All hands,
Ketergantungan Cina terhadap Selat Malaka memunculkan istilah Dilema Selat Malaka. Untuk mengurangi ketergantungan kepada Selat Malaka yang berada di bawah kendali Amerika Serikat, Beijing sejak akhir 1990-an telah menggagas perlunya transportasi minyak dan gas dari Asia Barat Daya ke wilayahnya menggunakan pipa. Gagasan demikian karena selain terkena Dilema Selat Malaka, Beijing terjuga terkena Dilema Selat Hormuz. Mungkinkah Cina bisa mengalihkan transportasi minyak dan gas dari Asia Barat Daya via pipa?
Jawabannya mungkin, tetapi dampaknya tidak signifikan. Sebab daya muat kapal tanker plus biaya operasional kapal tanker masih jauh lebih murah daripada menggunakan pipa minyak dan gas sebagai alat transportasi. Kapasitas muat pipa jelas lebih kecil daripada satu kapal ULCC atau VLLC, begitu pula biaya operasional transportasi minyak dan gas tersebut. Kecuali pengambilan keputusan di Cina lebih mengedepankan aspek politik dan mengorbankan perhitungan aspek ekonomis.
Bisa saja Beijing menghindari Selat Malaka, tetapi tidak mudah bagi Cina untuk menghindari Selat Sunda dan Selat Lombok. Itu pun dengan catatan bahwa biaya berlayar via kedua selat terakhir lebih mahal dibandingkan menggunakan Selat Malaka. Tetapi di sisi lain harus diperhatikan pula bahwa kapal tanker tipe ULCC tidak bisa melintas di Selat Malaka.
Cina memang memiliki aspirasi untuk membangun terusan di Semenanjung Kra, Thailand. Namun untuk mewujudkan gagasan itu tidak mudah, sebab Cina harus berhadapan dengan kelicikan Singapura. Karena Singapura nantinya akan menjadi korban pertama apabila ada terusan di Semenanjung Kra. Sebagai negara yang hidup matinya dari jasa pelabuhan, Negeri Penampung Koruptor asal Indonesia itu akan berusaha secara maksimal untuk menggagalkan pembangunan terusan di Semenanjung Kra atau minimal mengkooptasi proyek terusan itu.
Situasi ini menggambarkan betapa SLOC Indonesia masih merupakan kebutuhan strategis Cina. Tak mustahil suatu saat nanti Beijing akan menyebarkan kekuatan lautnya di sekitar SLOC Indonesia untuk petantang-petenteng. Skenario demikian hendaknya diantisipasi sejak dini oleh Indonesia pada aspek operasional dan tidak semata mengandalkan skenario diplomatik yang polanya "itu-itu saja".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar