18 Januari 2009

Penetapan Kawasan Pelibatan

All hands,
Salah satu ketidakcerdasan para perencana pertahanan di Departemen Pertahanan adalah soal prioritas penggunaan anggaran pertahanan. Selama bertahun-tahun, selalu didengungkan bahwa anggaran pertahanan terbatas. Katakanlah seorang perwira di Departemen Pertahanan berpangkat Letnan Kolonel berbicara begitu saat ini. Nanti ketika sang Letnan Kolonel sudah jadi perwira tinggi, dengungannya pasti juga akan sama. Namun apakah akan ada perubahan situasi dari saat ini sampai sang perwira menjadi perwira tinggi?
Selama tak ada perubahan paradigma di Departemen Pertahanan, situasinya akan tetap sama. Anggaran pertahanan yang terbatas akan selalu dijadikan alasan untuk tidak membangun kekuatan pertahanan yang mahal, khususnya AL. Lalu di mana sebenarnya letak kesalahan selama ini?
Salah satu kesalahan Departemen Pertahanan dalam pembangunan kekuatan adalah tidak menetapkan kawasan pelibatan. Berdasarkan perkiraan intelijen, harus ditetapkan di wilayah mana saja dalam 10 tahun ke depan potensial terjadinya konflik militer. Meminjam istilah yang dipergunakan oleh para perencana pertahanan di Pentagon, harus ditetapkan Major Theater War (MTW) dan Small Scale Conflict (SSC). Dari beragam potensi konflik di Nusantara (dalam arti konflik militer), wilayah mana saja yang sangat berpotensi munculnya MTW maupun SSC?
Setelah MTW dan atau SSC bisa ditetapkan oleh Departemen Pertahanan, konsekuensinya adalah pembangunan kekuatan pertahanan disiapkan untuk menghadapi konflik di MTW dan atau SSC itu. Misalnya MTW di Indonesia adalah Laut Sulawesi dan kawasan selatan Nusa Tenggara. Maka pembangunan kekuatan pertahanan ditujukan untuk menghadapi dua MTW tersebut.
Fokus pembangunan kekuatan pertahanan harus di situ. Di luar dua MTW tersebut, pembangunan kekuatan bersifat tidak mendesak. Segala sumber daya harus diarahkan pada dua MTW dimaksud.
Dengan kata lain, wilayah-wilayah lain di luar MTW jangan mengarang skenario konflik yang akan dijadikan pembenaran agar anggaran pertahanan ditujukan ke wilayah-wilayah itu. Jadi matra TNI di Aceh jangan bikin konsep aneh-aneh yang tujuannya menyerap anggaran. Sebab Aceh tidak masuk dalam MTW.
Dengan adanya penetapan MTW dan atau SSC, alutsista yang dibutuhkan pun jelas. Misalnya dengan Laut Sulawesi sebagai MTW, tidak ada alasan lagi bagi Departemen Pertahanan untuk menghambat pengadaan kapal selam bagi AL. Sebab wilayah itu perairan dalam dan cocok buat peperangan kapal selam. Perairan Laut Sulawesi tidak cuma membutuhkan Sukhoi, sebab Sukhoi sangat tidak bisa diandalkan untuk menetralisasi kapal selam lawan.
Dengan penetapan MTW atau SSC, pembangunan kekuatan pertahanan tetap dapat dilakukan meskipun angggaran terbatas. Termasuk di dalamnya pengadaan alutsista bagi AL. Penetapan MTW atau SSC juga bisa mengurangi potensi pembuatan skenario aneh-aneh yang tujuannya tak lebih hanya untuk menyerap anggaran seperti yang selama ini terjadi. Lek gak ono MTW, yo ngene-ngene ae.

10 komentar:

Anonim mengatakan...

katanya ada OMP dan OMSP, pertimbangan dengan skala prioritas saat ini kepentingan strategis yang mendesak lebih banyak dihadapkan kepada ancaman non tradisional. Memang Amerika sudah memetakan mana yang major mana yang low intensity tapi mereka memprediksipun lebih banyak yg low intensity.
Prediksi US ke depan :
- fewer war, more conflict
- more sun tzu, less clausewitz
- Information warfare
- force requirement: smaller footprints, mass effects
Indonesia ?

Anonim mengatakan...

Allhands,

Your 2 latest postings remind me of something. Perhaps its good for those in sister services (AD) to read "Military Strategy: A General Theory of Power Control" by Admiral JC Wiley, USN, in which he puts forward 3 strategic thoughts of military strategy; maritime strategy, continental strategy & air strategy. He describe maritime strategy must not stand alone on its pure form, but should be appropriately blended with the air forces and armies, together with the psychological, economic and political forces.

A theory put forward by him (on maritime strategy) is that the purpose of sea power is to project control over the land. As far as maritime strategy is concerned, the establishment of an adequate control of the sea, will evidently, lead to projection of power into one or more critical areas of decision on the land.

What is defined by influencing the decision of the land battle?

- exploiting control of sea to project a smaller but strategically decisive ground force for the actual establishment of control on land
- control of the sea to project an economic force towards the eventual establishment of governing control over the enemy in his own land (by weakening an enemy's self-sustainability).

Aren't these what Indonesia, an archilepagic state, should be focusing right now? Isn't the control of land the goal of the army?

After all, Indonesia, by having a weak naval forces, is still not ready, politically and militarily, to master the sea by pursuing the command of sea through the less-effective method of "attrition war" or even by harassing an enemy's commerce. Just my thoughts.

M.

Anonim mengatakan...

bukannya sudah ditetapin ya MMC & SSC untuk 20 tahun kedepan...
para OPM, GPK, Teroris, mmmm... apalagi ya :D

ya nanti klo mereka gak ada,kan bisa diada-adain... ato jangan2 cuma tunggu waktunya aja buat dimunculin :D

biarin aja deh, daripada ntar ngambek, trus buat milisi sana milisi sini.. rame lagi deh... wkwkwkwk

mulai tahun suwidak jaran pancet ae kelakuan gak berubah, kapan majune yo... akhire yo ngene-ngene ae :D

Anonim mengatakan...

soal ngada-ngadain MMC dan SSC kan berguru dari Amerika juga, WMD yang gak ada aja bisa dibikin ada, apa susahnya bikin yang gak ada jadi ada ?
cuman lagi cari bukunya dulu yang pake bahasa enggris, bang allhands punya bukunya gak ?

Anonim mengatakan...

Apakah maritime strategy itu sesuai untuk Indonesia mengingat konteks kepentingannya berbeda, kita kan bukan mau control of land punyanya enemy, itu daratan milik kita dimana di situ tinggal dan hidup rakyat kita.
Pengaruhnya memang ada tapi kalau diperlukan action, apa yang mau diperbuat oleh kapal tempur yang mengontrol wilayah darat negara sendiri, walaupun ada musuh di situ tapi ada rakyat kita juga di situ ? Sejauh mana efektifitasnya

Anonim mengatakan...

Untuk rekan-rekan se-tanah air,
terima kasih atas respon anda sekalian. Lepas dari beragam pendapat, kita harus menetapkan MTW dan atau SSC. Itu penting dalam pembangunan kekuatan. Sehingga bangkuatnya juga jelas. Sekarang kita beli alutsista kan kadang nggak nyambung sama kebutuhan. Ada alutsista yang belum perlu dibeli, eh dibeli. Ada alutsista yang mendesak untuk dibeli, dihambat dengan beragam alasan. Di sisi lain, anggaran pertahanan terbatas. Artinya, seperti yang sering dimuat dalam pidato, harus ada skala prioritas bangkuat.
Soal maritime strategy, kita harus berpikir outward looking juga. Pada satu sisi Indonesia harus jamin keamanan perairannya yang juga SLOC internasional. Pada sisi lain, kita harus mulai berpikir untuk proyeksi kekuatan. Proyeksi kekuatan itu bukan untuk menyerbu negeri orang lain, tapi untuk amankan SLOC kita yang berada di luar wilayah kedaulatan. Tidak ada jaminan SLOC kita akan aman terus.
MTW dan atau SSC memang berguru sama Amerika Serikat. Nggak ada salahnya kan? Yang penting penerapannya tidak text-book, tetapi memang sesuai dengan realm di Indonesia. Harus adaptif. Buku yang mana yang dimaksud???

