28 Januari 2009

Interoperability: Antara Ego dan Pengorbanan

All hands,
Proses pembangunan interoperability memerlukan waktu panjang, paling tidak 10 tahun. Mengapa demikian? Sebab banyak hal yang harus dibenahi untuk mewujudkan interoperability TNI. Antara lain paradigma terhadap pentingnya operasi gabungan, yang mana interoperability adalah bagian dari operasi gabungan.
Selain itu, persamaan persepsi terhadap interoperability itu sendiri. Mungkin bagi AL (dan juga AU) yang karakteristiknya adalah mengawaki sistem senjata, tidak terlalu beda pemahamannya terhadap interoperability. Kedua matra juga mempunyai frekuensi latihan dengan mitranya dari militer negara lain yang cukup banyak setiap tahunnya. Sehingga cukup paham dengan interoperability, sebab sering mempraktekkannya.
Lagi bagaimana dengan matra darat? Apakah sudah memiliki pemahaman yang sama dengan dua matra lainnya tentang persepsi terhadap interoperability. Semoga saja sudah berada pada frekuensi yang sama, namun andaikata belum, tentu belum terlambat untuk menyamakan persepsi TNI terhadap interoperability.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah merevisi perangkat lunak operasi gabungan. Memang benar pasca reformasi Bujuk Opsgab telah mengalami revisi, yang mana opsgab dibagi dua yaitu untuk OMP dan OMSP. Untuk OMP, terdapat opsgab yang melibatkan dua atau lebih matra TNI. Sedangkan untuk OMSP, dibagi ke dalam dua istilah yang berbeda. Pertama adalah Operasi Mandiri dan kedua yaitu Opsgab itu sendiri. Operasi Mandiri dalam OMSP berarti hanya melibatkan dua atau lebih matra TNI, sedangkan opsgab dalam kategori OMSP pemahamannya sama dengan joint civil-military operations di Amerika Serikat.
Cuma yang masih belum jelas bagi saya adalah apakah dibuka peluang untuk opsgab (istilah Bujuk Opsgab adalah Ops Mandiri) untuk menghadapi ancaman non militer yang dilaksanakan sehari-hari? Misalnya operasi keamanan laut yang memadukan antara unsur AL dengan unsur AU seperti halnya di Australia. Dengan demikian, apabila beroperasi di sektor yang sama, pesawat udara AU yang menemukan sasaran yang mencurigakan bukan saja dapat melaporkan hal itu kepada kapal perang AL yang tengah berpatroli di sektor tersebut, tetapi juga kapal perang itu dapat segera melakukan penghentian dan pemeriksaan di laut.
Harus diakui bahwa selama ini akibat ketidakpaduan antara patroli pesawat udara AU dengan kapal perang AL, seringkali banyak sasaran mencurigakan di laut yang tidak bisa ditindak karena kedua matra tidak beroperasi pada sektor yang sama. Seandainya perangkat lunak yang mengatur hal demikian belum cukup, sudah sepatutnya dilakukan pembenahan internal.
Untuk mewujudkan interoperability, pekerjaan rumah lainnya adalah memasukkan hal tersebut dalam kurikulum pendidikan TNI, khususnya perwira. Mengutip pernyataan seorang perwira senior, sudah terlambat bila opsgab baru diajarkan pada tingkat Seskogab. Materi opsgab sebaiknya mulai diajarkan pada tingkat pendidikan sebelum Seskogab, kalau perlu dari pendidikan awal perwira.
Selama ini, kita harus jujur mengakui bahwa hasil pendidikan di Seskogab belum mencapai tingkat yang diharapkan. Mau bukti? Kalau ada oyu latgab, pasti ketiga matra berdebat keras soal siapa memainkan apa. Padahal sebagian besar dari materi perdebatan itu sebenarnya tidak perlu diperdebatkan bila kita mengacu pada konsep aslinya atau rel yang sebenarnya.
Misalnya opslinud, siapa kodalnya? Opsratmin, siapa kodalnya? Pesawat udara AU yang mendukung kekuatan AL atau AD, siapa kodalnya? Jam J-nya berdasarkan (atau berpatokan pada ops) apa dan lain sebagainya? Perlu diketahui kebanyakan yang terlibat perdebatan itu justru sudah lulus dari Seskogab.
Lalu itu artinya apa? Pertama, Seskogab belum mencapai hasil yang diharapkan yaitu jointness TNI. Kedua, Seskogab belum mampu mengurangi ego matra.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat USMC banyak berkorban dalam rangka jointness. Seperti kita ketahui, sebenarnya USMC mampu untuk melaksanakan sendiri opsfib. Sebab matra itu mempunyai pesawat serang darat (F/A-18 dan AV-8), memiliki helikopter angkut dan serbu sendiri, mempunyai LCAC sendiri dan tentu saja berbagai jenis senjata untuk opsfib seperti tank, AAV, meriam SP dan lain sebagainya.
Tetapi dalam rangka jointness, untuk opsfib pasca modern ---maksudnya menggunakan STOM yang tidak lagi memerlukan tumpuan pantai---, USMC rela saja dibantu oleh pesawat tempur AL yang berpangkalan di kapal induk dan pesawat tempur AU. Padahal kalau USMC mau mempertahankan ego matranya, dia bisa gelar STOM sendiri tanpa bantuan matra lain, termasuk saudaranya sendiri yaitu U.S. Navy.
Militer Amerika Serikat yang oleh negara-negara lain seringkali dijadikan sebagai model bagi opsgab di masa lalu juga terlibat dalam interservice rivalry. Hanya setelah kekalahan di Perang Vietnam, muncul kesadaran untuk mengurangi ego matra dan beroperasi dalam bentuk jointness. Artinya jointness di sana baru dimulai pada akhir 1970-an dan pertama kali diuji ketika militer negeri itu menginvasi Panama untuk mengejar pemimpin Panama Jenderal Manuel Noriega pada 20 Desember 1989.
Kembali ke topik semula, berdasarkan kondisi saat ini dan juga mengacu pada pengalaman negara-negara lain, untuk mewujudkan interoperability antar matra memerlukan waktu yang cukup lama. Waktu itu dibutuhkan untuk membenahi beragam kekurangan yang ada. Itulah pekerjaan rumah bagi TNI secara keseluruhan.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

saya sangat setuju dengan bro all ttg Interoperability untuk masa sekarang sangat diperlukan sekali tapi menurut saya kita perlu benahi dulu dalam lingkungan AL sendiri bila antar satuan di kita sudah ter interoperability dengan baik akan mempengaruhi antar matra karena sudah ada kesepahaman/satu perkataan yg sama dari AL,jgn sampe ada perkataan AL ga usah di pikirkan dia masih sibuk mikirkan dirinya. Bersama kita pasti bisa

Anonim mengatakan...

Bro....
Rivalitas antar angkatan ini dimulai dari rivalitas dalam angkatan itu sendiri. Di matra darat rivalitas antara infantry vs cavalry, di matra laut juga antara sailor vs marine, di matra udara antara airmen vs non airmen. Lihat saja dalam pemilihan semua kepala staf juga menganut pola yang sama. Di matra darat pasti berlatar belakang infantry, di matra laut pasti berlatar belakang sailor, dan di matra udara pasti berlatar belakang penerbang.
So..., rivalitas antar matra dapat dikikis habis jika rivalitas dalam matra itu sendiri juga dihilangkan. Mulailah pendidikan interoperability ini dimulai dari pendidikan militer dasar (secaba, secatam atau secapa). Mudah-mudahan kedepannya kita mempunyai TNI yang padu.

Mac Gyver

Anonim mengatakan...

Rivalitas dalam matra, tak bisa dilepaskan dari sistem korps yang masih dianut di tingkat perwira. Dulu akhir 1960-an AL sempat menganut line system seperti di U.S. Navy sekarang. Cuma masalahnya line system harus didukung oleh NCO yang mumpuni di bidangnya, sehingga perwira yah general saja. Ternyata penerapan itu tidak berhasil mencapai tujuan karena SDM NCO kita tak sesuai dengan yang diharapkan. Akhirnya AL kembali lagi ke corps system.
Memang ada wacana di antara individu-individu agar kembali ke line system. Sekali lagi, WACANA DI ANTARA INDIVIDU-INDIVIDU, BUKAN DI ORGANISASI. Tapi wacana itu titik akhirnya adalah kembali ke kualitas NCO kita.
Tentang persaingan di AL antara bintang segi delapan dengan keris tidak signifikan seperti pendapat anda. Masak keris yang jadi AL-1? Aneh dan saya pribadi tak setuju. Memang di RNLN AL-1-nya itu sekarang dari Marinir. Tapi belum tentu itu cocok dalam kondisi di Indonesia, bisa "bubar" AL. Ha...ha...ha... Sorry, bukan mengecilkan Marinir, tapi ruang lingkup keris kan beda sama bintang segi delapan.
Soal rivalitas korps di matra lain, saya no comment. Saya tak di dalam organisasi mereka, jadi tak paham kondisi sebenarnya.

TrueNavy mengatakan...

Antar satuan, antar korps. bukan untuk berebut AL-1. TAPI saling menghargai eksistensi. ini kenyataan... di kalangan kadet/taruna sudah ditanamkan bahwa korps pelaut adalah boss, yang ... maaf biarpun bodoh tetap akan jadi komandan. senior yang memberi doktrin seperti itu tentunya belum merasa sebagai sistem TNI-AL masih sistem di Korpsnya. Well, mari saling menghargai dengan cara menurunkan ego dan berpikir secara whole system. kalau memang dia mampu, wawasannya luas, visi keangkatanlautnya jelas, didukung DPR, Presiden dan Mabes TNI... apapun korpsnya jadilah dia KASAL.