01 November 2008

Littoral Warfare Dan Naval Gunfire Support (Bag-1)

All hands,
Dalam sejarah operasi militer AL kita, operasi pembebasan Pulau Nasi di Aceh pada 22 Mei 2003 merupakan operasi terakhir yang dilakukan AL di mana dilaksanakan naval gunfire support. Meskipun pada 19 Mei 2003 AL kita menggelar operasi pendaratan amfibi di pantai Samalanga, Aceh, namun dalam operasi itu tidak dilaksanakan naval gunfire support, baik sebelum, saat maupun setelah pasukan pendarat membentuk tumpuan pantai dan selanjutnya melaksanakan operasi darat lanjutan.
Apa itu naval gunfire support? Naval gunfire support adalah bantuan tembakan yang diberikan oleh kapal-kapal atas air Angkatan Laut untuk mendukung misi satuan lainnya guna mencapai tujuan (objective) yang telah digariskan oleh komando atas.
Setelah Perang Dingin berakhir, kondisi itu mempengaruhi pula aspek operasional Angkatan Laut, khususnya Angkatan Laut negara-negara maju. Pada masa Perang Dingin, kekuatan laut dibangun dan disiapkan untuk menghadapi pelibatan (engagement) di tengah samudera menghadapi kekuatan laut lainnya. Kini wilayah operasi Angkatan Laut telah beralih dari tengah samudera menuju daerah littoral, sehingga lahirlah Littoral Strategy yang dikembangkan oleh U.S. Navy. Menurut Dr. Scott Bowden, dengan Littoral Strategy U.S. Navy telah mengevaluasi seluruh lokasi sasaran strategis yang jumlahnya 1.430 target, di mana 60 persen target tersebut berjarak 200 mil dari pantai, sedangkan 40 persen sisanya berada dalam jangkauan meriam 16 inci.
Untuk melaksanakan littoral strategy, salah satu kemampuan utama yang harus dimiliki adalah naval gunfire support. Oleh karena itu, beberapa Angkatan Laut negara maju, kini terus mengembangkan kemampuan naval gunfire support yang tercermin dari konversi sistem persenjataan kapal-kapal atas air. Kalau kita dicermati, daya pukul persenjataan kapal-kapal atas air negara-negara maju kini meningkat secara drastis dibandingkan 10 tahun silam.
Selain mengandalkan meriam 5”/62 yang mampu menembakkan munisi ERGM (Extended Range Guided Munition), kapal-kapal atas air Angkatan Laut negara-negara maju dilengkapi dengan rudal jelajah sasaran darat seperti rudal Tomahawk. Selain itu, battleship era Perang Dunia Kedua, Perang Korea dan Perang Vietnam kelas Iowa milik U.S. Navy kini sewaktu-waktu dapat direaktivasi untuk kepentingan naval gunfire support. Dengan demikian, bagi Angkatan Laut negara-negara maju, naval gunfire support tidak semata didukung oleh meriam-meriam kapal-kapal atas air, tetapi juga rudal jelajah sasaran darat.
Kelahiran littoral strategy tidak lepas dari perubahan strategi Angkatan Laut pasca Perang Dingin. Berbeda dengan era Perang Dingin, Angkatan Laut negara-negara maju kecil kini kemungkinannya akan berhadapan dengan kekuatan laut lainnya yang seimbang dalam sebuah pertempuran besar di tengah samudera. Sebaliknya, Angkatan Laut akan lebih banyak menghadapi kekuatan laut dan militer dari pihak-pihak yang lebih lemah, di mana kekuatan-kekuatan tersebut akan lebih banyak bermanuver di pesisir pantai. Sehingga bagi Angkatan Lautgara-negara maju, kini operasi yang dilaksanakan lebih banyak berupa operation against the land.
Guna mendukung operasi itu, peningkatan kemampuan naval gunfire support adalah mutlak. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tunggu kelanjutan dari tulisan ini.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hooo. main perang perangan ya. ulas tentang pangkalan militer indonesia yang ada di pulau pulau kecilnya dong. klo tidak salah kenapa indonesia gak punya kapal induk *mengesampingkan alasan tidak mampu beli* adalah karena kondisi geografis indonesia yang kepulauan. jadi pertahanan laut kita mengandalkan p[angkalan militer di pulau pulau itu.