Anonim mengatakan...

I agree with u that at the time being, Indonesian Navy still cannot to master the sea by command of the sea. But from my point of view, we dont pursue some kind of war of attrition anymore. As the technology affected maritime strategy, war of attrion is less useful for the time being and the future. On the other hand, the current trends in many nations are to adopt Effect-Based Ops in order to achieve strategic objective given by government.
Discussing about power projection, from my understanding, it is about to project your power abroad, not at home. If Indonesian Navy deploy her ships to --let say--- Aceh, it couldnt dubbed as power projection.
For the future, I think Indonesian Navy's power projection more than for maritime security operations or maritime peacekeeping operations. It part of our responsibility to international community to maintain the regional and global security. That's what we are going to do in near future in Lebanon waters under the auspices of UNIFIL MTF.

Anonim mengatakan...

Everyone, thanks for the replies. Its not a matter of controlling other nation's land, what I was saying goes deeper than that. Its a fact that TNI-AD should realise; that maritime strategy is effectively, PART of land strategy as well - its interrelated. And this holds true for an archipelagic state like Indonesia.

Of course you can't control the land using your fleet, you need an army for that! :) ..But to control the land (enemy's or your own) you need control of sea. The army need the navy to have an acceptable level of control of the sea if it wants to win, makes no mistake bout that. Despite the advances of military strategic airlift, past experiences has shown that mass movement of troops, assets, logistics etc still goes through the 'sea channel'.

Projection of power, in this context (maritime strategy), is 'influencing the next course' of critical decisions by the land commanders - not projection of power as in naval strategy's realm. How can you control your land (logistics, troop movement etc) if you can't master your own sea? This, IMHO, needs to be understood by the leaders, as well as the political establishment.

War of attrition, is one of the tools/concepts applied by a weaker naval forces when it comes across a much stronger one - its part of the assymmetrical way of engagement. Others could be swarming tactics, attack on commercial routes etc. In Ambalat case, there is a lack of sufficient staging bases (eg FOB) within close proximity of each other, and the fact that any conflict in the area will be done in the blue-water zone/phase of naval engagement - unlike in Straits of Malacca which is a more confined waters (thus limiting the options of attacker). Having plenty of vessels catered for brown-water operation wont do any good IMO.

M.

Anonim mengatakan...

@bro Allhands
masalahnya sekarang kan seperti yang sudah ditulis oleh bro Allhands kan, tetapi kenyataanya yang ada sekarang masih memakai paradigma lama, yang dilihat bukan outward looking... tapi ini nih :

"bukannya sudah ditetapin ya MMC & SSC untuk 20 tahun kedepan...
para OPM, GPK, Teroris, mmmm... apalagi ya"

jadi mau gak mau MMC & SSC harus diubah dulu, tapi untuk merubah kan tahu sendiri permasalahannya

kesimpulannya seperti yang bro Allhands pernah katakan... susah ngadepin hegemoni senapan silang, dihambat lah, task force juga enggan lah... ujung-ujungnya klo mereka ngambek ntar bisa-bisa bikin milisi disana-disini... hehe ;) <= ini nih yang dimaksud saudara anonim yg satu lagi, yg dibilang belajar dari US :D

yang begitu itu yang bikin kita gak maju-maju, akhirnya yo ngene-ngene ae kan sampe sekarang :D

emang sudah saatnya masalah maritim diperhatikan, walaupun sudah terlbat ya... tp lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali ya ;)

Anonim mengatakan...

@ bung/mbak M,jangan lupa juga air superiority,kalo yang satu ini ketinggalan ya lumayan juga ancurnya armada dan kekuatan darat.Menurut saya, TNI-AL harus juga beli Air Warfare Frigate selain submarine.

MMC dan SSC seperti GPK dll hendaknya jangan jadi maenan kita lagi.Ingat!global warming (musim panen makin susah diprediksi,pergerakan kumpulan ikan pun mulai gak seperti biasanya,permukaan air laut meninggi dll).Negara tetangga kita kalo laper/putus asa bisa main kasar apalagi kalo interest-nya tidak diperoleh.Oleh karena itu,AL dan AU,harus menjadi prioritas dalam pengembangan kekuatan TNI.
(Taufik)