungkin mengikis ego matra. Tanpa itu, pengendalian laut sulit untuk kita laksanakan, bahkan di perairan kita sendiri.

03 November 2008

Littoral Warfare dan Naval Gunfire Support (Bag-3)

All hands,
Salah satu program pembangunan kekuatan yang tengah berjalan di AL kita adalah pengadaan empat korvet kelas Sigma dari Belanda. Senjata korvet ini antara lain meriam Otomelara 76 mm/62 Super Rapid Gun. Meriam serupa juga terpasang pada fregat kelas Van Speijk yang telah memperkuat AL kita pada tahun 1986, meskipun serinya berbeda yaitu Otomelara 76 mm/62 Compact.
Sebagai informasi, penggunaan meriam Otomelara 76 mm/62 mendunia sejak 1980-an ketika U.S. Navy mengadopsinya pada Fregat kelas Oliver Hazard Perry. Di kapal perang yang juga digunakan oleh Royal Australian Navy ini, meriam Otomelara 76 mm/62 Mk 75 berada pada bagian tengah belakang kapal di atas bangunan kompartemen kapal. Letak meriam ini di kelas Oliver Hazard Perry memang unik.
Meriam Otomelara 76 mm/62 merupakan meriam serbaguna, bisa digunakan untuk menghancurkan sasaran permukaan maupun sasaran udara. Meriam ini juga dipandang cukup ampuh untuk memberikan naval gunfire support.
Ketika korvet kelas Sigma ketiga dan keempat menjelang dibangun di Royal Shelde pada 2006, sempat timbul keinginan dari AL kita agar meriamnya diganti dengan kaliber 100 mm. Keinginan itu sebenarnya tidak lepas dari kepentingan naval gunfire support, sebab kaliber 100 mm ke atas dipandang lebih ampuh. Dalam dunia persenjataan Angkatan Laut, meriam di atas kaliber 76 mm memang bukan lagi meriam serbaguna dan lebih dititikberatkan untuk menghancurkan sasaran permukaan. Jadi sangat cocok untuk naval gunfire support.
Di dalam aset AL kita, korvet kelas Fatahillah menggunakan meriam Bofors kaliber 120 mm/46. Eks fregat kelas Tribal senjatanya juga di atas 100 mm, yaitu Vickers 4.5 in (114 mm). Artinya, dulu negara-negara Eropa (Barat) nggak keberatan dengan penjualan meriam kaliber besar kepada Indonesia.
Karena masalah politik, Eropa tidak mengijinkan penjualan meriam 100 mm kepada Indonesia, sehingga Sigma ketiga dan keempat batal dipersenjatai dengan meriam itu. Selain itu, apabila Sigma dipersenjatai meriam 100 mm, perlu hitung ulang stabilitas kapal itu, karena kapal itu dirancang untuk dipersenjatai meriam 76 mm.
Sebenarnya perbedaan pendapat mengenai senjata apa saja yang tepat untuk dipasang di satu jenis kapal merupakan hal klasik. Untuk memecahkan masalah itu, salah satu solusinya adalah menetapkan deskripsi tugas kapal kombatan. Meskipun sebuah kapal kombatan dapat secara simultan dilengkapi dengan tiga kemampuan sekaligus yaitu anti kapal atas air, anti kapal selam dan anti pesawat udara, namun harus ada penekanan utama pada satu kemampuan saja. Artinya, mengharapkan sebuah kapal kombatan untuk dapat berperan maksimal pada ketiga fungsi sekaligus adalah kurang tepat.
Masalah meriam 100 mm kembali mencuat pada LPD ketiga dan keempat yang dibangun di PT PAL. Dapat dipastikan bahwa sumber meriamnya bukan dari negara-negara Eropa, namun kemungkinan besar Rusia. Sebab Eropa sudah pasti nggak mau lepas meriam 100 mm ke Indonesia.
Untuk Indonesia, kemampuan naval gunfire support masih harus mengandalkan pada meriam kapal dan belum sampai pada rudal. Karena selain susah memperoleh rudal jelajah untuk hantam sasaran di darat di pasar internasional (kecuali ke Rusia), kebutuhan rudal permukaan ke permukaan (anti kapal) juga belum sepenuhnya terpenuhi. Sehingga prioritas utama tetap kepada rudal permukaan ke permukaan itu.
Dengan kondisi sekarang dan beberapa tahun ke depan, kemampuan naval gunfire support AL kita memang harus bertumpu pada senjata yang ada. Apabila Indonesia bisa memperoleh akses politik dan pasar terhadap meriam kaliber di atas 76 mm, kesempatan itu nggak boleh dilewatkan. Sebab bagaimana pun, mempunyai kapal perang dengan meriam di atas kaliber 76 mm merupakan suatu daya penggetar tersendiri.

02 November 2008

Littoral Warfare dan Naval Gunfire Support (Bag-2)

All hands,
Pentingnya kemampuan naval gunfire support sesungguhnya bukan monopoli Angkatan Laut negara-negara maju saja. Bagi Angkatan Laut negara-negara berkembang, termasuk AL kita, kemampuan naval gunfire support juga penting, bahkan mungkin vital guna menjamin kepentingan nasionalnya masing-masing. Oleh karena itu, bagi AL kita penting untuk senantiasa menjaga kemampuan naval gunfire support sepanjang waktu. Untuk memelihara kemampuan itu, bentuknya bisa berupa latihan rutin, pendidikan dan latihan personel pengawak, pemeliharaan alutsista dan pengadaan alut baru.
Meskipun secara resmi negeri kita tidak mendeklarasikan negara-negara tertentu sebagai musuh, namun dalam prakteknya ada beberapa negara dan atau aktor non negara yang sewaktu-waktu dapat menjadi musuh karena adanya konflik.
Adapun konflik yang dimaksud adalah isu perbatasan maritim dan isu pemberontakan di dalam negeri dan atau separatisme.
Tentu menjadi pertanyaan mengapa hanya dua konflik itu yang disebutkan, sementara masih ada potensi konflik lainnya yang juga tak dapat diabaikan begitu saja? Sesuai dengan definisi naval gunfire support, misi kekuatan laut di dalamnya adalah memberikan bantuan tembakan kapal kepada satuan-satuan lain yang melaksanakan misi untuk mencapai tujuan yang telah digariskan oleh komando atas. Sehingga menurut pemahaman saya, isu konflik di Nusantara di mana naval gunfire support dapat berperan adalah pada kedua isu yang telah disebutkan sebelumnya.
Berikutnya soal daerah sasaran operasi. Dengan memfokuskan diri pada isu perbatasan maritim dan pemberontakan di dalam negeri dan atau separatisme, naval gunfire support akan dilaksanakan di wilayah kedaulatan Indonesia dan di luar wilayah kedaulatan Indonesia. Ketika hal itu dilaksanakan di wilayah kedaulatan Indonesia, naval gunfire support dapat saja menjadi gugatan bagi kalangan tertentu di dalam negeri yang mempertanyakan mengapa AL kita menembaki wilayah sendiri, bahkan mungkin warga negara Indonesia sendiri?
Jawaban atas gugatan tersebut setidaknya ada dua aspek. Pertama, aspek politik di mana pelaksanaan naval gunfire support adalah implementasi dari kebijakan politik pemerintah untuk melindungi keutuhan wilayah dan martabat dan wibawa bangsa. Kedua, aspek operasional di mana sasaran naval gunfire support adalah pada hostile area atau potentially hostile area, lepas dari kenyataan bahwa wilayah tersebut secara hukum adalah bagian dari wilayah Indonesia atau tidak.
Dalam isu perbatasan, naval gunfire support dilaksanakan di wilayah yang menjadi sengketa dengan pihak asing, seperti pulau-pulau terluar yang potensial diduduki oleh musuh. Terkait dengan naval gunfire support, hal itu dapat dilakukan dalam konteks untuk mengusir pihak musuh yang menduduki pulau-pulau terluar tersebut, baik melalui operasi pendaratan amfibi maupun lintas udara ataupun gabungan keduanya.
Bisa pula untuk menembaki wilayah negara musuh yang berkonflik soal perbatasan maritim dengan Indonesia. Sebagai contoh, Tawau bisa kita jadikan sasaran naval gunfire support bila situasi di Laut Sulawesi (Ambalat) bereskalasi menjadi konflik terbuka meskipun terbatas di wilayah itu saja. Yang penting ada payung udara dari AU kita bagi KRI yang beroperasi.
Sedangkan untuk menghadapi isu pemberontakan di dalam negeri, manfaat naval gunfire support telah didemonstrasikan dengan baik saat penyerangan terhadap Pulau Nasi, Aceh yang menjadi basis GAM. Dalam operasi itu, KRI Todak-803 dan KRI Lemadang-806 serta dibantu KRI Leuser-924 memberikan bantuan tembakan bagi pasukan Intai Amfibi dan Kopaska yang akan mendarat dan merebut Pulau Nasi. Seperti kita ketahui, meriam kedua kapal FPB-57 Nav V itu adalah Bofors SAK 57 mm/70 Mk.2.
Kasus penyerangan terhadap Pulau Nasi merupakan bukti bahwa AL kita harus senantiasa memelihara dan meningkatkan kemampuan naval gunfire support guna menunjang fire power. Kalau kita berdiskusi soal naval gunfire support, berarti kita harus pula menyentuh isu jenis senjata yang cocok buat itu. Nantikan kelanjutannya...

01 November 2008

Littoral Warfare Dan Naval Gunfire Support (Bag-1)

All hands,
Dalam sejarah operasi militer AL kita, operasi pembebasan Pulau Nasi di Aceh pada 22 Mei 2003 merupakan operasi terakhir yang dilakukan AL di mana dilaksanakan naval gunfire support. Meskipun pada 19 Mei 2003 AL kita menggelar operasi pendaratan amfibi di pantai Samalanga, Aceh, namun dalam operasi itu tidak dilaksanakan naval gunfire support, baik sebelum, saat maupun setelah pasukan pendarat membentuk tumpuan pantai dan selanjutnya melaksanakan operasi darat lanjutan.
Apa itu naval gunfire support? Naval gunfire support adalah bantuan tembakan yang diberikan oleh kapal-kapal atas air Angkatan Laut untuk mendukung misi satuan lainnya guna mencapai tujuan (objective) yang telah digariskan oleh komando atas.
Setelah Perang Dingin berakhir, kondisi itu mempengaruhi pula aspek operasional Angkatan Laut, khususnya Angkatan Laut negara-negara maju. Pada masa Perang Dingin, kekuatan laut dibangun dan disiapkan untuk menghadapi pelibatan (engagement) di tengah samudera menghadapi kekuatan laut lainnya. Kini wilayah operasi Angkatan Laut telah beralih dari tengah samudera menuju daerah littoral, sehingga lahirlah Littoral Strategy yang dikembangkan oleh U.S. Navy. Menurut Dr. Scott Bowden, dengan Littoral Strategy U.S. Navy telah mengevaluasi seluruh lokasi sasaran strategis yang jumlahnya 1.430 target, di mana 60 persen target tersebut berjarak 200 mil dari pantai, sedangkan 40 persen sisanya berada dalam jangkauan meriam 16 inci.
Untuk melaksanakan littoral strategy, salah satu kemampuan utama yang harus dimiliki adalah naval gunfire support. Oleh karena itu, beberapa Angkatan Laut negara maju, kini terus mengembangkan kemampuan naval gunfire support yang tercermin dari konversi sistem persenjataan kapal-kapal atas air. Kalau kita dicermati, daya pukul persenjataan kapal-kapal atas air negara-negara maju kini meningkat secara drastis dibandingkan 10 tahun silam.
Selain mengandalkan meriam 5”/62 yang mampu menembakkan munisi ERGM (Extended Range Guided Munition), kapal-kapal atas air Angkatan Laut negara-negara maju dilengkapi dengan rudal jelajah sasaran darat seperti rudal Tomahawk. Selain itu, battleship era Perang Dunia Kedua, Perang Korea dan Perang Vietnam kelas Iowa milik U.S. Navy kini sewaktu-waktu dapat direaktivasi untuk kepentingan naval gunfire support. Dengan demikian, bagi Angkatan Laut negara-negara maju, naval gunfire support tidak semata didukung oleh meriam-meriam kapal-kapal atas air, tetapi juga rudal jelajah sasaran darat.
Kelahiran littoral strategy tidak lepas dari perubahan strategi Angkatan Laut pasca Perang Dingin. Berbeda dengan era Perang Dingin, Angkatan Laut negara-negara maju kecil kini kemungkinannya akan berhadapan dengan kekuatan laut lainnya yang seimbang dalam sebuah pertempuran besar di tengah samudera. Sebaliknya, Angkatan Laut akan lebih banyak menghadapi kekuatan laut dan militer dari pihak-pihak yang lebih lemah, di mana kekuatan-kekuatan tersebut akan lebih banyak bermanuver di pesisir pantai. Sehingga bagi Angkatan Lautgara-negara maju, kini operasi yang dilaksanakan lebih banyak berupa operation against the land.
Guna mendukung operasi itu, peningkatan kemampuan naval gunfire support adalah mutlak. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tunggu kelanjutan dari tulisan ini.