10 April 2009

Strategi Maritim Dan Capability-Based Planning Di Indonesia

All hands,
Seperti pernah ditulis sebelumnya, strategi maritim akan senantiasa terkait dengan isu sea control, sea denial dan power projection. Ketika dihadapkan dengan capability-based planning, nampaknya ada sejumlah kompromi yang harus dilaksanakan terkait dengan strategi maritim yang dianut. Kompromi bagi setiap negara pasti berbeda-beda, tergantung pada kepentingan nasional mereka. Di Amerika Serikat misalnya, kompromi bukan menyangkut pengurangan kemampuan untuk melaksanakan sea control, sea denial dan power projection, tetapi pada daftar pengadaan alutsista baru dalam perencanaan kekuatan.
Bagaimana dengan Indonesia? Kompromi ala U.S. Navy melalui peninjauan ulang terhadap daftar pengadaan alutsista baru dalam perencanaan kekuatan bukanlah suatu alternatif yang dapat ditempuh. Karena kekuatan laut negeri ini sangat membutuhkan sejumlah alutsista baru, khususnya pada kapal atas air, kapal selam dan pesawat udara.
Pertanyaannya, di mana kompromi yang mungkin dapat dilakukan? Menurut hemat saya, kompromi dapat dilakukan pada sejumlah alutsista lama yang sudah tidak ekonomis, fire power-nya diragukan dan dipandang nilai deterrence-nya sudah menurun. Kenapa alutsista lama? Sebab biaya pemeliharaan alutsista itu sudah mahal dan tidak lagi ekonomis. Kemampuan operasionalnya sudah tidak berbanding lurus dengan biaya pemeliharaan yang harus dilakukan.
Kompromi ini hanya bisa dilakukan apabila pengadaan alutsista baru mendapat dukungan penuh dari pemerintah, bukan dukungan setengah hati seperti yang terjadi saat ini. Capability-based planning akan terwujud dengan optimal apabila didukung oleh alutsista yang mutakhir. Soal kemampuan apa saja yang harus dimiliki oleh AL, sebaiknya dikaitkan dengan peran trinitas yang diembannya.

Tidak ada komentar: