12 Februari 2011

Belajar Dari Taiwan

All hands,
Taiwan sejak tahun 1970-an posisinya terdesak oleh Cina, khususnya sejak Taipei ditendang dari kedudukannya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan digantikan oleh Beijing yang merupakan musuh bebuyutannya. Sejak saat itu, pembangunan kekuatan militer Taiwan, termasuk Angkatan Laut, mengalami sejumlah hambatan. Hambatan semakin kuat sejak akhir 1990-an ketika posisi Cina dalam pergaulan internasional semakin kuat seiring dengan semakin kuatnya ekonomi Beijing. Beijing tanpa ragu menggunakan posisi dan pengaruhnya untuk mengasingkan Taipei dari pergaulan antar bangsa, termasuk menghalangi pembangunan kekuatan laut Taiwan.
Misalnya soal rencana Taiwan untuk membeli kapal selam baru guna menggantikan kapal selam kelas Guppy II yang eks Perang Dunia Kedua. Rencana Taipei tersebut selama ini belum terlaksana karena diblokade oleh Beijing, di mana Cina menekan negara-negara Eropa yang akan bekerjasama dengan Taiwan. Seperti diketahui, negara produsen kapal selam konvensional di Barat cuma Eropa, sedangkan Amerika Serikat hanya memproduksi kapal selam nuklir.
Beruntung negeri ini didukung oleh Amerika Serikat yang memiliki Taiwan Relations Act 1979. Dalam TRA, dinyatakan bahwa Amerika Serikat wajib membantu Taiwan dari serangan asing. Lewat TRA juga diotorisasi penjulan senjata buatan Amerika Serikat ke negara pulau itu bagi kepentingan defensif. Berdasarkan TRA tersebut, Taipei pada Agustus 2010 diperbolehkan oleh Washington untuk mengakuisisi dua kapal fregat kelas Oliver Hazard Perry eks U.S. Navy.
Memang mengingat pengalaman operasional fregat kelas Oliver Hazard Perry oleh U.S. Navy maupun RAN, ada sejumlah masalah teknis yang menghinggapi kapal perang tersebut. Angkatan Laut Taiwan sadar akan hal itu, tetapi mereka membutuhkan kapal fregat itu guna menggantikan fregat kelas Knox yang telah berumur empat puluh tahun dan sakit-sakitan. Washington dengan memperhatikan sensitivitas Beijing hanya bersedia menjual fregat kelas Oliver Hazard Perry kepada Taiwan, itu pun cuma dua buah dari delapan permintaan Taiwan.
Taipei mengharapkan pula agar Washington sudi memberikan akses pada teknologi Aegis yang akan dipasang pada kapal perangnya. Kebutuhan Angkatan Laut Taiwan akan teknologi Aegis terkait dengan meningkatnya ancaman udara dari pesawat tempur Cina. Sejauh ini, belum ada lampu hijau dari Washington tentang ekspor teknologi Aegis kepada Taipei.
Belajar dari kasus Taiwan, meskipun negara itu menghadapi tantangan berat dalam rangka membangun kekuatan lautnya, tetapi mereka tetap gigih untuk mencapai tujuan. Indonesia yang nasibnya tidak sama dengan Taiwan semestinya bisa lebih gigih dalam membangun kekuatan lautnya. Perbedaan antara Taiwan dengan Indonesia memang ada beberapa. Pertama, nasib Indonesia lebih baik daripada Taiwan karena tak ada musuh yang memblokade pembangunan Angkatan Lautnya. Kedua, kebijakan politik di Taipei lebih berpihak kepada pembangunan kekuatan Angkatan Laut daripada di Jakarta.

Tidak ada komentar: