All hands,
Dalam dekade 2000-an hubungan bisnis pertahanan antara Jakarta dan Moskow terjalin erat. Jakarta yang kecewa dengan Washington berpaling ke Moskow sebagai salah satu alternatif sumber pengadaan sistem senjata. Keeratan hubungan antara kedua negara ditandai pula dengan penyediaan kredit negara dari Rusia bagi Indonesia untuk pengadaan berbagai senjata asal Rusia.
Namun demikian, ada hal-hal yang patut direnungkan dan dipelajari mengenai karakter berbisnis dengan Negeri Kamerad Medvedev. Hal ini didasarkan pada pengalaman yang sudah didapat Indonesia dalam hampir 10 tahun berinteraksi dengan pemerintah Rusia. Satu di antaranya adalah karakter birokrasi Rusia dalam urusan jual beli senjata.
Birokrasi Rusia soal ini sungguh rumit, memakan waktu dan berimplikasi pada dana yang tidak sedikit. Tentu menjadi pertanyaan mengapa demikian? Senjata adalah komoditas strategis Rusia dan salah satu mesin penghasil uang bagi pundi-pundi APBN Moskow, di samping gas bumi. Oleh karena itu, kerjasama pengadaan sistem senjata dari Moskow harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari orang nomor satu di Kremlin.
Tanpa adanya izin dari penghuni Kremlin, jangan pernah berharap rencana penjualan senjata akan berjalan. Setelah Kamerad Medvedev memberikan izin, calon pembeli harus bernegosiasi dengan Rosoboronexport. Calon konsumen tidak boleh berhubungan langsung dengan pabrikan, tetapi harus lewat BUMN senjata Rusia ini. Celakanya, ada pandangan bahwa Rosoboronexport bertingkah "cukup rumit".
Misalnya, harga dasar suatu sistem senjata menurut pabrikan adalah US$ x, di tangan BUMN itu meningkat berkali lipat menjadi US$ x2 atau lebih besar lagi. Masalah ini bukan saja dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga oleh konsumen tetap Rusia seperti India. Itulah salah satu penjelasan mengapa INS Vikramaditya terus meleset jadwal penyelesaian overhaul-nya.
Belum lagi soal lamanya negosiasi yang harus dilaksanakan, sebab berunding dengan orang Rusia rupanya berbeda dengan orang Barat lainnya. Untuk merumuskan satu perjanjian penjualan senjata, sangat rumit. Bisa berbulan-bulan, bahkan dapat pula lebih dari setahun.
Apa yang disampaikan di sini hendaknya menjadi pertimbangan ke depan Indonesia dalam berbisnis dengan Rusia. Negeri ini tetapi butuh sistem senjata buatan Negeri Kamerad Medvedev, sehingga dibutuhkan pemahaman yang dalam tentang bagaimana berbisnis dengan para kamerad dari Moskow.
Dalam dekade 2000-an hubungan bisnis pertahanan antara Jakarta dan Moskow terjalin erat. Jakarta yang kecewa dengan Washington berpaling ke Moskow sebagai salah satu alternatif sumber pengadaan sistem senjata. Keeratan hubungan antara kedua negara ditandai pula dengan penyediaan kredit negara dari Rusia bagi Indonesia untuk pengadaan berbagai senjata asal Rusia.
Namun demikian, ada hal-hal yang patut direnungkan dan dipelajari mengenai karakter berbisnis dengan Negeri Kamerad Medvedev. Hal ini didasarkan pada pengalaman yang sudah didapat Indonesia dalam hampir 10 tahun berinteraksi dengan pemerintah Rusia. Satu di antaranya adalah karakter birokrasi Rusia dalam urusan jual beli senjata.
Birokrasi Rusia soal ini sungguh rumit, memakan waktu dan berimplikasi pada dana yang tidak sedikit. Tentu menjadi pertanyaan mengapa demikian? Senjata adalah komoditas strategis Rusia dan salah satu mesin penghasil uang bagi pundi-pundi APBN Moskow, di samping gas bumi. Oleh karena itu, kerjasama pengadaan sistem senjata dari Moskow harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari orang nomor satu di Kremlin.
Tanpa adanya izin dari penghuni Kremlin, jangan pernah berharap rencana penjualan senjata akan berjalan. Setelah Kamerad Medvedev memberikan izin, calon pembeli harus bernegosiasi dengan Rosoboronexport. Calon konsumen tidak boleh berhubungan langsung dengan pabrikan, tetapi harus lewat BUMN senjata Rusia ini. Celakanya, ada pandangan bahwa Rosoboronexport bertingkah "cukup rumit".
Misalnya, harga dasar suatu sistem senjata menurut pabrikan adalah US$ x, di tangan BUMN itu meningkat berkali lipat menjadi US$ x2 atau lebih besar lagi. Masalah ini bukan saja dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga oleh konsumen tetap Rusia seperti India. Itulah salah satu penjelasan mengapa INS Vikramaditya terus meleset jadwal penyelesaian overhaul-nya.
Belum lagi soal lamanya negosiasi yang harus dilaksanakan, sebab berunding dengan orang Rusia rupanya berbeda dengan orang Barat lainnya. Untuk merumuskan satu perjanjian penjualan senjata, sangat rumit. Bisa berbulan-bulan, bahkan dapat pula lebih dari setahun.
Apa yang disampaikan di sini hendaknya menjadi pertimbangan ke depan Indonesia dalam berbisnis dengan Rusia. Negeri ini tetapi butuh sistem senjata buatan Negeri Kamerad Medvedev, sehingga dibutuhkan pemahaman yang dalam tentang bagaimana berbisnis dengan para kamerad dari Moskow.
1 komentar:
jadi rumor ttg mbuletnya om beruang bener..sampai panah sakti susah nyetelnya dan makan waktu
Posting Komentar