27 Juni 2008

Transformasi, Bukan Reformasi

All hands,
Di republik ini, masih ada salah kaprah soal pembenahan pertahanan dan militer. Para politisi dan segenap pendukungnya menggunakan istilah reformasi militer untuk menata TNI. Menurut mereka, reformasi TNI belum berhasil karena ada hal-hal yang belum berubah di TNI, di antaranya doktrin.
Buat saya, itu pandang anak kemarin sore yang baru belajar soal militer. Maaf kalau saya harus mengatakan begitu. Mereka orang-orang yang nggak ngerti dapur militer, tapi menganggap diri paling tahu soal itu.
Sepanjang pemahaman saya, reformasi TNI itu ruang lingkupnya adalah dunia politik. Kalau TNI sudah tidak terlibat lagi dalam dunia politik, selesai!!! Reformasi militer udah beres!!! Tapi kalau ada pihak yang menyatakan bahwa reformasi TNI harus punya mencakup doktrin, organisasi dan lain-lain, itu orang yang nggak ngerti pertahanan dan militer.
Penting untuk dipahami bahwa perubahan doktrin, organisasi, operasi dan lain-lain harus ada faktor pendorongnya. Dan keluarnya TNI dari domain politik bukan merupakan pendorong bagi perubahan yang dimaksud. Kenapa begitu?
Memangnya doktrin itu dipengaruhi oleh politik? Yang saya maksud di sini adalah doktrin operasional. Sebagai contoh, kita di AL melaksanakan doktrin opsfib karena murni pertimbangan strategis, taktis dan teknis militer. Tidak ada kaitannya dengan domain politik.
Jadi apa yang menjadi faktor pendorong perubahan doktrin dan lain-lain itu? Jawabannya cuma satu, yaitu kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang diaplikasikan pada militer akan mempengaruhi doktrin, organisasi, operasi dan lain-lain itu. Kemajuan teknologi itu lebih dikenal sebagai revolution in military affairs (RMA).
Penerapan RMA dalam pertahanan dan militer dinamakan TRANFORMASI!!! Jadi bukan reformasi!!! Ingat, TRANFORMASI!!!
Sekarang kita tanya pada diri kita sendiri, TNI sudah transformasi belum? Kalau belum, yah wajar dong doktrin operasionalnya belum berubah. Gimana mau berubah kalau faktor pendorongnya nggak ada.
Masalah penerapan RMA dalam pertahanan dan militer mempunyai kaitan erat dengan visi strategis. Celakanya kita nggak punya visi strategis itu!!! Visi strategis itu harus dipunyai oleh para perencana pertahanan. Dalam konteks Indonesia, perencanaan pertahanan ada di kantor kawan-kawan kita di Merdeka Barat.
Selama visi strategis itu belum ada, penerapan RMA di TNI sepertinya akan masih jauh panggang dari api. Harus ada kekuatan memaksa dari Dephan untuk menerapkan RMA, nggak bisa harapkan inisiatif dari TNI.
Prerequisite untuk menerapkan RMA adalah perubahan paradigma. Perubahan paradigma bahwa perang sekarang di mana depan akan sudden and swift dengan mengandalkan pada effect-based operations. Dari buang munisi serang wilayah periperal, para perencana perang masa kini dan ke depan lebih mengutamakan serang langsung center of gravity lawan yaitu kepemimpinan nasional, selain pusat komando dan kendali militer.
Di masa kini dan masa depan tidak akan ada lagi Iwojima, Tarawa, Okinawa, Normandia jilid dua. Yang ada STOM, yang mana STOM nggak butuh tumpuan pantai. STOM adalah bentuk lain dari maneuver warfare dari laut yang dilaksanakan oleh AL dan Marinir. Perang masa kini dan ke depan akan lebih mengutamakan penggunaan kekuatan laut dan udara.
Paradigma yang berubah akan menuntun kita untuk melihat lagi persepsi terhadap ancaman. Apakah masih ada ancaman? Atau tingkatnya sudah turun menjadi sekarang tantangan?
Yang pasti, sudah menjadi kebijakan pemerintah untuk bangun kekuatan pertahanan dengan menggunakan pendekatan capability-based planning yang secara biaya lebih murah daripada threat-based planning. Tinggal sekarang yang dibutuhkan adalah visi strategis. Kalau kita setuju akan terapkan RMA, dengan sendirinya organisasi, doktrin, operasi dan lain-lain di TNI akan berubah karena itu merupakan konsekuensi.

Tidak ada komentar: