27 September 2009

Siap Berperang Dan Menang Di Masa Lalu

All hands,
Berbicara tentang pertahanan pasti akan terkait dengan lingkungan keamanan. Dinamika lingkungan keamanan akan menentukan dan mempengaruhi strategi pertahanan yang dianut. Banyak negara yang telah melaksanakan pergeseran strategi pertahanan sebagai respon terhadap lingkungan keamanan yang berubah.
Pergeseran strategi pertahanan berarti mengubah pula struktur kekuatan militer. Perubahan struktur tersebut akan dimulai dari aspek perencanaan sampai dengan akuisisi. Aspek perencanaan bukan semata soal sistem senjata apa yang harus dibeli untuk mencapai struktur kekuatan militer yang diinginkan, tetapi mencakup pula penyiapan sarana pendukung seperti pangkalan dengan segala fasilitasnya, sistem C4ISR dan personel.
Sebagai contoh, merespon invasi Uni Soviet ke Afghanistan dan jatuhnya rezim Syah Iran pada 1979, Amerika Serikat memperluas cakupan strategi pembendungannya hingga ke Asia Barat Daya. Saat Negeri Beruang Merah runtuh, Uwak Sam membangun strategi pertahanan yang berfokus pada operasi ekspedisionari di wilayah Timur Tengah. Sebab wilayah itu dipandang sebagai wilayah yang sangat vital bagi kepentingan nasionalnya, khususnya ketergantungan pada ladang minyak negara-negara Arab.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini sudah diinvasi oleh Australia pada 1999. Negeri ini masih terus dilecehkan oleh Negeri Tukang Klaim di Laut Sulawesi. Negeri ini masih terancam keutuhan wilayahnya terkait masalah Irian Jaya.
Ketika sejumlah masalah itu muncul, lingkungan keamanan sudah berubah. Tidak ada lagi Perang Dingin. Artinya peran dan nilai strategis Indonesia dalam peta keamanan Amerika Serikat sudah berubah dibandingkan di era Perang Dingin sedang berkecamuk. Di antara contoh nyata adalah restu Washington kepada Dili untuk memisahkan diri dari Jakarta.
Lalu berubah strategi pertahanan negeri ini? Jawabannya jelas, tegas dan gamblang yaitu tidak!!! Strategi pertahanan negeri yang pernah dipimpin oleh Soekarno ini masih menganut strategi pertahanan berlapis untuk menghadapi serangan dari luar. Serangan dari luar tersebut lebih banyak diartikan invasi untuk menduduki wilayah Indonesia, bukan serangan model surgical strike yang kini justru lebih popular.
Strategi pertahanan Indonesia juga tidak dengan jelas menunjukkan siapa bakal lawan yang akan dihadapi. Dengan kata lain, kekuatan militer Indonesia dirancang untuk menjadi super hero, mampu menghadapi serangan militer dari aktor manapun, baik aktor pemilik senjata konvensional maupun nuklir.
Pada sisi lain, kemampuan dukungan sistem senjata untuk mendukung strategi pertahanan mengalami penurunan drastis. Sehingga tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa ada keterputusan antara strategi dengan means untuk mencapai strategi tersebut. Masalahnya tidak banyak pihak di negeri ini yang hirau dengan masalah-masalah ini.
Sebenarnya di lembaga pendidikan profesional militer semacam Sesko sudah dengan jelas diajarkan teori strategi. Termasuk hubungan antara strategi pertahanan dengan struktur kekuatan militer. Masalahnya adalah implementasi teori itu sepertinya tidak berjalan, karena tidak adanya kemauan politik dari pemerintah. Keterbatasan anggaran pertahanan senantiasa dijadikan tameng oleh pengambil kebijakan menghadapi tuntutan pergeseran strategi pertahanan.
Meskipun merupakan hal yang tidak enak, bukanlah suatu hal yang berlebihan untuk menarik kesimpulan bahwa strategi pertahanan Indonesia dirancang untuk bekerja di alam Perang Dingin. Artinya kekuatan militer Indonesia siap untuk berperang dan menang di masa lalu, tetapi tidak siap untuk berperang dan menang di masa depan.

Tidak ada komentar: