25 Januari 2009

Memahami Major Naval Operation

All hands,
Secara definisi, major naval operation consist of a series of related major and minor naval tactical actions conducted by diverse naval forces and combat arms of other services, in terms of time and place, to accomplish an operational (and sometimes strategic) objective in a given maritime theater of operations. Definisinya seperti itu, bila ada definisi lain yang kalimatnya mirip-mirip juga tidak keliru. Definisi yang saya kutip di sini berdasarkan pendapat Milan Vego. Beberapa rekan perwira yang pernah belajar di U.S. Naval War College di Newport pasti tahu siapa orang yang satu ini.
Dari definisi tersebut, terdapat beberapa elemen yang harus diperhatikan. Yaitu (i) a series of related major and minor naval tactical actions, (ii) conducted by diverse naval forces and combat arms of other services, (iii) in terms of time and place dan (iv) to accomplish an operational (and sometimes strategic) objective in a give maritime theater of operations.
Cakupan naval tactical actions yang dimaksud bukan semata pada aksi-aksi di mana senjata digunakan, tetapi juga mencakup aksi-aksi yang mana senjata tidak dipakai. Jadi naval tactical actions bukan sekedar to attack, raids, engagements and naval battle, tetapi meliputi pula kegiatan patroli dan pengamatan. Semua sistem senjata Angkatan Laut dapat terlibat dalam naval tactical actions, baik unsur kapal selam, kapal atas air maupun pesawat udara.
Selain sistem senjata Angkatan Laut, dapat pula dilibatkan sistem senjata matra lain. Dan aksi-aksi semua sistem senjata tersebut mempunyai keterkaitan satu sama lain alias terorkestrasi dan direncanakan secara matang.
Unsur berikut yang penting untuk dipahami dalam major naval operation adalah sifatnya yang jointness. Artinya ada Gugus Tugas Maritim alias MJTF yang tidak saja melibatkan unsur-unsur Angkatan Laut, tetapi juga matra lain.
Gugus Tugas Maritim itu melaksanakan direktif pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Harus kembali diingat bahwa dalam melakukan suatu operasi atau kampanye, ada tiga unsur penting yang tak boleh dilupakan. Mencakup time, place and force. Ketiganya harus “seimbang” bila kita ingin mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pencapaian tujuan sudah pasti ada dalam suatu operasi atau kampanye militer. Demi mencapai tujuan tersebut, kekuatan yang disusun harus disesuaikan dengan tujuan yang telah digariskan oleh komando atas dan harus pula berada dalam cakupan waktu yang juga telah ditetapkan. Adapun mandala operasi maritimnya juga sudah pasti sangat jelas.
Apabila kita tarik major naval operations dalam konteks Indonesia, ada beberapa isu yang perlu menjadi perhatian. Yang paling utama adalah kesiapan untuk menggelar operasi itu secara jointness. Secara teori hal itu gampang, namun ketika akan dipraktekkan akan menemui sejumlah kesulitan. Mulai dari interservice rivalry, kodal, jarangnya latgab, interoperability antar alutsista, dukungan logistik dan lain sebagainya.
Interservice rivalry masih menjadi “penyakit” di dalam militer Indonesia. Itu kenyataan yang harus kita akui kalau kita ingin maju. Bagaimana kita bisa mengobati suatu penyakit kalau sakitnya saja kita tidak tahu?
Major naval operations bisa jadi merupakan bagian dari kampanye maritim, bisa pula bagian dari kampanye darat dan dapat pula berdiri sendiri. Untuk kampanye maritim, interservice rivalry antara AL dengan AU akan mengemuka, khususnya menyangkut kodal pesawat tempur dan pesawat lainnya milik AU yang mendukung operasi. Hingga kini soal itu belum terpecahkan, karena masih adanya ego matra yang berlebihan.
Sedangkan untuk kampanye darat, interservice rivalry antara AL dengan AD, khususnya untuk kodal opsratmin. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap opsratmin, yang bila kita kembali ke definisinya jelas siapa yang akan pegang kodal opsratmin.
Fase opsratmin dimulai sejak embarkasi di titik keberangkatan. Ketika dalam perjalanan lintas laut bahaya serangan udara, permukaan dan bawah permukaan lawan senantiasa mengancam. Saat akan mendaratkan pasukan di pantai sasaran, bahaya senjata lintas lengkung lawan dari pantai harus diperhitungkan pula. Itulah pentingnya naval gunfire support alias BTK sebelum dimulainya opsratmin dan biasanya pada kondisi normal opsratmin minimal baru bisa digelar satu hari setelah terbentuknya tumpuan pantai oleh pasukan pendarat yang tergabung dalam opsfib.
Setelah tumpuan pantai terbentuk, pasukan pendarat yang biasanya adalah Marinir harus melakukan penetrasi lebih dalam ke darat dalam bentuk operasi darat lanjutan. Salah satu tujuannya adalah mengamankan opsratmin yang akan digelar, jangan sampai kapal-kapal pendarat dihantam oleh senjata lintas lengkung lawan. Seandainya lawan mempunyai howitzer SP 155 mm yang jarak tembaknya antara 20-40 km, tentu bisa dibayang berapa kilometer perimeter yang harus dikuasai oleh Marinir untuk mengamankan opsratmin. Dengan kata lain, opsratmin tidaklah semudah yang dibayangkan.
Kembali ke isu major naval operation, untuk melaksanakannya di Indonesia saat ini tidak mudah. Belum terbentuknya kesadaran akan pentingnya jointness menjadi salah satu kendala utama untuk melaksanakan hal tersebut. Artinya hal demikian bukan cuma pekerjaan rumah bagi AL, tetapi Departemen Pertahanan dan TNI secara keseluruhan.

Tidak ada komentar: